Share

Bukan Sekelumit Sesal
Bukan Sekelumit Sesal
Author: Rat!hka saja

Part 1 Memeluk Perut

Tumpukan berkas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatiannya. Padahal pagi tadi ia sudah menargetkan jika hari ini akan lembur menyelesaikan semua pekerjaan yang menumpuk. Alasannya agar bisa menemani sang tante melakukan check up rutin besok pagi. Laki-laki yang sedang duduk di kursi Direktur Yayasan HAS itu adalah Akram Hazami Ardanuansyah. Putra dari pasangan seorang politikus ternama di Kota Makassar dan seorang dokter spesialis kulit.

Saat ini Akram tengah terdiam. Laki-laki berparas tampan itu larut dan tenggelam dalam pikirannya yang terjebak akan pertemuannya dengan seseorang. Tepatnya seorang gadis yang sudah beberapa waktu ini tidak pernah lagi ia temui. Bahkan saat mengunjungi sebuah kantor perusahaan yang tidak jauh dari kantornya sendiri. Tempat gadis itu bekerja, Pradipta Land Zona Timur atau lebih dikenal dengan PLZT.

Arum, gadis itu terlihat terkejut dan ketakutan melihat dirinya. Saking terkejutnya, gadis yang mengenakan dress putih selutut bermotif bunga itu sampai menjatuhkan kantong belanjaannya. Kemudian Arum pergi seolah kabur begitu saja. Hal yang paling mengusik Akram adalah reaksi gadis itu. Arum membelalak menatapnya sambil memeluk perutnya sendiri. Menggeleng seolah memohon jangan mendekat atau menyakitinya.

Masih terpatri dalam ingatan Akram wajah pucat Arum. Begitu juga penampilan gadis itu yang berbeda dari biasanya. Tidak ada setelan kemeja, blazer, rok ataupun celana panjang bahan yang memberikan kesan kaku padanya. Gadis yang berdiri tepat di hadapannya beberapa waktu lalu di depan sebuah minimarket itu terlihat anggun. 

"Bagaimana bisa dia terlihat secantik itu? Sejak kapan? Arum… dia benar-benar wujud dari bunga lili. Matanya… itu kali pertama aku melihat netra coklat seindah itu. Tapi kenapa selama ini dia sembunyikan?" gumam Akram sambil mengusap dagu dengan telunjuknya. 

Matanya terpejam seolah enggan kehilangan bayangan gadis yang jutek itu. Sekilas saja orang akan tahu ia menawan meski tanpa riasan. Sederhana dengan rambut yang terjepit sebagian. Bukan rambut terkuncir atau disanggul ketat dan rapi seperti biasanya. Terlebih mata gadis itu bisa bertatapan langsung dengan matanya tanpa terhalang kacamata yang biasa digunakannya. 

Seulas senyum terbit di wajah Akram dengan mengingat semua itu. Apalagi jika dirinya datang ke kantor Pradipta. Dirinya akan disambut gadis itu yang berstatus sebagai sekretaris Direktur Utama Pradipta Land Zona Timur. Gadis yang sejak pertemuan pertama membuatnya terpaku pada senyum sinis karena memujinya cantik. Kesan pertama yang dimilikinya untuk seorang Arumi Liliana adalah gadis mandiri, berani, pandai dan berpendirian.

Mengingat bagaimana gadis itu dengan berani memberinya peringatan untuk tidak sembarangan memujinya karena dirinya tidak membutuhkan hal itu. Basa-basi Akram langsung ditepis. Meminta dengan sopan agar dirinya segera mengatakan tujuan dan maksud kedatangannya. 

Saat sang atasan keluar dan menegur Arum, gadis itu menjawab dengan sopan pada atasannya. Jawaban yang menyentil hati Akram. Arum mengaku akan bersikap sopan jika tamu yang datang juga tidak melewati batas karena mereka sedang berada di kantor. Terlebih masih jam kerja, sehingga hanya akan membahas masalah pekerjaan, bukan masalah pribadi. Lagi-lagi Akram tersenyum mengingat hal itu.

Karakter Arum sangat mirip dengan karakter tantenya, Hastuti yang merupakan kakak dari papanya. Begitu juga putri dari pemilik Perusahaan Pradipta, Abhisa Sabiya yang merupakan cinta pertamanya. Mengetahui jika Biya sibuk menangani Pradipta Foundation yang sementara waktu menggantikan bundanya, Akram bertekad ingin kembali mendekati gadis itu. Terlebih pekerjaannya yang belakangan ini menggantikan tantenya yang sedang sakit membuka akses pertemuan dengan gadis pujaannya. Tapi pertemuannya dengan Arum tadi seketika menghadirkan dilema. Siapa yang harus ia kejar? Biya atau Arum?

