Home / Romansa / Bukan Sekadar Kakak Tiri / Bab 5 – Luka Itu Datang Lagi

Share

Bab 5 – Luka Itu Datang Lagi

last update Last Updated: 2025-05-24 03:15:00

Dua tahun telah berlalu.

Suzy tumbuh menjadi perempuan muda yang lebih matang. Kini ia berada di tahun akhir kuliahnya dan sering membantu Mama Nayla di toko kecil keluarga. Ardian tetap menjadi sosok dingin yang tangguh, namun jauh lebih tenang dan berhati-hati. Satu hal yang tidak berubah adalah hubungannya dengan Pak Dion tetap hambar, walau tidak lagi meledak-ledak seperti dulu. Namun, sore itu rumah mereka kembali diguncang oleh kedatangan dua sosok dari masa lalu mereka yang sempat mengobrak-abrik kebahagiaan keluarga ini. Sebuah mobil mewah berhenti di depan pagar. Ardian yang baru saja pulang mematung saat melihat siapa yang turun dari balik pintu mobil.

Pak Wisnu. Seorang pria parubaya bersama seorang wanita yang lumayan cantik dengan dandanan menor dan mata tajam penuh perhitungan.

Linda. Dengan langkah percaya diri, mereka berjalan menuju pintu rumah. Suzy yang baru saja selesai menyiram tanaman langsung menahan napas. Ia ingat betul siapa wanita itu. Sosok yang dulu membuat Mama Tirinya hampir kehilangan segalanya.

Mama Nayla muncul dari dalam rumah, kini dalam kondisi hamil besar. Perutnya terlihat mencolok di balik gamis longgar yang dikenakannya. Usia kandungannya sudah sembilan bulan. Cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya tapi saat melihat tamunya, senyum itu langsung lenyap.

“Astaga… Mas Wisnu,” gumamnya pelan.

Ardian langsung berdiri di samping Mamanya, menatap tajam ke arah Ayah kandungnya yang pernah meninggalkan mereka demi Linda, wanita yg saat ini berdiri di sisinya.

“Kenapa kalian datang ke sini?” tanya Ardian dingin.

Pak Wisnu menyunggingkan senyum tipis, mencoba mencairkan suasana.

“Kami hanya ingin tahu kabar kalian. Lagi pula… kalian akan punya anggota keluarga baru, bukan?”

“Tutup mulutmu, kau bukan siapa-siapa di sini.” Balas Ardian sambil menahan emosi.

Linda ikut menyela, suaranya licin bagai belati berbalut sutra.

“Tenang saja, Ardian. Kami datang dengan niat baik. Tapi sayang sekali, rumah ini sepertinya tak tahu caranya menyambut tamu.”

Tatapan Linda jatuh ke arah perut Bu Nayla, matanya menyipit penuh kecemburuan. Sejenak ia terlihat kehilangan kendali, namun segera tersenyum lagi, seolah menutupi amarahnya. Linda belum pernah mengandung sejak menikah dengan Pak Wisnu, dan dalam diam, ia sangat iri pada Bu Nayla perempuan yang dulu ditinggalkan Pak Wisnu, namun kini tampak lebih cantik, bermartabat, dan… utuh.

Pak Dion muncul di ambang pintu, langsung berdiri di samping istrinya.

“Silakan pergi. Kami tidak menerima tamu yang berniat buruk,” katanya dengan suara tenang namun tajam.

Linda mengangkat dagu. “Kami akan pergi. Tapi ingat satu hal, Nayla. Kebahagiaan itu bisa rapuh. Terutama jika dibangun di atas puing masa lalu.”

Suzy berdiri, menatap wanita itu dengan ketegasan yang tak terbantahkan.

“Maaf Mbak Linda, biar aku teruskan pernyataanmu barusan... niat jahat biasanya berbalik ke pelakunya.”

Dengan senyum sinis, Linda melangkah pergi, diikuti oleh Pak Wisnu yang tampak menahan malu.

Malam harinya, suasana rumah senyap. Bu Nayla duduk di kamar, membelai perutnya sambil tersenyum sendu.

“Anak Mama… semoga kamu lahir dalam dunia yang lebih hangat dari ini.”

Ardian yang sedang berdiri di teras, menatap langit gelap. Kepalanya penuh dengan pikiran. Ia tahu… kedatangan ayahnya bukan tanpa maksud. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum Linda. Sesuatu yang mengancam.

