"Bayar hutang kalian, atau jika tidak masalah ini akan saya bawa ke ranah hukum!" ucap Maharani yang mengancam Kevin dan Ariella.
"Kamu…."
Ariella mengangkat tangannya ke udara, dia bersiap untuk mengayunkannya ke wajah Rani. Namun, Dika dengan cepat merebut tangannya itu. Dika juga melindungi Rani di balik tubuhnya.
"Jangan berani main kasar!" kata Dika penuh penekanan.
Kevin menarik tangan Ariella yang di cengkraman kuat oleh Dika. Dua pria itu saling menatap dengan bengis. Kevin menunjuk-nunjuk Dika yang telah kasar pada istrinya.
"Aku akan melaporkanmu ke polisi!" ancam Kevin.
Dika terkekeh, bukannya takut dia justru menantang Kevin. "Silakan, kita lihat siapa yang akan masuk penjara. Anda atau saya."
"Aku kasih waktu kalian 1 bulan untuk melunasi hutang-hutang ini. Jika tidak, aku akan meminta pada perusahaan untuk mentransfer sebagian gajimu ke rekeningku sebagai ganti rugi hutang-hutang kalian." Rani berkata dengan berani.
"Beraninya kamu!" tunjuk Kevin pada mantan kekasihnya itu.
Rani tersenyum, dia menatap tajam Kevin. "Sangat berani," jawab Rani penuh penekanan.
"Ayo, Mas!" ajak Rani pada suaminya untuk masuk ke dalam kamar pengantin.
Kevin menatap punggung Rani dan Dika yang menghilang di balik pintu. Pria itu mengepalkan tangannya dengan rahang berlapis. Ariella yang tidak sadar jika suaminya sedang marah justru terus merengek.
"Vin, aku mau tidur di sana, itu kamar pengantin kita," rengek Ariella.
Kevin meremas frustasi, lalu membentak Ariella. "Diam!" bentaknya, "semua ini salahmu," kata Kevin dengan menunjuk wajah Ariella.
"Kok jadi aku yang salah?" tanya Ariella bingung.
"Seandainya kamu tidak terus merayuku, mungkin sekarang aku sudah menikah dengan Rani dan tidak akan mengalami kesulitan seperti ini," kata Kevin marah.
"Jangan salahin aku dong, kamu sendiri yang tidak hati-hati sampai Rani memergoki kita," kata Ariella tidak mau kalah.
"Jangan sembarang bicara, kamu pikir aku tidak tahu," ucap Kevin dengan tatapan tajam istrinya.
"Ta-tau apa?" tanya Ariella marah.
"Kamu sengaja mengirimkan alamat hotel kita saat itu, iya kan?" selidik Kevin.
Ariella melangkahkan kakinya mundur hingga tubuhnya menyentuh tembok. Kevin semakin tajam. Ariella tampak takut karena ternyata Kevin mengetahui rencananya.
"Jawab!" Bentak Kevin.
"Aku… aku…," ucap Ariella menambahkan.
"Ya atau tidak?" selidik Kevin.
Ariella mengangguk, Kevin meraup wajahnya kasar. Dia memukul udara untuk meluapkan amarahnya. Ariella membujuk suaminya agar tidak lagi marah.
"Jangan marah sayang, aku melakukannya karena aku tidak mau kehilangan kamu," ucap Ariella manja.
"Tapi tidak seperti ini juga Real, kamu lihat Rani meminta ganti rugi untuk acara ini?" ucap Kevin.
“Tenang saja, gaji kamu kan besar, aku juga akan membantumu untuk melunasinya,” rayu Ariella.
"Apa benar?" Kevin tanya memastikan.
Ariella mengangguk lalu tersenyum. "Tentu saja," jawabnya yakin.
Kevin senang mendengarnya, dia memeluk Ariell karena merasa bersalah telah memarahinya. Kevin pikir, dia tidak salah memilih istri. Meskipun Ariella tidaklah secantik Maharani.
****
Di dalam kamar pengantin, Dika mengajukan alasan Rani memintanya untuk menjadi suaminya. Rani mengatakan akan menjelaskannya setelah pernikahan ini terjadi. Kini Dika menuntut jawaban itu.
"Saat itu…."
