Tumpukan berkas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatiannya. Padahal pagi tadi ia sudah menargetkan jika hari ini akan lembur menyelesaikan semua pekerjaan yang menumpuk. Alasannya agar bisa menemani sang tante melakukan check up rutin besok pagi. Laki-laki yang sedang duduk di kursi Direktur Yayasan HAS itu adalah Akram Hazami Ardanuansyah. Putra dari pasangan seorang politikus ternama di Kota Makassar dan seorang dokter spesialis kulit.
Saat ini Akram tengah terdiam. Laki-laki berparas tampan itu larut dan tenggelam dalam pikirannya yang terjebak akan pertemuannya dengan seseorang. Tepatnya seorang gadis yang sudah beberapa waktu ini tidak pernah lagi ia temui. Bahkan saat mengunjungi sebuah kantor perusahaan yang tidak jauh dari kantornya sendiri. Tempat gadis itu bekerja, Pradipta Land Zona Timur atau lebih dikenal dengan PLZT.
Arum, gadis itu terlihat terkejut dan ketakutan melihat dirinya. Saking terkejutnya, gadis yang mengenakan dress putih selutut bermotif bunga itu sampai menjatuhkan kantong belanjaannya. Kemudian Arum pergi seolah kabur begitu saja. Hal yang paling mengusik Akram adalah reaksi gadis itu. Arum membelalak menatapnya sambil memeluk perutnya sendiri. Menggeleng seolah memohon jangan mendekat atau menyakitinya.
Masih terpatri dalam ingatan Akram wajah pucat Arum. Begitu juga penampilan gadis itu yang berbeda dari biasanya. Tidak ada setelan kemeja, blazer, rok ataupun celana panjang bahan yang memberikan kesan kaku padanya. Gadis yang berdiri tepat di hadapannya beberapa waktu lalu di depan sebuah minimarket itu terlihat anggun.
"Bagaimana bisa dia terlihat secantik itu? Sejak kapan? Arum… dia benar-benar wujud dari bunga lili. Matanya… itu kali pertama aku melihat netra coklat seindah itu. Tapi kenapa selama ini dia sembunyikan?" gumam Akram sambil mengusap dagu dengan telunjuknya.
Matanya terpejam seolah enggan kehilangan bayangan gadis yang jutek itu. Sekilas saja orang akan tahu ia menawan meski tanpa riasan. Sederhana dengan rambut yang terjepit sebagian. Bukan rambut terkuncir atau disanggul ketat dan rapi seperti biasanya. Terlebih mata gadis itu bisa bertatapan langsung dengan matanya tanpa terhalang kacamata yang biasa digunakannya.
Seulas senyum terbit di wajah Akram dengan mengingat semua itu. Apalagi jika dirinya datang ke kantor Pradipta. Dirinya akan disambut gadis itu yang berstatus sebagai sekretaris Direktur Utama Pradipta Land Zona Timur. Gadis yang sejak pertemuan pertama membuatnya terpaku pada senyum sinis karena memujinya cantik. Kesan pertama yang dimilikinya untuk seorang Arumi Liliana adalah gadis mandiri, berani, pandai dan berpendirian.
Mengingat bagaimana gadis itu dengan berani memberinya peringatan untuk tidak sembarangan memujinya karena dirinya tidak membutuhkan hal itu. Basa-basi Akram langsung ditepis. Meminta dengan sopan agar dirinya segera mengatakan tujuan dan maksud kedatangannya.
Saat sang atasan keluar dan menegur Arum, gadis itu menjawab dengan sopan pada atasannya. Jawaban yang menyentil hati Akram. Arum mengaku akan bersikap sopan jika tamu yang datang juga tidak melewati batas karena mereka sedang berada di kantor. Terlebih masih jam kerja, sehingga hanya akan membahas masalah pekerjaan, bukan masalah pribadi. Lagi-lagi Akram tersenyum mengingat hal itu.
Karakter Arum sangat mirip dengan karakter tantenya, Hastuti yang merupakan kakak dari papanya. Begitu juga putri dari pemilik Perusahaan Pradipta, Abhisa Sabiya yang merupakan cinta pertamanya. Mengetahui jika Biya sibuk menangani Pradipta Foundation yang sementara waktu menggantikan bundanya, Akram bertekad ingin kembali mendekati gadis itu. Terlebih pekerjaannya yang belakangan ini menggantikan tantenya yang sedang sakit membuka akses pertemuan dengan gadis pujaannya. Tapi pertemuannya dengan Arum tadi seketika menghadirkan dilema. Siapa yang harus ia kejar? Biya atau Arum?
