🔥🔥🔥
Pagi hari, Zaskia dan Anjas pamit pergi kepada orangtua Zaskia. Usai bersalaman dan saling berpelukan, keduanya masuk ke dalam mobil mewah milik Anjas. Meski Ayah dan Ibunya tidak menangis, Zaskia tau kalau saat ini mereka sedang bersedih. Mobil berjalan meninggalkan rumah Zaskia, semakin lama semakin menjauh hingga akhirnya bayangan rumah itu hilang ditelan lekukan jalan. Zaskia menjauh dari kaca jendela mobil, dia menyeka beberapa tetes air mata yang jatuh membasahi pipinya. "Berhenti menangis. Kamu bisa mengunjungi mereka kapanpun kamu mau, aku tidak akan melarang dan mengekang mu," "Janji?" "Iya, aku janji." Anjas meletakan telapak tangannya diatas kepala Zaskia lalu mengusapnya beberapa kali. Untuk sesaat Zaskia tertegun mendapat perlakuan manis dari suaminya, ada yang aneh dari sikap Anjas padanya. Apa pria itu diam-diam telah menyukainya? Zaskia menggelengkan kepalanya, dia mencoba mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba hinggap di kepalanya. Anjas menyukainya? Tidak mungkin. Pria kaku dan galak seperti Anjas tidak akan tertarik pada wanita apa lagi jatuh cinta. Zaskia mencoba menghitung jumlah kendaraan yang berhasil disalip oleh Anjas. Satu, dua, tiga. Lama-lama matanya diserang rasa kantuk, Zaskia pun terpejam dan terbang kedalam mimpi indah. Beberapa jam berlalu, terasa sebuah tangan mencubit pipi Zaskia pelan. Zaskia membuka mata, dia memperhatikan keadaan sekitarnya. "Apa sudah sampai?" "Sudah, ayo kita turun," Zaskia turun dari mobil, disusul dengan Anjas. Pria bertubuh tinggi besar itu mengambil koper milik Zaskia dan menyeretnya ke arah rumah baru mereka. Sebuah rumah berukuran besar dengan gaya arsitektur khas eropa. "Ini bukan rumah, ini lebih mirip dengan istana tempat raja-raja mengurung hamba sahayanya," seloroh Zaskia asal. "Kalau begitu, aku adalah raja dan kamu hamba sahayanya," "Aku? Oh... No. Kecuali kamu mau memberikan seluruh harta kekayaanmu padaku tanpa syarat, aku baru mau menjadi hamba sahaya mu," 'Jangankan harta, hidupku pun jika kamu mau aku akan memberikannya Zaskia.' batin Anjasmara. Anjas memasang sangat mencintai Zaskia, tapi dia terlalu gengsi untuk mengakuinya. Terlebih, wanita itu sangat galak dan bermulut pedas. Entah apa yang akan terjadi pada Anjas jika Zaskia tahu Anjas menyukainya. Seorang wanita paruh baya keluar menyambut kedatangan Anjas dan Istrinya. Dia adalah Bi sumi ART yang telah bekerja lama pada Ayah Johan. Anjas meminta Bi Sumi bekerja di rumahnya karena merasa wanita itu bisa melayani dan mengawasi Zaskia dengan baik. "Selamat siang, selamat datang Pak, Bu," ucap Bi Sumi ramah. Wajahnya yang ceria dan murah senyum mengundang perhatian Zaskia. Sudah berumur, tapi masih memiliki semangat untuk bekerja dengan keras. Mengurus rumah sebesar itu sendiri bukanlah perkara yang mudah. "Siang Bi. Kamar utama sudah siap?" "Sudah Pak," "Kalau kamar tamu bagaimana Bi," sambung Zaskia. "Kamar tamu? Memangnya mau ada tamu yang datang menginap dirumah kita Bu?" Bi Sumi memasang wajah bingung. "Untuk apa menyiapkan kamar tamu? Kita akan tinggal satu kamar disini, sama seperti waktu kita tinggal dirumah Ayah dan Ibu!" Tegas Anjas. Dia terlihat kesal, padahal Zaskia hanya bertanya soal kamar saja. Memang benar Zaskia ingin tinggal beda kamar dengan Anjasmara, sampai detik ini Zaskia belum bisa menerima kehadiran Anjas dalam hidupnya, tinggal satu kamar membuatnya merasa canggung. "Begitu saja marah," Zaskia menggerutu pendek. "Ikut aku!" Perintah Anjas. Zaskia mengikuti kemana langkah kaki suaminya pergi. Klak... Pintu sebuah kamar terbuka, Zaskia terperangah saat melihat isinya. Begitu mewah, rapih, dan dipenuhi oleh barang barang berharga mahal. Ada tiga hal yang menjadi fokus seorang Zaskia di kamar itu. Pertama, ukuran ranjangnya begitu besar. Kedua, ada cermin besar berdiri di sisi ranjang. Dan ketiga, ada sofa melengkung yang biasanya dipakai oleh pasangan untuk bercinta. Tiga benda itu berbau mesum, atau pikiran Zaskia saja yang mesum? Apa Anjas menyiapkan semua itu untuk bertempur