Adina merasa tubuhnya diguyur air dingin sampai seluruh tubuhnya membeku. Akram menjeda kalimatnya dan mencoba mengumpulkan keberaniannya lagi. Keberanian untuk jujur pada sosok yang paling ia percaya untuk menyimpan rahasianya selain Riswan. "Kakak, kakak tidak sadar sudah memaksa dia. Kakak mabuk. Kakak minta maaf sudah mengecewakan kamu. Kakak benar-benar minta maaf," ungkapnya lagi penuh penyesalan. "Aku kecewa sama Kakak...." balasnya. Suara lirih itu rasanya menusuk Akram seperti belati. Ia tahu ini kesalahannya. Tapi mendengar adiknya sendiri mengatakan kecewa kepadanya membuatnya ingin menenggelamkan dirinya ke kolam renang dengan melompat di balkon kamar adiknya. Adina melepas pelukannya dan memilih menatap karpet bulu yang di pijaknya. Kata 'memaksa' yang baru saja dikatakan oleh kakaknya membuat darahnya mendidih. Tidak menyangka jika kakaknya bisa berbuat setega itu. Dari pantulan cermin, Adina melihat Akram yang terdiam menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sua
"Kakak mau tanggung jawab Dek, itu anaknya kakak! Tidak mungkin kakak biarkan mereka hidup menderita! Apalagi kalau sampai jadi anak orang lain. Tidak akan! Kakak lagi cara supaya dia mau ketemu sama kakak dan kasih kesempatan buat memperbaiki segalanya!" ujar Akram menggebu. "Jadi Kakak sudah yakin mau tanggung jawab?" tanya Adina dan Akram balas dengan jawaban yakin penuh kesungguhan. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku sudah capek-capek rangkai kalimat panjang karena mengira Kak Akram mau kabur lagi karena tidak mau pusing?" Adina melepas pelukannya sambil mencebik lalu beranjak menarik tissu di atas meja riasnya.Akram hanya melongo melihat reaksi adik perempuannya. Tidak pernah menduga akan dikejutkan untuk kedua kalinya. Sesantai itukah adiknya menanggapi masalah besar yang dihadapinya? Adina mengulurkan beberapa lembar tissu pada Akram yang bergeming. Tanpa tahu sebenarnya Adina hanya berusaha untuk membuat kakaknya lega karena telah mau membagi beban dengannya. Adina tidak in
"Waw! Apa ini keberuntungan untukku?" Seringai jahil itu disertai gelengan kepala adiknya. Akram mencebik, jelas-jelas tadi adiknya mengatakan jika kembar tiga angka maka adiknya akan traktir tiket courtside pertandingan berikutnya."Ini gara-gara Faiz! Aku beneran bisa bangkrut ini!" gerutu Adina yang teringat akan janjinya. Saat waktu tersisa 65 detik, skor pertandingan 105-101. Ia tidak menyangka jika dalam dalam 30 detik terakhir, Raiz dan Faiz kembali menambah skor dengan masing-masing melesatkan tri point. Sorak kemenangan membahana di stadion. Di layar televisi, Adina bisa melihat Faiz dan Raiz menghampiri kedua orangtuanya juga tantenya. Ada juga seorang bocah laki-laki yang sudah berkenalan dengannya beberapa waktu lalu. Para pemain kembali ke tengah lapangan untuk menerima piala."Kenapa harus gara-gara Faiz? Memangnya dia bilang mau cetak banyak poin sampai skor timnya sampai 111, begitu? Lagian memangnya kamu kenal dekat sama dia sampai sewot begitu?" tanya Akram tidak hab
"Siapa?" "Cowok baik hati, santun, rajin sholat, penyayang, perhatian, suka anak kecil, cakep, tinggi, pinter, berprestasi, mandiri, terus dia juga humoris. Kurang sabaran sih, sedikit keras kepala, sedikit berisik, nggak jaim, totalitas, sedikit pemaksa. Hal yang paling aku suka, dia orangnya jujur dan gigih," ungkap Adina. "Limited edition tuh! Kamu coba mengerjai kakak? Mana ada cowok sesempurna itu. Ada-ada saja!" sanggahnya. "Aku tidak mengada-ada. Dia bahkan sudah sabar tunggu aku bilang ya dari dua tahun lalu," cicit Adina karena Akram ragu dengan ucapannya. "Jangan halu, Dek!" pintanya sembari geleng kepala. Melihat reaksi kakaknya, Adina kembali mengumpulkan keberanian dengan berkata, "Dia pernah kok minta izin langsung sama papa sama mama buat kenal dekat sama aku. Tapi sepertinya papa sama mama mengabaikan ucapannya dan menganggap kalau itu cuma omongan bocah ingusan." Adina jadi terkekeh mengingat hal itu. "Apa?! Kapan?!" Akram sampai menegakkan kepalanya. "Waktu ak
