Share

Bukan Simpanan CEO
Bukan Simpanan CEO
Penulis: Lunetha Lu

#1 Tertangkap Basah

Gadis itu mengangkat kedua tangan, menengadahkan tangannya untuk dipandangi. Membalik-balikkannya dan memerhatikan dengan raut datar bekas luka yang ada di sana. Luka yang sudah kering dan sudah sembuh, namun masih ada jejak goresan dan bekas jahitan.

Dia lalu membuka lemari pakaiannya, memilih blus lengan panjang yang dapat menutupi bekas lukanya. Ia tersenyum simpul menatap pantulan dirinya di cermin.

Sempurna.

Semuanya terlihat tampak normal.

***

Sudah dua tahun Aneth tinggal di indekos yang letaknya di bagian selatan ibu kota. Menurutnya, lokasi di sana cukup strategis, banyak pusat perkantoran besar. Mengingat profesinya sebagai desainer grafis lepas, ia bisa mencari suasana baru dan mempelajari permintaan kebutuhan desain perkotaan. Selain itu akses kendaraan umum seperti bus juga mudah dijangkau.

Keputusan untuk tinggal sendiri di indekos sebenarnya sebagai salah satu bentuk pelariannya. Butuh waktu satu tahun semenjak lulus kuliah, dia berusaha mendapatkan ijin dari mama. Memohon, meminta, merengek, dan akhirnya hanya dengan sedikit kata dari kak Rena, mama menyetujuinya.

Semudah itu beliau mendengarkan kata-kata kak Rena, tapi mengapa selalu menentang permintaannya? Ia hanya mendengkus mengingat kejadian yang sudah berlalu itu.

Setidaknya sekarang, setelah dua tahun tinggal di indekos, Aneth bisa membuktikan kalau dia pantas hidup sendiri dan mampu mengatur dirinya sendiri. Ia berharap bisa terlepas dari hari-harinya yang bagaikan mimpi buruk di rumah orang tuanya.

“Nona Ranetha Claire, perkenalkan saya Rebecca.” Seorang wanita tersenyum ramah dan mengulurkan tangan padanya. “Anda sudah ditunggu Pak CEO. Mari, saya akan mengantar Anda,”

‘Pak CEO?’

Apa Aneth tidak salah dengar?

Bukankah waktu itu katanya dia akan bertemu dengan penanggung jawab sayembara yang mewakili perusahaan?

Baru-baru ini Aneth memenangkan sayembara desain yang diadakan oleh PT Akina Herbalindo dalam rangka mendesain kemasan limited edition untuk LORA kosmetik, produk kosmetik lokal yang belakangan sangat digemari perempuan kalangan muda dan dewasa. Dan hari ini adalah hari di mana ia akan menandatangani kontrak dan perjanjian terkait desainnya dengan perusahaan tersebut.

Aneth mengikuti wanita bernama Rebecca memasuki lift, yang membawa mereka ke lantai tiga puluh tujuh. Tiba-tiba saja telapak tangannya berkeringat. Lalu terasa seperti ada yang berputar-putar dalam perutnya. Meski keputusan juara utama telah jatuh padanya, tapi tetap saja, bagi seorang introvert yang masih dalam masa pemulihan melewati gangguan stres pascatraumanya, dia gugup saat akan menghadapi suatu hal yang baru, tempat baru, dan orang baru.

Ia terbiasa bekerja dari balik laptopnya, berkomunikasi secara tulisan dengan kliennya melalui sebuah situs yang menampung para pekerja lepas. Klien-klien yang ditemui biasanya tidak akan membahas banyak hal karena mereka sudah sepakat melalui platform. Hanya dalam keadaan tertentu mereka akan bertemu secara langsung.

Ketika tiba di depan pintu besar berwarna gelap, terasa aura perwujudan dari ruangan seseorang yang berkuasa di sana. Rebecca kemudian mengetuknya, disambut suara merdu seorang pria dari balik pintu yang mempersilakan mereka masuk.