"Pak Akram, Pak. Pak Akram!!" teriak Lita memanggil atasannya yang sudah melamun sejak beberapa menit yang lalu.
"Ada apa? Kenapa Bu Lita teriak? Saya tidak tuli!" bentak Akram yang terkesiap karena terkejut. Belum lagi ketukan keras sebuah pulpen di tepi meja kacanya. Sembari mengelus dadanya, Akram menatap wajah cemberut wanita 35 tahun itu. "Kalau saya jantungan seperti Tante Uti bagaimana?"
"Idih... Bos, ngaku ganteng tapi jantungnya lemah. Mengecewakan! Saya itu dari tadi ketuk pintu. Panggil atasan saya kayak panggil penjual cilok yang sudah hampir hilang di ujung gang. Saya berdiri di sini pun masih tidak dengar. Ya saya teriak lagi toh! Ada apa sih, Pak Akram melamun kayak orang diusir dari rumah saja?" tanya Lita dengan bibir manyunnya karena Akram melotot seolah hendak mencekiknya.
"Ya Allah, dosa apa saya harus punya sekretaris kayak Bu Lita? Ocehannya kayak Tante Uti saja. Ada apa?" Kini Akram serius bertanya.
"Mau buat Bos senang tak terkira," jawab wanita itu ambigu.
"Bawa kabar apa? Ada investor yang mau suntik dana ke yayasan?" tanya Akram yang akhirnya tersenyum. Belakangan ini memang yayasan milik om dan tantenya sedikit mengalami masalah keuangan. Itu menjadi salah satu faktor yang memicu stres tante kesayangannya.
"Belum ada. Saya ke sini mau menyampaikan kalau bulan depan... saya itu mau ajukan resign. Biar Bos tidak ketemu saya lagi." Wanita itu mengangguk mengulas senyum lega.
"Niat sekali pendam dendam sama saya? Memangnya ucapan saya selama jadi atasan Bu Lita, ditampung semua dan dibalas sekarang? Bu Lita benar-benar kesal sama saya? Saya seperti itu juga karena belum terbiasa dengan semua tekanan pekerjaan ini Mbak. Saya masih mau bebas kerjakan apa yang saya suka," keluh Akram.
Jika sudah menyebut 'Mbak' pada sekretaris tantenya yang selama beberapa bulan ini juga menjadi sekretarisnya, pasti Akram akan melupakan wibawanya. Ia akan berubah menjadi bocah yang merajuk dan mencurahkan perasaannya. Lita sudah bekerja hampir sembilan tahun dengan Hastuti. Wanita itu sudah cukup mengenal Akram. Begitu juga masalah yang dialami Akram sejak remaja. Pemuda itu lebih memilih untuk ikut tantenya sejak menanggalkan seragam abu-abunya dibandingkan tinggal bersama kedua orang tua kandungnya sendiri.
Akram bukan sepupunya Riswan yang bisa diatur hidupnya oleh kedua orang tuanya. Ia lebih menyukai sastra dibandingkan politik atau bisnis. Tapi kedua orang tuanya seakan tidak mau tahu dan menganggap hal yang disukainya itu tidak akan mampu menunjang masa depannya kelak. Papanya yang pecinta nama baik dan sorotan publik. Sementara mamanya yang pencinta uang. Semua orang suka uang, tapi mamanya berada dalam kategori matre. Itu menurut Akram pribadi.
"Mbak mau resign karena mbak hamil. Suami mbak sarankan sebaiknya mbak ambil cuti. Tapi hasil pemeriksaan dokter bilang, kandungan mbak yang sekarang tidak sekuat kehamilan yang pertama. Kamu ingatkan, dulu mbak pernah keguguran? Sekarang mbak tidak mau ambil resiko lagi Ram," ungkap Lita sambil memeluk perutnya dengan kedua tangannya seolah ada yang akan menyakiti kandungnya. "Mbak bilang lebih awal supaya kamu bisa cepat cari pengganti. Kamu bisa seleksi dan pilih yang terbaik. Mbak sudah bilang sama Bu Hastuti dan Pak Haslanuddin. Alhamdulillah mereka mengerti sama keputusan mbak ini."
Prakk!!
Tumpukan map berkas di sudut meja jatuh. Sebagian isinya berserakan di lantai. Jatuh karena disenggol Akram yang tiba-tiba beranjak dari kursinya. Setelah beberapa saat memperhatikan tangan Lita yang memeluk perutnya, Akram berlari keluar dari ruangannya.
"Akram, kamu kenapa? Hei, kamu mau ke mana?! Pak Akram!!!" teriak Lita kebingungan. "Apa dia segitunya tidak ingin aku resign? Dia syok? Aneh?"