"Pak Akram, Pak. Pak Akram!!" teriak Lita memanggil atasannya yang sudah melamun sejak beberapa menit yang lalu.

"Ada apa? Kenapa Bu Lita teriak? Saya tidak tuli!" bentak Akram yang terkesiap karena terkejut. Belum lagi ketukan keras sebuah pulpen di tepi meja kacanya. Sembari mengelus dadanya, Akram menatap wajah cemberut wanita 35 tahun itu. "Kalau saya jantungan seperti Tante Uti bagaimana?"

"Idih... Bos, ngaku ganteng tapi jantungnya lemah. Mengecewakan! Saya itu dari tadi ketuk pintu. Panggil atasan saya kayak panggil penjual cilok yang sudah hampir hilang di ujung gang. Saya berdiri di sini pun masih tidak dengar. Ya saya teriak lagi toh! Ada apa sih, Pak Akram melamun kayak orang diusir dari rumah saja?" tanya Lita dengan bibir manyunnya karena Akram melotot seolah hendak mencekiknya.

"Ya Allah, dosa apa saya harus punya sekretaris kayak Bu Lita? Ocehannya kayak Tante Uti saja. Ada apa?" Kini Akram serius bertanya.

"Mau buat Bos senang tak terkira," jawab wanita itu ambigu.

"Bawa kabar apa? Ada investor yang mau suntik dana ke yayasan?" tanya Akram yang akhirnya tersenyum. Belakangan ini memang yayasan milik om dan tantenya sedikit mengalami masalah keuangan. Itu menjadi salah satu faktor yang memicu stres tante kesayangannya.

"Belum ada. Saya ke sini mau menyampaikan kalau bulan depan... saya itu mau ajukan resign. Biar Bos tidak ketemu saya lagi." Wanita itu mengangguk mengulas senyum lega.

"Niat sekali pendam dendam sama saya? Memangnya ucapan saya selama jadi atasan Bu Lita, ditampung semua dan dibalas sekarang? Bu Lita benar-benar kesal sama saya? Saya seperti itu juga karena belum terbiasa dengan semua tekanan pekerjaan ini Mbak. Saya masih mau bebas kerjakan apa yang saya suka," keluh Akram.

Jika sudah menyebut 'Mbak' pada sekretaris tantenya yang selama beberapa bulan ini juga menjadi sekretarisnya, pasti Akram akan melupakan wibawanya. Ia akan berubah menjadi bocah yang merajuk dan mencurahkan perasaannya. Lita sudah bekerja hampir sembilan tahun dengan Hastuti. Wanita itu sudah cukup mengenal Akram. Begitu juga masalah yang dialami Akram sejak remaja. Pemuda itu lebih memilih untuk ikut tantenya sejak menanggalkan seragam abu-abunya dibandingkan tinggal bersama kedua orang tua kandungnya sendiri. 

Akram bukan sepupunya Riswan yang bisa diatur hidupnya oleh kedua orang tuanya. Ia lebih menyukai sastra dibandingkan politik atau bisnis. Tapi kedua orang tuanya seakan tidak mau tahu dan menganggap hal yang disukainya itu tidak akan mampu menunjang masa depannya kelak. Papanya yang pecinta nama baik dan sorotan publik. Sementara mamanya yang pencinta uang. Semua orang suka uang, tapi mamanya berada dalam kategori matre. Itu menurut Akram pribadi.

"Mbak mau resign karena mbak hamil. Suami mbak sarankan sebaiknya mbak ambil cuti. Tapi hasil pemeriksaan dokter bilang, kandungan mbak yang sekarang tidak sekuat kehamilan yang pertama. Kamu ingatkan, dulu mbak pernah keguguran? Sekarang mbak tidak mau ambil resiko lagi Ram," ungkap Lita sambil memeluk perutnya dengan kedua tangannya seolah ada yang akan menyakiti kandungnya. "Mbak bilang lebih awal supaya kamu bisa cepat cari pengganti. Kamu bisa seleksi dan pilih yang terbaik. Mbak sudah bilang sama Bu Hastuti dan Pak Haslanuddin. Alhamdulillah mereka mengerti sama keputusan mbak ini."

Prakk!!

Tumpukan map berkas di sudut meja jatuh. Sebagian isinya berserakan di lantai. Jatuh karena disenggol Akram yang tiba-tiba beranjak dari kursinya. Setelah beberapa saat memperhatikan tangan Lita yang memeluk perutnya, Akram berlari keluar dari ruangannya.

"Akram, kamu kenapa? Hei, kamu mau ke mana?! Pak Akram!!!" teriak Lita kebingungan. "Apa dia segitunya tidak ingin aku resign? Dia syok? Aneh?"