***

Jantung Aneth yang sejak tadi berdegup cepat sudah tidak bisa lagi berdetak lebih cepat dari sekarang. Bukan, bukan karena ini pertemuan pertama mereka. Bukan juga karena sosok yang sangat tampan sempurna berada di hadapannya. Tapi ia sungguh tidak mengira kalau Direktur dari PT Akina Herbalindo berasal dari keluarga Leovin, Yuka Damiani Leovin.

Dia tidak pernah mencari tahu siapa pemiliknya, siapa Direkturnya, atau tentang perusahaannya. Yang ia pelajari hanya mengenai LORA kosmetik itu sendiri, demi kelancarannya membuat desain.

Aneth meremas sisi celana di bagian lututnya menahan gugup. Ia tahu betul siapa laki-laki di depannya, tetapi tidak yakin laki-laki itu tahu siapa dia.

Saat tiba di ruangannya tadi, laki-laki itu meminta maaf atas keterlambatannya—sekitar lewat lima belas menit dari jam yang dijanjikan—dan memintanya membahas kontrak di luar sebagai permintaan maaf sambil menikmati makan siang yang tertunda. Aneth pun menyetujuinya dengan gemetar-gemetar canggung.

“Jadi, Miss Ranetha, desain Anda akan dipakai untuk produk limited edition LORA kosmetik sampai jangka waktu yang tidak ditentukan dan menjadi hak milik PT Akina Herbalindo. Sehingga kami bebas menggunakan, mengeksplor, serta mengunggah desain yang sudah diberikan. Apa Anda sepakat?” jelas Yuka dengan wajah berwibawanya

Aneth tahu, usia laki-laki ini sekitar dua puluh tujuh tahun, hanya terpaut dua tahun di atasnya. Tapi dia bisa sangat sukses dan jauh segala-segalanya dari padanya.

“Ya, saya sepakat.” Susah payah ia berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang.

“Kalau begitu silakan baca ketentuan lebih lanjut yang ada di sini. Jika sudah setuju, Anda bisa menandatanganinya.” Laki-laki itu menyerahkan map berisi lembaran kertas yang harus ditandatanganinya.

Isi kepala Aneth terus saja disuguhkan pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi membuatnya gugup campur penasaran.

Apa dia tahu?

Apa dia sadar?

Apa dia mengingatnya?

Tapi dia tampak tenang. Mungkin tidak tahu?

Atau pura-pura tidak tahu?

Aneth pun berusaha mengenyahkan hal-hal yang mengganggunya sekarang dan fokus pada lembaran berkas yang ada di tangannya. Ini menjadi salah satu penentu kariernya. Sumber penghasilan yang menopangnya untuk hidup mandiri. Ia harus bisa mengesampingkan masalah lain.

Selesai membaca isi kontraknya, Aneth mengeluarkan pena dari dalam tas, menandatangani beberapa kolom yang memerlukan tanda tangannya. Terakhir, ia menggoreskan ujung pennya di bagian bermaterai. Dan, selesai.

Ia menyerahkannya kembali kepada laki-laki di hadapannya.

“Silakan Anda simpan lembar yang ini,” Yuka memberikan beberapa lembar kertas dan map baru untuknya.

“Kalau begitu, mari nikmati makan siang kita,” lanjut laki-laki itu sambil tersenyum.

Aneth tertegun. Senyumnya membuat pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi berseliweran di benaknya tiba-tiba menguap dan malah memerhatikan hal lain.

Sosok yang ada di hadapannya tidak cukup jika hanya disebut tampan. Garis wajahnya tegas dan berkharisma, hidung mancung yang lurus, bibir dengan lengkungan sempurna, dan bola mata kecoklatan yang tampak berkilau. Semua keindahan itu melekat pada wajahnya seolah dia adalah mahakarya.

Ah, orang ini memang terlalu mirip dengan ‘dia’.

