Ambar terpaksa kembali ke Villa Arum Dalu. Ia tak mau membongkar kopernya. Ia masih berharap bisa meninggalkan rumah mewah yang sudah ia tempati hampir 3 tahun itu. Ia kini hanya berbaring tidur-tiduran malas melakukan apapun. Ia hanya bermain game di ponselnya.
Sandy melakukan aktivitasnya membersihkan diri setelah lelah bekerja seharian. Lagi-lagi ia tak mendapatkan air hangat dan juga baju ganti yang biasanya disiapkan Ambar. Hatinya kesal. Setelah memilih sendiri pakaian dan mengenakannya ia melangkah ke dapur dan berharap ada makan malam. Tak ada makanan apapun yang tersaji di sana. Ia pun bergegas pergi ke kamar Ambar. Ia melihat istrinya itu sudah ketiduran dengan ponsel ada di dekatnya. "Bangun Ambar! buatkan aku makan malam," ujar Sandy mengguncang tubuh Ambar. Ambar terbangun dengan gelagapan. "Oh iya aku belum memasak hari ini," ujarnya masih belum terlalu sadar. Namun begitu melihat Sandy dengan jelas wajahnya langsung murung. "Kita akan cerai. Belajarlah untuk memenuhi kehidupanmu sendiri. Sewa pelayan atau bagaimana," keluhnya kembali memejamkan mata. "Kata siapa aku setuju bercerai. Ayo masaklah. Aku lapar," ucap Sandy tak peduli dan kembali mengguncang tubuh Ambar. Ambar menyugar rambutnya. Ia sendiri saat ini juga lapar. Mau tidak mau ia juga harus memasak sesuatu. Suaminya bahkan tak mau menyewa pelayan untuk meringankan pekerjaannya. Dengan alasan alergi masakan luar, Sandy membuatnya harus memasak tiada henti. Kenapa ia baru menyadari betapa menyebalkannya pria di depannya ini. Sangat manja dan juga kekanak-kanakan. Pesan makanan lewat aplikasi juga harus pakai uangnya sendiri. Dan tentu itu sangat mahal. "Ingat aku memasak ini memang karena aku juga lapar. Bukan aku ingin memasakkannya untukmu," tukas Ambar keluar menuju dapur. Saat Ambar mengeluarkan bahan-bahan masakan ia mendengar bel pintu di depan. Sandy segera membukakannya. "Ayo masuklah! Ke ruang kerjaku saja. Kita bisa melanjutkan apa yang belum tuntas siang tadi. Sebentar lagi Mama dan juga Nurya akan datang juga," sambut Sandy terdengar ramah. Ambar penasaran siapa yang datang mendengar keramahan Sandy. Ia tak mengira yang datang adalah Rosemala. Ia pernah bertemu sekali di acara berkabung kematian kakek Murtopo. Hatinya berjengit. Wanita itu sudah berani datang ke rumahnya. "Oh iya kebetulan Ambar. Bikinkan minuman untuk tamu kita. Kau tahukan dia siapa?" kata Sandy saat berpapasan dengannya di sekat ruangan. Wajah Sandy tampak datar seakan mereka tidak sedang bertengkar. Rosemala melihat Ambar dan tersenyum. "Kita berjumpa lagi Ambar. Aku salut dengan dietmu. Terakhir kau tak sekurus ini. Siapapun pasti akan betah di sini," ucapnya sambil menyisir rambut sebahunya yang tergerai sambil mengedarkan pandangan. "Tentu saja aku betah di sini. Aku nyonya di sini. Anda tamu bukan? silahkan langsung ke ruang kerja. Minumannya akan segera datang," ucap Ambar menggertakkan gigi. Rosemala hanya mengangkat bahu. Wajahnya terangkat. Ia berlalu dengan pandangan meremehkan. Ambar mencoba tak peduli. Ia meraih sayur-mayur dan memotongnya dengan geram. Ia tak berniat untuk membuat minuman untuk mereka. Hatinya