Home / Romansa / Bukan Sekadar Kakak Tiri / Bab 3 – Perasaan Macam Apa Ini

Share

Bab 3 – Perasaan Macam Apa Ini

last update Last Updated: 2025-05-24 01:00:00

Hujan sore masih membasahi jalanan kota ketika Suzy melangkah keluar dari toko buku tua di pojok Jalan Melati. Tangannya menggenggam satu kantong plastik berisi novel klasik yang sejak lama ingin ia baca. Langit mendung membuat udara terasa lebih lembab dan basah seolah menyimpan firasat akan sesuatu. Dia tak menyangka bahwa hari yang tampak biasa itu akan mengubah cara pandangnya terhadap Ardian. Dan terhadap dirinya sendiri.

Baru beberapa langkah dari trotoar, sebuah mobil hitam berhenti perlahan di pinggir jalan. Suzy sempat ragu, tapi jendela mobil itu terbuka dan ia mengenali wajah di balik kemudi yaitu Ardian.

“Naik,” katanya pendek, tanpa senyum.

“Ngapain kamu di sini?” jawab Suzy.

“Aku yang tanya. Kamu sendirian ke sini?” sahut Ardian.

Suzy menatap tajam sambil memalingkan wajah. “Aku bukan anak kecil. Aku bisa jaga diri.”

Ardian menghela napas. “Masuk aja dulu gih, gak usah sok cuek! Gak mempan bagiku.”

Suzy akhirnya masuk ke dalam mobil. Aroma maskulin khas Ardian menyambutnya. Tapi kali ini, dia tak larut. Ia bersandar, menyilangkan tangan, dan berkata

“Kalau kamu mau mulai sok jadi pelindung, pastikan kamu tahu batasmu.”

Ardian hanya melirik sekilas. “Papamu tahu kamu ke sini?”

“Sejak kapan kamu peduli sama Papa?” tanya Suzy.

Mobil sedikit mengerem. Suzy tersenyum sinis. “Jangan munafik. Kamu belum bisa terima Papa sebagai bagian dari hidupmu, tapi kamu tiba-tiba merasa punya hak atas aku?”

Ardian terdiam.

Mereka berhenti di sebuah warung kopi tua. Interior kayu dan aroma seduhan klasik membuat suasana menjadi tenang. Tapi Suzy tidak sedang ingin tenang.

“Ngapain kita berhenti disini ?” tanya Suzy dengan rasa heran.

“Dulu sering ke sini bareng Mama.” Jawab Ardian sambil mengenang masa-masa indah bersama Mamanya.

“Dan sekarang kamu ajak aku? Buat apa?” sahut Suzy.

Ardian menatap Suzy. Ada luka di matanya, tapi Suzy tidak menghindar. Kali ini dia tidak akan jadi gadis bingung yang menghindari konflik. Sampai seorang wanita datang.

“Ardian?”

Wanita tinggi berambut sebahu, mengenakan blazer, menyapa Ardian hangat.

“Hai Sayang?” sambil memberikan kue dan kopi penyemangat untuk Ardian dan berbincang sedikit. Disisi lain Suzy bergumam dalam hati.

“cewek ini cantik sih, tapi ngapain juga harus bermanis-manis sama Ardian si Batu Gunung ini”

“Hmmm Suzy…” Ardian mencoba menjelaskan.

“Kamu mau pamerin pacar kamu ke aku atau sebaliknya? Aku bukan siapa-siapamu kan? Jadi gak perlu tarik aku ke dalam pusaran hidup kamu.” Sanggah Suzy.

Sambil mengemudikan mobil, Ardian membuka suara, “Aku tahu ini salah.”

Suzy menatap lurus ke depan dan berkata

“Kalau tau salah kenapa perlakukan orang lain yang mana Aku seperti sesuatu yang bisa kamu simpan di sela-sela luka kamu.”

Ardian terpaku. Suzy melanjutkan, “Aku tahu aku juga salah.

Tapi aku nggak akan jadi gadis polos yang menunggu kakaknya sadar. Kalau kamu nggak yakin, jangan seperti itu Ardian.”

Lampu merah berubah hijau. Tapi percakapan mereka masih menggantung di udara. Dan di balik kaca mobil yang basah oleh hujan, bayangan dua sosok yang tengah diuji oleh perasaan dan logika, semakin nyata.

Dan malam itu, Suzy akhirnya menyadari satu hal ia tidak takut pada perasaannya. Ia hanya takut Ardian tidak cukup kuat untuk bertanggung jawab atas apa yang dia rasakan. Suzy duduk di tepi ranjang sambil membuka kembali buku yang tadi ia beli. Tapi matanya tak sanggup menelusuri satu pun kalimat di halaman pertama. Pikirannya kembali ke percakapan di mobil.