*Flashback on*
Sore itu, jalanan ibu kota sangatlah padat karena jam yang sama pulangnya karyawan dari tempat kerja. Rani, yang juga sedang dalam perjalanan menuju rumah setelah lelah seharian bekerja terjebak macet. Dalam perjalanan, Rani menghubungi calon suami yang seharian tidak terlihat di kantor, mereka memang bekerja di tempat yang sama.
"Kok nggak aktif sih," ucap Rani lirih.
Menjelang hari pernikahannya yang tinggal menghitung hari, Rani sangat sulit berkomunikasi dengan calon suaminya. Rasa rindu terus menggebu di dalam hatinya. Mereka memang sering bertemu di kantor, tapi tidak pernah punya waktu untuk sekedar ngobrol berdua.
Tiba-tiba saja, Rani menjadapakan kiriman lokasi dari adik tirinya, Ariella. Rani mengernyitkan keningnya karena tidak biasanya adiknya itu mengirimkannya pesan apalagi mengirimkan lokasi. Karena penasaran, akhirnya Rani pergi ke lokasi tersebut.
“Tidak jauh kok, jalan kaki aja sampai kali ya,” gumam Rani, lalu turun dari angkutan umum.
Rani berjalan menuju alamat itu, tidak butuh waktu lama, hanya sekitar 10 menit saja. Rani telah tiba di lokasi yang ditunjukan Ariella. Rani sedikit heran karena Ariella mengirimkannya alamat hotel, Rani mulai berfikir buruk jika adiknya itu akan menjebaknya. Karena mereka tidak pernah akur selama ini.
“Pulang aja kali ya,” gumam Rani, dia merasa ragu untuk masuk.
Saat Rani mengganti badannya, kaca matanya menangkap mobil yang mirip dengan milik calon suaminya. Rani memastikannya dengan melihat plat yang lebih jelas pada mobil itu. Rani bingung kenapa Kevin ada di hotel itu.
Akhirnya, dengan penuh keberanian, Rani melangkahkan kakinya ke hotel itu. Dia bertanya pada resepsionis nomor kamar yang dikirim Ariella. Setelah mengetahui letak nomor kamar itu, Rani segera menuju lokasi.
Tiba di depan kamar yang ditunjuk resepsionis, Rani dengan ragu memegang gagang pintu itu. Rani menyakinkan dirinya jika apa yang dia pikir tidak benar. Rani memutar gagang pintu itu seraya tersenyum.
Alangkah kagetnya Rani saat melihat dua manusia sedang memadu kasih di kamar itu. Bahkan mereka tidak menyadari kehadiran Rani di sana. Mereka bermandikan peluh dengan terus mengeluarkan desahan menjijikan.
Tubuh Rani terasa lemas setelah melihat pemandangan itu. Di mana calon suami dan adiknya telah melengkapinya. Namun, bukan Rani jika bodoh. Gadis itu mengeluarkan ponselnya lalu mengambil beberapa foto yang akan dia jadikan sebagai barang bukti.
Setelah puas dengan aktivitas menambah mereka. Kevin baru menyadari kedatangan Rani yang mengintai mereka di halaman pintu. Kevin terlonjak kaget dengan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Rani…," ucap Kevin menambahkan.
"Kurang ajar! Brengsek kalian!" murka Rani, lalu menghampiri mereka dan menarik selimut itu.
"Laki-laki brengsek, bajingan kamu Kevin!" teriak Rani.
"Ran, aku bisa jelasin, ini nggak seperti yang kamu lihat," kata Kevin, mencoba membela diri.
"Jelasin apanya? Ini sudah jelas. Dan kamu jalang!" Rani menunjuk adiknya.
"Aku tidak menyangka kamu tega melakukan ini pada Kakakmu sendiri, kamu sama seperti ibumu!" kata Rani keras lalu menarik rambut Ariella.
"Ampun Kak, maaf!" Rintih Ariella.
"Rani, lepaskan!" bela Kevin pada Ariella.
"Kamu membela dia?" tanya Rani, dia tidak menyangka Kevin setega itu.
"Ini bukan salahnya, ini salahku," kata Kevin yang membela Ariella.
"Kalian sama-sama biadab, kalian menjijikan!" Emosi Rani tidak dapat dikendalikan lagi.
Rani menghajar Kevin dan Ariella secara bergantian. Akan tetapi, mereka saling melindungi dan membuat Rani semakin murka. Rani kembali menarik rambut Ariella hingga sebagian rambutnya terlepas dari kepalanya. Rani melemparkan rambut itu ke wajah Kevin.
