5. Hatiku Utuh untukmu

*** 

Semalam Raka tidak bisa tidur, ia terus saja melihat ponsel-nya, berharap Kanaya membalas pesannya. Raka hanya bisa menghela napas, saat tanda centang satu yang terlihat. Itu menandakan ponsel Kanaya tidak aktif.  Entah sudah berapa kali, ia mencoba menghubungi istrinya, tapi Kanaya tidak meresponnya sama sekali.

Raka langsung bergegas pergi ke luar rumah, harusnya Minggu ini ia masuk kantor untuk persiapannya berangkat ke luar kota untuk urusan dinas. Tapi, saat ini tanggung jawabnya yang utama adalah meredakan kemarahan istrinya.

Raka terus memacu mobilnya, ia sangat rindu Kanaya dan juga kedua anaknya. Raka menyesal, kenapa ia hanya sibuk memikirkan pekerjaannya dari pada keluarganya. Ia sadar, bahwa keluarga adalah nomor satu di atas kepentingan apapun.

Raka memencet bell rumah Alisya, tak lama Alisya membuka pintu dan terkejut melihat kedatangannya.

“Mas Raka,” ucap Alisya terkejut.

Raka tersenyum. "Kanaya sama anak-anak ada?” 

Alisya mengangguk, “Ada, Mas. Masuk saja, sepertinya Kanaya masih tidur. Habis sholat Shubuh, tadi dia tidur lagi. Katanya, kepalanya pusing,” jawabnya. “Aku panggilkan Kanaya dulu yah.”

Raka mengangguk dan tersenyum.

Tak berselang lama, Adam dan Maryam langsung berlari-lari dengan manja kearah Raka, mereka berebut ingin dipeluk oleh ayahnya.

“Ayah … Maryam kangen,” cicitnya sambil mencium pipi Raka.

“Ayah juga kangen sama Kakak dan Adek Adam,” balasnya sambil mencium satu-satu pipi kedua anaknya.

“Ayah, kenapa enggak ikut nginap di sini saja? Maryam sama Adek Adam seneng main di sini. Bunda juga senang dan ketawa terus,” ucap Maryam dengan polosnya.

“Biar kalian yang nginap dan main, kalau nanti ada om Zul, baru Ayah ikut nginap juga,” jawab Raka. “Bunda sudah bangun?”

Maryam menggelengkan kepalanya, “Bunda tidur lagi, matanya sembab.”

“Bunbun nangis, Yah,” celetuk Adam dengan polosnya.

Raka hanya mengelus rambut Adam dengan gemas, tak lama Alisya datang dengan wajah yang serba salah.

“Mas, mending Mas saja yang bangunin Kanaya, Mas bicara dari hati ke hati. Anak-anak biar denganku saja,” usul Alysa.

“Iya, Sya. Titip anak-anak sebentar yah,” pintanya dan Alisya mengangguk.

*** 

Raka menutup pintu kamar dan menguncinya, ia langsung mengelus rambut Kanaya dengan lembut. Istrinya masih tertidur dengan pulas dan ia tidak tega membangunkannya.

“Sayang … maafkan, Mas yah. Mas janji akan lebih baik lagi untuk membuatmu dan anak-anak bahagia,” gumamnya pelan sambil mengecup kening Kanaya.

Kanaya langsung membuka matanya, ia melihat Raka sedang menatapnya, beberapa detik ia masih belum sadar bahwa itu nyata. Namun, saat Raka mencium keningnya, ia langsung tersadar dan terkejut.

“Mas Raka!” pekiknya terkejut.

Raka tersenyum hangat, “Sudah bangun? Semalam tidur nyenyak?” tanyanya sembari terus mengelus puncak kepala Kanaya.

Kanaya mengangguk dan hanya memberi senyuman tipis.

“Mas kangen sama kamu, Nay. Semalam tidur Mas enggak bisa nyenyak. Mas kepikiran kamu dan juga anak-anak. Mas ngerasa jiwa Mas hilang setengahnya,” cicitnya.

Kanaya tak mengatakan apapun, ia hanya sibuk dengan pikirannya.

“Hari ini kita makan di luar, yuk!” ajak Raka.

Kening Kanaya mengernyit dan menatap Raka dengan tatapan tidak percaya, “Tumben, kamu mau ngajak kita makan di luar, Mas,” balasnya dingin.

“Sudah lama kita tidak pergi makan ke luar, Nay. Mas mumpung libur, Senin depan Mas mulai dinas lagi ke luar kota,” ucap Raka.

“Oh … pantas,” celetuk Kanaya.

“Sayang, kamu masih marah dengan Mas yah?”

“Tadinya sih enggak, tapi malam tadi tiba-tiba aku marah lagi sama kamu, Mas,” balasnya kesal.

“Marah karena apa? Mas bingung kalau kamu sedang marah, kamu tidak pernah mengatakan di mana letak kesalahan Mas, jadi Mas bingung untuk menyikapinya.”