Setelah mereka menyantap makanan dalam keheningan beberapa saat, laki-laki di hadapannya angkat suara.

Miss Ranetha.”

“Ya?”

“Saya rasa ada hal lain yang perlu kita bahas, kan?”

Mendadak Aneth tersedak oleh makan siangnya yang hampir habis. Ia meraih gelasnya dengan wajah berjengit. Meneguk minum perlahan dan membasahi bibirnya.

‘Sepertinya ini saatnya. Sepertinya dia sadar.’

Aneth sebetulnya tidak melakukan kesalahan, tapi mengapa dia merasa setakut ini? Tatapan mengintimidasi dari laki-laki itu membuatnya kembali gugup.

“Saya cuma mau memastikan kejadian waktu itu tidak akan tersebar dan sampai ke media,” ujar Yuka penuh makna.

“Ah, ya. Anggap saja saya tidak melihatnya.”

***

Kembali ke kejadian beberapa hari lalu, hari pertunangan teman kuliahnya dulu, Ivy dan Valdi Leovin. Aneth yang tidak sengaja bertemu dengan Ivy di mal, diundang ke pesta pertunangannya pada hari Sabtu. Tetapi, hal yang tidak terduga terjadi di hari itu.

Setelah mengunjungi Ivy lebih awal di kamar rias, Aneth pergi ke toilet di lorong yang masih sepi sebelum acara dimulai. Di sanalah, dia melihat hal yang tidak boleh dilihatnya. Sepasang manusia yang sedang bermesraan di depan toilet.

Matanya terbelalak maksimal menyaksikan apa yang ada di sana. Ia membatu. Si wanita melingkarkan lengannya di leher si pria dengan sebelah tangan menekan kepala pria itu. Sementara si pria—yang berdiri membelakangi Aneth—sedang balas memeluk wanita itu juga.

Jangankan Aneth, lukisan dan cicak di dinding pun sudah bisa menebak apa yang dilakukan pasangan itu. Semakin lama ia berdiri di sana, semakin panas pula adegan yang ditampilkan mereka. Tangan si pria yang mulai melalang buana menyusuri lekuk tubuh gadis di hadapannya, membuat dia jengah.

Aneth meringis, entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Dia terjebak dengan pilihan ganda di kepalanya. Berbalik pergi, melanjutkan jalan ke toilet melewati dua sejoli itu dengan tak acuh, atau haruskan dia berdeham? Perkaranya dengan toilet menjadi urusan yang sulit ditinggalkannya saat ini.

‘Cari toilet lainkah? Di mana lagi yang terdekat?’

Ia baru saja mundur selangkah ketika heels-nya beradu dan memunculkan suara ‘klotak’ yang cukup bisa membuat aktivitas kedua orang itu terhenti.

Aneth masih berdiri mematung ketika si wanita mulai menyadari kehadirannya, dan melonggarkan pelukan. Wanita cantik itu buru-buru melepaskan tangannya dan melangkah cepat dengan wajah menunduk ketika melewati Aneth. Sementara si pria sama terkejutnya dengan wanita tadi ketika berbalik dan menyadari alasan kepergian wanitanya.

Ketika sang pria menatapnya, Aneth masih bergeming. Tapi kini ganti ia yang terkejut. Wajah itu, wajah yang mirip dengan tunangan laki-laki di acara hari ini.

Sedikitnya Aneth tahu siapa dia. Aneth pernah melihatnya dulu bersama Valdi Leovin sewaktu kuliah. Dan lagi, orang ini cukup populer di kalangan media sosial. Pria yang barusan terpergok bermesraan adalah sepupu dari lelaki yang akan bertunangan hari ini, Yuka Damiani Leovin.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Lunetha Lu
Sesuatuu .....
goodnovel comment avatar
Lunetha Lu
Untungnya tidak ......
goodnovel comment avatar
Lunetha Lu
Semakin jauh episodenya semakin mendebarkan loh, kak.. banyak rahasia yang terkuak :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status