Ambar jadi tak bisa untuk melanjutkan tidur kembali. Ia pun kemudian mencari informasi tentang perceraian di mesin pencarian. Ia harus mempunyai alasan yang kuat agar gugatan cerai segera di terima. Akan mudah lagi jika pasangan juga kompak dan tidak mempersulit. Maka dalam tempo sebulan ia akan resmi bercerai.
Pukul 4 dini hari ia beranikan diri untuk menghubungi salah satu pengacara di layanan hukum online. Dan yang keluar adalah nasehat agar ia berpikir ulang dan melakukan hal-hal manis yang mungkin bisa membuat pernikahannya bertahan. Misalnya saja peringatan hari pernikahan. Ya kebetulan hari ini adalah hari ulang tahun pernikahanya dengan Sandy yang 3 tahun. Ia sedikit ragu apa ia akan mengikuti saran pengacara itu atau tidak. Jadi ia menghubungi Sita. "Sit gimana menurutmu?" "Sifat seseorang itu tak akan berubah Mbar. Siapa yang bisa merubah sifat arogan Sandy. Bos muda pewaris Sudiro grup. Kecuali mungkin kau bisa jadi orang yang paling dicintainya. Orang yang dicintai akan jadi pawangnya," komentar Sita pesimis. "Mungkin ini yang terakhir deh," ujar Ambar akhirnya. "Aku sih berharap kamu bisa bahagia dengan Sandy. Tapi ya jangan dipaksakan. Lakukan saja sesuai kehendak hatimu. Kurasa wantu 3 tahun sudah cukup untuk membuktikan semuanya," "Ya kau benar Sita. Aku akan pergi membeli bahan kue peringatan pernikahan. Meskipun aku ragu juga Sandy akan simpati dan meninggalkan Rosemala," kata Ambar murung. Ambar tak keluar kamar sama sekali pagi itu. Sandy juga tak mengganggunya lagi. Ambar keluar saat ia rasa Sandy sudah berangkat kerja. Ia mendengar deru mobilnya meninggalkan Villa. Perlahan ia mengamati seluruh ruangan. Tak ada alasan untuknya tinggal lebih lama. Tapi ia akan memberi kesempatan Sandy nanti malam. Hampir 2 jam ia menjalankan rutinitas pekerjaan ibu rumah tangganya. Paling lama ia menghabiskan waktu membersihkan meja makan dan juga dapur. Bekas makan tadi malam dan juga bekas ia memasak. Ia masih bersyukur karena ketiga tamu yang tak tahu diri itu tak menginap. Setelah menyelesaikan semuanya ia pun bersiap pergi. Ia menghubungi Pak Karim untuk mengantarkannya ke toko grocery milik keluarga Sudiro. Ia akan berbelanja bahan kue dan masakan khusus untuk merayakan hari ulang tahun pernikahannya. Saat ia selesai ponselnya berdering. Ternyata temannya dari kampung bernama Mursid menelpon. "Kita bisa bertemu. Ku Share lokasinya. Tapi aku sungguh tak punya uang," ujarnya pada temannya itu. Temannya seorang pemuda seusianya bernama Mursid. Karena sungkan tak bisa memberi pinjaman ia berinisiatif untuk mentraktirnya mi instan di depan toko. Ia segera melambaikan tangan ketika melihat Mursid telah sampai di pelataran toko. Belum sempat melihat Mursid mendekat sebuah tangan membungkam mulut dan hidungnya. Pandangannya pun menggelap. ****** Di kantor CEO perusahaan Sudiro tampak Sandy bersiap akan pulang. Rosemala masuk ke dalam ruangan. "Kau akan segera pulang atau kau ada acara lain?" tanya Rosemala. "Aku ingin segera beristirahat saja.," seru Sandy meraih jasnya. Rosemala meraih lengan Sandy. "Apa perlu aku temani? Banyak tempat peristirahatan yang baru dan begitu nyaman. Sejak aku pulang dari luar negeri kita belum pernah pergi bareng," seru Romala dengan lembut dan mendayu. "Maaf Mala. Hari ini aku hanya ingin pulang saja. Lain kali mungkin," tolak Sandy yang sedari tadi tampak murung saja. Rosemala menghela nafas dan berusaha tersenyum. "Ya nggak apa-apa. Kalau begitu kita bisa pulang bareng saja," serunya menyembunyikan kekesalannya. Hatinya teriris mendengar Sandy memilih pulang. Pulang artinya ke Villa Aeris dimana ada seorang istri tengah menunggunya. Saat akan sampai di Villa Aeris Sandy menyuruh Pak Karim berhenti di depan toko bunga. "Ambil buket bunga yang aku pesan Pak!" perintah Sandy. Tadi malam ia telah diusir oleh Ambar. Entah mengapa ia merasa aneh tanpa semua pelayanan Ambar. Tiap ia ingat rumah dan sadar Ambar masih mogok masak dan lainnya kepalanya terasa pusing. Ia sadar mungkin ini sedikit terlambat. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Ia berinisiatif memberikan bunga untuk istrinya. Sejak kemarin malam Ambar mengatakan ingin bercerai ia semakin menginginkannya. Dengan penuh harapan sambil membawa buket bunga Sandy turun dari mobilnya. Ia tahu Ambar tak perlu lupa dengan hari peringatan pernikahan. Ia menyesal karena dulu ia terlalu cuek. Namun saat ia sampai di ruang tengah ia begitu kecewa karena tak ada Ambar di sana. Tak ada lilin dan juga kue. "Ambar! Ambar!" Ia memanggil istrinya dan memeriksa kamarnya. Hanya ada koper di sana. Ia kemudian memeriksa seluruh ruangan. Kemudian ia juga membuka CCTV. Ia hanya mendapati Ambar yang melakukan pekerjaan rumah dan pergi di saat agak siang. Ia mencoba menghubungi ponsel Ambar. Mulanya tak ada yang menjawab tapi kemudian seorang laki-laki menjawab, "Jangan mencari istrimu lagi. Dia sudah berbahagia bersamaku. Aku adalah kekasihnya," ucap pria itu dan sambungan pun ditutup. Sandy menatap ponselnya dengan geram. Tangannya mengepal erat. Sebuah pesan masuk. Sandy segera membukanya. Matanya melebar ketika melihat foto yang dikirim pria itu. Di foto itu terlihat Ambar sedang tertidur dengan pulasnya dalam pelukan seorang pria. Tubuh mereka tampak polos dan hanya berselimut tipis sampai batas dada. Dadanya bergemuruh dibakar api cemburu. Tangannya meremat buket bunga di genggamannya. Dengan gemetar ia segera mengirimkan foto itu pada pegawainya. "Selidiki! apa ini asli atau tidak," perintahnya keras. "Malam ini harus ada hasilnya," tambahnya.Makan malam pun berlangsung santai dan penuh perbincangan seru. Sandy dan ayahnya hanya sesekali terlibat. Para perempuan lagi bersemangat membicarakan brand kosmetik baru mereka. Baru kali ini perusahaan Sudiro terjun ke bisnis kosmetik. Tiba-tiba Sandy merasa sangat pusing. Pandangannya memburam. Mungkin dia memang masih belum fit benar. Ia masih sering diserang rasa mual aneh itu. Ia melihat Rosemala mendekatinya dan ia tak mampu lagi mengingat dengan benar. Tubuhnya terasa gerah dan panas. Sandy mengernyitkan dahinya. Matanya tak ingin terbuka karena silaunya matahari dari jendela kamar. Ingatannya mulai berputar samar-samar. Semalam ia tengah makan malam dan kemudian ia sempoyongan ke kamar dengan Rosemala yang memapahnya. Beberapa scene membuatnya merasa bukan dirinya. Ia melihat Rosemala yang mulai menggodanya. Kemudian ia jatuh dan tenggelam dalam renjana birahi yang berasal dari rasa panas di tubuhnya. Ia tersentak bangun begitu sadar sepenuhnya apa yang telah diperbuatn
Ada banayak harapan di mata Kemuning saat Ambar ada dalam pelukannya. "Ambar, aku lihat rumah tanggamu dengan Sandy tidak berlangsung baik-baik saja. Yang menculikmu dulu itu memang bukan suamimu, tapi aku tahu ada yang menginginkan dirimu celaka. Aku tak tahu yang terbaik untukmu. Aku ingin tahu apa yang akan kamu rencanakan? Apa kau serius ingin bercerai dengan Sandy?" tanya Kemuning tatkala mereka saling melepaskan diri dan kembali duduk. "Aku ingin bercerai dengan Sandy dan memulai hidupku sendiri, ibu," jawab Ambar singkat. Sungguh ia merasa enggan menceritakan masalah rumah tangganya pada ibunya yang baru saja dekat dengannya. "Aku tak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tanggamu. Menikah dengan orang kaya ternyata juga tak menjamin semuanya. Aku hanya ingin menawarkan padamu sebuah pekerjaan. Kalau kau bersedia, kau bisa bekerja di perusahaan kosmetik MaryGold. Kebetulan aku punya teman di sana," tawar Kemuning berharap Ambar akan bisa segera move -on dari masalah ru