###
Akram memacu mobilnya kembali ke minimarket tempat dirinya bertemu Arum. Kini ia mengerti ekspresi wajah terkejut sekaligus ketakutan gadis itu ketika bertemu dengan dirinya. Gadis? Arum bukan lagi seorang gadis dan itu karena dirinya.
Malam ketika dirinya yang setengah sadar menyentuh gadis itu memenuhi pikirannya. Tepatnya… tanpa sadar ia sudah memaksanya. Akram ingat bagaimana Arum menangis ketakutan menarik selimut dan mengancamnya untuk tidak mendekat. Begitu juga noda merah di seprei putih di tempat tidur tempatnya bangun dengan kepala yang nyaris meledak.
Akram memukul setir melampiaskan sesak di dadanya dan kembali menambah kecepatan mobilnya. Ia sadar jika perbuatannya salah dan demi apapun ia harus mencari tahu kebenarannya. Jika dugaannya benar Arum saat ini mengandung, maka ia yakin jika anak itu adalah darah dagingnya. Sudah cukup dosanya selama ini bermain wanita karena penolakan seorang Biya.
Kehidupannya di Singapura yang kadang membayar wanita malam sudah ia tinggalkan. Akram belum siap menikah dengan perjodohan yang selama ini ditawarkan mamanya. Ditambah lagi permintaan papanya yang ingin dirinya terjun berpolitik. Hal yang membuatnya kabur ke Singapura dan menyusul sepupunya yang kuliah bisnis di sana.
Awalnya ia hanya melampiaskan stres dengan alkohol. Berharap minuman itu bisa membuatnya lupa dengan masalahnya. Pergaulan buruknya membawanya terjun ke dunia malam. Termasuk pergaulan bebas dengan sesekali melakukan ons. Tergiur dan terjerat dengan kenikmatan sesaat yang membuatnya sesat.
Kebutuhan biologis dan pelariannya dari masalah, menjadikan rangkaian perangai buruk itu sebagai pelampiasan dan penenang sejenak. Bermain aman karena tidak ingin terjebak. Hingga saat sepupunya datang dan bertanya tidakkah dirinya takut jika zina yang dilakukannya akan menjadi karma suatu hari nanti? Terlebih dirinya memiliki adik perempuan.
Setelah kembali ke Indonesia, ia tidak pernah lagi melakukan dosa itu. Meskipun kadang ia masih keluar masuk diskotik untuk menenggak beberapa gelas minuman haram. Bahkan kebiasaan buruknya dengan minuman itu sudah benar-benar ia jauhi sejak tantenya Hastuti jatuh sakit. Memintanya agar menyelamatkan yayasan milik keluarga suaminya.
Awalnya Akram menolak karena selain merasa kurang mampu, ia juga malu. Namun melihat tantenya terus memohon ia pun akhirnya setuju. Hastuti memang tidak bisa memiliki keturunan sehingga suami istri pemilik Yayasan HAS itupun mengadopsi seorang anak. Tapi Aylana, gadis remaja yang kini duduk di kelas 2 SMA itu masih terlalu muda dan polos. Belum waktunya dibebani dengan urusan seberat itu.
Tadi saat melihat Lita memeluk perutnya, Akram tertegun. Sama seperti yang dilakukan Arum dengan perutnya. Tapi ekspresi wajah keduanya sangat berbeda. Bisa dibilang justru reaksi keduanya bertolak belakang.
Lita dengan senyum bahagianya mengatakan dirinya sedang hamil, hendak mengajukan resign. Sementara Arum yang sempat dicari tahu kabarnya beberapa waktu telah resign dengan alasan sakit. Kini nama Arum menari-nari di dalam pikiran dengan segala tanda tanya yang kini memenuhi benaknya.
"Kamu resign karena sakit apa? Apa karena kamu hamil?" batin Akram kembali menggerutu karena terjebak macet.
###
Bersambung....