Tatapan Ardian. Dan maksut dari pertemuan dia dan wanita cantik tadi. Ia tahu dia bukan gadis kecil yang mudah terbawa perasaan. Tapi bersama Ardian, segalanya jadi lebih rumit. Ada momen saat mereka seperti benar-benar saudara. Tapi lebih sering, ada percikan yang menyulut sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Dan itu membuat Suzy merasa marah sekaligus… ketagihan. Ponselnya berbunyi.

Satu pesan dari Ardian.

"Aku nggak bisa tidur. Kita bisa bicara?"

Suzy menatap layar beberapa detik. Lalu mengetik balasan.

"Di halaman belakang. 10 menit."

Udara malam masih membawa aroma hujan. Suzy duduk di bangku kayu di bawah pohon mangga yang daunnya basah. Dia mengenakan hoodie tipis, rambutnya dibiarkan tergerai. Ardian muncul beberapa menit kemudian, tanpa suara. Hanya langkah pelan dan tatapan yang tak berani menatap langsung.

"Suzy," ucapnya, duduk di sampingnya dengan jarak aman.

"Kamu bilang mau bicara. Jadi bicaralah." Sahut Suzy.

Ardian menghela napas. "Aku nggak nyangka kamu bisa setegas itu."

"Kamu pikir aku akan diam aja karena kamu lebih tua? Atau karena kamu Ardian yang dingin dan susah ditebak ?" Jawab Suzy.

"Bukan itu maksudku," kata Ardian cepat.

"Aku cuma… aku pikir kamu akan menunggu aku mengerti semuanya."

“Oh tenang aja, aku sudah mengerti kok”

Ardian menunduk. Lalu mengangkat kepalanya, kali ini menatap langsung ke mata Suzy.

"Aku takut.... Pertama, Takut Mama akan disakiti lagi, Kedua, Takut kamu jadi korban dari kekacauan emosiku. Tapi yang paling aku takuti adalah lepas dari kamu."

Suzy menahan napas. Kata-kata itu terdengar seperti pengakuan. Tapi juga seperti peringatan.

"Kamu harus tahu, Ardian. Kalau kamu terus kayak gini, aku nggak akan bertahan lama. Aku bisa kuat, tapi juga bisa berhenti berharap."

Ardian mendekat sedikit. "Kalau aku berani bilang sekarang, kamu siap denger?"

Suzy memalingkan wajah. Tapi jawabannya jelas.

"Ya."

Hening. Hanya suara angin yang menggesek dedaunan.

"Aku hanya belum tahu harus menghadapi dunia seperti apa." ucap Ardian.

Dan malam itu, di bawah langit yang mulai jernih, dua sosok itu tak lagi bersembunyi di balik status dan logika. Mereka tahu jalan di depan akan penuh luka, tapi untuk pertama kalinya mereka melangkah ke sana bersama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 22 - GPS dan Sebuah Buku Harian

    Pagi masih berkabut ketika Hellen mengetuk pintu kamar tamu tempat Suzy dan Ardian beristirahat. “Kalian harus berangkat sekarang. Lokasi pertama yang paling mendekati data ada di Dusun Merbabu, Jalan Bata Merah No.6, Kabupaten Cendana Barat. Orang itu terdaftar atas nama Mira Desiana.” Suzy yang baru saja membuka matanya langsung duduk tegak. Ardian mengucek mata sambil menarik nafas dalam. “Dusun Merbabu? Jauh juga, ya.” “Kurang lebih empat jam perjalanan. Kalian bisa pakai Pajero ayahku, kuncinya sudah aku taruh di meja dapur,” ujar Hellen cepat. “Kamu ikut, Hel?” tanya Suzy sambil berdiri. “Aku ingin ikut, tapi…” Belum sempat Hellen menyelesaikan kalimatnya, Ardian menolak halus. “Nggak, kamu harus tetap di sini. Komputer itu pusat kontrol kita satu-satunya. Apalagi semalam Kevin diculik. Kita nggak tahu siapa lawan kita. Mereka bisa saja menyadap jejak kita. Kamu harus tetap jaga pos.” Hel

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 21: Jejak Mira & Hilangnya Seseorang

    Suzy duduk termenung di ruang tamu, matanya masih terfokus pada chat dari Kevin 1 jam yg lalu. Setelah mengetahui bahwa Mira Desiana adalah bibi Ardian—saudara tiri dari Bu Nayla—Suzy merasa makin kuat dorongannya untuk mengungkap segalanya. Ia segera menekan tombol Call di kontak Kevin, berharap lelaki itu segera menjawab panggilannya. Namun, setelah beberapa kali nada sambung, tidak ada jawaban. “Dia nggak angkat, ian,” ucap Suzy cemas. “Kalau gitu kita datangi aja rumahnya. Aku yang antar,” kata Ardian tegas. Sebelum pergi, Suzy menitipkan Baby Diana kepada Tante Erna, adik dari mendiang Papanya. Suzy percaya Diana akan aman di sana. Sesampainya di rumah Kevin, suasana tak seperti biasanya. Rumah bercat abu itu tampak lebih suram. Pak Raymond, ayah Kevin, membuka pintu dengan wajah pucat dan napas terburu-buru. Matanya gelisah. “Pak Raymond, maaf ganggu. Kevin

