Suzy memandangi langit pagi dari balik jendela. Langit biru tampak bersih, seolah ingin menghapus keraguan dan luka yang masih menyelinap di hati siapa pun yang melihatnya. Ia memeluk cangkir tehnya, mencoba mencerna apa yang semalam ia saksikan dengan mata kepala sendiri.
Hellen. Wanita itu datang dengan percaya diri, mengenakan blazer putih gading dan rambut hitam panjang yang jatuh teratur di bahunya. Senyumnya hangat, namun sorot matanya tajam. Tapi yang paling membuat Suzy terpaku adalah bagaimana Ardian memandangnya. Itu bukan pandangan biasa. Itu cinta. Dan untuk pertama kalinya, Suzy merasakan sesak… bukan karena cemburu, tapi karena kesadaran. Cinta tidak selalu berarti memiliki. Kadang cinta berarti merelakan. Di ruang makan, pagi itu hening. Ardian duduk dengan gelisah, sementara Suzy dengan tenang menuangkan teh ke cangkirnya sendiri. “Dia cantik,” kata Suzy, memecah keheningan. Ardian menoleh cepat. “Apa?” “Hellen. Dia cantik,” ulang Suzy, lalu menatap mata kakak tirinya itu. “kamu kelihatan… bahagia waktu bersamanya.” Ardian membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Ia tak tahu harus mengatakan apa. “Aku bisa lihat, kamu mencintainya,” lanjut Suzy, suaranya datar tapi tidak dingin. “Dan itu hal terbaik yang pernah kulihat dari kamu selama ini.” “Suzy…” suara Ardian berat. “Kamu nggak perlu menjelaskan apa-apa,” potong Suzy lembut. “Aku bukan anak kecil. Aku bukan gadis yang mudah baper hanya karena kamu bersikap manis.” Ardian menatapnya dalam diam. “Aku tahu siapa aku. Aku adik tirimu. Dan aku juga tahu siapa Hellen bagimu—dia cinta yang kamu perjuangkan.” Suzy tersenyum kecil. “Dan aku… aku mendukung itu.” “Kenapa kamu begitu pengertian?” Balas Ardian. Suzy menatap ke luar jendela. “Karena kamu satu-satunya pria yang Aku percayai setelah Papa. Dan karena itu, perasaan nggak harus egois kan.” Lanjut Suzy Beberapa hari kemudian, Hellen datang kembali ke rumah mereka. Tapi kali ini, bukan hanya untuk Ardian. Hellen ingin mengenal Suzy. “Aku tahu ini mungkin aneh,” kata Hellen sambil tertawa canggung. “Tapi aku ingin kenal lebih dekat sama kamu. Ardian selalu bilang kamu adik yang luar biasa.” Suzy tersenyum hangat. “Aku juga ingin kenal kamu. Kalau kamu bisa buat Ardian setenang itu… kamu pasti istimewa.” Mereka berbicara lama. Tentang kuliah, karier, hingga hal-hal ringan seperti film favorit. Dan semakin lama Suzy berbicara dengan Hellen, semakin ia sadar Hellen bukan wanita sembarangan. Hellen kuat, berani, dan penuh kasih sayang. Pasti Ardian mencintainya bukan tanpa alasan. Malam itu, saat mereka semua duduk di ruang tamu, Suzy berdiri untuk pamit ke kamar. Sebelum masuk ke dalam, ia menoleh dan berkata pada Ardian “Kalau suatu hari kalian menikah, aku mau jadi bridesmaid-nya, ya?” Ardian terkesiap. Hellen tertawa pelan. Dan Suzy hanya melangkah pergi penuh percaya diri, tanpa luka, tanpa drama. Karena ia tahu satu hal pasti: ia adalah bagian dari kisah ini, tapi bukan pusatnya. Dan itu tidak masalah. Langit mulai meremang jingga saat Suzy duduk di teras rumah sambil membaca buku. Angin sore membawa aroma tanah basah yang khas setelah hujan tadi siang. Di balik halaman rumah, terdengar suara mesin mobil yang dimatikan. Pak Dion baru pulang kerja. Ia masuk ke halaman dengan langkah berat, bahunya terlihat letih namun senyumnya tetap hangat saat melihat Suzy. “Papa pulang,” katanya. Suzy berdiri dan memeluknya singkat. “Capek ya, Pa?” “Sedikit, tapi lihat kamu langsung segar lagi,” jawab Pak Dion sambil tersenyum lebar. Suzy tertawa kecil. Tapi senyumnya perlahan memudar saat ia melihat Ardian yang berdiri di ambang pintu depan. Lelaki itu hanya memandangi ayah tirinya sekilas, lalu memalingkan wajah tanpa sepatah kata. Pak Dion menoleh ke arah Ardian dan mencoba menyapa. “Ardian...” “Aku mau mandi dulu,” potong Ardian cepat, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menunggu tanggapan. Suzy menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini bukan hal baru. Sejak pernikahan Mama dan Papa mereka, sikap Ardian kepada Pak Dion memang selalu… datar. Tak pernah marah secara langsung, tapi juga tak pernah akrab. Pak Dion menatap pintu yang sudah tertutup. Raut wajahnya surut. “Dia masih belum bisa terima Papa, ya?” Suzy menoleh pelan. “Dia butuh waktu, Pa.” “Papa sudah coba, berkali-kali. Tapi dia tetap menjaga jarak.” ucap Pak Dion dengan nada kecewa campur pasrah. “Bukan karena Papa buruk,” Suzy mencoba menenangkan. “Tapi karena luka Ardian dari masa lalu belum benar-benar sembuh.” Pak Dion tersenyum getir. “Papa tahu. Tapi kadang… rasanya seperti menabrak tembok setiap kali ingin mendekatinya.” Pak Dion berusaha menyanggah. Suzy duduk kembali dan menepuk kursi di sebelahnya, mengajak Papanya duduk. “Ardian itu bukan orang yang gampang percaya. Dia terlalu sering lihat Mamanya disakiti, jadi sekarang dia jadi pelindung diam-diam.” “Pelindung?” tanya Pak Dion. “Ya. Dia takut Mama jatuh cinta lagi pada pria yang salah. Dia takut harus melihat Mamanya terluka untuk kedua kali. Makanya… dia selalu waspada.” Pak Dion tertunduk. “Jadi, dalam matanya, Papa masih bisa jadi orang salah itu?” Suzy tak menjawab. Tapi diamnya adalah konfirmasi yang halus. Di dalam rumah, Ardian berdiri di kamar mandi sambil menatap cermin. Air menetes dari rambutnya yang baru dibilas. Tapi yang paling basah bukan rambutnya melainkan matanya yang merah. Ia mendengar percakapan Suzy dan Pak Dion dari jendela terbuka. Ia mendengar semua tentang dinding yang ia bangun, tentang ketakutan yang belum ia akui bahkan pada dirinya sendiri. Dan itu menyakitkan. Karena ia tahu sebenarnya Pak Dion belum tentu pria jahat. Tapi ia juga tahu, bayangan tentang ayah kandungnya yang menghilang tanpa pamit dan meninggalkan Mamanya dalam tumpukan utang dan air mata terlalu lekat untuk bisa dilupakan. Pak Dion, walau baik, tetap pria lain. Tetap bukan Ayahnya. Saat makan malam, suasana meja makan tetap sama, tenang, rapi, dan… dingin. Suzy mencoba membuka obrolan, tapi Ardian hanya menjawab seperlunya. Pak Dion beberapa kali melempar senyum dan kalimat ringan, tapi balasan dari Ardian hanya anggukan, atau angkat alis. Namun malam itu berbeda. Suzy menatap Ardian dengan tatapan penuh makna, lalu berkata pelan “Kadang, luka lama memang nggak bisa hilang. Tapi kalau kita terus menolak yang baru karena takut masa lalu terulang… kita nggak akan pernah benar-benar sembuh.” Ardian berhenti mengunyah. Ia menatap Suzy. Lalu menoleh ke arah Pak Dion. Untuk pertama kalinya sejak lama, tatapan mereka bertemu. Dan Ardian tak langsung berpaling. Hanya sesaat. Tapi cukup untuk menunjukkan… mungkin, tembok itu mulai retak.Pagi masih berkabut ketika Hellen mengetuk pintu kamar tamu tempat Suzy dan Ardian beristirahat. “Kalian harus berangkat sekarang. Lokasi pertama yang paling mendekati data ada di Dusun Merbabu, Jalan Bata Merah No.6, Kabupaten Cendana Barat. Orang itu terdaftar atas nama Mira Desiana.” Suzy yang baru saja membuka matanya langsung duduk tegak. Ardian mengucek mata sambil menarik nafas dalam. “Dusun Merbabu? Jauh juga, ya.” “Kurang lebih empat jam perjalanan. Kalian bisa pakai Pajero ayahku, kuncinya sudah aku taruh di meja dapur,” ujar Hellen cepat. “Kamu ikut, Hel?” tanya Suzy sambil berdiri. “Aku ingin ikut, tapi…” Belum sempat Hellen menyelesaikan kalimatnya, Ardian menolak halus. “Nggak, kamu harus tetap di sini. Komputer itu pusat kontrol kita satu-satunya. Apalagi semalam Kevin diculik. Kita nggak tahu siapa lawan kita. Mereka bisa saja menyadap jejak kita. Kamu harus tetap jaga pos.” Hel