"Memangnya kenapa kalau pakai lama?" tanya Akram setelah berhasil meredakan amarahnya. Wajah memelas adiknya cukup membuatnya luluh sejenak. "Saya prihatin, kalau kelamaan mikirnya, bisa stres. Energi tubuh lebih banyak yang terkuras saat berpikir dibandingkan kegiatan fisik. Apalagi masalah cewek itu bukan masalah yang mudah untuk dihadapi," sahut Faiz. Dalam hati Akram membenarkan ucapan Faiz. Terlalu lama berpikir membuatnya stres. Bocah ingusan ini ternyata cukup banyak tahu juga tentang menghadapi wanita. Pantas saja adiknya tanpa ragu bilang berharap jadi istrinya sekalian. Tapi sebagai kakak, ia tidak akan semudah itu mengizinkan adiknya pacaran dengan laki-laki yang tidak ia kenal. Mungkin setelah beberapa kali bertemu nanti, ia bisa menarik kesimpulan tentang laki-laki bernama Faiz itu. "Kakaknya Adina bukan cuma saya saja. Masih ada yang lain. Jangan harap jalan kamu mulus." Akram mencoba menyurutkan semangat Faiz. "Iya, kalau itu saya sudah tahu Kak Akram. Memang sih jaw
Arum gelisah di tempat tidurnya. Sudah beberapa kali ia bolak-balik ke kamar mandi. Malam ini tubuhnya dan janinnya seolah tidak bersahabat. Sejak kemarin sore menyadari jika Akram diam-diam membuntutinya, ia belum bisa benar-benar tenang. Setiap kali terdiam, lagi-lagi pria itu yang terbayang. Bisa ia lihat betapa hawatirnya pria itu saat dirinya hampir saja tersandung karena berjalan tidak memperhatikan langkah kakinya sendiri. Justru Arum sibuk mencuri pandang melihat siluet yang sejak beberapa waktu ini coba dihindarinya. Ia tidak mengerti alasan mengapa Akram hanya berdiri di tempat jauh? Harusnya datang menghampiri saja dan bertanya secara langsung seperti kebiasaan Akram selama ini. Hal itu membuatnya merasa diuntit. Arum sudah bisa mengendalikan diri dengan tidak lari kala melihat pria itu seperti beberapa waktu lalu. Sadar bahwa dirinya tidak boleh gegabah karena kalau tidak, akan mempengaruhi kondisi janinnya. Disatu sisi ia bersyukur pria itu tidak mendekat karena tidak ta
Ardan dan Novita terdiam di sofa depan televisi setelah kepergian mendadak Akram. Suara dari panggilan telpon tadi membuat perasaan mereka berkecamuk. Mereka tidak pernah menyangka jika Akram yang keras kepala dan sulit diatur itu punya sisi lain yang mengejutkan. Mulut Akram selalu berkata tidak peduli namun kenyataan berkata lain. Akram diam-diam menjaga keluarganya dan melakukan apa yang papanya inginkan darinya selama ini dengan caranya sendiri. "Papa tahu tentang hal ini?" tanya Novita. "Tidak Ma. Papa juga syok," jawab Ardan menyandarkan kepalanya di punggung sofa dan memandang langit-langit ruangan. "Anak keras kepala kita... huh... papa selalu saja salah paham padanya." "Tidak heran sih, meski dia jauh dari kita beberapa tahun terakhir ini. Tapi Akram masih mendengar baik ucapan om dan tantenya. Dia juga masih punya Riswan yang selalu sabar mengingatkannya kalau dia mulai bertindak aneh," ujar Novita bersandar di bahu suaminya. "Menurut papa siapa pelakunya?" "Ada lima pasa
Sepulang dari rumah orang tuanya, Akram kembali ke rumah kontrakannya. Rumahnya sendiri selama beberapa tahun ini. Rumah kecil dengan dua kamar tidur di sebuah perumahan kelas menengah. Pagi ini ia harus berangkat ke kantor Yayasan HAS untuk bekerja. Sudah beberapa hari ini ia banyak menunda pekerjaannya sejak bertemu Arum dan memikirkan keinginan perjodohan dari kedua orang tuanya. Sebelum ke kantor, ia menyempatkan diri untuk sekedar menunggu beberapa saat di depan sebuah kost-kostan yang diketahuinya sebagai tempat tinggal Arum belakangan ini. Wanita itu tidak lagi tinggal di apartemen khusus karyawan perusahaan Pradipta. Mengetahui itu kost umum, bukan khusus wanita membuatnya resah. Menurutnya itu bukan tempat aman bagi Arum yang tinggal seorang diri. Betapa terkejutnya ia melihat Arum keluar sambil terus melirik jam di pergelangan tangannya. Padahal mungkin saja tidak ada yang menyadari keberadaannya yang sedang duduk di dalam mobilnya sendiri karena terhalang pelindung kaca. A