Ambar membuka matanya. Ia terbaring di sebuah klinik dengan kepala pusing dan dada terasa sesak. Ia mencoba bangun. Seorang wanita paruh baya tersenyum lembut padanya.
"Jangan banyak bergerak. Kau sudah sadar rupanya. Aku akan panggilkan perawat dulu," Wanita itu pun berjalan ke ruang medis. Tak berapa lama seorang dokter dan perawat datang. Dokter itu pun segera memeriksa Ambar. "Semuanya bertambah baik. Jangan banyak aktivitas dulu. Istirahat yang banyak," saran dokter itu tersenyum. "Jadi aku boleh pulang?" seru Ambar tak ingin terlalu lama ada di klinik. "Ya anda bisa berobat jalan," jawab dokter itu kemudian beranjak ke pasien yang lain. "Berhubung anda sudah sadar anda bisa memberitahu saya identitas dan alamat anda? Ibu ini membawa anda pingsan dan tak tahu kartu identitas anda," kata perawat siap menulis di papan klip yang ia bawa. Ambar pun memberikan identitas dan alamatnya."Nak Ambar bisa istirahat di rumah saya untuk sementara," tawar wanita paruh baya yang menolongnya.
"Saya sudah berutang budi pada anda. Jadi saya tak ingin merepotkan anda lagi. Hanya saja saya butuh ponsel untuk menghubungi teman saya di kota untuk menjemput saya," tolak Ambar sungkan.
"Itu sama sekali tak merepotkan. Sayang sekali aku tak pegang ponsel. Kami hanya punya satu ponsel dan sekarang dipakai suamiku." Wanita itu tsersenyum lembut. Tangannya mengusap tangan Ambar. Dari sinar matanya kelihatannya dia benar-benar wanita baik.
"Anda bisa memakainya." Perawat itu meraih ponsel dari sakunya dan memberikannya pada Ambar.
"Terima kasih," seru Ambar. Ia pun segera memencet nomor ponsel Sita.
"Hallo Sit!"
"Ya Ambar? kau di mana?" tanya Sita dengan nada cemas dan khawatir.
"Aku akan share lokasinya. Aku pakai ponsel orang lain. Segera jemput aku. Dan bawa sejumlah uang," ujar Ambar sesingkat mungkin.
"Apa sebenarnya yang terjadi? Dalam semalam ada banyak peristiwa. Nanti saja aku cerita," kata Sita tak bisa bicara banyak teringat Ambar memakai ponsel orang.
"Ya nanti aku akan cerita. Aku tunggu. Segera jemput aku. Aku ada di klinik,"
"Apa kau ada di klinik?!" Kini suara Sita menjadi panik.
"Aku baik-baik saja. OK." Ambar pun segera mengembalikan ponsel itu pada perawat.
"Terima kasih banyak. Tolong urus kepulangan saya," kata Ambar sebelum perawat itu pergi.
Ambar menoleh pada wanita paruh baya yang telah menolongnya.
"Tolong ceritakan bagaimana anda menemukan saya?" pinta Ambar dengan tatapan penuh haru. Sungguh ia berutang nyawa pada wanita ini.
"Suamiku yang membawamu pulang dari melaut. Anak buah kapal besar menemukanmu. Mereka mengangkatmu yang hampir tenggelam di laut dan memberikanmu pada suamiku untuk penyelamatan. Untungnya kau bisa selamat. Terlambat sedikit kau sudah tiada karena tenggelam," terang wanita itu memandang Ambar penuh iba.
Tak urung airmata Ambar merebak.
"Sampaikan terima kasihku pada suamimu Bi. Aku akan mengunjungi kalian dalam waktu dekat. Aku harus segera ke kota. Ada yang harus aku selesaikan," kata Ambar menyesal karena tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya secara layak.
"Yang terpenting kamu sudah selamat dan sehat. Tak perlu pikirkan yang lain," ucap wanita itu dengan nada penuh syukur.
"Aku harus segera bersiap Bi. Sahabatku akan segera tiba," kata Ambar kini mulai turun dari ranjang. Kepalanya masih terasa pusing tapi ia mencoba tak peduli. Ia ingin segera tiba di tempat yang familiar dengannya.