dengannya? Barangnya terlihat mengkilat, jelas sekali Anjas baru saja membelinya. "Ada apa? Kenapa melamun?" Anjas menatap Zaskia sambil berkerut dahi. Fokus Zaskia pindah kepada bibir tipis nan ranum milik Anjas, lalu turun kearah leher, dada dan... Zaskia melarikan diri menuju kearah kamar mandi. Dia perlu mencuci wajahnya dengan air dingin agar pikiran kotornya bisa segera hilang. "Gadis yang aneh!" umpat Anjasmara. * Jam makan malam tiba. Bi Sumi telah menyiapkan aneka hidangan di atas meja makan. Meski makanan itu terlihat enak, Zaskia sama sekali tidak bernafsu untuk menyantapnya. "Em.... Anjas. Apa kamu sendiri yang telah membeli perabotan untuk mengisi rumah ini?" "Iya, aku membelinya secara online. Kenapa memangnya? Ada barang yang tidak kamu suka?" "Ah, bukan. Anu, apa kaca, ranjang dan sofa keramat itu kamu juga yang membelinya?" "Iya." Bulu kuduk Zaskia berdiri, dia merinding mendengar pengakuan dari suaminya. Terlebih tiba-tiba Anjas menatapnya dengan tatapan intens seolah Zaskia adalah mangsa yang siap untuk diterkam. "Kita tidak perlu kaca besar dan sofa itu," "Kata siapa tidak perlu? Bukankah kamu seorang penulis? Kamu pasti punya daya imajinasi tinggi dalam hal berbau itu," "Maksudnya?" "Aku ingin mengajakmu mempraktekannya," "Apa? Aku tidak mau!" "Kita lihat saja nanti, apa kamu masih bisa menolak ku." ucap Anjas dengan nada penuh percaya diri. Trak... Suara sendok terjatuh, Bi Sumi kaget mendengar percakapan pengantin baru yang begitu horor didengar. Wanita tua itu tersenyum malu, dia memutuskan untuk pergi dari ruang makan meninggalkan Zaskia dan Anjas berdua saja. "Berhenti membahas hal seperti itu di depan orang lain!" Omel Zaskia. "Kamu yang memulainya duluan tadi, aku hanya melanjutkannya saja." "Dengarkan ini baik baik Anjas. Aku tidak mau melakukan hubungan badan tanpa didasarkan perasaan cinta," tegas Zaskia. Dia mengatakan dengan sungguh sungguh dan serius. "Tapi aku mencintaimu Zaskia," celetuk Anjas. "Hah? Kamu bilang apa tadi?" Zaskia mendelik tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Bersambung....Sinar matahari siang menyorot cerah ke lapangan sekolah. Jam istirahat baru saja dimulai, dan para siswa berhamburan keluar dari kelas, mencari hiburan dan angin segar. Beberapa berkumpul di kantin, sebagian lagi duduk di bawah pohon rindang. Tapi perhatian sebagian besar siswa hari itu tertuju ke lapangan basket.Ray berdiri di tengah lapangan dengan bola basket di tangan. Seragam olahraganya basah oleh keringat, tapi senyumnya justru semakin lebar. Di depannya, Dedi berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya sedikit memburu. Mereka baru saja menyelesaikan ronde pertama permainan satu lawan satu.“Lanjut, atau mau menyerah?” Ray memutar bola di ujung jarinya, matanya menantang.Dedi mendengus. “Jangan mimpi. Aku belum selesai.”Kerumunan siswi di pinggir lapangan bersorak saat Ray melesakkan bola ke dalam ring dengan gerakan lay-up yang mulus. Gerakannya lincah, cepat, dan penuh percaya diri. Setiap lemparan selalu tepat sasaran, membuat banyak gadis berdecak kagum.“Gila, Ray jago
Anjas berdiri diam di balkon rumahnya, memandangi langit senja yang merona jingga. Angin sore berembus pelan, menerpa wajahnya yang terlihat letih. Di tangannya tergenggam cangkir kosong, sisa kopi yang tadi dia teguk perlahan.Pikirannya tidak berada di sana. Ia melayang jauh ke masa lalu, ke sebuah masa yang sudah dia kubur dalam-dalam tapi tiba-tiba mencuat kembali. Ingatannya tentang seorang gadis di bangku SMA—mantan kekasihnya—menyeruak tanpa diundang.Gadis itu begitu menyayanginya. Tapi Anjas, dalam kebodohannya yang remaja, hanya memanfaatkannya. Ia pura-pura mencintai hanya demi membuat Zaskia, gadis yang benar-benar ia sukai saat itu, merasa cemburu. Cinta yang dipaksakan, tak pernah tumbuh meski dia mencoba. Sampai akhirnya Anjas memutuskan hubungan itu secara sepihak—dingin, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf."Aku tidak bisa terus berpura-pura," ucapnya saat itu, tanpa tahu betapa hancurnya hati gadis itu.Karma memang tidak pernah lupa alamat, pikir Anjas getir. Ki
