Share

Bab 4

Suara teriakan minta tolong terdengar tidak jauh dari telinga Rani. Gadis itu menengok ke kanan dan ke kiri untuk menemukan sumber suara. Tiba-tiba, matanya menangkap gang kecil di seberang jalan sana. Rani segera berlari menuju gang itu dan benar saja, dia melihat dua orang preman tengah berusaha merebut tas milik pria yang sudah tak berdaya dengan lebam di wajahnya. 

"Tolong rampok!" teriak pria yang tengah di keroyok itu. Dia berusaha melindungi tas yang ingin direbut preman-preman itu. 

"Hei ... lepaskan dia!" Teriak Rani yang tiba-tiba muncul di belakang mereka. 

"Cewek, cari mati dia," ucap salah satu preman itu. 

Rani mengumpulkan keberaniannya untuk melawan dua preman itu. Meskipun dia sendiri juga merasa sangat takut melihat wajah mereka yang menyeramkan. Rani menggulung lengan bajunya lalu berdecak pinggang. Akan tetapi, gadis itu menurunkannya kembali dan mundur. 

Salah satu preman itu maju mendekati Rani. Gadis itu berusaha melawan rasa takutnya sambil memikirkan cara terbaik untuk melarikan diri. Preman itu semakin mendekatinya dan kini berani menyentuh tangannya. 

Rani langsung menepis tangan preman itu dengan kasar, dia tidak suka ada orang yang lancang menyentuhnya. Dia menatap preman tajam dengan rambut gimbal di depannya. "Jauhkan tangan kotormu!" titah Rani. 

Preman itu merasa tertantang karena perlawanan Rani. Dia semakin menjadi-jadi dengan berani menarik baju Rani. Gadis itu semakin merasa takut, tapi bukan Rani namanya jika tidak memiliki ide berlian.

Tiba-tiba saja, Rani berteriak cukup kencang hingga membuat orang-orang di jalan besar sana mendengar suaranya. "Tolong rampok!" Rani berteriak dengan suara khasnya yang cempreng. 

Melihat orang berbondong-bondong datang untuk membantunya karena mendengar teriakan, kedua preman itu melepaskan mereka. Preman-preman itu buru-buru ingin pergi karena takut di amuk warga. Akan tetapi, langkah mereka terhenti karena warga telah mengepungnya. 

Pak, mereka rampok dan coba melecehkan saya, terang Rani sambil menunjuk ke dua preman itu. 

Sementara warga sibuk dengan kedua preman itu, Reni memanfaatkan waktu menyelamatkan pria yang dirampok tadi. "Ikuti aku!" tutur Rani. 

Pria itu mencoba berdiri dengan susah payah karena merasakan sakit disekujur tubuhnya akibat pukulan dari preman-preman tadi. Rani yang hendak berlari terlebih dahulu mengurungkan niatnya. "Kamu kenapa?" tanya Rani, dia menelisik tubuh pria itu. 

Rani membekap mulut saat sadar banyak sekali luka di tubuh pria itu. "Astaga, kamu terluka parah," ucap Rani terkejut. 

Pria itu mengangguk dengan berusaha membalas ucapannya yang terdengar sangat pelan, bahkan seperti sedang mengandung. "Sini, aku bantu," ucap Rani pada akhirnya. 

Rani membawa pria itu menjauh dari tempat itu dan memanggil taksi yang lewat. "Taksi!" teriak Rani sambil melambaikan tangan. 

Taksi yang sudah maju sedikit jauh itu mundur kembali setelah mendengar suara teriakan disertai lambaian tangan yang dia lihat dari kaca spion. "Ke rumah sakit, Pak, cepat!" kata Rani. 

Taksi itu melaju setelah mendapat perintah dari penumpangnya. Sementara pria yang ditolongnya tadi menjadi tidak sadarkan diri. 'Kasihan pria ini,' batin Rani. 

Satu jam kemudian di rumah sakit. Rani menemani pria asing yang tidak dikenalnya tadi hingga pria itu terbangun dari pingsannya. "Kamu sudah bangun?" tanya Rani cukup senang. 

Pria itu memandang sekeliling ruangan bernuansa putih. Kemudian memejamkan matanya kembali, dia berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Rani menatap lekat wajah pria itu. Beberapa detik kemudian, pria itu membuka lagi matanya dan langsung terkejut melihat wajah Rani yang begitu dekat dengannya. 

"Oh, astaga," ucap pria itu sambil mengelus dadanya. 

"Kamu sudah sadar?" tanya Rani memastikan. 

"Kelihatannya seperti apa?" kata pria itu ketus. 

"Hei, aku ini yang tolongmu, harusnya ucapkan terima kasih. Bukannya berterima kasih dan sok ketus seperti ini," gerutu Rani. 

Pria itu tersenyum lalu menyapanya. "Terima kasih," ucap pria itu. 