"Aku akan menunggu sampai sahabatmu menjemputmu,"
Beberapa menit kemudian Sita datang. Ia langsung menghampiri Ambar begitu ia melihatnya duduk di kursi tunggu.
"Kau baik-baik saja?" kata Sita seraya memandang Ambar dari atas ke bawah.
"Ya aku nggak apa-apa. Tolong bayar biaya klinik dulu. Nanti aku ganti," ujar Ambar ingin segera keluar dari klinik.
Sita tahu kalau Ambar tak nyaman berada terlalu lama di dalam klinik. Ia pun segera berbalik dan menyelesaikan urusan administrasi.
"Nak Ambar aku pamit pulang dulu. Berkunjunglah ke rumah suatu saat nanti. Carilah nama pak Takim dan Mak Inah di kampung nelayan tak jauh dari sini. Semoga Nak Ambar selalu sehat. Jaga diri baik-baik," ucap wanita itu menepuk bahu Ambar.
Ambar langsung memeluk wanita itu.
"Terima kasih Bi," serunya. Wanita bernama Mak Inah itu mengelus punggung Ambar.
Sita yang telah selesai dengan urusannya tertegun melihat Ambar berpelukan dengan seorang wanita. Keduanya pun melepaskan pelukan mereka.
Mak Inah pun tersenyum pada Sita dan beranjak pergi. Sita mengangguk sopan.
"Siapa dia Ambar?" tanya Sita masih memandangi wanita itu.
"Dia yang menolongku Sit," ujar Ambar seraya beranjak keluar klinik.
"Ambar tasmu ketinggalan," seru Sita meraih sebuah tas di dekat bekas tempat duduk Ambar.
Ambar tak mendengar tapi sedikit terkejut melihat tas yang disodorkan Sita.
"Milik siapa?" tanyanya.
"Ya milikmulah. Masa lupa," ujar Sita mengulurkan helm pada Ambar. Ambar merasa tak pernah memiliki tas itu. Tas itu sangat asing. Nanti saja ia selidiki. Ia ingin segera pulang dulu. Ia ingin istirahat dan menenangkan diri.
"Kamu nggak apa-apa kan naik motor?" tanya Sita sedikit khawatir saat ia menghidupkan motornya. Ambar hanya menggeleng dan memegang pinggang Sita. Motor Sita pun segera melaju meninggalkan klinik.
*******
Sorenya seusai kerja Sandy tak ingin pulang ke Villa Arum Dalu. Pikirannya suntuk dan emosi. Kebetulan ada Dipa sahabatnya sedang hang out di klub.
"Kita ke klub saja. Ada Dipa di sana," ajak Sandy pada Rosemala yang telah siap pulang bersama.
"Ya kita ke sana. Kau perlu lebih rilek," ujar Rosemala tersenyum sambil memeluk Sandy. Ia sangat senang. Kapan lagi bisa bersama dengan Sandy. Sungguh ia akan memanfaatkan ketiadaan Ambar untuk meraih hati Sandy.
Mereka pun sampai di klub. Klub itu adalah hasil kerjasamanya dengan Dipa. Sandy memberikan Dipa modal. Dipa yang mengelolanya.
Dipa sudah menunggu Sandy di sebuah meja dengan aneka minuman. Ia ditemani seorang gadis cantik di pangkuannya.
"Oh tuan Sandy yang terhormat akhirnya ke klub juga setelah sekian lama. Selamat datang juga Nona Rosemala," sambut Dipa mengangkat gelas untuk mereka.
Rosemala tersenyum. Sandy langsung menghempaskan tubuhnya di bangku.
"Ambilkan wine paling bagus," perintah Dipa pada wanita di pangkuannya.
"Kau tahu Rosemala Sandy jadi pria alim semenjak menikah. Bisa dihitung jari ia ke sini. Hidupnya kerja-kerja saja," terang Dipa.
Hati Rosemala menjadi nyeri mendengarnya. Artinya Sandy selalu pulang ke Arum Dalu. Rupanya Ambar telah menjadi tempat pulang bagi Sandy. Ambar berusaha masih tersenyum.
"Dan semuanya akan berubah mulai malam ini," Rosemala memeluk Sandy. Sandy tak menghindar. Ia langsung meraih sebotol Wine begitu wanita itu datang.