"Cukup Rani!" Bentak Kevin.
Rani terlonjak kaget, belum pernah Kevin meninggikan suaranya seperti ini. Hati Rani benar-benar sakit. Matanya sudah berkaca-kaca dan bersiap untuk menangis.
Ariella menangis sejadi-jadinya karena merasakan kepalanya yang begitu sakit akibat Rani menarik rambutnya. Kevin memeluk Ariella di depan mata Rani. Di sini, Rani terlihat seperti antagonis dan Ariella yang tersakiti. Padahal, Ranilah yang menjadi korbannya saat ini.
"Kamu membentakmu?" tanya Rani dengan suara bergetar.
"Maafkan Aku Ran, lebih kamu pulang. Nanti aku akan jelaskan semuanya," kata Kevin yang masih tidak mengakui kesalahannya.
"Tidak perlu!" ketus Rani.
Setelah apa yang dilihatnya tadi, hati Rani teramat mati. Dia melepaskan cincin pertunangannya dari jarinya lalu melemparnya ke arah Kevin dan Ariella. Hatinya sudah terlanjur sakit untuk sekadar mendengarkan penjelasan dari Kevin.
"Pernikahan kita batal." Kata Rani setelah melempar cincin itu.
"Ran, jangan Rani! Aku bisa jelasin," pinta Kevin, tapi diabaikan oleh Rani.
Rani melenggang pergi dengan air mata yang tidak bisa di bendung lagi. "Rani tunggu!" teriak Kevin.
Pria itu ingin mengejar Rani. Namun, Ariella menahannya untuk tidak pergi. Dia bersandar di bahu Kevin dan bermanjaan.
"Jangan pergi!" pinta Ariella.
"Benar, aku harus kejar Rani. Dia tidak bisa membatalkan pernikahan kita," kata Kevin.
“Biarkan saja, kan ada aku yang siap menggantikannya,” kata Ariella.
"Tapi…,"
"Sial!!" Potong Ariella.
"Kamu tidak lihat, kamu kan sedang tidak memakai pakaian," kata Ariella.
Kevin baru wadah jika dirinya masih telanjang bulat. Niat ingin mengejar Rani sudah gagal. Kini Kevin hanya mampu pasrah kehilangan calon istrinya.
*****
Rani berlari tak tentu arah. Dia menangis sepanjang jalan. Hatinya sangat hancur sampai gadis itu tidak tahu bagaimana cara menghentikan air mata ini agar tidak terus mengalir. Rani menjatuhkan tubuhnya di trotoar, dia tidak peduli tatapan orang-orang yang memandangnya aneh.
"Kevin, kamu jahat!" Teriak Rani di sela tangisannya.
Rani berusaha bangkit kembali setelah lama menangis di trotoar itu. Dia kembali melanjutkan langkahnya entah ke mana. Rani tidak ingin pulang ke rumahnya karena pasti Kevin akan mencarinya ke sana.
Gadis itu berjalan cukup jauh. Hingga hari telah berganti menjadi malam dan semakin larut. Rani terus mengikuti kemana langkah kakinya akan membawanya pergi. Sampai sebuah suara menyadarkannya dari lamunannya sepanjang jalan ini.
"Tolong!"