Pembaca setia goodnovel, cerita ini akan update dua kali sehari. Siang sekitar pukul 13.00 WIB dan malam sekitar pukul 19.00 WIB. Tinggalkan komentar, kritik dan saran kamu. Aku tunggu vote dan dukungan kalian lainnya apapun bentuknya. Jangan lupa mampir baca ceritaku yang lainnya. Terima kasih.... Follow sosmed Ratihkasaja
Ketakutan Arum ketika tatapan mereka bertemu seolah menjawab semuanya. Kini ia bisa menduga jika itu adalah salah satu alasan Arum resign dari Perusahaan Pradipta. Karir gadis itu sudah cemerlang. Bahkan dia menjadi salah satu karyawan favorit dan panutan di perusahaan itu karena kinerjanya yang totalitas. Lantas apa yang membuat Arum harus rela melepaskan pekerjaannya di perusahaan bonafit itu? Mengapa Arum terus menggeleng dan melangkah mundur menjauhinya? Berlari pergi bahkan meninggalkan kantong belanjaannya yang terjatuh ketika refleks memeluk perutnya. Dering ponselnya sejak tadi diabaikan Akram. Tidak peduli siapa yang sedang menghubunginya. Saat ini hanya satu nama yang memenuhi pikirannya, Arumi Liliana. Akram masih memiliki rasa takut akan dosa dan karma. Tentu saja ia tidak ingin jika hal itu menimpa adik kandungnya Adina dan Aylana adik sepupunya. Dirinya memang seorang pengecut. Tapi ia tidak ingin terus terjebak dalam kubangan dosa dan penyesalan yang akan menggerogot
"Wan, aku…." "Hm." "Aku menghamili seorang gadis," ucap Akram kembali terdiam dengan mata terpejam. "Uhuk uhuk uhuk!!" Riswan berusaha meredakan batuknya dan menoleh dengan syok. "APA?!!" Akram sudah menduga akan menerima pukulan keras dari kakak sepupunya itu. Dirinya bahkan sama sekali tidak berniat mengelak. Hingga suara batuk Riswan tidak lagi terdengar, Akram perlahan membuka mata. Ia tidak berani menoleh ke samping. Sudut hatinya merasa lega dan ngilu disaat yang sama. Sejujurnya ia tidak sanggup menatap sepasang mata yang sudah seringkali menyembunyikan kesalahannya itu. Akram tahu jika Riswan tidak akan melepaskannya kali ini. Dulu ketika Riswan memergokinya di kamar hotel dalam keadaan mabuk bersama seorang wanita, ia babak belur. Entah kali ini tangan atau kakinya yang akan patah, ia seolah tidak peduli. Saat ini... ia benar-benar butuh untuk dipukuli. "Ulangi!" desis Riswan yang merasa jika baru saja mendengar sepupunya itu bergurau. "Aku... telah menghamili seora
"Di mana ini?" Suara lirih itu mengalihkan perhatian beberapa wanita yang sedang duduk memperhatikan katalog produk kecantikan. Wanita paruh baya yang duduk di sofa tunggal itu pun menghampirinya dan tersenyum hangat padanya. "Kepala kamu masih pusing? Ada yang sakit?" tanyanya masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Wanita yang menurut Arum terlihat begitu cantik dan berkelas diusianya yang sudah tidak muda lagi. "Saya baik-baik saja. Di mana ini? Apa Nyonya yang membawa saya ke tempat ini? Apa ba-" "Dia sehat, bertahan demi ibunya," selanya. Arum menghela lega karena bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Sempat terpikir hal buruk ketika merasakan sakit seperti tertusuk di bagian perut. Keterbatasan biaya membuatnya tidak ke rumah sakit memeriksakan kandungannya. "Kata putra teman saya, kamu kelelahan dan stres. Itu tidak baik loh untuk wanita hamil," lanjutnya masih dengan tersenyum. Seorang lagi turut menghampiri. "Saat ini kamu di klinik. Tadi pingsan di depan butik
Arum terdiam di kamar rawat inapnya di Klinik Mariska. Cukup terkejut mengetahui wanita berjilbab maroon itu adalah istri dari sang pemilik klinik dan menempatkannya di kamar VVIP kliniknya. Mengetahui hal itu ketika salah seorang dokter kandungan yang menurutnya masih sangat muda datang memeriksa kondisinya. Dokter bernama Dwi itu pun bertanya tentang hubungannya dengan sang pemilik klinik. Awalnya bingung karena ia sama sekali tidak tahu siapa pemilik klinik tempatnya berada sekarang. Setelah sang dokter mengatakan jika tadi melihat istri, anak, menantu dan cucu Prof. Hamizan dan beberapa orang di ruangannya, barulah Arum sadar maksud ucapannya. Pertanyaan itu diutarakan sambil menunjuk bordiran snellinya yang berlogo klinik dan terdapat tulisan 'Klinik Mariska' yang akhirnya memahami maksud pertanyaan itu. Arum akhirnya menjawab jika mereka tidak memiliki hubungan khusus. Dirinya hanya pernah bertemu dua kali dengan wanita paruh baya itu. Pertama kali saat acara resepsi pernikah
