Saat itu sang surya seolah sedang berada di atas kepala. Tentu saja, hal itu membuat siapa pun yang berada di luar ruangan—merasakan hawa panas yang menjalar ke tubuhnya. Tapi itu tidak berlaku bagi dua orang perempuan berbeda usia, yang tengah duduk saling berhadapan. Karena hawa sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner di dalam ruangan, membuat keduanya tidak berkeringat.
"Ada satu hal yang mau aku bicarain sama kamu, Jenna." Yang berbicara saat ini adalah Cahaya Ghaliya Mahasin—seorang perempuan berhijab yang berstatus sebagai psikiater di RS Kenangan Indah. Perawakannya indah. Dengan tinggi semampai 168 cm, berkulit putih bersih, serta wajah perpaduan Indonesia-Pakistan yang membuatnya nampak begitu sempurna jika dipandang. "Jenna ...," panggil Cahaya dengan ragu pada sosok perempuan muda yang duduk di hadapannya. "Iya, Dok?" Perempuan muda di depannya menyahuti. Ada tatap penasaran dari kedua pasang mata monoloid perempuan itu. "Selama dua tahun ini ... ikatan yang terbangun antara kita berdua sudah lebih dari cukup dekat. Aku tau siapa kamu, aku tau masalah kamu. Rasanya, kedua hal itu yang bikin aku sekarang mengambil keputusan bulat." Ada kerutan samar di dahi perempuan yang duduk di depan Cahaya. Tapi hal itu, justru menghadirkan kurva senyuman di bibir tipis milik Cahaya. Seorang dokter spesialis jiwa itu tau, perihal ekspresi yang ditunjukkan oleh Aira Jenna Izzaty—seorang perempuan yang berprofesi sebagai penulis, sekaligus berstatus sebagai pasiennya itu. "Aku tau kamu pasti bingung dan penasaran dengan ucapanku ini. Tapi aku tidak akan menuntut kamu memberi jawabannya sekarang, Jenna. Aku akan memberikan kamu waktu untuk berpikir lebih dulu." Cahaya semakin membuat Jenna dihantui rasa penasaran yang tinggi. Beberapa kali, gadis itu kedapatan meremas ujung kaos oversize yang tengah dikenakannya kini. "Jenna ...," panggil Cahaya lagi. Kali ini, kedua tangannya turut bergerak untuk meraih tangan Jenna yang sekarang di atas meja. Tatapan wanita berusia 29 tahun itu tertuju pada manik mata Jenna yang berwarna cokelat hazelnut. Warna mata yang begitu indah, dan sangat cantik. "Jadilah maduku." Tepat ketika Cahaya mengucapkan dua suku kata yang di luar nalar bagi Jenna, gadis itu menarik tangannya dengan gusar. "M-maksud Dokter Cahaya apa?" Sepasang kelopak mata Jenna berkedip beberapa kali, tanda jika dia tengah kehilangan kata-kata atas perkataan dari psikiaternya itu. "Jadilah maduku, Jenna!" ulang Cahaya sambil menahan air mata di pelupuk, yang saat ini siap merebak. "Hah? Ini konyol, Dok." Jenna tertawa tanpa alasan yang jelas. Tapi degupan jantungnya, tak sama sekali bisa kompromi. Dia berdetak dengan cepat seiring Cahaya mengucapkan kalimat di luar nalar bagi Jenna. "Kenapa konyol? Aku memintamu dengan baik-baik, Jenna. Aku tau, keputusan ini bikin kamu terkejut. Tapi, aku juga tidak punya pilihan lain selain ini." Kepala wanita berhijab itu tertunduk dalam. Setitik air mata turut jatuh dari ujung matanya. Cahaya benci keadaan ini, keadaan di mana dia harus rela menghadirkan perempuan lain di mahligai cintanya. Tapi waktu yang banyak tak lagi dia punyai. Lambat laun, dirinya akan tetap pergi membawa kenangan. "Dokter tau kan apa yang kubenci di dunia ini?" Jenna melempar tanya sambil menggelengkan kepala tak percaya. "Perselingkuhan dan istri kedua," jawab lirih Cahaya setelah dia mengangkat kepalanya. Saat ada jejak air mata yang terlihat oleh Jenna, gadis itu membuang muka ke sembarang arah. Memilih untuk menyimpan dulu egonya sebentar. "Apa yang terjadi, Dok? Tidak ada angin