LOGIN🔥🔥🔥
Zaskia terus menitihkan air mata saat ijab qobul berlangsung. Terlebih saat telinganya mendengar orang-orang di sekitarnya mencibir lirih, air mata itu mengalir semakin deras. Tidak ada orang yang mau memiliki nasib buruk dalam hidup, termasuk juga Zaskia. Baginya menikah dengan pria yang tidak dia cintai adalah sesuatu yang buruk, apa lagi pria itu adalah musuh bebuyutannya sejak masih duduk dibangku sekolah. Masih teringat jelas dibenak Zaskia bagaimana Anjas menghinanya pendek, hitam dan kumal. Hingga akhirnya Zaskia memutuskan untuk rajin memakai skincare dan menjadi glowing seperti sekarang. Tiap kata yang keluar dari bibir pria itu selalu menyakitkan, dan kini mereka akan menjadi teman seranjang. Benar benar mengerikan! "Sah. Alhamdulillah..." Ucap Pak penghulu. Sanak saudara dan kerabat yang hadir langsung mengangkat tangan dan mengusapkannya ke wajah mereka. Ningrum, Hendri dan Johan nampak sangat bahagia menyaksikan pernikahan yang sakral itu. Tapi sepertinya tidak dengan kedua mempelai. "Zaskia, ayo cium tangan suamimu," perintah Hendri. "Hah?" Zaskia memasang ekspresi wajah ngeri saat mendengar kalimat itu. Anjasmara telah menyodorkan tangan kanannya, tapi Zaskia malah bengong seperti orang bingung. "Cepat jabat dan cium tangan suamimu Zaskia!" Tekan Hendri dengan nada berat. Dengan amat sangat terpaksa Zaskia mau melakukan perintah Ayahnya. Diluar prediksi BMKG, tiba-tiba saja Anjas sedikit membungkuk dan mencium kening Zaskia. Tubuh Zaskia merinding seketika, seperti ada ribuan semut merayap di kulit tubuhnya. 'Bagus betul akting pria ini. Kalau saja dia artis, sudah pasti akan mendapatkan piala Oscar,' oceh Zaskia dalam hati. Waktu bergulir, acara pernikahan selesai. Waktunya bagi kedua mempelai untuk masuk kedalam kamar dan beristirahat. Rasa canggung menyelimuti hati Zaskia dan Anjasmara karena mereka berada dalam satu ruangan yang sama tanpa ada orang lain. "Ehem... Aku mau pergi mandi dulu," ucap Anjasmara sambil berjalan menuju kamar mandi. "Tunggu!" Cegah Zaskia. "Ada apa? Mau ikut mandi bersama?" ledek Anjasmara. "Idih, ogah! Aku cuma mau bilang, jangan mengharapkan malam pertama dariku. Aku.... Aku.... Tidak bisa memberikan malam pertamaku begitu saja padamu," "Ha.... Ha.... Ha.... Tenang saja Nona, aku tidak akan pernah meminta hal itu darimu. Kecuali..." "Kecuali apa?" Zaskia penasaran. "Kamu yang memintanya duluan." "Itu tidak akan pernah terjadi!" Zaskia melipat kedua tangannya di dada dan membuang muka ke arah lain. Zaskia sibuk menata tumpukan bantal di tengah kasur, dia membuat garis pembatas untuk Anjasmara. Pokoknya pria itu tidak boleh tidur menempel dengannya, kalau dia sampai berani macam macam maka Zaskia akan memukulnya dengan raket nyamuk yang sudah di bawah bantal. Klak... Pintu kamar mandi terbuka, Zaskia menarik selimut dan bersembunyi di bawahnya. Dia sama sekali tidak tertarik melihat body bagus suaminya yang hanya berbalut selembar handuk. Anjas melirik ke arah kasur, dia hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala saat melihat banyak tumpukan bantal disana. * Kring.... Kring.... Kring.... Alarm di ponsel Zaskia berbunyi, waktu sudah menunjukan pukul 05.00 pagi. Sudah waktunya untuk Zaskia bangun, mandi, dan membantu Ibunya memasak di dapur. Zaskia bangkit dari kasur, dia menoleh kearah Anjasmara yang masih tertidur lelap. Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya pria itu tampan juga. Bahkan jauh lebih tampan dari Kevin mantan calon suaminya. Zaskia menggelengkan kepalanya, lalu mencubit pipinya sendiri. Dia mencoba untuk mengusir pikiran konyol yang tiba+tiba muncul di kepalanya. "Dia tidak setampan itu Zaskia," ucap Zaskia lirih. Zaskia pergi ke kamar mandi, beberapa detik kemudian Anjasmara membuka matanya. Dia bisa mendengar dengan jelas apa yang baru saja diucapkan oleh Zaskia. Wanita itu menyebut Anjasmara tampan? Entah mengapa Anjasmara merasa senang, itu kali pertama Zaskia memuji dirinya selama sepuluh tahun berteman. Tunggu, mereka bahkan tidak pernah akur bagaimana bisa menjadi teman? Zaskia keluar dari kamar mandi, dia mengintip Anjasmara dari balik tembok. Dia merasa lega karena pria itu masih menutup mata, jadi Zaskia bisa leluasa bergerak dengan balutan baju mandi mininya. Zaskia membuka lemari, dia mengambil satu set pakaian ganti. Selesai berpakaian, dia memakai skincare dan menempelkan make up minimalis di wajahnya. Kini dia terlihat lebih segar dan cantik, Zaskia menebar senyum pada bayangan dirinya sendiri di cermin. Mata Zaskia tak sengaja melihat sebuah titik merah dilehernya seperti bekas gigitan serangga, tapi anehnya dia tidak merasa gatal. "Bekas gigitan apa sih ini? Kenapa bentuknya mirip dengan cupang?" Zaskia menggaruk garuk tanda merah itu dengan jari telunjuknya. "Ah, sial! Apa pria itu mencuri kesempatan dalam kesempitan semalam?" Emosi Zaskia naik kepermukaan. Wajahnya merah padam, dia langsung berjalan menghampiri Anjasmara dan mencoba mengacaukan tidur nyenyak pria itu. "Anjas, cepat bangun! Jangan pura pura tidur kamu ya!" Zaskia menarik selimut yang dipakai Anjasmara dan menggoyangkan tubuhnya. "Em... Apa apaan sih kamu Kia? Ini masih pagi, berisik tau tidak!" Bentak Anjasmara. Dia sama sekali tidak terlihat sebagai pelaku tanda keramat itu, wajahnya datar dan biasa saja. "Tanda merah di leherku ini kamu kan yang membuatnya?" Tuduh Zaskia. "Jangan sembarangan bicara. Aku tidak akan melakukan tindakan mesum itu tanpa seizinmu, aku ini pria baik baik Zaskia! Lagi pula, itu hanya sedikit lebih besar dari bekas gigitan nyamuk. Bisa jadi itu bekas gigitan kecoak," Anjasmara membela diri. Zaskia terdiam mendengar omongan Anjasmara. Apa benar ini bekas gigitan kecoak? Sejak kapan kecoak punya hobi menggigit leher seorang gadis perawan? Bersambung....Suasana kelas siang itu terasa berbeda bagi Ray. Sejak beberapa minggu terakhir, Prilan berubah drastis. Gadis itu, yang biasanya cerewet dan selalu mencari perhatian Ray, kini seolah menarik diri. Tak ada lagi pesan singkat penuh emotikon lucu. Tak ada lagi komentar-komentar manja di setiap unggahan Ray di media sosial.Bahkan, di kelas pun Prilan bersikap dingin. Jika dulu dia selalu duduk di bangku dekat Ray hanya untuk bisa melihat wajahnya lebih jelas, kini gadis itu memilih duduk di deretan paling belakang, menunduk, fokus pada buku-bukunya, seolah Ray tak pernah ada.Awalnya, Ray mengira ini hanya fase sesaat. Tapi semakin lama, semakin terasa bahwa Prilan benar-benar menjauhinya. Ada sesuatu yang hilang dari hari-harinya.“Bro, lo kenapa dari tadi murung?” tanya salah satu teman Ray, menepuk bahunya.Ray hanya menghela napas, matanya tak lepas dari punggung Prilan yang sedang membereskan buku di mejanya. “Gue nggak ngerti, kenapa dia tiba-tiba gini,” gumamnya lirih.Temannya m
Sudah seminggu Ray tidak pernah lagi mengganggu Prilan. Tidak ada godaan saat melewati lorong kelas, tidak ada panggilan iseng di kantin, bahkan senyum menyebalkannya pun tak terlihat lagi.Sebaliknya, Ray kini lebih sering terlihat di lapangan basket, dikelilingi para siswi yang tertawa-tawa melihat aksinya menggiring bola. Wajahnya yang tampan dan postur tingginya seperti magnet bagi para gadis. Tapi tidak bagi Prilan.Setidaknya, itu yang ingin dia yakini.Dari balik jendela kelas, Prilan memperhatikan Ray yang sedang tertawa bersama teman-teman basketnya. Keringat membasahi pelipisnya, tapi senyum itu—senyum yang dulu sering ditujukan padanya—kini tampak bebas, liar, dan milik semua orang kecuali dirinya.Entah kenapa, dadanya terasa sesak.“Huh, sok ganteng,” gumam Prilan pelan, sambil memalingkan wajah dari jendela.Namun, suara langkah kaki yang cepat membuatnya menoleh kembali. Seorang gadis berambut ikal sebahu, mengenakan rok abu dan jaket sekolah, berlari kecil ke arah Ray.