Rani meraih uluran tangan itu. "Maharani Ayunda, panggil saja Rani." Gadis itu memperkenalkan diri. 

"Dika," sahut pria itu. 

"Aku tidak tahu harus menghubungi keluargamu yang mana, jadi aku memutuskan untuk menemanimu hingga bangun. Karena kamu sudah sadar jadi aku mau pergi." Setelah berkata seperti itu Rani mengganti badannya. 

"Tasku," ucap Dika lirih sambil mencari keberadaan tasnya. 

Melihat Dika yang akan turun dari brankarnya, Rani kembali menghampiri pria itu. "Hai, kamu belum boleh turun dari sana," ucap Rani, "huh, sepertinya aku harus menemanimu lebih lama lagi." 

"Rani, apa kamu melihat tugasku?" tanya Dika.

"Tas? Tas yang mana, ya?" tanya Rani balik. 

"Tas hitam, seperti ini besarnya?" tutur Dika dengan menunjukan ukuran tasnya itu. 

"Ah aku ingat," ucap Rani tiba-tiba.

"Di mana?" tanya Dika. 

"Sepertinya tertinggal di lokasi perampokan tadi," jawab Rani. 

Dika melebarkan matanya. "Apa!" ngomong kaget. 

“Iya tertinggal, tadi karena buru-buru aku ingin membantumu jadi tidak memikirkan tas itu,” ujar Rani santai. 

Dika pasang kepalanya sendiri. "Celaka aku," lirihnya. 

"Sudahlah Mas Dika, lupakan masalah tas itu. Yang penting nyawa kita selamat," ucap Rani. 

Dika menatap Rani dengan tajam, bukan itu jawaban yang Dika inginkan. Tas itu sungguh sangat berharga, hidup dan matinya berada di dalam tas itu. Dika tidak tahu apa yang akan terjadi jika ayahnya mengetahui hal ini. 

"Kenapa kamu melihat seperti itu?" tanya Rani sewot.

Dika menarik napasnya panjang dan pemandangannya kasar. Dia tidak ingin menyalahkan Rani karena gadis itu sudah baik hati untuk membantunya. Meskipun pada akhirnya dia tetap kehilangan tasnya itu. 

"Ya udah, aku mau pergi," ucap Rani dan kembali berdiri. 

"Kamu tidak boleh pergi!" cegah Dika. 

Rani menghentikan langkahnya dan membalikkan tatapan Dika. "Siapa kamu melarangku pergi?" tanya Rani.

"Temani aku sampai aku sembuh," ucap Dika. 

Rani membelalakkan matanya, bisa-bisanya pria yang baru saja bersilaturahim dengannya itu memintanya untuk menemaninya di sini. Rani mengambil ponselnya di dalam tas dan meminta Dika untuk meneleponnya. "Hubungi saja keluargamu, aku masih banyak urusan."

Rani menyerahkan ponselnya pada Dika. "Hubungi sendiri," ucap Rani. 

Dika menghela nafas panjang. "Aku tidak punya keluarga," kata Dika memelas. 

Rani menurunkan tangannya yang menggantung di udara. Gadis itu merasa iba pada pria malang di atas brankar itu. Kemudian, Rani kembali mendekati Dika dan duduk di kursi sebelah brankarnya. 

"Sebenarnya aku juga tidak tahu mau pergi ke mana," ucap Rani, "jadi aku putuskan untuk menemanimu di sini. Baikkan aku," kata Rani sambil tersenyum. 

Beberapa hari Rani tidak kembali ke rumahnya, dia tinggal di rumah sakit menemani Dika. Mereka banyak bertukar cerita, Rani menceritakan tentang dirinya yang harus merelakan kekasihnya mengambil adik tirinya, tetapi tidak menceritakan kronologi yang sebenarnya. Sementara Dika hanya menceritakan tentang dirinya kehilangan tas berharganya. 

Dibalik rasa iba yang Rani tunjukan pada Dika, rupanya gadis itu menyimpan sebuah rencana. "Mas Dika, aku punya tawaran menarik untukmu," ucap Rani pada Dika yang sedang mengemasi barang-barangnya karena sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. 

"Apa?" tanya Dika. 

"Menikahlah denganku."

Ukhuk … ukhuk.

Dika tersedak bibirnya sendiri setelah mendengar tawaran Rani. "Kamu bilang apa?" tanya Dika memastikan. 

“Mas Dika mau tidak menikah denganku?” ucap Rani sekali lagi. 

"Kau sudah gila, karena sakit hati kamu memintaku untuk menikahimu. Ha ha, yang benar saja," ujar Dika yang melarang membatasi Rani. 

"Hari ini adalah hari pernikahanku, aku yakin Ariella sedang menggantikan posisiku saat ini. Ini hanya sementara Mas, setelah aku puas membalas dendam mereka, Mas Dika bisa mengakhiri pernikahan kita," tutur Rani semakin menggila. 

