LOGIN🔥🔥🔥
Libur tiga hari sudah cukup bagi Anjasmara. Sudah waktunya baginya untuk kembali aktif bekerja dan mengontrol pabrik garmen miliknya. Sebenarnya, pabrik itu milik Johan, tapi dia sudah mewariskannya kepada Anjasmara. Anjas selalu bekerja dengan giat. Dia berusaha membuat pabrik garmen yang dikelolanya semakin maju setiap hari dan membuat ayah Johan bangga padanya. Hal itu akhirnya bisa terwujud, semua berkat kerja keras Anjas dan dukungan penuh dari Johan. Pagi itu, Anjas terlihat tampan dalam balutan kemeja dan jas berwarna senada. Ningrum sampai pangling ketika melihat menantunya keluar dari kamar. Tak hanya Ningrum, Zaskia juga dibuat linglung oleh Anjas. "Dia lebih keren dari mantanmu yang berandalan itu, kan?" Ningrum menyenggol bahu putrinya. "Bu, jangan bandingkan dia dengan siapa pun, termasuk Kevin!" bisik Zaskia. "Kenapa memangnya? Kamu masih belum bisa move on dari Kevin, begitu? Tidak terima Ibu menjelek-jelekkan dia?" tuduh Ningrum terus terang. "Ini masih pagi, Bu. Berhenti membuat keributan!" omel Zaskia. Zaskia merasa kesal menerima tekanan dari ibunya karena yang dikatakan ibunya itu benar. Zaskia belum bisa move on dari Kevin. Meski hanya singgah sebentar, kenangan manis yang ditinggalkan Kevin lumayan berbekas di hati Zaskia. Anjas menghampiri Zaskia. Dia mengulurkan tangan kanannya. Zaskia melongo beberapa detik karena bingung, tapi Anjas memberi kode agar Zaskia menyambut tangannya dan menciumnya seperti saat menikah kemarin. Ibu Zaskia juga selalu melakukan itu pada suaminya sebelum berangkat ke tempat kerja. Anjas menuntut Zaskia melakukan hal yang sama. "Kenapa melamun? Itu loh, suamimu pamit mau berangkat kerja," Ningrum mendorong Zaskia pelan. Atas desakan sang ibu, Zaskia akhirnya mau menyalami dan mencium tangan Anjas. "Bu, Anjas berangkat kerja dulu ya," pamit Anjas pada Ningrum. "Ya, hati-hati di jalan!" balas Ningrum. "Kia, kemasi barangmu. Besok kita akan pindah ke rumah baru," perintah Anjas pada Zaskia tiba-tiba. "Rumah baru?" Zaskia melotot. Dia syok karena sebelumnya Anjas tidak mengatakan apa-apa. "Iya, rumah baru. Aku baru membelinya. Orangku sedang membersihkannya sekarang." "Tidak mau! Aku mau tinggal di sini saja dengan Ayah dan Ibu," Zaskia berusaha menolak secara halus. "Zaskia, apa-apaan kamu! Kamu sudah menikah. Ke mana pun Anjas pergi, kamu harus ikut bersamanya. Harusnya kamu senang, loh. Baru menikah tiga hari sudah dibelikan rumah baru oleh suamimu," sambung Ningrum. "Tapi, Bu, kalau Zaskia ikut Anjas, nanti Ibu sama Ayah hanya tinggal berdua saja dong, Bu." "Jangan pikirkan Ayah dan Ibu. Pikirkan saja keluarga barumu. Pikirkan juga bagaimana caranya agar keluarga kecilmu bisa bahagia, guyub, dan rukun sampai tua." Ningrum memberi petuah bijak pada putrinya. "Terima kasih ya, Bu. Ibu sudah mau mengerti Anjas. Tempatku mencari nafkah lumayan jauh dari rumah Ibu. Kalau harus mondar-mandir setiap hari, Anjas pasti capek, Bu. Kalau aku jarang pulang ke sini, nanti aku dikira Bang Toyib sama tetangga," ucap Anjas dengan nada bercanda. "Kamu tenang saja, Nak. Ibu dan Ayah mertuamu akan selalu ada untuk mendukungmu," janji Ningrum pada menantu kesayangannya. * Dua puluh empat tahun hidup di dunia ini, tak pernah sekalipun Zaskia hidup terpisah dari kedua orang tuanya. Bagaimana bisa dia pindah rumah dan tinggal bersama orang asing? Maksudnya, bersama pria yang dia nikahi karena terpaksa. Apa hidupnya ke depan akan baik-baik saja? Rasa bimbang dan ragu bercampur menjadi satu. Tapi tidak ada yang bisa Zaskia lakukan saat ini selain mematuhi perintah sang suami. Kabur dari rumah dan melarikan diri? Percuma. Anjas dan ayah angkatnya memiliki ratusan orang kepercayaan yang siap siaga menangkapnya jika itu