semakin kesal ketika sayup-sayup terdengar tawa dari ruang kerja. Seingatnya ia tak pernah melihat Sandy tertawa. Buru-buru ia mengambil semangkok masakannya dan membawanya menuju kamarnya. Tapi baru saja ia akan masuk kamar terdengar dua orang masuk dari pintu depan. Rupanya pintu depan tadi dibiarkan terbuka. Tampak bu Mita dan Nurya berjalan mendekatinya. "Ambar mau kemana kamu? Astaga jam segini kamu mau tidur. Apa begini dirimu menyambut keluarga suamimu," ujar bu Mita menatap Ambar sinis. "Ini jam istirahatku. Kata siapa orang bisa bertamu di jam segini?" balas Ambar kini menguatkan hatinya untuk membantah mertuanya. "Kau mengusir kami. Oh tidak bisa. Sandy adalah pemilik rumah ini. Jadi kami berhak ke sini kapan saja," ujarnya angkuh. Ambar mendesah berat. Kenapa ia harus dihadapkan banyak orang menyebalkan sekaligus. "Ma kelihatannya Ambar baru selesai masak. Aku belum makan malam," sahut Nurya memandang makanan di piring Ambar. "Kami akan mengadakan rapat terbatas di ruang kerja suamimu. Jadi masaklah yang banyak dan juga buatkan minuman. Kau harus bisa melayani tamu dengan baik," perintah bu Mita langsung pergi ke ruang kerja Sandy. "Bisa sih kami mengajakmu ikut. Tapi apa kau paham dunia bisnis? Tidak bukan. Jadi ringankan beban kami dan bekerjalah di dapur," ujar Nurya sambil menyusul ibunya. Ambar tak menyahut. Ia masuk kamar dan menutupnya dengan keras. Ia segera memakan makan malamnya dengan membabi buta. Ia sangat marah. Dipikirnya siapa dirinya. Berhenti kosplay jadi menantu idaman selama 3 tahun. Mereka hanya memanfaatkannya saja. Beberapa saat kemudian terdengar ketukan pintu. Karena Ambar tak membuka pintu Sandy membukanya sendiri. "Ambar aku tahu kamu marah. Jangan seperti anak kecil. Buatkan mereka makanan. Kami membicarakan bisnis penting. Kau juga tak akan tahu bila ikut terlibat. Jangan biarkan Rosemala sampai ke dapur kita," ucap Sandy dengan tatapan dingin. "Ok. Aku akan memasak dan melayani kalian kali ini. Ini terakhir. Karena aku akan jadi mantan istri dan juga mantan menantu di sini. Bayarannya 3x jatah bulananku," seru Ambar akhirnya. "Ok," sahut Sandy bergegas kembali ke ruang kerjanya. Anggap saja dapat orderan pekerjaan, hiburnya dalam hati. Sungguh keterlaluan sekali. Dan malam itu Ambar sibuk memasak dan membuat minuman. Setelah memasak dan menyajikan makanan di meja makan ia pun langsung pergi ke kamarnya. Ia sangat lelah dan ingin tidur. Tengah malam ia merasakan pergerakan di samping tempat tidurnya. Kemudian hembusan nafas menimpa tengkuknya membuatnya langsung membuka mata. "Sandy, ngapain kau ada di kamarku," ujar Ambar terkejut. "Apa salah kalau aku tidur seranjang dengan istriku," ucap Sandy melingkarkan tangannya ke tubuh Ambar. "Tidak lagi. Kau tak bisa memaksaku. Kita akan bercerai. Kau kira aku tak serius!!" kata Ambar dengan nada tinggi. Ia mendorong dan menendang tubuh Sandy hingga menyingkir dari ranjang. "Alasan apa kau ingin bercerai? apa kau sudah punya seseorang?" tanya Sandy dengan pandangan suram. Jujur ia jadi ketagihan rasa tubuh Ambar sejak malam kemarin. "Apa harus punya seseorang? kemana saja kau malam-malam