###

Akram memacu mobilnya kembali ke minimarket tempat dirinya bertemu Arum. Kini ia mengerti ekspresi wajah terkejut sekaligus ketakutan gadis itu ketika bertemu dengan dirinya. Gadis? Arum bukan lagi seorang gadis dan itu karena dirinya. 

Malam ketika dirinya yang setengah sadar menyentuh gadis itu memenuhi pikirannya. Tepatnya… tanpa sadar ia sudah memaksanya. Akram ingat bagaimana Arum menangis ketakutan menarik selimut dan mengancamnya untuk tidak mendekat. Begitu juga noda merah di seprei putih di tempat tidur tempatnya bangun dengan kepala yang nyaris meledak.

Akram memukul setir melampiaskan sesak di dadanya dan kembali menambah kecepatan mobilnya. Ia sadar jika perbuatannya salah dan demi apapun ia harus mencari tahu kebenarannya. Jika dugaannya benar Arum saat ini mengandung, maka ia yakin jika anak itu adalah darah dagingnya. Sudah cukup dosanya selama ini bermain wanita karena penolakan seorang Biya. 

Kehidupannya di Singapura yang kadang membayar wanita malam sudah ia tinggalkan. Akram belum siap menikah dengan perjodohan yang selama ini ditawarkan mamanya. Ditambah lagi permintaan papanya yang ingin dirinya terjun berpolitik. Hal yang membuatnya kabur ke Singapura dan menyusul sepupunya yang kuliah bisnis di sana.

Awalnya ia hanya melampiaskan stres dengan alkohol. Berharap minuman itu bisa membuatnya lupa dengan masalahnya. Pergaulan buruknya membawanya terjun ke dunia malam. Termasuk pergaulan bebas dengan sesekali melakukan ons. Tergiur dan terjerat dengan kenikmatan sesaat yang membuatnya sesat.

Kebutuhan biologis dan pelariannya dari masalah, menjadikan rangkaian perangai buruk itu sebagai pelampiasan dan penenang sejenak. Bermain aman karena tidak ingin terjebak. Hingga saat sepupunya datang dan bertanya tidakkah dirinya takut jika zina yang dilakukannya akan menjadi karma suatu hari nanti? Terlebih dirinya memiliki adik perempuan.

Setelah kembali ke Indonesia, ia tidak pernah lagi melakukan dosa itu. Meskipun kadang ia masih keluar masuk diskotik untuk menenggak beberapa gelas minuman haram. Bahkan kebiasaan buruknya dengan minuman itu sudah benar-benar ia jauhi sejak tantenya Hastuti jatuh sakit. Memintanya agar menyelamatkan yayasan milik keluarga suaminya. 

Awalnya Akram menolak karena selain merasa kurang mampu, ia juga malu. Namun melihat tantenya terus memohon ia pun akhirnya setuju. Hastuti memang tidak bisa memiliki keturunan sehingga suami istri pemilik Yayasan HAS itupun mengadopsi seorang anak. Tapi Aylana, gadis remaja yang kini duduk di kelas 2 SMA itu masih terlalu muda dan polos. Belum waktunya dibebani dengan urusan seberat itu. 

Tadi saat melihat Lita memeluk perutnya, Akram tertegun. Sama seperti yang dilakukan Arum dengan perutnya. Tapi ekspresi wajah keduanya sangat berbeda. Bisa dibilang justru reaksi keduanya bertolak belakang.

Lita dengan senyum bahagianya mengatakan dirinya sedang hamil, hendak mengajukan resign. Sementara Arum yang sempat dicari tahu kabarnya beberapa waktu telah resign dengan alasan sakit. Kini nama Arum menari-nari di dalam pikiran dengan segala tanda tanya yang kini memenuhi benaknya.

"Kamu resign karena sakit apa? Apa karena kamu hamil?" batin Akram kembali menggerutu karena terjebak macet.

###

Bersambung....

Rat!hka saja

Pembaca setia goodnovel, cerita ini akan update dua kali sehari. Siang sekitar pukul 13.00 WIB dan malam sekitar pukul 19.00 WIB. Tinggalkan komentar, kritik dan saran kamu. Aku tunggu vote dan dukungan kalian lainnya apapun bentuknya. Jangan lupa mampir baca ceritaku yang lainnya. Terima kasih.... Follow sosmed Ratihkasaja

| Like
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Ratu Bee
Baru cek kembali ternyata part-nya sudah 90-an ... rajin up ya kakak
goodnovel comment avatar
sarimallarangeng
Koin sebanding ya sama panjang ceritanya. 180 K lumayan panjang, tapi suka karena sudah tamat. Tidak perlu ditunggu updatenya
goodnovel comment avatar
Lisani
Dari Pf sebelah aku ke sini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status