"Rani, Mas kasih tahu nih ya … kita mengalah bukan berarti kalah, kita mengalah karena kita waras. Buat apa capek-capek meladeni mereka yang suka menghina. Buang-buang waktu," tutur Dika menasehati Rani. Rani mendongak, menatap mata suaminya yang berada di depannya. Sangat indah, itu yang Rani lihat dari sinar di mata Dika. Dika pun tersenyum tatkala matanya bersitatap dengan Rani, hingga gadis itu merasa malu dan memalingkan wajahnya. "Kita naik taksi atau …."Belum sempat Rani melanjutkan ucapannya, Dika melambaikan tangannya pada mobil hitam yang berada di seberang jalan sana. Mobil itu melaju dan memutar arah menghampiri Dika yang memanggilnya. Ketika seseorang turun dari dalam mobil itu, orang tersebut membungkuk memberikan hormat kepada Dika. Tentu saja hal itu membuat Rani tercengang. "Terima kasih, ya," ucap Dika pada orang tersebut setelah dia menerima kunci mobilnya. "Sama-sama, Pak," jawab orang itu lalu kembali menunduk dan berlalu pergi. "Mas, itu tadi siapa?" tanya
"Eh, Mas, udah mau sampai!" seru Rani dan memotong ucapan Dika. “Oh iya, gak kerasa ya,” jawab Dika sambil tersenyum. "Apa karena naik mobil mahal ya, Mas," ucap Rani menggelitik. "Cari parkiran dulu," ucap Dika setelah memasukan mobil itu ke dalam halaman kantor. Dika membawa mobilnya ke tempat parkiran yang biasanya dia dan Bunga pakai. Di sana, tersusun rapi mobil para petinggi di perusahaan. Rani tampak bingung karena Dika membawa mobilnya kesana. "Mas, jangan parkir disini!" ucap Rani mencegahnya. "Kenapa?" tanya Dika bingung. "Ini parkiran para petinggi, nanti kita kena masalah," kata Rani memuji. "Memangnya karyawan biasa gak boleh parkir disini?" tanya Dika sekali lagi dengan terus memarkirkan mobilnya di sana."Gak boleh, Mas. Hanya yang punya kedudukan tinggi saja yang boleh parkir disini. Kita pindah aja yuk! Di sana tempat kita," ujar Rani dengan menunjuk area parkir di luar yang sangat panas tanpa adanya bayangan. "Di sana panas, Ran," ucap Dika. "Ya tapi memang
“Kamu akan menyesal!” batin Dika.Dika mengerjakan semua pekerjaan temannya yang dilimpahkannya kepadanya. Sekalian, laki-laki itu ingin mencari tahu tentang pekerjaan mereka, apakah dikerjakan dengan benar, atau hanya semaunya saja. Dika bersyukur karena penyamarannya ini membawanya menemukan wajah-wajah asli dari karyawannya.Rani melihat suaminya diperlakukan seperti itu, wanita itu merasa kasihan. Namun, dia tidak dapat melakukan apa-apa. Sampai sebuah ide terlintas di pikirannya untuk memberikan semangat kepada Dika.'Aku punya ide!' ucap Rani dalam hatinya.Rani pergi dari kursinya untuk mengambil sesuatu. Tak lama wanita itu kembali dengan segelas kopi panas dia bawa. Rani menghampiri meja Dika dan memberikan kopi itu.“Buatmu, semangat ya,” ucap Rani saat Dika mendongak.Dika tersenyum dengan melirik kopi di mejanya. "Terima kasih ya," ucap Dika sambil tersenyum. "Nanti makan siang kita ketemu," kata Rani, kemudian melambaikan tangan dan kembali ke kursinya. "Ran, perhatian
Tubuh Rani terhuyung, jatuh membentur bagian depan mobil. Seketika gelak tawa kembali meramaikan area parkiran. Rani mendongak, menatap wajah-wajah sombong penuh tawa mereka. "Ops, jatuh … kasihan …." Ariella mencibirnya. "Eh hati-hati, kau membuat mobilku lecet," ucap Kevin dan menarik Rani menjauh dari mobil itu. "CK!" Rani menggulung lengan bajunya dan berkacak pinggang. Wanita itu ingin sekali membalas perbuatan mantannya. "Kenapa menatapku seperti itu? Mau marah?" tanya Kevin menantang. "Kamu harus ganti rugi karena sudah membuat mobil ini lecet!" ucap Kevin dan menatap tajam. "Memangnya siapa kamu?" Rani balik bertanya dengan berani. "Kamu gak tau siapa aku? Baiklah, kalau kamu gak mau ganti rugi, bulan depan gajimu harus dipotong sebagai ganti ruginya," ujar Kevin. "Kak Rani, makanya jangan menghayal terlalu tinggi. Upik abu itu tetap akan jadi upik abu, gak akan berubah menjadi cinderella. Jadi terima saja nasibmu yang malang ini," sahut Ariella. "Jadi menurutmu, nasi
