LOGIN🔥🔥🔥
Zaskia pergi ke dapur, dia membantu Ibunya memasak sarapan. Gadis itu terus menekuk wajahnya sambil sesekali menggerutu tidak jelas. "Ada apa? Pagi-pagi sudah ngedumel tidak jelas, macam orang kesambet saja," seloroh Ningrum sambil terus mengupas kulit wortel yang sedang dipegangnya. "Itu Bu, Anjas menyebalkan sekali. Sepertinya pernikahanku dengan dia tidak akan bertahan lama deh Bu," ucap Zaskia asal. "Jaga bicaramu! Ingat, ucapan adalah doa. Meski Anjas lebih muda darimu, pemikirannya jauh lebih dewasa dan bijaksana dari kamu. Ibu yakin, Tuhan mengirimkan dia untukmu bukan hanya kebetulan semata. Tapi karena memang dia yang terbaik untuk kamu!" "Terbaik apanya?" "Sudah, jangan banyak menggerutu. Kupas semua sayuran ini, Ibu mau ngulek bumbu," "Iya, Bu." Acara masak pagi itu selesai. Sup ayam, ikan goreng, sambel tomat telah tersaji diatas meja. Aromanya begitu wangi dan menggugah selera, memancing siapa saja yang mencium aroma masakan itu untuk pergi ke ruang makan termasuk Anjas. Anjas menarik kursi dan duduk dengan manis. Tanpa disuruh, Zaskia mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi juga lauk pauk. Kemudian dia menyuguhkannya kepada Anjas. Anjas sedikit mengerutkan dahi melihat komposisi makanan yang ada didalam piringnya. Sambalnya jauh lebih banyak daripada nasi dan sayur, padahal Zaskia tau kalau Anjas tidak suka makan pedas. Apa Zaskia sengaja ingin membuat Anjas sakit perut dan masuk IGD? Meski begitu, Anjas tetap menyantap makanan yang diambilkan oleh istrinya sampai habis tak bersisa. Begitulah cara Anjas menghargai istrinya yang telah mencoba untuk melayaninya dengan baik meskipun dia sedang marah pada Anjas. Menjelang siang, Anjas terlihat bolak balik ke kamar mandi karena mulas. Padahal dia sudah minum obat mulas beberapa butir tapi keadaanya tidak juga membaik. Zaskia memperhatikan wajah Anjas yang berubah pucat seperti orang sakit, entah mengapa Zaskia merasa kasihan. Zaskia membuat ramuan obat sakit perut yang biasa dikonsumsi oleh keluarganya. Ramuan itu adalah resep rahasia yang diturunkan dari nenek moyangnya. "Minum ini, perutmu akan segera membaik," cicit Zaskia. "Terimakasih," "Maaf, aku hanya ingin sedikit mengerjai mu. Aku tidak tau kalau kamu akan menderita seperti itu. Lagipula kamu juga, sudah tau sambalnya banyak malah dihabiskan semua," "Aku takut kamu kecewa kalau semua makanan di piring itu tidak habis, apalagi kamu sendiri yang sudah susah payah memasaknya," Kalimat itu terdengar menyejukkan telinga Zaskia. Baru kali ini Anjas menunjukan kepeduliannya pada perasaan Zaskia, tapi itu malah jadi sedikit aneh. Apa Anjas kesambet penunggu kamar mandi? "Dasar pria aneh!" umpat Zaskia lirih. Anjas hanya diam mendapat umpatan tidak baik dari istrinya. Tiba-tiba Zaskia teringat pada Kevin mantan tunangannya, dia selalu membuatkan ramuan obat sakit perut untuk pria itu jika sedang diare. Hati zaskia kembali terasa sakit saat seberkas kenangan lama melintas di kepalanya. Pria yang nampak lembut dan tulus dari luar itu ternyata adalah pria brengsek. 'Kia, kamu harus segera move on. Kamu harus kuat dan tidak boleh terlalu lama terpuruk dalam kesedihan.' ucap Zaskia pada dirinya sendiri dalam diam. Malam harinya, perut Anjas membaik. Obat herbal yang diberikan Zaskia benar benar manjur untuk mengobati mulas hebatnya. Anjas melirik ke arah Zaskia yang sedang fokus bermain laptop, dia seorang penulis novel online yang cukup populer didunia maya. Sadar tengah diperhatikan dari jauh oleh suaminya, Zaskia langsung membalik kursi dan duduk menghadap arah suaminya. "Apa ada yang salah dengan pakaian yang aku kenakan?" Tanya Zaskia. "Tidak," sahut Anjas singkat. "Lalu kenapa kamu terus menatapku seperti tadi? Bola matamu bahkan hampir mau keluar," "Pede sekali! Aku tidak