Suara teriakan minta tolong terdengar tidak jauh dari telinga Rani. Gadis itu menengok ke kanan dan ke kiri untuk menemukan sumber suara. Tiba-tiba, matanya menangkap gang kecil di seberang jalan sana. Rani segera berlari menuju gang itu dan benar saja, dia melihat dua orang preman tengah berusaha merebut tas milik pria yang sudah tak berdaya dengan lebam di wajahnya. "Tolong rampok!" teriak pria yang tengah di keroyok itu. Dia berusaha melindungi tas yang ingin direbut preman-preman itu. "Hei ... lepaskan dia!" Teriak Rani yang tiba-tiba muncul di belakang mereka. "Cewek, cari mati dia," ucap salah satu preman itu. Rani mengumpulkan keberaniannya untuk melawan dua preman itu. Meskipun dia sendiri juga merasa sangat takut melihat wajah mereka yang menyeramkan. Rani menggulung lengan bajunya lalu berdecak pinggang. Akan tetapi, gadis itu menurunkannya kembali dan mundur. Salah satu preman itu maju mendekati Rani. Gadis itu berusaha melawan rasa takutnya sambil memikirkan cara
Maharani membisikkan sesuatu pada telinga Dika. Sebuah rencana yang telah dia susun dengan rapi untuk membuat Kevin menyesal. Dika membelalakkan matanya, lagi-lagi ide gila Rani membuatnya tercengang. "Wanita gila," ucap Dika meremehkan. "Hei Mas Dika, jaga bicaramu, aku ini bosmu." Rani mulai menyombongkan diri lagi. Dika terkekeh mendengar, dia lupa jika hanya menjadi suami bayaran saja. "Baiklah, Ibu bos," kata Dika seolah patuh padanya. Tiba-tiba saja, Rani memberikan satu bantal, satu guling dan selimut kepada Dika. "Untuk apa?" tanya Dika bingung. "Tidak mau? Ya sudah." Rani kembali mengambil perlengkapan tidur tersebut. "Sana! Mas Dika tidur di sofa saja," kata Rani dengan mengibaskan tangannya. Dika mengernyitkan keningnya. "Kenapa? Kita kan sudah halal," kata Dika lantas naik ke atas kasur bersama Rani, tapi Rani justru mendorongnya untuk menjauh. "Ih, jangan tidur di sini!" kata Rani kesal, "Mas Dika tidur di sofa saja, kita kan cuma nikah pura-pura," imbuhnya sambil
"Mas, kamu ngapain?" Suara Rani terdengar dari belakang tubuh Dika.Mahardika menoleh sambil tersenyum lalu meletakan ponsel Rani. "Pinjam ponselmu ya, aku perlu menghubungi seseorang masalah pekerjaan," kata Dika yang tentu saja hanya beralasan. Tiba-tiba saja, Rani memasang wajah sedihnya, Dika terheran kenapa istrinya cepat sekali berubah-ubah ekspresi. "Kenapa kamu?" tanya Dika bingung. "Saya kasihan sama Mas, ponsel saja tidak punya. Nanti setelah gaji Mas saya bayar, Mas beli ponsel baru ya," ucap Rani yang membuat Dika membulatkan matanya.Rasanya ingin sekali tertawa, Rani seperti sedang berbicara pada anak kecil. "Kok Mas malah ketawa sih, aku ini kasihan loh sama, Mas," tutur Rani lalu memajukan. Tawa Dika pun lepas. “Ha ha … maaf maaf, kamu ini ….” Tangan Dika terulur mencubit hidung mancung Rani. "Aku hari ini harus pergi, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," kata Dika, lalu berdiri dan merapikan penampilannya. Meskipun hanya menggunakan kaos tipis dan celana kema
"Mas, aku duluan ya," pamit Rani yang buru-buru turun dari angkutan. "Jangan buru-buru!" "Gak bisa Mas, udah telat. Nanti bosku marah," kata Rani yang terus mengulurkan tangannya, tapi Dika masih belum menyambut tangannya. "Salim, Mas!" ucap Rani sedikit kesal. Dika terkekeh, laki-laki di dalam angkot itu menyambut tangan istrinya dan Rani menciumnya takzim. "Memang kenapa kalau terlambat?" tanya Dika. "Nanti dia marah. Dia itu galak, sombong dan arogan. Sudah ah, ngobrol terus aku tambah telat," kata Rani khawatir. Mata Dika melotot mendengar Rani menghina bosnya sendiri. "Memang kamu sudah tahu siapa bosmu itu?" tanya Dika sekedar basa-basi. "Belum sih, tapi kelihatannya begitu. Sudah ah... assalamualaikum, Mas," pamit Rani kemudian berlari terburu-buru untuk masuk ke dalam kantor. Dika juga turun dari angkutan itu setelah membayar ongkosnya. Namun, mata Dika tertekan pada kursi yang Rani duduki tadi. sayangnya, kartu nama Rani tertinggal. Dika mengambilnya kemudian ke
