LOGIN🔥🔥🔥
Pabrik Jaya Mulya. Gerald baru saja selesai mengecek stok barang di gudang. Pria itu langsung pergi ke ruangan Bosnya untuk melaporkan hasil pengecekannya. Bulan ini jumlah pesanan pabrik mereka lebih banyak dari bulan bulan sebelumnya, sudah bisa dipastikan omset pada bulan ini ikut juga naik. Anjasmara tersenyum senang, dia membayangkan wajah bahagia Joshua saat melihat hasil kerja kerasnya dan para staff. Pria itu selalu mengharapkan ada kemajuan setiap bulan di pabrik yang Anjas pegang, walaupun hanya beberapa persen saja. "Pak, kemarin anak saya liburan di Bali bersama dengan teman-temannya. Katanya dia bertemu dengan Pak Kevin, dia sedang bersama seorang wanita yang sedang hamil tua. Siapa wanita itu ya Pak? Bukankah dia baru saja menikah dengan tunangannya?" Gerald mulai menelisik karena rasa penasarannya cukup tinggi. Sebenarnya, pria matang itu tahu desas desus pernikahan Kevin dengan Zaskia batal, lalu Zaskia dinikahkan dengan Anjasmara. Gerald hanya ingin kepastian dari Anjas saja kalau berita yang dia dengar adalah benar. Bukan rahasia umum kalau hubungan Anjas dan Kakak Angkatnya tidak baik. Semua orang di jagad raya ini tau, mereka sering memperebutkan sesuatu. Kecuali soal wanita. Karena Anjas selalu dingin pada lawan jenis dan tak pernah terlihat sedang menggandeng seorang wanita. Tapi tiba-tiba saja dia menikah dengan Zaskia, Gerald merasa ada yang aneh. "Wanita itu kekasih gelap Kevin. Biarkan saja mereka hidup bahagia dan damai disana. Syukur-syukur mereka tidak kembali ke kota ini lagi," "Kekasih gelap? Lalu nasib calon istri Pak Kevin bagaimana Pak?" "Aku sudah menikahinya," "Apa?" "Jangan pura-pura terkejut, tidak lucu! Semua orang sudah tau soal itu, masa kamu belum tau? Lebih baik sekarang kamu pergi ke area produksi, awasi kinerja pegawai baru kita disana," "Oke. Siap Pak!" Gerald adalah orang kepercayaan Anjas di kantor, dia tak keberatan membagi apapun dengannya termasuk tentang hal pribadi. Pria tua berumur 45 tahun itu punya pemikiran bijak, terkadang suka memberi nasihat yang bermanfaat untuk hidup Anjas yang penuh dengan drama. "Untung saja aku bisa memancing jalang itu untuk datang ke acara pernikahan dan menggagalkan pernikahan Kevin dengan Zaskia. Kalau tidak, hidup Zaskia akan hancur berantakan seperti kaca yang terkena timpukan batu," gumam Anjasmara. * Tidak ada sambutan saat suami pulang kerja, Zaskia sibuk dengan laptop dan isi pikirannya sendiri. Anjasmara meletakan tas nya, dia melepas pakaian dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Akan sangat menyenangkan jika Anjas disambut dengan senyum manis Zaskia, secangkir minuman hangat dan kudapan lezat ketika pulang kerja. Rasa lelah dan pusing setelah seharian bekerja akan hilang seketika. Sayangnya, Anjas tidak mendapatkan pelayanan super itu dari Zaskia. Bahkan melirik kearahnya pun tidak. Anjas keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap, setelan kolor berwarna hijau dan kaos oblong tanpa lengan. Aroma sabun tercium semerbak, mengusik konsentrasi Zaskia dalam menuangkan ide dan gagasannya di laptop. "Mau langsung makan atau mau minum teh dan ngemil dulu?" Zaskia mencopot kacamata besar yang dikenakannya. "Ternyata kamu melihatku pulang, aku pikir kamu tidak melihatnya," "Tentu saja aku melihatnya, aku tidak rabun!" "Tapi kamu tadi tidak melirik kearahku," "Aku sedang tanggung tadi," "Sudah selesai mengemasi barangmu?" "Sudah," "Bagus. Sekarang tolong bawakan aku secangkir teh manis hangat dan satu toples cookies." Anjas merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Zakia pergi ke dapur, Anjas yang penasaran dengan tema dan genre novel yang sedang Zaskia garap diam diam membaca tulisan yang ada di laptop. Mata Anjas mendelik, dia tak menyangka jika Zaskia tengah membuat adegan panas dalam ceritanya. Saking panasnya, tubuh Anjas sampai merinding dan mengeluarkan keringat dingin. "Dia bahkan belum pernah melakukan begituan. Bagaimana bisa dia tau semua jurus dan posisi bercinta? Ternyata dia tak sepolos yang aku bayangkan," lirih Anjasmara. "Anjas, sedang