menatapmu, kamu salah lihat!" "Mana mungkin aku salah lihat! Aku bisa melihat dengan jelas dari pantulan cermin kecil yang menempel di dinding itu kalau kamu menatapku tanpa berkedip sejak tadi," "Aku mau tidur, jika pekerjaanmu sudah selesai matikan lampu kamarnya!" Anjas menarik selimut dan berbaring memunggungi Zaskia. "Beraninya dia mengabaikan ku? Dasar pria menyebalkan!" umpat Zaskia lirih. Tepat pada pukul 23.00 malam Zaskia menyudahi aktifitasnya. Dia menutup laptop dan menyusul Anjas ke tempat tidur. Tidak terlintas dalam benaknya dia akan tidur satu ranjang dengan pria yang pernah merundung dirinya disekolah dulu. Pria yang paling dia benci di jagad raya ini. Harusnya pasangan pengantin baru melakukan hal-hal menyenangkan yang bisa menambah keharmonisan hubungan mereka. Tapi Zaskia? Malam pertama, malam kedua, selalu berakhir dengan kata ribut. Dan sepertinya hal itu akan terus berlangsung hingga akhir hayat. Baru saja Zaskia hendak memejamkan matanya, tiba-tiba Anjas membalik badan dan memeluk pinggangnya dari samping. Zaskia mendelik, dia langsung melepaskan pelukan Anjas kemudian mendorong Anjas dengan kuat hingga terguling dan jatuh dari atas tempat tidur. Bugh... Bunyi itu terdengar nyaring. Anjas meringis kesakitan karena punggung dan kepalanya terbentur lantai. "Zaskia, kamu ini apa-apaan sih? Sakit tau!" keluh Anjas sambil memegangi punggungnya. "Rasakan itu! Lain kali, jangan sembarangan menyentuhku apa lagi memelukku!" ucap Zaskia ketus. Zaskia kembali tidur, dia menutupi sekujur tubuhnya di bawah selimut. Anjas bangkit dari lantai, dia melihat tubuh Zaskia bergetar ringan. Jelas sekali kalau Zaskia tengah mentertawakan dirinya saat ini. "Perempuan kejam! Bisa-bisanya tertawa diatas kesakitan suami sendiri!" Celetuk Anjas kasar. Bersambung....Suasana kelas siang itu terasa berbeda bagi Ray. Sejak beberapa minggu terakhir, Prilan berubah drastis. Gadis itu, yang biasanya cerewet dan selalu mencari perhatian Ray, kini seolah menarik diri. Tak ada lagi pesan singkat penuh emotikon lucu. Tak ada lagi komentar-komentar manja di setiap unggahan Ray di media sosial.Bahkan, di kelas pun Prilan bersikap dingin. Jika dulu dia selalu duduk di bangku dekat Ray hanya untuk bisa melihat wajahnya lebih jelas, kini gadis itu memilih duduk di deretan paling belakang, menunduk, fokus pada buku-bukunya, seolah Ray tak pernah ada.Awalnya, Ray mengira ini hanya fase sesaat. Tapi semakin lama, semakin terasa bahwa Prilan benar-benar menjauhinya. Ada sesuatu yang hilang dari hari-harinya.“Bro, lo kenapa dari tadi murung?” tanya salah satu teman Ray, menepuk bahunya.Ray hanya menghela napas, matanya tak lepas dari punggung Prilan yang sedang membereskan buku di mejanya. “Gue nggak ngerti, kenapa dia tiba-tiba gini,” gumamnya lirih.Temannya m
Sudah seminggu Ray tidak pernah lagi mengganggu Prilan. Tidak ada godaan saat melewati lorong kelas, tidak ada panggilan iseng di kantin, bahkan senyum menyebalkannya pun tak terlihat lagi.Sebaliknya, Ray kini lebih sering terlihat di lapangan basket, dikelilingi para siswi yang tertawa-tawa melihat aksinya menggiring bola. Wajahnya yang tampan dan postur tingginya seperti magnet bagi para gadis. Tapi tidak bagi Prilan.Setidaknya, itu yang ingin dia yakini.Dari balik jendela kelas, Prilan memperhatikan Ray yang sedang tertawa bersama teman-teman basketnya. Keringat membasahi pelipisnya, tapi senyum itu—senyum yang dulu sering ditujukan padanya—kini tampak bebas, liar, dan milik semua orang kecuali dirinya.Entah kenapa, dadanya terasa sesak.“Huh, sok ganteng,” gumam Prilan pelan, sambil memalingkan wajah dari jendela.Namun, suara langkah kaki yang cepat membuatnya menoleh kembali. Seorang gadis berambut ikal sebahu, mengenakan rok abu dan jaket sekolah, berlari kecil ke arah Ray.