Lily duduk di sofa dengan wajah masam, tangannya sibuk membolak-balik amplop berisi uang yang baru saja diberikan Kevin. Jumlahnya jauh lebih sedikit dari biasanya. Dadanya berdesir panas. Dengan ekspresi tak percaya, ia menoleh ke arah suaminya yang duduk di kursi sebelah, tampak tenang seperti tak terjadi apa-apa. “Apa ini?” suara Lily meninggi, matanya menatap Kevin dengan tajam. Kevin tetap tenang. Ia merapikan lengan bajunya sebelum menjawab, “Uang bulanan.” “Ini tidak cukup! Biasanya kamu kasih lebih banyak, kenapa tiba-tiba dikurangi?” Lily mencibir, matanya berkilat marah. Kevin menarik napas panjang, lalu bersandar ke sofa. “Aku cuma menyesuaikan dengan kebutuhan yang sebenarnya. Selama ini kamu terlalu boros, Lily.” Lily mendengus sinis. “Boros? Aku cuma belanja, kumpul sama teman-teman, itu wajar buat seorang istri! Aku tidak mungkin diam di rumah terus kayak ibu rumah tangga kuno.” Kevin mengangkat satu alis. “Ibu rumah tangga kuno? Maksudmu yang mengurus suami
Pukul 07.00 pagi, suara deru sepeda motor terdengar di halaman depan rumah Ray. Dua sosok turun membuka helem mereka—Tata dengan wajah ceria dan Prilan yang tak kalah semangat. Mereka disambut Anjas, ayah Ray, yang baru saja selesai menyiram tanaman di halaman."Ray masih di dalam, tunggu sebentar ya," kata Anjas sambil tersenyum ramah. "Kalian duluan saja masuk ke mobil Om, motor biar tinggal di sini.""Oke, Om." sahut Tata.Tak lama, Ray keluar dengan kaus putih dan celana pendek. Rambutnya masih sedikit basah, menunjukkan ia baru selesai mandi. Ia tersenyum kecil, tetapi matanya langsung tertuju pada Tata dan Prilan yang tampak sangat akrab."Ayo berangkat sebelum panas," kata Tata riang.Perjalanan ke pantai hanya memakan waktu satu jam. Ray yang menyetir, Anjas duduk di depan menemaninya, sementara Tata dan Prilan duduk di bangku belakang. Tawa Tata dan Prilan memenuhi kabin mobil. Mereka membicarakan hal-hal konyol—tentang masa sekolah, meme lucu, dan rencana Tata yang ingin men
Taksi berhenti perlahan di depan sebuah rumah besar berlantai dua. Begitu pintunya dibuka, Prilan melongo, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya menyapu seluruh bagian bangunan megah itu. Pilar-pilar tinggi menjulang dengan ornamen klasik menghiasi bagian atasnya. Dindingnya berwarna putih gading dengan jendela besar dan balkon yang dihiasi tanaman gantung. Rumah itu tak ubahnya seperti istana kerajaan Eropa yang sering ia lihat di film."Astaga… ini rumah Ray?" gumam Prilan pelan sambil menoleh ke Tata yang berdiri di sampingnya.Tata mengangguk mantap. "Iya. Ini rumah yang benar kok. Aku udah cek GPS dan nomornya pas."Prilan menelan ludah. Ia memang tahu Ray anak orang kaya, tapi ia tak pernah menyangka sekaya ini. Ia pikir, paling banter rumah besar biasa di komplek elit. Tapi ini… ini terlalu megah."Ini kita tidak salah rumah, kan?" tanya Prilan sekali lagi, ragu. Matanya terus menatap gerbang besi hitam yang menjulang tinggi dengan ukiran mewah.Tata tersenyum
Suasana sekolah siang itu cukup tenang, hingga suara panggilan dari pengeras suara menggema di seluruh sudut bangunan tua SMA Merdeka."Prilan Amelia, harap segera ke ruang kepala sekolah." ujar salah seorang guru berkacamata kuda. Wajahnya nampak serius tapi menyiratkan rasa iba.Langkah Prilan terasa berat saat menuju kantor. Perutnya mual karena cemas. Ini bukan kali pertama ia dipanggil karena hal yang sama—tunggakan SPP yang belum juga terbayar.Begitu sampai, ia melihat Pak Hendra, kepala sekolah, duduk dengan wajah masam di balik meja kayunya bercat coklat."Silakan duduk, Prilan," ucapnya datar.Gadis itu menunduk dan duduk dengan hati-hati. Jantungnya berdegup kencang, dia sudah tahu apa yang akan disampaikan oleh guru galak itu. Tapi Prilan berusaha bersikap santai dan tenang, meskipun aslinya sangat kacau."Ini sudah bulan keempat kamu belum bayar SPP. Buku paket juga belum lunas, uang kegiatan belum ada, bahkan seragam olahraga belum kamu belum dibayar."Prilan menunduk le