Di tempat lain, Linda berdiri di balkon kamar hotelnya, memandangi lampu kota dengan mata penuh rencana. Ia menghela napas panjang, lalu mengirim pesan singkat kepada seseorang.

“Waktunya membuat mereka tahu siapa yang lebih pantas bahagia.”

Di layar ponselnya terpampang nama: Hellen.

Di balik meja rias rumah mewah, Hellen menatap wajahnya sendiri di cermin senyum lembut yang biasa Ardian puja, kini tampak dingin dan penuh perhitungan. Ponselnya berbunyi. Pesan dari Linda.

“Waktunya mulai, saudariku. Rapuhkan dia dari dalam.”

Hellen membalas tanpa ragu, “Tenang saja. Ardian sudah jatuh. Dia bahkan tak sadar siapa musuhnya.”

Hellen menyimpan ponsel, lalu memandangi foto mereka berdua. Jemarinya menyusuri wajah Ardian dalam gambar itu lembut… namun penuh niat tersembunyi.

“Apa itu Cinta? Cinta Itu cuma alat.”

Dengan satu senyum miring, Hellen berbisik lirih,

“Maafkan aku, Ardian… tapi aku tak pernah datang untuk mencintaimu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 28 — Mata-mata di balik Pohon Jati

    Udara pagi di Dusun Girilaya terasa lembap dan segar. Embun masih menempel di daun jati, menampakkan kilau halus ketika sinar matahari menembus sela pepohonan. Angin lembut berdesir membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam.Namun di antara barisan pohon jati yang berdiri kokoh di tepi jalan setapak, seseorang sedang memperhatikan dalam diam.Dia adalah Linda, sepupu Hellen yang serakah sekaligus istri kedua Pak Wisnu, ayah kandung Ardian. Wajahnya teduh tapi matanya tajam menyimpan sesuatu antara rasa ingin tau dan ambisi. Ia memegang ponsel di tangannya, memperbesar layar kamera, mengamati tiga orang di depan rumah besar milik Ana.“Jadi benar disini tempat tinggal Mira… dan kau... Hellen juga di sini, sudah mulai berkhianat kau ya sama saudarimu ini yang sudah membantumu, ku pastikan kali ini kamu berhutang budi sama aku”, gumamnya pelanSudah beberapa hari yang lalu, Linda menguntit Ardian dan Suzy diam-diam. Ia selalu ingin tahu sesuatu yang besar, sesuatu yang berkaitan denga

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 27 — Disembunyikan Oleh Hujan

    Hujan baru saja reda ketika mobil Pak Tommy berhenti di depan rumah besar di Dusun Girilaya. Bangunannya berdiri anggun di antara pepohonan jati, terekspos dengan jendela kayu tinggi yang membuatnya tampak klasik dan tenang. “Ini rumah saya,” kata Ana sambil tersenyum kecil. “Terima kasih sudah menolong saya tadi." Hellen turun lebih dulu, lalu membantu Ana keluar. “Ruma Mbak Ana besar juga ya, untuk tinggal sendiri." Ana tertawa ringan. “Iyaa... sepi sekali. Tapi saya sudah terbiasa kok" Hellen ikut tersenyum sopan. “Kalau begitu, kami pamit dulu. Semoga lukanya cepat sembuh.” “Sebentar,” tahan Ana. “Hujan sebentar lagi turun lagi. Masuk dulu saja. Saya buatkan kopi. Tidak enak membiarkan tamu pergi tanpa jamuan.” Pak Tommy menatap Hellen, lalu mengangguk kecil. “Baiklah, sebentar saja.” Di dalam rumah, suasana hangat. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Dinding ruang tamu dipenuhi bingkai foto pemandangan laut dan ladang teh. Di meja kecil dari kayu jati,

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 26 — Pencarian Terus Belanjut