sampai terjadi. Pakaian, beberapa tas, dan sepatu kesayangan telah masuk ke dalam koper. Juga sebuah album foto kenangan berisi foto-foto Zaskia dan orang tuanya mulai dari Zaskia baru lahir hingga beranjak dewasa. Zaskia akan rindu rumah ini, juga kenangan indah yang ada di dalamnya. Hendri masuk ke dalam kamar Zaskia. Dia membawa sebuah kotak kecil berwarna putih bertuliskan P3K. Isinya bisa ditebak, berbagai jenis obat-obatan dari yang herbal hingga kimia. "Bawa ini, jangan sampai ketinggalan," ucap Hendri. Pria itu sedikit khawatir melepas Zaskia pergi. Anak gadisnya mudah sakit dan ceroboh dalam urusan kesehatan. "Kurangi minum kopi. Jangan terlalu banyak makan santan, berminyak, dan manis-manis," lanjut Hendri. "Ayah, harusnya aku yang berpesan seperti itu pada Ayah," ucap Zaskia dengan nada manja. Tiba-tiba Hendri menangis. Dia tidak bisa menahan rasa sedih karena akan berpisah dengan putri semata wayangnya. Zaskia hanya akan pindah ke kota sebelah, bukan ke luar negeri, tapi reaksi yang diberikan pensiunan abdi negara itu sangat berlebihan. Kata orang, cinta pertama anak gadis adalah ayahnya. Dia akan mencari sosok pria yang mirip dengan ayahnya untuk dijadikan pendamping hidup. Mirip dari segi kebaikan hati, perhatian, dan penuh kasih sayang. Apa benar seperti itu? "Jangan menangis. Aku bisa pulang ke rumah ini kapan pun aku mau untuk menjenguk Ayah dan Ibu." Zaskia memeluk ayahnya erat. Bukannya berhenti menangis, Hendri malah semakin menjadi. Sementara itu, Ningrum hanya bisa mengamati kelakuan manis anak dan ayah itu dari seberang pintu. "Rasanya baru kemarin aku melahirkan Zaskia. Hari ini dia sudah mau belajar hidup mandiri saja. Waktu begitu cepat berlalu," batin Ningrum. Bersambung....Suasana kelas siang itu terasa berbeda bagi Ray. Sejak beberapa minggu terakhir, Prilan berubah drastis. Gadis itu, yang biasanya cerewet dan selalu mencari perhatian Ray, kini seolah menarik diri. Tak ada lagi pesan singkat penuh emotikon lucu. Tak ada lagi komentar-komentar manja di setiap unggahan Ray di media sosial.Bahkan, di kelas pun Prilan bersikap dingin. Jika dulu dia selalu duduk di bangku dekat Ray hanya untuk bisa melihat wajahnya lebih jelas, kini gadis itu memilih duduk di deretan paling belakang, menunduk, fokus pada buku-bukunya, seolah Ray tak pernah ada.Awalnya, Ray mengira ini hanya fase sesaat. Tapi semakin lama, semakin terasa bahwa Prilan benar-benar menjauhinya. Ada sesuatu yang hilang dari hari-harinya.“Bro, lo kenapa dari tadi murung?” tanya salah satu teman Ray, menepuk bahunya.Ray hanya menghela napas, matanya tak lepas dari punggung Prilan yang sedang membereskan buku di mejanya. “Gue nggak ngerti, kenapa dia tiba-tiba gini,” gumamnya lirih.Temannya m
Sudah seminggu Ray tidak pernah lagi mengganggu Prilan. Tidak ada godaan saat melewati lorong kelas, tidak ada panggilan iseng di kantin, bahkan senyum menyebalkannya pun tak terlihat lagi.Sebaliknya, Ray kini lebih sering terlihat di lapangan basket, dikelilingi para siswi yang tertawa-tawa melihat aksinya menggiring bola. Wajahnya yang tampan dan postur tingginya seperti magnet bagi para gadis. Tapi tidak bagi Prilan.Setidaknya, itu yang ingin dia yakini.Dari balik jendela kelas, Prilan memperhatikan Ray yang sedang tertawa bersama teman-teman basketnya. Keringat membasahi pelipisnya, tapi senyum itu—senyum yang dulu sering ditujukan padanya—kini tampak bebas, liar, dan milik semua orang kecuali dirinya.Entah kenapa, dadanya terasa sesak.“Huh, sok ganteng,” gumam Prilan pelan, sambil memalingkan wajah dari jendela.Namun, suara langkah kaki yang cepat membuatnya menoleh kembali. Seorang gadis berambut ikal sebahu, mengenakan rok abu dan jaket sekolah, berlari kecil ke arah Ray.