"Hai, Kevin," sapa Dika ramah. Kevin menelisik penampilan Dika yang menggunakan seragam office boy dan membawa alat kebersihan. Laki-laki itu tertawa menyadari jika suami mantannya ini tidak lebih baik darinya. Kevin menyilangkan tangannya di dada dan mengangkat wajah angkuhnya. "Jadi ini pekerjaanmu?" tanya Kevin seperti meledek. "Ya seperti yang kamu lihat. Alhamdulillah pekerjaan ini halal," jawab Dika santai. "Aku kira, Rani akan jadi sutradara atau CEO, ternyata… Rani Rani…." Tawa Kevin semakin pecah. "Memang apa salahnya dengan pekerjaanku?" tanya Dika lagi. "Ya tidak ada yang salah. Tapi, Rani yang salah, meninggalkanku dan justru memilih laki-laki sepertimu. He, beda laki kasta!" ketus Kevin mencemooh Deka. Dika menarik sedikit sudut yang terkena dan kepala berguncang. Laki-laki itu adiknya menatap iparnya dengan tenang meskipun hinaan telah terlontar untuknya. "Sudah ketawanya?" tanya Dika begitu santai. Kevin langsung memasang wajah datarnya. Ucapan Dika barusan sepe
Mata Bunga membulat. Tentu saja wanita itu sangat terkejut. Setelah menghilang selama satu minggu, dan kini setelah kembali, Dika mengatakan telah memiliki istri. "Serius, Pak?" tanya Bunga memastikan. "Apa aku harus menunjukan buku nikah kami?" kata Dika. Bunga yang belum percaya hanya diam saja tidak menjawab iya ataupun tidak. Dika mengeluarkan sebuah foto dari dalam sakunya. Laki-laki itu sengaja membawanya untuk di tunjukan kepada Bunga jika wanita itu tidak percaya. "Wah rupanya Bapak sudah menikah. Kapan? Dan kenapa tidak ada berita yang meliput ini? Jika wartawan tau, ini akan menjadi berita hot sepanjang hari," papar Bunga setelah melihat foto tersebut. “Ceritanya panjang, yang jelas aku minta untuk kamu memberikan data mengenai Maharani Ayunda,” kata Dika. "Baik, malam ini saya kirim ke email bapak," ucap Bunga menyetujuinya. "Satu lagi," ucap Dika, "jangan sampai ada yang tahu tentang pernikahanku dengan Rani, termasuk Mama dan Papa," sambungnya lagi. "Baik, Pak.""
Suara berat yang terdengar lembut itu membuat sepasang mata coklat berbinar. Rani menoleh saat Dika memanggilnya kembali. Laki-laki yang sedang duduk di ujung ranjang itu menatapnya begitu dalam. "Ada apa, Mas?" tanya Rani, suaranya tak kalah lembut. "Oh tidak, lupakan saja," jawab Dika sambil tersenyum. "Oh, baiklah." Rani kembali melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam kamar mandi. 'Ada apa denganku? Kenapa aku jadi peduli pada gadis itu? Ucapan Mama Retta … apa karena ini?' batin Dika. Sedangkan beberapa detik kemudian, Dika mendengar suara senandung dari kamar mandi. Suara yang sangat merdu meskipun bernyanyi dengan nada yang asal-asalan. Laki-laki itu tersenyum mendengar suara yang berasal dari Rani itu. Dika mengitari kamar Rani, laki-laki itu mengamati foto dan barang-barang yang terpajang di dalam kamar itu. Dika juga membuka laci-laci dan lemari milik Rani, berharap menemukan sesuatu yang bersangkutan dengan informasi istrinya. Dika menemu KTP milik Rani. "Maharani Ayun
Sepasang mata coklat menoleh saat suara seseorang memanggilnya dari belakang. "Iya," ucap Rani menjawab panggilan orang tersebut. Kevin mendekat ke arah Rani, dengan tatapan yang sulit diartikan. Mata laki-laki itu menelisik penampilan Rani seperti menelanjangi. Rani, dengan wajah datarnya kepada Kevin, menatap tajam laki-laki yang telah menjadi masa lalunya itu. "Ada apa?" tanya Rani datar. Langkah yang semakin dekat, Kevin mengambil piring di tangan Rani. "Mau apa kamu?" tanya Rani lagi, pasalnya Kevin semakin mendekatkan tubuhnya. "Kamu sengaja, ya?" Bukannya menjawab, Kevin justru melemparkan pertanyaan yang tidak Rani mengerti. "Sengaja? Maksudnya?" tanya Rani bingung. "Untuk apa kamu pakai pakaian seperti ini?" tanya Kevin."Ada apa dengan pakaianku? Tidak ada yang salah sepertinya," ucap Rani. "Tidak ada yang salah katamu? Selama ini kita berpacaran bahkan sampai tunangan, kamu tidak pernah dandan secantik ini dan …," Kevin sengaja menghentikan ucapannya. "Dan?""Dan pa