yang lalu. Kau selalu memilih tidur di kamar sendiri. Kau ingin merayuku agar aku tetap mau jadi budakmu? Tidak akan lagi. Jadi keluar kamarku sekarang," tukas Ambar seraya mendorong Sandy sampai keluar kamar. Setelah Sandy keluar ia langsung menguncinya. Ia tak mau kecolongan lagi.Makan malam pun berlangsung santai dan penuh perbincangan seru. Sandy dan ayahnya hanya sesekali terlibat. Para perempuan lagi bersemangat membicarakan brand kosmetik baru mereka. Baru kali ini perusahaan Sudiro terjun ke bisnis kosmetik. Tiba-tiba Sandy merasa sangat pusing. Pandangannya memburam. Mungkin dia memang masih belum fit benar. Ia masih sering diserang rasa mual aneh itu. Ia melihat Rosemala mendekatinya dan ia tak mampu lagi mengingat dengan benar. Tubuhnya terasa gerah dan panas. Sandy mengernyitkan dahinya. Matanya tak ingin terbuka karena silaunya matahari dari jendela kamar. Ingatannya mulai berputar samar-samar. Semalam ia tengah makan malam dan kemudian ia sempoyongan ke kamar dengan Rosemala yang memapahnya. Beberapa scene membuatnya merasa bukan dirinya. Ia melihat Rosemala yang mulai menggodanya. Kemudian ia jatuh dan tenggelam dalam renjana birahi yang berasal dari rasa panas di tubuhnya. Ia tersentak bangun begitu sadar sepenuhnya apa yang telah diperbuatn
Ada banayak harapan di mata Kemuning saat Ambar ada dalam pelukannya. "Ambar, aku lihat rumah tanggamu dengan Sandy tidak berlangsung baik-baik saja. Yang menculikmu dulu itu memang bukan suamimu, tapi aku tahu ada yang menginginkan dirimu celaka. Aku tak tahu yang terbaik untukmu. Aku ingin tahu apa yang akan kamu rencanakan? Apa kau serius ingin bercerai dengan Sandy?" tanya Kemuning tatkala mereka saling melepaskan diri dan kembali duduk. "Aku ingin bercerai dengan Sandy dan memulai hidupku sendiri, ibu," jawab Ambar singkat. Sungguh ia merasa enggan menceritakan masalah rumah tangganya pada ibunya yang baru saja dekat dengannya. "Aku tak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tanggamu. Menikah dengan orang kaya ternyata juga tak menjamin semuanya. Aku hanya ingin menawarkan padamu sebuah pekerjaan. Kalau kau bersedia, kau bisa bekerja di perusahaan kosmetik MaryGold. Kebetulan aku punya teman di sana," tawar Kemuning berharap Ambar akan bisa segera move -on dari masalah ru
"Jangan menyebut Rosemala lagi. Mari kita fokus dengan pernikahan kita. Hentikanlah permainan ini. Mari kita bersikap lebih dewasa," seru Sandy berbisik di telinga Ambar. Ambar sedikit merinding. Sandy dengan cepat mengambil kesempatan untuk segera menciumnya. Buru-buru ia menjauhkan tubuhnya dari Sandy. "Tidak lagi Sandy," sentak Ambar waspada. tak boleh ia terpedaya lagi oleh bujuk rayu pria itu. Bayangan betapa mesranya Sandy saat memberikan kalung berlian itu pada Rosemala membuat hatinya perih. "Mengapa?" tanya Sandy kembali mendekat. Kali ini ia berhasil memagut leher jenjang Ambar. Ambar langsung tersengat. Sentuhan Sandy sulit untuk ditolak. "Please Sandy," rintih Ambar memberontak dalam pelukan Sandy yang kian erat. Otaknya mulai berkabut ketika Sandy kembali memciumnya dengan penuh sinar gairah. Tidak ketika ia sudah membulatkan tekad untuk berpisah. Ia harus segera pindah kalau tidak maka selamanya ia akan terjebak dalam hubungan menyakitkan tanpa akhir."Awc!" pekik Sa