Suara bariton seseorang seketika membuat semua orang menoleh. Dika berjalan dengan wajah merah padam, ia menarik tangan istrinya ketika telah sampai di antara mereka. Satu persatu wajah yang mengganggu istrinya dia perhatikan baik-baik."Pahlawan datang,"ucap salah satu dari mereka."Apa yang kalian lakukan pada Maharani?" tanya Dika dengan suara beratnya."Kenapa? Kami hanya bermain-main saja, benarkan Sayang?" jawab satu diantara mereka sambil menoel dagu Rani.Rani menepis tangan laki-laki kurang ajar itu. Dika menariknya ke belakang tubuhnya untuk melindunginya. Dengan sorot mata tajam Dika mengintimidasi mereka."Beraninya kalian mengganggu wanita!" bentak Dika."Siapa kamu berani membentak kami? Staff baru dan mantan OB saja belagu." Kevin mencibir Dika."Punya masalah apa Rani, sehingga kalian mengganggunya?" tanya Dika selembut mungkin dan menahan emosinya."Rani sudah merusak mobilku dan tidak mau bertanggung jawab," ujar Kevin berbohong.Dika melihat mobilnya yang memang se
"Jadi Kevin adalah laki-laki matrealistis yang tidak berperasaan. Gila harta, gila wanita dan gila segala-galanya," ujar Rani dan diikuti dengan tawa renyahnya. "Benarkah?" tanya Kevin memastikan. "Hmm … dulu kami berpacaran saat dia akan melamar pekerjaan di perusahaan DS, dia tidak pandai dalam menyiapkan proposal dan lainnya di saat bosnya memberinya tugas. Aku ini yang mengerjakannya, semua tanpa terselip sedikitpun. Bahkan saat bertunangan dan rencana menikah, semua aku yang membiayainya. Bodohkan aku?" terang Rani dengan senyum bodohnya. "Cinta memang buta," sindir Dika. "Mas Dika benar, dulu aku benar-benar tergila-gila dengan Kevin sampai menutup mata dan telinga. Tapi setelah aku melihatnya di ranjang yang sama dengan Ariella, di saat itu aku sadar jika aku hanya dimanfaatkan," kata Rani menyesal. Dika mengambil tangan Rani dan mengelusnya lembut, wanita itu mendongak menatap suaminya. "Jangan sedih lagi, sekarangkan kamu sudah punya aku," ujar Dika lalu menghentikan mo
"Maharani!"Suara sepatu beradu dengan keramik dan panggilan dari seseorang membuat Rani menoleh. Saat ini, gadis itu sedang terburu-buru kembali ke mejanya. Namun, langkahnya terhenti saat suara itu memanggil namanya."Bu Bunga," ucap Rani ketika mendapati bosnya yang sangat cantik dan berkelas itu menghampirinya."Ini buat kamu," kata Bunga, sambil menyerahkan sesuatu di dalam paper bag berwarna putih.Rani mengernyit heran. "Apa ini?" tanya Rani, sambil membuka paper bag tersebut. "Makanan?" tanya Rani, memastikan ia tidak salah lihat. "Saya membelinya dan ternyata sudah dingin. Saya tidak memakan makanan yang dingin, jadi daripada dibuang ambillah," ujar Bunga, tanpa ekspresi. Sangat dingin seperti biasanya. Senyum di wajah Rani mengembang, kebetulan sekali dirinya juga tengah lapar karena melewati makan siangnya. "Wah, kebetulan sekali. Terima kasih Bu," ucap Rani senang. Bunga meninggalkannya tanpa menanggapi ucapan terima kasih dari Rani. Memang, Bunga di minta bersifat j
"Kalian tidak mungkin punya hubungankan?" tanya teman-teman Rani penuh selidik. "Yang benar saja Ran, kamu putus dari Pak Kevin yang pangkatnya lebih tinggi dan sekarang berpaling sama staf rendahan kayak ini, kamu masih waras kan Maharani?" sambung yang lainnya dan terus merendahkan Dika. "Ran, mending sama aku aja. Ya meskipun pangkatku gak setinggi Pak Kevin tapi setidaknya gak serendah dia juga," cibir yang lainnya lagi. Mendengar semua hinaan dan cibiran yang tertuju padanya, Dika hanya menanggapinya dengan senyuman saja. Rupanya banyak orang yang hanya menghargai seseorang dari statusnya saja. Lewat penyamaran ini Dika mengetahui wajah-wajah palsu dari semua karyawannya. "Memang sehebat apa kalian sampai merendahkan Mas Dika seperti ini? Jabatan kalian pun juga gak setara Pak Kevin," ucap Rani, membela suaminya.Prok ProkProk"Wah hebat, ternyata kamu masih mengagumiku Maharani," sahut Kevin yang tiba-tiba datang dengan bertepuk tangan. Di sebelahnya, Ariella berdiri denga