Haslan dan Hastuti saling lirik ketika melihat sang adik sudah mondar-mandir menunggu kedatangan putra sulungnya. Ardan memang sengaja ke rumah kakak perempuannya itu untuk menemui putranya. Ada hal penting yang penting dan mendesak ingin ia bicarakan dengan Akram. Istrinya berniat untuk menjodohkan Akram dengan seorang gadis dari keluarga pengusaha batu bara di Kalimantan. Sementara dirinya berniat menjodohkan Akram dengan putri bungsu dari salah satu anggota DPR pusat yang sudah pensiun dari dunia politik karena alasan kesehatan. Tapi sejak beberapa hari lalu mereka mengirim pesan, sama sekali tidak ditanggapi oleh Akram. Sudah berkali-kali suami istri itu menggeleng melihat Ardan. Sesekali terdengar mengumpat dengan ponselnya yang berdering namun tidak kunjung dijawab putranya. Suara mobil yang cukup familiar menarik perhatian mereka. Tak lama setelah itu muncul keponakan mereka yang lain, Riswan. Laki-laki yang baru beberapa hari lalu genap berusia 31 tahun itu menatap ketiganya
"Bagaimana Pak Ardan? Apakah putra Anda setuju untuk ikut serta dalam kampanye kita awal bulan nanti?" tanya Syarief. Tersirat ada permohonan dari intonasi suara dan pengucapannya.Ardan menarik napas dalam-dalam sembari memijat kepalanya. Kemudian menoleh menatap dua pemuda yang sedang sibuk di dapur. Terlihat keponakannya sedang memasak sesuatu di kompor. Sementara putranya sendiri sibuk mengambil nasi di rice cooker."In sya Allah Pak Syarief. Anda tahu sendiri hubungan saya dan Akram tidak sebaik hubungan Anda dengan anak-anak Anda. Tapi Akram tidak pernah bisa menolak keinginan kakak ipar saya. Jika bujukan saya tidak berhasil, maka Bang Haslan yang akan menyeretnya datang ke acara itu," jelas Ardan yang membuat rekan politiknya itu terkekeh."Keponakan Anda, Riswan, sore tadi mampir di posko induk. Dia bilang sama ketua tim sukses kita kalau tidak bisa hadir saat kampanye. Tapi dia pastikan akan cuti saat hari pemilihan nanti. Dia datang ke posko tidak dengan tangan kosong. Dia
Ardan kembali terdiam menatap punggung putranya yang pamit ingin masuk ke kamar. Sore tadi ia mencari putranya ke rumah kontrakannya. Tapi putra sulungnya tidak ada di sana, karena ternyata Akram berada di apartemen Riswan. Saat ia meminta asisten pribadinya untuk mampir mengecek ada tidaknya mobil putranya di parkiran basemen apartemen Riswan, tidak ada mobil putranya di sana. Harusnya ia meminta mengecek sampai ke pintu unit itu.Mobil Akram ternyata ada di bengkel dan baru saja diantarkan montir ke rumah kakaknya. Sayangnya saat tiba di rumah kakaknya, ia belum juga berhasil menemukan putranya. Seolah Akram sengaja menghindari dirinya dan itu membuatnya sangat kesal. Ada hal penting yang ingin dibicarakannya langsung dengan sang putra. Percuma bicara di telpon karena belum masuk ke topik utama, Akram akan mengakhiri panggilan tersebut.Kalimat panjang putranya tadi membuatnya bungkam. Ini pertama kalinya Ardan merasa jika selama ini ia lupa atau tepatnya tidak menyadari semua itu.
Riswan menatap bingung sepupunya yang kini dengan mudahnya tertidur pulas. Seolah masalah besar yang dihadapinya tidak berarti sama sekali. Sementara dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sahabatnya Rian, baru saja mengirimkan pesan. Arum berada di sebuah klinik swasta tak jauh dari rumah orang tua Akram. Kabar itu akurat karena Rian menjemput ibu mertuanya di klinik itu.Awalnya cukup sulit melacak keberadaan Arum karena ponsel wanita itu tidak aktif. Walau nomor ponselnya sudah berganti, tapi tidak dengan akun email yang masih digunakan Arum untuk penelusuran internet. Dari situlah ahli IT itu tahu jika keberadaan Arum terakhir kali aktif adalah di sebuah pasar tradisional.Setelah tanpa sengaja bertemu dengan Arum. Rian menjelaskan jika adiknya, Tania sedang menemani mertuanya, Nyonya Delia menjenguk tetangganya yang dirawat di Kliknik Mariska. Keduanya bertemu Aluna, Mariska dan kedua anak kembarnya di parkiran klinik. Mereka berteriak pada paramedis untuk segera membantu memin