    Siang itu, matahari di Kabupaten Kiribaru bersinar redup, menembus tipis awan kelabu yang menggantung di langit. Jalanan berliku di antara perbukitan tampak sepi; hanya sesekali truk tua lewat membawa hasil panen dari desa sekitar. Sebuah mobil hitam melaju perlahan di jalur utama menuju kota kecil itu. Di balik kemudinya, Pak Tommy tampak tenang seperti biasa, sementara di kursi penumpang Hellen menatap peta di ponselnya. “Kata Kevin, Suzy dan Ardian sudah lebih dulu sampai di sini Om" Kata Hellen Baru saja Hellen memberi informasi, sesuatu melintas cepat di depan mobil sebuah sosok wanita yang menyeberang tanpa melihat. Pak Tommy membanting setir, tapi tetap brak!—benturan keras terdengar, mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Hellen terlonjak, jantungnya berdebar. "Astaga! Om !” Mereka berdua segera keluar. Di depan mobil, seorang wanita tergeletak di aspal dengan lutut berdarah dan siku lecet. Wajahnya pucat tapi masih sadar. “Aduh… maaf, saya tidak lihat mobil

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 25 — Jejak di Kiribaru

    Langit sore menggantung kelabu ketika mobil yang dikendarai Ardian menembus jalan berliku menuju Kabupaten Kiribaru. Udara di luar jendela semakin dingin, pepohonan pinus berderet rapat di sisi jalan, seolah menutup setiap celah cahaya matahari yang tersisa. Perjalanan itu memakan waktu hampir empat jam dari Cendana Timur, dan jika diukur dari Kota Cemara, tempat semua kisah ini bermula, jaraknya mencapai sepuluh jam penuh. Suzy bersandar di kursi penumpang, menatap ke luar jendela tanpa suara. Rasa lelah bercampur dengan resah—ia merasa seperti sedang menuju sesuatu yang belum bisa ia definisikan, entah kebenaran atau bahaya baru. “Masih jauh?” tanyanya akhirnya. Ardian melirik jam tangan. “Sekitar tiga puluh menit lagi. Kita istirahat di penginapan dulu malam ini. Aku nggak mau nyetir dalam kabut begini.” Suzy mengangguk pelan. Ia tahu Ardian benar. Tapi entah kenapa, setiap kali mobil melintasi jalan yang kian sunyi, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat—seperti ada sesuat

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 24 — Siapa Di Balik Nama Itu

    Rumah Kevin terasa terlalu hening sore itu. Jam dinding berdetak pelan, nyaris tenggelam oleh desir angin yang menyusup lewat jendela terbuka. Di meja makan, secangkir teh yang sudah dingin masih mengepulkan aroma samar daun mint. Hellen duduk di kursi paling ujung, menatap kosong pada dinding tempat bayangan sore menempel seperti noda masa lalu yang tak bisa dihapus. Dia tahu waktunya hampir habis. Rumah ini bukan lagi tempat aman. Sejak malam terakhir ketika suara langkah-langkah asing terdengar di luar pagar, nalurinya berteriak keras: “tinggalkan semuanya sebelum terlambat.” Hellen menarik napas panjang, lalu menulis di selembar kertas putih, dengan pesan: "Pak Raymond dan Bu Karin, mohon maaf yaa Hellen harus meninggalkan rumah kalian karena Hellen merasa disini sudah tak aman. Maka dari itu saya akan mencari tempat aman saat ini juga. Mohon maaf sekali bila Hellen hanya bisa membantu sampai disini, bila Bapak dan Ibu memerlukan bantuan, silahkan kirim chat dinomor ini 08

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   BAB 23 - Pencarian Melelahkan

    Sore itu, langit di Dusun Merbabu mulai memudar. Matahari merayap turun di balik bukit, meninggalkan semburat jingga di langit Cendana Barat. Suzy dan Ardian baru saja tiba di jalan sempit bernama Jalan Bata Merah, nomor 6 — alamat yang selama ini mereka buru dari data Hellen. Mereka berhenti di depan rumah sederhana bercat krem yang terlihat sepi. Dindingnya dipenuhi lumut tipis, dan pagar kayunya sedikit lapuk dimakan usia. Suzy menarik napas panjang. “Ini… seharusnya rumahnya, kan?” Ardian mengangguk, menatap papan nama kecil di depan pagar. “Entahlah, Kita lihat apakah benar orangnya.” Mereka melangkah perlahan ke arah rumah itu. Suara ayam berkokok dan bau tanah lembap bercampur dengan aroma kayu tua. Tak lama, pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul — rambutnya disanggul rapi, wajahnya ramah. “Iya, ada apa ya, Nak?” tanyanya dengan suara lembut. “Permisi, Bu. Kami sedang mencari seseorang bernama Mira Desiana. Apa Ibu mengenalnya?” tanya Ardian sopan. Wa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status