Langit sore menggelap perlahan, menyisakan bias jingga yang muram di jendela kamar Ray. Ia duduk termenung di tepian ranjang, menatap lantai tanpa benar-benar melihat apa pun. Napasnya berat. Di tangannya, ponsel menyala redup dengan pesan terakhir dari Prilan yang hanya dibacanya tanpa balasan.Harusnya Ray tak tersinggung saat gadis itu menolaknya. Sejak awal, cara Ray mendekati gadis itu memang sudah salah.Anjas memperhatikannya dari ambang pintu. Ia tak butuh waktu lama untuk tahu ada yang tidak beres. Langkahnya ringan, tapi terdengar jelas di lantai kayu yang bergemeretak pelan. Ia menghampiri putranya dan duduk di sebelahnya tanpa banyak bicara."Ray," panggilnya lembut.Ray tak menoleh. Dia hanya menunduk lebih dalam, bahunya terangkat seolah sedang menahan sesuatu. Anjas menghela napas, lalu bertanya pelan, "Ada apa, Nak?"Butuh beberapa detik sebelum Ray menjawab, suaranya serak dan pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku ditolak... sama Prilan."Anjas mendengus kecil. Lalu, ta
Ray membuka pintu rumah dengan langkah gontai, masih mengenakan seragam SMA-nya yang sedikit kusut karena seharian duduk di kelas dan... patah hati. Matanya kosong menatap ke depan, wajahnya lesu seperti baru saja kalah dalam pertandingan penting. Padahal biasanya, pulang sekolah dia selalu bersemangat, langsung menceritakan kegiatannya pada sang ibu.Zaskia yang sedang duduk di ruang tamu langsung bangkit begitu melihat putranya masuk."Ray, kamu pulang, Nak. Ganti baju dulu, ya. Mamih udah siapin makan siang kesukaanmu, ayam goreng kremes dan sambal terasi," ucapnya dengan senyum lembut, berusaha menyambut Ray dengan hangat seperti biasa.Ray hanya mengangguk pelan tanpa suara. Ia melewati ibunya begitu saja, menuju kamarnya. Zaskia mengerutkan dahi. Ada yang tidak beres.Beberapa menit kemudian, Ray kembali ke ruang makan dengan kaus oblong dan celana pendek. Mereka duduk berhadapan, menyantap makan siang dalam keheningan. Zaskia sesekali melirik anaknya, mencari celah untuk memula
Sinar matahari siang menyorot cerah ke lapangan sekolah. Jam istirahat baru saja dimulai, dan para siswa berhamburan keluar dari kelas, mencari hiburan dan angin segar. Beberapa berkumpul di kantin, sebagian lagi duduk di bawah pohon rindang. Tapi perhatian sebagian besar siswa hari itu tertuju ke lapangan basket.Ray berdiri di tengah lapangan dengan bola basket di tangan. Seragam olahraganya basah oleh keringat, tapi senyumnya justru semakin lebar. Di depannya, Dedi berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya sedikit memburu. Mereka baru saja menyelesaikan ronde pertama permainan satu lawan satu.“Lanjut, atau mau menyerah?” Ray memutar bola di ujung jarinya, matanya menantang.Dedi mendengus. “Jangan mimpi. Aku belum selesai.”Kerumunan siswi di pinggir lapangan bersorak saat Ray melesakkan bola ke dalam ring dengan gerakan lay-up yang mulus. Gerakannya lincah, cepat, dan penuh percaya diri. Setiap lemparan selalu tepat sasaran, membuat banyak gadis berdecak kagum.“Gila, Ray jago
Anjas berdiri diam di balkon rumahnya, memandangi langit senja yang merona jingga. Angin sore berembus pelan, menerpa wajahnya yang terlihat letih. Di tangannya tergenggam cangkir kosong, sisa kopi yang tadi dia teguk perlahan.Pikirannya tidak berada di sana. Ia melayang jauh ke masa lalu, ke sebuah masa yang sudah dia kubur dalam-dalam tapi tiba-tiba mencuat kembali. Ingatannya tentang seorang gadis di bangku SMA—mantan kekasihnya—menyeruak tanpa diundang.Gadis itu begitu menyayanginya. Tapi Anjas, dalam kebodohannya yang remaja, hanya memanfaatkannya. Ia pura-pura mencintai hanya demi membuat Zaskia, gadis yang benar-benar ia sukai saat itu, merasa cemburu. Cinta yang dipaksakan, tak pernah tumbuh meski dia mencoba. Sampai akhirnya Anjas memutuskan hubungan itu secara sepihak—dingin, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf."Aku tidak bisa terus berpura-pura," ucapnya saat itu, tanpa tahu betapa hancurnya hati gadis itu.Karma memang tidak pernah lupa alamat, pikir Anjas getir. Ki