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 20: Perahu Bocor

    Desember 1985Udara di rumah mewah milik Jaya Ruslan terasa lebih dingin dari biasanya. Di kamar utama, tangisan bayi perempuan memecah kesunyian malam tahun baru. Bayi itu lahir dari hubungan terlarang Jaya Ruslan dengan Ana, gundik favoritnya yang telah lama ia sembunyikan dari sang istri resmi, Nyonya Joice Ruslan. “Dia anakku. Aku ingin dia memakai nama belakangku, Ruslan,” tegas Jaya dengan suara yang tertahan emosi. Namun Joice berdiri tegak, wajahnya kaku, matanya merah menyala. “Kau pikir aku akan izinkan anak harammu memakai nama keluarga ini? Aku masih istrimu yang sah, Jaya!” Pertengkaran itu terdengar sampai ke kamar Lula kecil—gadis 12 tahun yang duduk diam di pojok ranjangnya, memeluk boneka usang yang dulu pernah diberikan ibunya. Ia mendengar segalanya. Tangisannya tertahan. Bukan hanya karena suara keras ayah dan ibunya, tapi juga karena rasa iri yang perlahan tumbuh setiap kali ia melihat bayi perempuan itu dige

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 19: Tersesat dalam Jejak Tersembunyi

    Suzy mengetuk pintu kamar kost Ardian dengan hati sedikit berdebar. Bukan karena takut, tapi karena rindu yg tertahan. Ardian membuka pintu dan seulas senyum tipis muncul di wajahnya. “Masuk, kamu,” ujarnya sambil menepi, membiarkan Suzy masuk. Suzy duduk di ujung kasur, meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa. “Aku nggak masak, ini aku beli tadi. Aku tahu kamu pasti belum makan.” Ardian tertawa kecil. “Tebakanmu selalu tepat. Kuliahmu gimana? Semester akhir mulai terasa berat?” Suzy mengangguk sambil membuka botol air mineral. “Berat banget. Aku sampai kepikiran buat skripsi bareng kamu, tapi ya… hidup kita aja udah kayak skripsi berlapis.” Ardian tertawa lagi, kali ini lebih lepas. “Kalo hidup kita skripsi, kayaknya penguji bakal nyerah.” Suzy tersenyum, tapi hatinya terasa hangat. Mereka kembali berbincang santai, kali ini tentang dosen killer Pak Michae

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 18 — Permainan Halus Sang Pengatur

    Suatu Tempat, Beberapa Hari Sebelumnya Seorang wanita duduk di kursi berlapis beludru merah tua. Wajahnya hanya terlihat sebagian, tertutup bayangan tirai yang bergerak pelan karena angin dari jendela yang terbuka setengah. Duduk di hadapannya, seorang pria paruh baya mengenakan kemeja lusuh dan topi tua lusuh—Cipto, mantan satpam kompleks yang kini bekerja serabutan. “Aku butuh kamu buat satu hal kecil,” ucap si wanita, suaranya lembut namun punya kekuatan yang tak bisa diabaikan. Cipto menatapnya ragu. “Apa itu, Bu?” Wanita itu menyodorkan dua foto. Suzy dan Ardian. “Kalau dua orang ini datang ke rumah Pak Wisnu dan Bu Linda… kamu tahu harus ngapain, kan?” “Lapor ke Ibu?” tanyanya perlahan. Wanita itu tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Benar. Jangan pakai kekerasan. Jangan bikin keributan. Aku nggak suka yang vulgar. Kita bukan kriminal. Kita cuma… mengatur ulang

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 17 — Bukan Sakit Tapi Di Bunuh

    Tahun 1991 Suatu sore di taman belakang sekolah, Lula—gadis pendiam dengan mata sendu—menggenggam sepucuk surat cinta. Wajahnya pucat, telapak tangannya berkeringat dingin. Ia menyerahkan surat itu langsung ke Dion muda. “Aku suka kamu,” katanya dengan suara pelan, nyaris tenggelam oleh angin sore. Dion membaca surat itu dengan ekspresi datar. Lalu, dengan lembut tapi tegas, dia menggeleng. “Maaf, Nayla… aku sudah dekat dengan Merry.” Merry—gadis populer dan ceria, yang kelak menjadi istri Dion dan Mama kandung Suzy. Hari itu, Lula merasa hancur. Bukan karena ditolak… tapi karena merasa dipermalukan. Di sekolah, desas-desus itu menyebar cepat. Bahwa anak orang kaya yang culun itu naksir cowok yang tidak selevel. Tahun 2000

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status