apa kamu?" Zaskia panik. "Membaca tulisanmu," Zaskia mendelik. Dia meletakan nampan yang dibawanya ke atas meja lalu menutup laptop miliknya. Wajahnya bersemu merah, dia malu gambaran cerita adegan panasnya dibaca oleh sang suami. Entah apa yang sedang ada didalam pikiran Anjas tentang Zaskia saat ini, yang jelas Zaskia takut Anjas berpikir jelek tentangnya. "Aku baru tau kalau kamu penulis novel dewasa," "Kenapa memangnya? Ada yang salah dengan genre novel itu? Kalau kamu tidak suka jangan dibaca!" "Emh... Aku suka, makannya aku baca tadi. Ngomong-ngomong, akan sangat menyenangkan jika adegan dalam ceritamu itu di praktekan. Mau mencobanya denganku?" "Idih, ogah!" Zaskia memonyongkan bibirnya. "Jangan langsung menolak dong, coba saja dulu. Dijamin kamu akan ketagihan," "Anjas, beraninya kamu menggodaku seperti itu. Terima ini..." Zaskia mengambil bantal guling dan memukulkannya kepada Anjas. Anjas berlari menghindari kejaran Zaskia, keduanya seperti kucing dan tikus yang sedang bermain di dalam kamar. Pemandangan lucu itu terlihat oleh Ningrum, tak pelak wanita paruh baya itu tertawa keras. Sadar ada yang sedang memperhatikan, Zaskia dan Anjas menghentikan kelakuan konyol mereka. "Eh, Ibu. Ada apa Bu?" tanya Zaskia kikuk. "Ibu dan Bapak mau keluar sebentar, kalian berdua jaga rumah ya," sahut Ningrum. "Pergi kemana Bu?" "Arisan teman pensiunan Bapakmu," "Oh, iya Bu. Hati-hati dijalan." Ningrum beranjak pergi, Zaskia dan Anjas saling melempar pandangan mata. Zaskia melotot pada Anjas, dia kesal karena pria itu telah berani mengeluarkan kata kata ngeres untuk menggodanya. Tidak salah sih, karena Zaskia adalah istrinya. Tapi Zaskia merasa mereka berdua belum layak untuk membahas hal-hal intim bersama. "Lain kali jangan merayuku dengan kata-kata seperti itu lagi!" Oceh Zaskia. "Aku tidak bisa janji," "Kenapa begitu?" "Karena aku.... Aku suka melihatmu emosi dan marah-marah seperti tadi. Ha.... Ha.... Ha...." Anjas menikmati secangkir teh nya. Dia tidak memperdulikan Zaskia sedang ngedumel panjang pendek. Bersambung....Suasana kelas siang itu terasa berbeda bagi Ray. Sejak beberapa minggu terakhir, Prilan berubah drastis. Gadis itu, yang biasanya cerewet dan selalu mencari perhatian Ray, kini seolah menarik diri. Tak ada lagi pesan singkat penuh emotikon lucu. Tak ada lagi komentar-komentar manja di setiap unggahan Ray di media sosial.Bahkan, di kelas pun Prilan bersikap dingin. Jika dulu dia selalu duduk di bangku dekat Ray hanya untuk bisa melihat wajahnya lebih jelas, kini gadis itu memilih duduk di deretan paling belakang, menunduk, fokus pada buku-bukunya, seolah Ray tak pernah ada.Awalnya, Ray mengira ini hanya fase sesaat. Tapi semakin lama, semakin terasa bahwa Prilan benar-benar menjauhinya. Ada sesuatu yang hilang dari hari-harinya.“Bro, lo kenapa dari tadi murung?” tanya salah satu teman Ray, menepuk bahunya.Ray hanya menghela napas, matanya tak lepas dari punggung Prilan yang sedang membereskan buku di mejanya. “Gue nggak ngerti, kenapa dia tiba-tiba gini,” gumamnya lirih.Temannya m
Sudah seminggu Ray tidak pernah lagi mengganggu Prilan. Tidak ada godaan saat melewati lorong kelas, tidak ada panggilan iseng di kantin, bahkan senyum menyebalkannya pun tak terlihat lagi.Sebaliknya, Ray kini lebih sering terlihat di lapangan basket, dikelilingi para siswi yang tertawa-tawa melihat aksinya menggiring bola. Wajahnya yang tampan dan postur tingginya seperti magnet bagi para gadis. Tapi tidak bagi Prilan.Setidaknya, itu yang ingin dia yakini.Dari balik jendela kelas, Prilan memperhatikan Ray yang sedang tertawa bersama teman-teman basketnya. Keringat membasahi pelipisnya, tapi senyum itu—senyum yang dulu sering ditujukan padanya—kini tampak bebas, liar, dan milik semua orang kecuali dirinya.Entah kenapa, dadanya terasa sesak.“Huh, sok ganteng,” gumam Prilan pelan, sambil memalingkan wajah dari jendela.Namun, suara langkah kaki yang cepat membuatnya menoleh kembali. Seorang gadis berambut ikal sebahu, mengenakan rok abu dan jaket sekolah, berlari kecil ke arah Ray.