"Sudah berapa tahun berlalu, sejak terakhir kali Kemuning datang untuk mengambilmu," seru Nenek dengan tatapan menerawang. Ambar tak bisa berkata-kata. Nama ibunya selalu membuatnya sesak. Ada keinginan untuk dekat dengannya, ada juga keinginan untuk membencinya. "Nenek sudah tua. Kamu juga jauh lebih dewasa sekarang. Saatnya menyerahkan semua keputusan padamu Mbar. Maafkan nenek, selama ini yang terlalu mengekangmu dan banyak memberimu larangan," ucap neneknya dengan tangan membelai lembut rambut Ambar. "Nenek jangan berkata begitu," tukas Ambar seraya memeluk neneknya dengan haru. "Temui ibumu. Perbaiki hubungan kalian," ucap nenek tersenyum. Ambar mengangguk dengan penuh kelegaan. Kini tidak ada lagi yag membuatnya ragu untuk bertemu dengan ibunya. Ia akan menghadapi ibunya apapun yang terjadi.Terakhir kali ia bertemu ibunya, tatkala pemakamam ayahnya. Ayahnynya meninggal saat Ambar berusia 10 tahun. Ayahnya ditemukan mati karena minum minuman keras oplosan. Dari dulu ayahnya
Malam itu Ambar menunggui Sandy menginap di klinik. Sandy ingin malam ini hubungannya dengan Ambar bisa mengalami kemajuan. "Mbar tolong, aku kedinginan. Naikkan selimutku," ucap Sandy pura-pura menggigil kedinginan. Ambar kini tak bisa membedakan apakah Sandy hanya pura-pura atau memang kedinginan. Dengan enggan ia segera membenah selimut Sandy. "Mbar apa kau tak penasaran, kenapa aku mual terus?" tanya Sandy melhat Ambar yang begitu cuek. "Dokter sudah mengatakan kau hanya salah makan," kata Ambar tak bisa menebak jawaban lain. Ia kembali fokus pada ponselnya "Kau tahu apa kata dokter pribadiku?" tanya Sandy lagi menatap Ambar. "Tentu saja aku tak tahu." Ambar berusaha tak peduli "Mbar, apa kau hamil?" tanya Sandy. Ambar langsung sedikit terkejut. Darimana Sandy tahu kalau dia hamil? Mungkinkah rumah sakit tempatnya kemarin di rawat, bisa membocorkan informasi seorang pasien. "Memang kenapa kalau aku hamil?" tanya Ambar bertanya balik. Ia masih tak ingin kehamilannya diket
Ambar melihat Sandy memejamkan matanya di ranjang. Ia tak yakin Sandy benar-benar sakit."Minumlah, air oralit ini," ujarnya meletakkkan segelas campuran gula dan garam di meja samping ranjang. Sandy tak menyahut. Ia mencoba mengamati Sandy lebih dekat. Wajah pria itu tampak pucat dan bibirnya kelihatan kering. Ia memutuskan untuk mengguncang bahunya pelan. Ada kekhawatiran di hatinya, jangan-jangan suaminya itu pingsan."Sandy," serunya. Pria itu sama sekali tak bereaksi."Jangan bersandiwara," ujarnya sedikit panik. Nenek yang sejak tadi memerhatikan dari ambang pintu, kemudian masuk."Apa yang terjadi pada suamimu. Sejak datang kemari tampaknya sudah kurang sehat," kata Nenek kini meletakkan tangannya di dahi Sandy."Suhu tubuhnya sangat dingin.""Dia baik-baik saja Nek," sahutnya mencoba menghibur diri."Apa kalian bertengkar?" tanya Nenek menatapnya. Ia tak ingin menjawab."Nek aku sakit," ucap Sandy tiba-tiba, yang lebih mirip rengekan. Mata pria itu sedikit terbuka. Ambar langs