"Jangan menyebut Rosemala lagi. Mari kita fokus dengan pernikahan kita. Hentikanlah permainan ini. Mari kita bersikap lebih dewasa," seru Sandy berbisik di telinga Ambar. Ambar sedikit merinding. Sandy dengan cepat mengambil kesempatan untuk segera menciumnya. Buru-buru ia menjauhkan tubuhnya dari Sandy. "Tidak lagi Sandy," sentak Ambar waspada. tak boleh ia terpedaya lagi oleh bujuk rayu pria itu. Bayangan betapa mesranya Sandy saat memberikan kalung berlian itu pada Rosemala membuat hatinya perih. "Mengapa?" tanya Sandy kembali mendekat. Kali ini ia berhasil memagut leher jenjang Ambar. Ambar langsung tersengat. Sentuhan Sandy sulit untuk ditolak. "Please Sandy," rintih Ambar memberontak dalam pelukan Sandy yang kian erat. Otaknya mulai berkabut ketika Sandy kembali memciumnya dengan penuh sinar gairah. Tidak ketika ia sudah membulatkan tekad untuk berpisah. Ia harus segera pindah kalau tidak maka selamanya ia akan terjebak dalam hubungan menyakitkan tanpa akhir."Awc!" pekik Sa
"Sudah berapa tahun berlalu, sejak terakhir kali Kemuning datang untuk mengambilmu," seru Nenek dengan tatapan menerawang. Ambar tak bisa berkata-kata. Nama ibunya selalu membuatnya sesak. Ada keinginan untuk dekat dengannya, ada juga keinginan untuk membencinya. "Nenek sudah tua. Kamu juga jauh lebih dewasa sekarang. Saatnya menyerahkan semua keputusan padamu Mbar. Maafkan nenek, selama ini yang terlalu mengekangmu dan banyak memberimu larangan," ucap neneknya dengan tangan membelai lembut rambut Ambar. "Nenek jangan berkata begitu," tukas Ambar seraya memeluk neneknya dengan haru. "Temui ibumu. Perbaiki hubungan kalian," ucap nenek tersenyum. Ambar mengangguk dengan penuh kelegaan. Kini tidak ada lagi yag membuatnya ragu untuk bertemu dengan ibunya. Ia akan menghadapi ibunya apapun yang terjadi.Terakhir kali ia bertemu ibunya, tatkala pemakamam ayahnya. Ayahnynya meninggal saat Ambar berusia 10 tahun. Ayahnya ditemukan mati karena minum minuman keras oplosan. Dari dulu ayahnya
Malam itu Ambar menunggui Sandy menginap di klinik. Sandy ingin malam ini hubungannya dengan Ambar bisa mengalami kemajuan. "Mbar tolong, aku kedinginan. Naikkan selimutku," ucap Sandy pura-pura menggigil kedinginan. Ambar kini tak bisa membedakan apakah Sandy hanya pura-pura atau memang kedinginan. Dengan enggan ia segera membenah selimut Sandy. "Mbar apa kau tak penasaran, kenapa aku mual terus?" tanya Sandy melhat Ambar yang begitu cuek. "Dokter sudah mengatakan kau hanya salah makan," kata Ambar tak bisa menebak jawaban lain. Ia kembali fokus pada ponselnya "Kau tahu apa kata dokter pribadiku?" tanya Sandy lagi menatap Ambar. "Tentu saja aku tak tahu." Ambar berusaha tak peduli "Mbar, apa kau hamil?" tanya Sandy. Ambar langsung sedikit terkejut. Darimana Sandy tahu kalau dia hamil? Mungkinkah rumah sakit tempatnya kemarin di rawat, bisa membocorkan informasi seorang pasien. "Memang kenapa kalau aku hamil?" tanya Ambar bertanya balik. Ia masih tak ingin kehamilannya diket
Ambar melihat Sandy memejamkan matanya di ranjang. Ia tak yakin Sandy benar-benar sakit."Minumlah, air oralit ini," ujarnya meletakkkan segelas campuran gula dan garam di meja samping ranjang. Sandy tak menyahut. Ia mencoba mengamati Sandy lebih dekat. Wajah pria itu tampak pucat dan bibirnya kelihatan kering. Ia memutuskan untuk mengguncang bahunya pelan. Ada kekhawatiran di hatinya, jangan-jangan suaminya itu pingsan."Sandy," serunya. Pria itu sama sekali tak bereaksi."Jangan bersandiwara," ujarnya sedikit panik. Nenek yang sejak tadi memerhatikan dari ambang pintu, kemudian masuk."Apa yang terjadi pada suamimu. Sejak datang kemari tampaknya sudah kurang sehat," kata Nenek kini meletakkan tangannya di dahi Sandy."Suhu tubuhnya sangat dingin.""Dia baik-baik saja Nek," sahutnya mencoba menghibur diri."Apa kalian bertengkar?" tanya Nenek menatapnya. Ia tak ingin menjawab."Nek aku sakit," ucap Sandy tiba-tiba, yang lebih mirip rengekan. Mata pria itu sedikit terbuka. Ambar langs