Langit sore menggelap perlahan, menyisakan bias jingga yang muram di jendela kamar Ray. Ia duduk termenung di tepian ranjang, menatap lantai tanpa benar-benar melihat apa pun. Napasnya berat. Di tangannya, ponsel menyala redup dengan pesan terakhir dari Prilan yang hanya dibacanya tanpa balasan.Harusnya Ray tak tersinggung saat gadis itu menolaknya. Sejak awal, cara Ray mendekati gadis itu memang sudah salah.Anjas memperhatikannya dari ambang pintu. Ia tak butuh waktu lama untuk tahu ada yang tidak beres. Langkahnya ringan, tapi terdengar jelas di lantai kayu yang bergemeretak pelan. Ia menghampiri putranya dan duduk di sebelahnya tanpa banyak bicara."Ray," panggilnya lembut.Ray tak menoleh. Dia hanya menunduk lebih dalam, bahunya terangkat seolah sedang menahan sesuatu. Anjas menghela napas, lalu bertanya pelan, "Ada apa, Nak?"Butuh beberapa detik sebelum Ray menjawab, suaranya serak dan pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku ditolak... sama Prilan."Anjas mendengus kecil. Lalu, ta
Ray membuka pintu rumah dengan langkah gontai, masih mengenakan seragam SMA-nya yang sedikit kusut karena seharian duduk di kelas dan... patah hati. Matanya kosong menatap ke depan, wajahnya lesu seperti baru saja kalah dalam pertandingan penting. Padahal biasanya, pulang sekolah dia selalu bersemangat, langsung menceritakan kegiatannya pada sang ibu.Zaskia yang sedang duduk di ruang tamu langsung bangkit begitu melihat putranya masuk."Ray, kamu pulang, Nak. Ganti baju dulu, ya. Mamih udah siapin makan siang kesukaanmu, ayam goreng kremes dan sambal terasi," ucapnya dengan senyum lembut, berusaha menyambut Ray dengan hangat seperti biasa.Ray hanya mengangguk pelan tanpa suara. Ia melewati ibunya begitu saja, menuju kamarnya. Zaskia mengerutkan dahi. Ada yang tidak beres.Beberapa menit kemudian, Ray kembali ke ruang makan dengan kaus oblong dan celana pendek. Mereka duduk berhadapan, menyantap makan siang dalam keheningan. Zaskia sesekali melirik anaknya, mencari celah untuk memula
Sinar matahari siang menyorot cerah ke lapangan sekolah. Jam istirahat baru saja dimulai, dan para siswa berhamburan keluar dari kelas, mencari hiburan dan angin segar. Beberapa berkumpul di kantin, sebagian lagi duduk di bawah pohon rindang. Tapi perhatian sebagian besar siswa hari itu tertuju ke lapangan basket.Ray berdiri di tengah lapangan dengan bola basket di tangan. Seragam olahraganya basah oleh keringat, tapi senyumnya justru semakin lebar. Di depannya, Dedi berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya sedikit memburu. Mereka baru saja menyelesaikan ronde pertama permainan satu lawan satu.“Lanjut, atau mau menyerah?” Ray memutar bola di ujung jarinya, matanya menantang.Dedi mendengus. “Jangan mimpi. Aku belum selesai.”Kerumunan siswi di pinggir lapangan bersorak saat Ray melesakkan bola ke dalam ring dengan gerakan lay-up yang mulus. Gerakannya lincah, cepat, dan penuh percaya diri. Setiap lemparan selalu tepat sasaran, membuat banyak gadis berdecak kagum.“Gila, Ray jago
Anjas berdiri diam di balkon rumahnya, memandangi langit senja yang merona jingga. Angin sore berembus pelan, menerpa wajahnya yang terlihat letih. Di tangannya tergenggam cangkir kosong, sisa kopi yang tadi dia teguk perlahan.Pikirannya tidak berada di sana. Ia melayang jauh ke masa lalu, ke sebuah masa yang sudah dia kubur dalam-dalam tapi tiba-tiba mencuat kembali. Ingatannya tentang seorang gadis di bangku SMA—mantan kekasihnya—menyeruak tanpa diundang.Gadis itu begitu menyayanginya. Tapi Anjas, dalam kebodohannya yang remaja, hanya memanfaatkannya. Ia pura-pura mencintai hanya demi membuat Zaskia, gadis yang benar-benar ia sukai saat itu, merasa cemburu. Cinta yang dipaksakan, tak pernah tumbuh meski dia mencoba. Sampai akhirnya Anjas memutuskan hubungan itu secara sepihak—dingin, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf."Aku tidak bisa terus berpura-pura," ucapnya saat itu, tanpa tahu betapa hancurnya hati gadis itu.Karma memang tidak pernah lupa alamat, pikir Anjas getir. Ki