"Tak kusangka istri lugumu itu bisa nakal juga." Dipa kini tertawa menatap reaksi Sandy.
"Jangan sebut dia lagi!!" seru Sandy dengan dingin langsung menenggak Wine itu.
Ponsel Sandy berdering. Ia pun segera meraihnya. Dari Tama.
"Pak Sandy aku sudah menyelidiki sahabat nyonya Ambar yang sering bertemu dengannya. Ya namanya Sita. Sita ternyata bekerja sebagai office Girl di kantor kita," lapor asistenya itu.
Sandy meremat botol minumannya. Ia menahan amarah yang sangat kuat. Kini ia tahu biang keladinya siapa sehingga Ambar tahu semuanya tentang Rosemala dan berita di kantor.
"Ganti atau pecat saja dia. Aku ingin besok pagi OB nya sudah diganti," perintahnya tanpa bisa dibantah.
"Baik Pak,"
Makan malam pun berlangsung santai dan penuh perbincangan seru. Sandy dan ayahnya hanya sesekali terlibat. Para perempuan lagi bersemangat membicarakan brand kosmetik baru mereka. Baru kali ini perusahaan Sudiro terjun ke bisnis kosmetik. Tiba-tiba Sandy merasa sangat pusing. Pandangannya memburam. Mungkin dia memang masih belum fit benar. Ia masih sering diserang rasa mual aneh itu. Ia melihat Rosemala mendekatinya dan ia tak mampu lagi mengingat dengan benar. Tubuhnya terasa gerah dan panas. Sandy mengernyitkan dahinya. Matanya tak ingin terbuka karena silaunya matahari dari jendela kamar. Ingatannya mulai berputar samar-samar. Semalam ia tengah makan malam dan kemudian ia sempoyongan ke kamar dengan Rosemala yang memapahnya. Beberapa scene membuatnya merasa bukan dirinya. Ia melihat Rosemala yang mulai menggodanya. Kemudian ia jatuh dan tenggelam dalam renjana birahi yang berasal dari rasa panas di tubuhnya. Ia tersentak bangun begitu sadar sepenuhnya apa yang telah diperbuatn
Ada banayak harapan di mata Kemuning saat Ambar ada dalam pelukannya. "Ambar, aku lihat rumah tanggamu dengan Sandy tidak berlangsung baik-baik saja. Yang menculikmu dulu itu memang bukan suamimu, tapi aku tahu ada yang menginginkan dirimu celaka. Aku tak tahu yang terbaik untukmu. Aku ingin tahu apa yang akan kamu rencanakan? Apa kau serius ingin bercerai dengan Sandy?" tanya Kemuning tatkala mereka saling melepaskan diri dan kembali duduk. "Aku ingin bercerai dengan Sandy dan memulai hidupku sendiri, ibu," jawab Ambar singkat. Sungguh ia merasa enggan menceritakan masalah rumah tangganya pada ibunya yang baru saja dekat dengannya. "Aku tak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tanggamu. Menikah dengan orang kaya ternyata juga tak menjamin semuanya. Aku hanya ingin menawarkan padamu sebuah pekerjaan. Kalau kau bersedia, kau bisa bekerja di perusahaan kosmetik MaryGold. Kebetulan aku punya teman di sana," tawar Kemuning berharap Ambar akan bisa segera move -on dari masalah ru
"Jangan menyebut Rosemala lagi. Mari kita fokus dengan pernikahan kita. Hentikanlah permainan ini. Mari kita bersikap lebih dewasa," seru Sandy berbisik di telinga Ambar. Ambar sedikit merinding. Sandy dengan cepat mengambil kesempatan untuk segera menciumnya. Buru-buru ia menjauhkan tubuhnya dari Sandy. "Tidak lagi Sandy," sentak Ambar waspada. tak boleh ia terpedaya lagi oleh bujuk rayu pria itu. Bayangan betapa mesranya Sandy saat memberikan kalung berlian itu pada Rosemala membuat hatinya perih. "Mengapa?" tanya Sandy kembali mendekat. Kali ini ia berhasil memagut leher jenjang Ambar. Ambar langsung tersengat. Sentuhan Sandy sulit untuk ditolak. "Please Sandy," rintih Ambar memberontak dalam pelukan Sandy yang kian erat. Otaknya mulai berkabut ketika Sandy kembali memciumnya dengan penuh sinar gairah. Tidak ketika ia sudah membulatkan tekad untuk berpisah. Ia harus segera pindah kalau tidak maka selamanya ia akan terjebak dalam hubungan menyakitkan tanpa akhir."Awc!" pekik Sa