Langit sore menggelap perlahan, menyisakan bias jingga yang muram di jendela kamar Ray. Ia duduk termenung di tepian ranjang, menatap lantai tanpa benar-benar melihat apa pun. Napasnya berat. Di tangannya, ponsel menyala redup dengan pesan terakhir dari Prilan yang hanya dibacanya tanpa balasan.Harusnya Ray tak tersinggung saat gadis itu menolaknya. Sejak awal, cara Ray mendekati gadis itu memang sudah salah.Anjas memperhatikannya dari ambang pintu. Ia tak butuh waktu lama untuk tahu ada yang tidak beres. Langkahnya ringan, tapi terdengar jelas di lantai kayu yang bergemeretak pelan. Ia menghampiri putranya dan duduk di sebelahnya tanpa banyak bicara."Ray," panggilnya lembut.Ray tak menoleh. Dia hanya menunduk lebih dalam, bahunya terangkat seolah sedang menahan sesuatu. Anjas menghela napas, lalu bertanya pelan, "Ada apa, Nak?"Butuh beberapa detik sebelum Ray menjawab, suaranya serak dan pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku ditolak... sama Prilan."Anjas mendengus kecil. Lalu, ta
Ray membuka pintu rumah dengan langkah gontai, masih mengenakan seragam SMA-nya yang sedikit kusut karena seharian duduk di kelas dan... patah hati. Matanya kosong menatap ke depan, wajahnya lesu seperti baru saja kalah dalam pertandingan penting. Padahal biasanya, pulang sekolah dia selalu bersemangat, langsung menceritakan kegiatannya pada sang ibu.Zaskia yang sedang duduk di ruang tamu langsung bangkit begitu melihat putranya masuk."Ray, kamu pulang, Nak. Ganti baju dulu, ya. Mamih udah siapin makan siang kesukaanmu, ayam goreng kremes dan sambal terasi," ucapnya dengan senyum lembut, berusaha menyambut Ray dengan hangat seperti biasa.Ray hanya mengangguk pelan tanpa suara. Ia melewati ibunya begitu saja, menuju kamarnya. Zaskia mengerutkan dahi. Ada yang tidak beres.Beberapa menit kemudian, Ray kembali ke ruang makan dengan kaus oblong dan celana pendek. Mereka duduk berhadapan, menyantap makan siang dalam keheningan. Zaskia sesekali melirik anaknya, mencari celah untuk memula
Sinar matahari siang menyorot cerah ke lapangan sekolah. Jam istirahat baru saja dimulai, dan para siswa berhamburan keluar dari kelas, mencari hiburan dan angin segar. Beberapa berkumpul di kantin, sebagian lagi duduk di bawah pohon rindang. Tapi perhatian sebagian besar siswa hari itu tertuju ke lapangan basket.Ray berdiri di tengah lapangan dengan bola basket di tangan. Seragam olahraganya basah oleh keringat, tapi senyumnya justru semakin lebar. Di depannya, Dedi berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya sedikit memburu. Mereka baru saja menyelesaikan ronde pertama permainan satu lawan satu.“Lanjut, atau mau menyerah?” Ray memutar bola di ujung jarinya, matanya menantang.Dedi mendengus. “Jangan mimpi. Aku belum selesai.”Kerumunan siswi di pinggir lapangan bersorak saat Ray melesakkan bola ke dalam ring dengan gerakan lay-up yang mulus. Gerakannya lincah, cepat, dan penuh percaya diri. Setiap lemparan selalu tepat sasaran, membuat banyak gadis berdecak kagum.“Gila, Ray jago
Anjas berdiri diam di balkon rumahnya, memandangi langit senja yang merona jingga. Angin sore berembus pelan, menerpa wajahnya yang terlihat letih. Di tangannya tergenggam cangkir kosong, sisa kopi yang tadi dia teguk perlahan.Pikirannya tidak berada di sana. Ia melayang jauh ke masa lalu, ke sebuah masa yang sudah dia kubur dalam-dalam tapi tiba-tiba mencuat kembali. Ingatannya tentang seorang gadis di bangku SMA—mantan kekasihnya—menyeruak tanpa diundang.Gadis itu begitu menyayanginya. Tapi Anjas, dalam kebodohannya yang remaja, hanya memanfaatkannya. Ia pura-pura mencintai hanya demi membuat Zaskia, gadis yang benar-benar ia sukai saat itu, merasa cemburu. Cinta yang dipaksakan, tak pernah tumbuh meski dia mencoba. Sampai akhirnya Anjas memutuskan hubungan itu secara sepihak—dingin, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf."Aku tidak bisa terus berpura-pura," ucapnya saat itu, tanpa tahu betapa hancurnya hati gadis itu.Karma memang tidak pernah lupa alamat, pikir Anjas getir. Ki