Langit sore menggelap perlahan, menyisakan bias jingga yang muram di jendela kamar Ray. Ia duduk termenung di tepian ranjang, menatap lantai tanpa benar-benar melihat apa pun. Napasnya berat. Di tangannya, ponsel menyala redup dengan pesan terakhir dari Prilan yang hanya dibacanya tanpa balasan.Harusnya Ray tak tersinggung saat gadis itu menolaknya. Sejak awal, cara Ray mendekati gadis itu memang sudah salah.Anjas memperhatikannya dari ambang pintu. Ia tak butuh waktu lama untuk tahu ada yang tidak beres. Langkahnya ringan, tapi terdengar jelas di lantai kayu yang bergemeretak pelan. Ia menghampiri putranya dan duduk di sebelahnya tanpa banyak bicara."Ray," panggilnya lembut.Ray tak menoleh. Dia hanya menunduk lebih dalam, bahunya terangkat seolah sedang menahan sesuatu. Anjas menghela napas, lalu bertanya pelan, "Ada apa, Nak?"Butuh beberapa detik sebelum Ray menjawab, suaranya serak dan pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku ditolak... sama Prilan."Anjas mendengus kecil. Lalu, ta
Ray membuka pintu rumah dengan langkah gontai, masih mengenakan seragam SMA-nya yang sedikit kusut karena seharian duduk di kelas dan... patah hati. Matanya kosong menatap ke depan, wajahnya lesu seperti baru saja kalah dalam pertandingan penting. Padahal biasanya, pulang sekolah dia selalu bersemangat, langsung menceritakan kegiatannya pada sang ibu.Zaskia yang sedang duduk di ruang tamu langsung bangkit begitu melihat putranya masuk."Ray, kamu pulang, Nak. Ganti baju dulu, ya. Mamih udah siapin makan siang kesukaanmu, ayam goreng kremes dan sambal terasi," ucapnya dengan senyum lembut, berusaha menyambut Ray dengan hangat seperti biasa.Ray hanya mengangguk pelan tanpa suara. Ia melewati ibunya begitu saja, menuju kamarnya. Zaskia mengerutkan dahi. Ada yang tidak beres.Beberapa menit kemudian, Ray kembali ke ruang makan dengan kaus oblong dan celana pendek. Mereka duduk berhadapan, menyantap makan siang dalam keheningan. Zaskia sesekali melirik anaknya, mencari celah untuk memula
Sinar matahari siang menyorot cerah ke lapangan sekolah. Jam istirahat baru saja dimulai, dan para siswa berhamburan keluar dari kelas, mencari hiburan dan angin segar. Beberapa berkumpul di kantin, sebagian lagi duduk di bawah pohon rindang. Tapi perhatian sebagian besar siswa hari itu tertuju ke lapangan basket.Ray berdiri di tengah lapangan dengan bola basket di tangan. Seragam olahraganya basah oleh keringat, tapi senyumnya justru semakin lebar. Di depannya, Dedi berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya sedikit memburu. Mereka baru saja menyelesaikan ronde pertama permainan satu lawan satu.“Lanjut, atau mau menyerah?” Ray memutar bola di ujung jarinya, matanya menantang.Dedi mendengus. “Jangan mimpi. Aku belum selesai.”Kerumunan siswi di pinggir lapangan bersorak saat Ray melesakkan bola ke dalam ring dengan gerakan lay-up yang mulus. Gerakannya lincah, cepat, dan penuh percaya diri. Setiap lemparan selalu tepat sasaran, membuat banyak gadis berdecak kagum.“Gila, Ray jago
Anjas berdiri diam di balkon rumahnya, memandangi langit senja yang merona jingga. Angin sore berembus pelan, menerpa wajahnya yang terlihat letih. Di tangannya tergenggam cangkir kosong, sisa kopi yang tadi dia teguk perlahan.Pikirannya tidak berada di sana. Ia melayang jauh ke masa lalu, ke sebuah masa yang sudah dia kubur dalam-dalam tapi tiba-tiba mencuat kembali. Ingatannya tentang seorang gadis di bangku SMA—mantan kekasihnya—menyeruak tanpa diundang.Gadis itu begitu menyayanginya. Tapi Anjas, dalam kebodohannya yang remaja, hanya memanfaatkannya. Ia pura-pura mencintai hanya demi membuat Zaskia, gadis yang benar-benar ia sukai saat itu, merasa cemburu. Cinta yang dipaksakan, tak pernah tumbuh meski dia mencoba. Sampai akhirnya Anjas memutuskan hubungan itu secara sepihak—dingin, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf."Aku tidak bisa terus berpura-pura," ucapnya saat itu, tanpa tahu betapa hancurnya hati gadis itu.Karma memang tidak pernah lupa alamat, pikir Anjas getir. Ki