Suzy duduk termenung di ruang tamu, matanya masih terfokus pada chat dari Kevin 1 jam yg lalu. Setelah mengetahui bahwa Mira Desiana adalah bibi Ardian—saudara tiri dari Bu Nayla—Suzy merasa makin kuat dorongannya untuk mengungkap segalanya. Ia segera menekan tombol Call di kontak Kevin, berharap lelaki itu segera menjawab panggilannya. Namun, setelah beberapa kali nada sambung, tidak ada jawaban. “Dia nggak angkat, ian,” ucap Suzy cemas. “Kalau gitu kita datangi aja rumahnya. Aku yang antar,” kata Ardian tegas. Sebelum pergi, Suzy menitipkan Baby Diana kepada Tante Erna, adik dari mendiang Papanya. Suzy percaya Diana akan aman di sana. Sesampainya di rumah Kevin, suasana tak seperti biasanya. Rumah bercat abu itu tampak lebih suram. Pak Raymond, ayah Kevin, membuka pintu dengan wajah pucat dan napas terburu-buru. Matanya gelisah. “Pak Raymond, maaf ganggu. Kevin
Desember 1985Udara di rumah mewah milik Jaya Ruslan terasa lebih dingin dari biasanya. Di kamar utama, tangisan bayi perempuan memecah kesunyian malam tahun baru. Bayi itu lahir dari hubungan terlarang Jaya Ruslan dengan Ana, gundik favoritnya yang telah lama ia sembunyikan dari sang istri resmi, Nyonya Joice Ruslan. “Dia anakku. Aku ingin dia memakai nama belakangku, Ruslan,” tegas Jaya dengan suara yang tertahan emosi. Namun Joice berdiri tegak, wajahnya kaku, matanya merah menyala. “Kau pikir aku akan izinkan anak harammu memakai nama keluarga ini? Aku masih istrimu yang sah, Jaya!” Pertengkaran itu terdengar sampai ke kamar Lula kecil—gadis 12 tahun yang duduk diam di pojok ranjangnya, memeluk boneka usang yang dulu pernah diberikan ibunya. Ia mendengar segalanya. Tangisannya tertahan. Bukan hanya karena suara keras ayah dan ibunya, tapi juga karena rasa iri yang perlahan tumbuh setiap kali ia melihat bayi perempuan itu dige
Suzy mengetuk pintu kamar kost Ardian dengan hati sedikit berdebar. Bukan karena takut, tapi karena rindu yg tertahan. Ardian membuka pintu dan seulas senyum tipis muncul di wajahnya. “Masuk, kamu,” ujarnya sambil menepi, membiarkan Suzy masuk. Suzy duduk di ujung kasur, meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa. “Aku nggak masak, ini aku beli tadi. Aku tahu kamu pasti belum makan.” Ardian tertawa kecil. “Tebakanmu selalu tepat. Kuliahmu gimana? Semester akhir mulai terasa berat?” Suzy mengangguk sambil membuka botol air mineral. “Berat banget. Aku sampai kepikiran buat skripsi bareng kamu, tapi ya… hidup kita aja udah kayak skripsi berlapis.” Ardian tertawa lagi, kali ini lebih lepas. “Kalo hidup kita skripsi, kayaknya penguji bakal nyerah.” Suzy tersenyum, tapi hatinya terasa hangat. Mereka kembali berbincang santai, kali ini tentang dosen killer Pak Michae
Suatu Tempat, Beberapa Hari Sebelumnya Seorang wanita duduk di kursi berlapis beludru merah tua. Wajahnya hanya terlihat sebagian, tertutup bayangan tirai yang bergerak pelan karena angin dari jendela yang terbuka setengah. Duduk di hadapannya, seorang pria paruh baya mengenakan kemeja lusuh dan topi tua lusuh—Cipto, mantan satpam kompleks yang kini bekerja serabutan. “Aku butuh kamu buat satu hal kecil,” ucap si wanita, suaranya lembut namun punya kekuatan yang tak bisa diabaikan. Cipto menatapnya ragu. “Apa itu, Bu?” Wanita itu menyodorkan dua foto. Suzy dan Ardian. “Kalau dua orang ini datang ke rumah Pak Wisnu dan Bu Linda… kamu tahu harus ngapain, kan?” “Lapor ke Ibu?” tanyanya perlahan. Wanita itu tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Benar. Jangan pakai kekerasan. Jangan bikin keributan. Aku nggak suka yang vulgar. Kita bukan kriminal. Kita cuma… mengatur ulang
Tahun 1991 Suatu sore di taman belakang sekolah, Lula—gadis pendiam dengan mata sendu—menggenggam sepucuk surat cinta. Wajahnya pucat, telapak tangannya berkeringat dingin. Ia menyerahkan surat itu langsung ke Dion muda. “Aku suka kamu,” katanya dengan suara pelan, nyaris tenggelam oleh angin sore. Dion membaca surat itu dengan ekspresi datar. Lalu, dengan lembut tapi tegas, dia menggeleng. “Maaf, Nayla… aku sudah dekat dengan Merry.” Merry—gadis populer dan ceria, yang kelak menjadi istri Dion dan Mama kandung Suzy. Hari itu, Lula merasa hancur. Bukan karena ditolak… tapi karena merasa dipermalukan. Di sekolah, desas-desus itu menyebar cepat. Bahwa anak orang kaya yang culun itu naksir cowok yang tidak selevel. Tahun 2000