tidak ada hujan, Dokter memintaku menjadi madu Dokter? Kurasa, di belahan dunia mana pun—tidak ada seorang wanita yang benar-benar ikhlas membagi suaminya untuk perempuan lain." Tepat ketika Jenna berhenti bicara, air mata Cahaya turun dengan derasnya. Wanita yang terlihat baik-baik saja karena seringkali menampakkan senyuman, ternyata hari ini terlihat begitu lemah dan rapuh. "Karena itu aku memintamu, Jenna. Aku tau kamu perempuan seperti apa. Dan rasanya, hanya kamu yang pantas ... menggantikan posisiku menjadi seorang ratu di mahligai cinta yang dipimpin oleh mas Reyhan."Satu bulan yang lalu, hidup Jenna masih seperti biasa. Memang tidak sebahagia dulu, tapi Jenna masih bisa tertawa bersama teman-teman sesama penulisnya saat nonton drama komedi, ataupun menonton video tiktok yang menampilkan review makanan India dari kalangan sudra. Tapi hari ini, tawa itu seperti hilang dari Jenna. Ucapan dokter Cahaya yang memintanya untuk menjadi 'madu' wanita itu—terus terngiang-ngiang di pikiran Jenna. Padahal itu sudah berlalu 3 hari dari sekarang. Sudah 3 hari pula dirinya tidak bertemu dengan wanita yang ingin memintanya menjadi madu itu. "Aku nggak ngerti lagi sama arah pikiran dokter Cahaya," ucapnya sambil menahan kesal di dada. Tapi tangannya tak serta merta diam di atas paha, melainkan melemparkan baru kerikil ke arah danau yang membentang luas di depannya. "Bisa-bisanya dia memintaku menjadi madunya? Memang aku perempuan seperti apa? Aku sama sekali nggak mau dan bahkan benci status itu." Bayangan demi bayangan masa lalu yang membuatnya trauma, hingga
"Hei, kamu! Perempuan opacraphile yang berambut seperti jagung, tolong saya!" Mulut Jenna terbuka lebar ketika seorang lelaki yang tadi terdengar meringis itu, menyebut rambut coklat mahoninya ini seperti jagung. Memangnya dia siapa, berhak mengatai rambut favoritnya seperti rambut jagung? "Hei! Kenapa diam saja?!" Lagi, lelaki tak tahu malu itu berkata pada Jenna. Merasa kesal, Jenna memilih untuk membuang muka ke arah yang lain. Memasang wajah super jutek, meski kesan pertama lelaki itu padanya akan kurang baik—tapi tak apa. Jenna juga tidak berniat untuk kenal lebih jauh lagi dengan lelaki itu. "Mau minta tolong saja pakai acara ngatain rambut saya kayak jagung segala," cibir Jenna mengulang perkataan lelaki tadi. "Lho, kamu marah? Pada kenyataannya memang begitu kok. Rambut kamu itu mirip seperti rambut jagung," balasnya malah semakin meledek. Sial sekali Jenna sore ini. Niat hati ingin menenangkan hati dan pikirannya karena dokter Cahaya, malah harus terganggu dengan lelaki
Udara sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner (AC) di dalam kamar seorang gadis, semakin membuat si gadis yang terlelap dalam tidurnya itu bergulung dalam selimut tebal. Entah dia terlalu kecil mengatur suhu, hingga membuatnya kedinginan. Atau karena suhu badannya yang sekarang cukup hangat. Tapi satu hal yang pasti, gadis itu enggan turun dari kasur dan memilih untuk terus memejamkan matanya. Sampai sebuah suara ketukan pintu tak sabaran, yang diiringi dengan suara seseorang memanggilnya dengan intens-gadis itu baru menggeliat."Jenna! Bangun! Kamu harus shalat shubuh dulu." Seseorang, dari luar kamarnya—mengetuk pintu berulang kali. Hingga menyebabkan kedamaian tidur seorang gadis yang tak lain adalah Jenna itu, terganggu. "Jenna! Bangun! Tidak ada alasan lagi untuk hari ini tidak shalat shubuh," kata orang itu lagi. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.Mendengar teriakan menjengkelkan, pun suara ketukan pintu yang diketuk tidak sabaran—Jenna pun berdecak.