"Maaf Rani, aku tidak tertarik untuk mempermainkan pernikahan. Bagiku, menikah itu cukup 1 kali dan bukan main-main." Dika sungguh-sungguh menolak tawaran itu. 

"Ayo, aku antar kamu pulang," ajak Dika kepada Rani.

Rani mengekori langkah Dika hingga ke jalan raya. "Aku sungguh-sungguh Mas, ya kalau nanti kita bisa saling jatuh cinta maka pernikahan itu akan berlanjut, jika tidak ya sudah kita akhiri saja," kata Rani dengan terus memaksa Dika. 

"Kamu sungguh gila, Rani," ucap Dika tak percaya. 

"Aku akan membayarmu dengan sebagian gajiku. Aku bekerja di perusahaan DS yang terkenal itu, gajiku lumayan sebagai karyawan baru," kata Rani tidak mau menyerah. 

Mendengar nama perusahaan itu disebut, Dika menatap Rani lekat. "Perusahaan DS?" tanya Dika. 

Rani mengangguk, melihat Dika sudah mulai tertarik, mata polos Rani sangat berbinar. "Perusahaan besar yang memiliki banyak cabang itu, kamu pasti tau kan?" ucap Rani dengan mengangkat sebelah alisnya. 

"Kamu diam? Berarti aku anggap jawabannya setuju," ucap Rani gembira. 

Dika membulatkan matanya, bisa-bisanya gadis itu membuat keputusannya sendiri. "Aku belum…."

"Taksi!" 

Belum sempat Dika menyelesaikannya Rani sudah memanggil taksi dan melambaikan tangannya. "Oke Rani, aku bersedia menikahimu," kata Dika mantap lalu membukakan pintu taksi itu. 

Rani tersenyum senang, gadis itu kemudian masuk dan diikuti oleh Dika. Sepanjang jalan hanya Rani yang banyak mengoceh menjelaskan ini dan itu yang harus Dika lakukan. Pria yang baru saja keluar dari rumah sakit itu mendadak pusing kembali mendengar ocehan Rani. 

"Sudah pahamkan?" tanya Rani. 

Iya iya, jawab Dika dengan memijat kepalanya, tapi ini sekarang kita di mana? tanya Dika ketika tepat taksi itu berhenti. 

"Kita akan menikah, jadi tentu saja kita membutuhkan gaun dan jas. Sudah ah jangan banyak tanya. Aku kan yang membayarmu," tutur Rani sombong. 

Setelah turun dari taksi, Rani menarik paksa Dika untuk masuk ke dalam butik. Dia memilih-milih gaun pernikahan yang paling cantik dan juga memilihkan jas untuk Dika. Gadis itu mencoba beberapa gaun dan akhirnya jatuh pada pilihan terakhir, gaun berwarna putih yang panjang menjuntai. 

Dika menatap keheranan Rani yang keluar dengan menggunakan gaun cantik itu. Wajahnya sudah dipol make up tipis menambah kecantikannya. 'Cantik,' ucap Dika dalam hatinya. 

“Bagaimana, Mas Dika?” tanya Rani sambil berputar menunjukan gaun pilihannya. 

“Bagus, bagus sekali. Kamu pasti akan jadi pusat perhatian nantinya,” puji Dika. 

Rani tersenyum malu mendengar pujian itu. “Berapa mbak totalnya?” tanya Rani pada pemilik butik yang sudah menyiapkan semua ini untuknya. 

"Gaunnya kami kasih harga 10 juta, untuk jasnya 7 juta saja, dan make up dadakan ini anggap saja bonusnya."

Rani membelakangi matanya. "Sebanyak itu?" tanyanya tak percaya. 

Rani menatap Dika yang hanya diam saja dan tersenyum. Dengan terpaksa, gadis itu mengeluarkan kartu secara ajaib untuk membayar belanjaannya. Setelah keluar dari butik, wajah Rani tampak masam dan tidak senang. 

"Habis sudah uangku," ucap Rani lirih. 

"Bukannya kamu yang mau, butik ini kan sangat terkenal jadi pasti isinya mahal semua," ledek Dika. 

Rani menghela nafas dalam. "Setelah ini Kevin dan Ariella harus mengganti semuanya."

"Sebenarnya apa yang membuatmu sampai harus melakukan hal gila ini? Kenapa kamu tidak relakan saja kekasihmu yang menikah dengan adikmu, tidak perlu bersandiwara." Dika bertanya karena Rani tidak menjelaskan masalah yang sebenarnya. 

"Akan aku ceritakan nanti, setelah kita menikah."

*Flashback off*

Dika yang sudah sah menjadi suami Rani mengelus kepala gadis itu. Rani bercerita sangat panjang sampai membuatnya merasa sangat iba. Rani menghapus udara di sudut matanya. Setelah menjelaskan semuanya, hati Rani merasa sangat tenang. 

"Terus apa rencanamu selanjutnya?" tanya Dika. 

Rani menyunggingkan senyumnya. “Rencanaku adalah….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status