"Sudah berapa tahun berlalu, sejak terakhir kali Kemuning datang untuk mengambilmu," seru Nenek dengan tatapan menerawang. Ambar tak bisa berkata-kata. Nama ibunya selalu membuatnya sesak. Ada keinginan untuk dekat dengannya, ada juga keinginan untuk membencinya. "Nenek sudah tua. Kamu juga jauh lebih dewasa sekarang. Saatnya menyerahkan semua keputusan padamu Mbar. Maafkan nenek, selama ini yang terlalu mengekangmu dan banyak memberimu larangan," ucap neneknya dengan tangan membelai lembut rambut Ambar. "Nenek jangan berkata begitu," tukas Ambar seraya memeluk neneknya dengan haru. "Temui ibumu. Perbaiki hubungan kalian," ucap nenek tersenyum. Ambar mengangguk dengan penuh kelegaan. Kini tidak ada lagi yag membuatnya ragu untuk bertemu dengan ibunya. Ia akan menghadapi ibunya apapun yang terjadi.Terakhir kali ia bertemu ibunya, tatkala pemakamam ayahnya. Ayahnynya meninggal saat Ambar berusia 10 tahun. Ayahnya ditemukan mati karena minum minuman keras oplosan. Dari dulu ayahnya
Malam itu Ambar menunggui Sandy menginap di klinik. Sandy ingin malam ini hubungannya dengan Ambar bisa mengalami kemajuan. "Mbar tolong, aku kedinginan. Naikkan selimutku," ucap Sandy pura-pura menggigil kedinginan. Ambar kini tak bisa membedakan apakah Sandy hanya pura-pura atau memang kedinginan. Dengan enggan ia segera membenah selimut Sandy. "Mbar apa kau tak penasaran, kenapa aku mual terus?" tanya Sandy melhat Ambar yang begitu cuek. "Dokter sudah mengatakan kau hanya salah makan," kata Ambar tak bisa menebak jawaban lain. Ia kembali fokus pada ponselnya "Kau tahu apa kata dokter pribadiku?" tanya Sandy lagi menatap Ambar. "Tentu saja aku tak tahu." Ambar berusaha tak peduli "Mbar, apa kau hamil?" tanya Sandy. Ambar langsung sedikit terkejut. Darimana Sandy tahu kalau dia hamil? Mungkinkah rumah sakit tempatnya kemarin di rawat, bisa membocorkan informasi seorang pasien. "Memang kenapa kalau aku hamil?" tanya Ambar bertanya balik. Ia masih tak ingin kehamilannya diket
Ambar melihat Sandy memejamkan matanya di ranjang. Ia tak yakin Sandy benar-benar sakit."Minumlah, air oralit ini," ujarnya meletakkkan segelas campuran gula dan garam di meja samping ranjang. Sandy tak menyahut. Ia mencoba mengamati Sandy lebih dekat. Wajah pria itu tampak pucat dan bibirnya kelihatan kering. Ia memutuskan untuk mengguncang bahunya pelan. Ada kekhawatiran di hatinya, jangan-jangan suaminya itu pingsan."Sandy," serunya. Pria itu sama sekali tak bereaksi."Jangan bersandiwara," ujarnya sedikit panik. Nenek yang sejak tadi memerhatikan dari ambang pintu, kemudian masuk."Apa yang terjadi pada suamimu. Sejak datang kemari tampaknya sudah kurang sehat," kata Nenek kini meletakkan tangannya di dahi Sandy."Suhu tubuhnya sangat dingin.""Dia baik-baik saja Nek," sahutnya mencoba menghibur diri."Apa kalian bertengkar?" tanya Nenek menatapnya. Ia tak ingin menjawab."Nek aku sakit," ucap Sandy tiba-tiba, yang lebih mirip rengekan. Mata pria itu sedikit terbuka. Ambar langs