“Letak kesalahanmu itu ya itu... tidak peka!” sahut Kanaya agak malas.

“Sayang … Mas itu bukan paranormal dan bisa baca hatimu dengan mudah. Jika Mas mudah membaca hatimu, Mas akan langsung memperbaiki kesalahan Mas. Jangan hanya diam dan juga tak bicara apapun. Caramu itu membuat Mas jadi serba salah, Nay.”

“Mas, aku itu bukan tidak ingin mengutarakan apa yang membuatku kesal sama kamu. Tapi, Mas yang selalu menyalahkanku, Mas suka bilang, aku kurang sabar lah, kurang mengerti dan juga mudah baper. Lalu, aku harus bagaimana?” tanyanya lirih. “Aku capek, Mas. Kamu selalu sibuk dengan duniamu, kamu tak pernah minta pendapatku, kamu anggap aku ini istrimu, kan?”

“Sayang, Mas bukan menyalahkanmu. Mas hanya ingin kamu tidak ambil pusing dengan obrolan yang akan membuatmu terluka. Dan juga Mas selalu menganggapmu wanita yang paling berharga di hati Mas, kamu adalah istri Mas selamanya dan sampai akhir. Mas akui, memang proyek ini sangat menyita waktu, sampai waktu untuk kalian harus Mas korbankan, masalah Mas enggak pernah minta pendapatmu itu, sepenuhnya tidak benar! Mas selalu memberitahukan semuanya padamu, kan?”

“Memang Mas selalu memberitahukannya, tapi tanpa minta pendapat atau persetujuanku. Mas kita hidup berumah tangga, ada 2 kepala, jadi Mas jangan memutuskan sendiri saja. Aku merasa saat ini Mas semakin sulit aku jangkau... Mas seperti lelaki asing bagiku, aku merasa kesepian Mas, aku butuh sandaran,” tutur Kanaya sambil terisak.

Raka langsung memeluk istrinya dengan erat, ia menyadari bahwa selama ini Kanaya merasa kesepian, “Maafkan, Mas... Mas memang salah, harusnya Mas lebih memperhatikanmu dan anak-anak,” sesalnya.

“Mas tidak mau bicara sesuatu?” tanya Kanaya.

Raka langsung melepaskan pelukannya, “Bicara apa?”

“Tentang semalam,” balas Kanaya.

“Semalam memangnya ada apa?” tanya Raka tak mengerti.

Kanaya langsung mengembuskan napasnya kesal, “Ya udah! Aku enggak akan tanya-tanya semalam ada apa di rumah!” 

“Kamu kenapa marah lagi, Sayang?” tanya Raka.

“Kamu memang enggak pernah peka dan tak jujur yah, Mas! Aku merasa kamu makin pintar bersandiwara,” sindir Kanaya.

“Apa lagi, Sayang?” tanyanya lirih.

“Lihat saja story adikmu di medsos!” kesal Kanaya.

Lalu, Raka melihat ponselnya dan ia terkejut saat melihat Story media sosial milik Rieke memajang photo tadi malam bersama Manda.

“Sayang, ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan, Mas hanya menyapa sebentar dan photo ini Rieke yang minta, katanya buat kenang-kenangan saja,” bela Raka.

“Kenangan dengan mantan memang tak mudah dilupakan yah, Mas! Apalagi mantan terindah,” sindir Kanaya.

“Nay, jangan dibahas lagi yah... Mas dan Manda hanya masa lalu, namanya masa lalu itu adalah sejarah dan sejarah tidak akan pernah terulang lagi,” tegas Raka.

“Kalau enggak dibahas, nanti Mas keenakan berteman dengan dia lagi,” kesal Kanaya.

“Meski mantan, berteman yah enggak apa-apa, Nay. Lagian hanya berteman dan Mas tidak ada perasaan apa-apa lagi sama dia.”

“Mas, harus tahu lho, dari hanya pertemanan saja, rasa bisa mudah berubah. Apalagi Mas dan dia dulu punya cerita indah. Hati-hati  dengan hati, jangan mudah menpermainkannya,” ucap Kanaya memperingatkan.

“Kamu jangan khawatir, Nay. Saat ini prioritas dan kebahagiaan Mas hanya kamu dan anak-anak, jadi hati Mas utuh milik kalian,” janji Raka.

“Huh! Gombal!” cibir Kanaya.

“Enggak apa-apa, kan pahala,” bangga Raka.

“Hmmm..."

“Pulang yuk! Habis ke rumah, kita ber-empat pergi ke luar,” ajak Raka. “Dan kamu bebas mau beli apapun.”

“Benar?” tanya Kanaya antusias. Mood-nya langsung berubah senang.

Raka mengangguk dan tersenyum.

“Terima kasih, Mas. Aku makin cinta sama kamu deh!” rayu Kanaya sambil mengecup singkat bibir Raka.

Raka tertawa dan memencet hidung istrinya dengan gemas. "Itu harus!"

***