Cakrawala di siang itu begitu sangat memancar. Sang surya yang bersinar, seolah berada tepat di atas kepala. Tapi hawa panas yang dirasa oleh seorang gadis, bukan saja berasal dari sinar sang surya. Melainkan juga dari sebuah postingan akun Instagram milik adik satu darahnya—Kiara Arsyila, yang memperlihatkan tiga orang termasuk Kiara sendiri—seolah seperti keluarga bahagia tanpa kehadiran dirinya. Tiga orang itu nampak sedang makan bersama, ada senyum dan canda tawa yang diperlihatkan di foto itu. Jelas saja, foto itu pasti diambil setelah kepergiannya beberapa jam yang lalu. “Sial, dia pikir orang-orang bakal lebih simpati sama dia? Orang-orang nggak tau aja kalau dia itu anak dari pelakor." Gadis yang tidak lain adalah Jenna tersebut mengumpat. Udara yang saat ini terasa panas, lebih membakar lagi saat ia tak sengaja melihat postingan Kiara.“Tenang, tarik nafas.” Jenna memejamkan mata, ia sadar jika gejolak amarahnya bisa saja menimbulkan gangguan kecemasannya kambuh begitu saja.
"Meskipun orang yang meminta ini sedang sekarat sekali pun, Jenna?" Sepasang manik mata Jenna, bahkan tak berkedip saat kalimat itu terlontar dari bibir dokter Cahaya—psikiaternya. Gadis itu tertegun, terkejut bukan main dengan perkataan dokter Cahaya yang seolah mempermainkan takdir kehidupan. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Jenna justru terdiam sembari mencerna semuanya. Bagi Jenna, permintaan konyol itu bukan hanya mendadak. Tapi juga mengusik kembali luka lama yang telah dia usahakan untuk lupa.Seharusnya di sini, Dokter Cahaya tau hal itu, kan? Dia yang berperan sebagai seorang Psikiater untuk Jenna. Dia juga yang telah menyembuhkan luka hati tersebut. Lantas kenapa sekarang dia juga yang membuka kembali luka lama itu?Terlebih, alasan Dokter Cahaya yang membawa-bawa kalimat 'sekarat', membuat Jenna benar-benar tidak suka. Seseorang tidak boleh mempermainkan takdir semacam itu hanya untuk mencapai keinginannya."A-apa maksud, Dokter? Sekali pun Dokter inginkan hal itu,
Cakrawala di malam ini nampak tak begitu terang seperti hari malam biasanya. Rembulan yang kala ini berbentuk sabit pun bahkan kesepian—tanpa ada teman yang menemani. Benda-benda kecil yang biasa bertaburan di atas langit, kini tak nampak sama sekali. Keadaan malam yang suram, sama suramnya seperti keadaan hati seorang gadis dengan piyama teddy bear. Entah sudah ke berapa kalinya gadis itu mendesah kasar, sedangkan jemarinya masih menyentuh keyboard laptop tanpa menari di sana. Biasanya, malam hari seperti ini—ia mendapatkan banyak inspirasi untuk bahan lanjutan kisah-kisah yang dia rangkai menjadi sebuah tulisan. Tapi karena malam ini, inspirasi tersebut entah menguap ke mana. Padahal, sudah banyak pesan cinta yang dia dapatkan dari penggemar setia yang menunggu kelanjutan kisah tersebut.“Mungkin aku terlalu kepikiran tentang Dokter Cahaya, sampai-sampai sekarang aku nggak fokus nulis begini.” Jenna, gadis yang kini memilih menutup laptopnya menerawang kembali, pada masa di mana Do
Tatapan nanar diberikan pada seorang gadis yang duduk dengan kepala tertunduk di hadapannya. Hati pria paruh baya yang menatapnya demikian, tertohok dengan sebuah kiriman foto dari seseorang yang tidak dikenalnya. Beberapa menit sebelumnya, pria paruh baya yang baru saja menyelesaikan tadarus Alquran itu terkejut saat ponselnya berbunyi. Dilihatnya, ada sebuah notifikasi masuk ke pesan Whatsapp miliknya. Saat itu, dahinya berkerut dalam kala ada nomor tak dikenal mengirimkan sebuah foto. Dan alangkah terkejutnya ia, ketika berhasil mendownload foto tersebut. Foto di mana puteri pertamanya tengah berada di sebuah bar bersama rekan-rekannya. Istighfar dengan segera dilakukan oleh pria paruh baya itu. Tak henti-hentinya dia menenangkan hati dengan kalimat thoyyibah itu, atas kesalahan sang puteri yang sudah membuatnya kecewa."Jawab Ayah, Jenna! Apa yang kamu lakukan ke tempat penuh maksiat itu?" Dengan dada kembang kempis, pria paruh baya yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan '
“Aku mau pulang aja, Mas!” Itu suara dari seorang wanita yang duduk di atas hospital bed. Ia menoleh, memandang pria yang duduk di hadapannya dengan pandangan memohon.“Aku bosan di sini, Mas. Aku terbiasa bekerja di rumah sakit ini, bukan menjadi seorang pasien.” Pria yang tidak lain adalah Reyhan—suaminya tersebut menghela nafas berat, lalu menyimpan piring yang tadi ada di genggaman. Sebenarnya saat ini, pria itu tengah menyuapi Cahaya—sang istri. Tapi Cahaya kini malah meminta pulang di saat kondisinya bahkan tidak bisa dikatakan stabil.“Kamu kan tau kondisi kamu sekarang bagaimana, Cahaya?” Reyhan berdiri, lantas membantu Cahaya untuk merebahkan tubuhnya di hospital bed. Namun saat akan melakukan itu, Cahaya mencekal tangannya. Wanita itu menggeleng, enggan merebahkan dirinya di sana.“Kamu belum pulih total. Kita akan pulang kalau kamu sudah pulih, aku janji.” Tatapan nanar kemudian diberikan Cahaya pada suaminya itu. Tidak bisakah pria itu mengerti, jika Cahaya merindukan ruma
087163936***Assalamu'alaikum, mohon maaf jika mengganggu waktunya. Apa benar, ini dengan bu Jenna? Jika benar, saya Siska. Saya suster yang merawat almarhumah dokter Cahaya beberapa bulan yang lalu. Saya baru ingat, jika sebelum dokter Cahaya menghembuskan nafas terakhir, beliau memberikan amanah untuk saya agar memberikan sebuah flashdisk pada bu Jenna. Kira-kira, bisakah kita bertemu? Kesan pertama saat pertemuan Jenna dengan seorang suster bernama Siska, yang mengaku telah merawat almarhumah dokter Cahaya di detik-detik terakhir—adalah senyum yang mengembang dengan manis. Bermula dengan mendapatkan pesan di aplikasi Whatsapp miliknya, Jenna dengan segera meminta untuk bertemu di sebuah cafe yang tidak jauh dari Rumah Sakit. "Jadi, apa isi dari flashdisk itu?" Alis yang menukik sedikit ke atas, menjadi respon yang turut mengikuti pertanyaan Jenna. Pasalnya, setelah kepergian dokter Cahaya yang sudah berjalan hampir 5 bulan ini—Jenna baru mendapatkan informasi jika ada sebuah be
Dalam hidup, Jenna pernah beberapa kali bilang—jika dia tak ingin menikah dengan laki-laki mana pun. Tentu saja, itu dia ucapkan atas dasar luka tak kasat mata yang ditorehkan oleh sang ayah—cinta pertamanya. Saat dia kembali ingat, jika ada sebuah kisah yang mana menceritakan tentang 3 rombongan yang bertamu ke rumah Rasulullah SAW. Di sana mereka membicarakan tentang sunnahnya Rasulullah SAW. Dua orang di antaranya bercerita jika dia sudah menjalankan sunnah Rasulullah seperti pada umumnya; shalat, puasa, dan lain sebagainya. Sedangkan satu orang lagi, bercerita jika dia sudah menjauhi perempuan dan tidak akan menikah. Maka saat mendengar itu, Rasulullah SAW dengan segera menyelanya. Beliau berkata. "Kalian telah berkata begini dan begitu, tapi demi Allah aku adalah manusia yang paling takut kepada-Nya. Oleh karena itu, soal berpuasa, sholat, tidur, dan menikah. Barang siapa yang tidak suka dengan sunahku (nikah), maka ia bukan golonganku." Sejak itu, Jenna mengkaji kembali asums
Entah sudah ke berapa kalinya, Jenna berjalan bolak-balik saat cemas melanda. Bukan! Ini bukan jenis anxiety yang biasanya menyerang Jenna. Melainkan cemas biasa, karena sang suami tak kunjung memperlihatkan barang hidungnya. Reyhan yang beberapa menit lalu meminta izin padanya, jika dia harus membelikan cemilan yang diminta oleh Anala—sampai saat ini, sudah mau satu jam lamanya tidak kunjung pulang. Ingin menghubungi, tapi Jenna melihat ponsel milik suaminya itu ada di atas nakas. Ingin pergi menyusul, dia harus menemani Anala yang baru saja dia bacakan dongeng malam. "Aduh, mana hujannya makin deras lagi." Kedua alis Jenna ikut menyatu saat dia melirik rinai hujan dari jendela kamar Anala, yang dilihatnya semakin deras. "Mas Reyhan pasti kehujanan," kata perempuan yang kini menggigiti ujung kuku jemari telunjuknya itu. "Aku masakin air hangat dulu deh, biar nanti kalau kehujanan tinggal mandi." Melirik sekilas Anala yang nampak sudah pulas tertidur, padahal dia meminta dibelika
Cakrawala pagi ini memang cukup tidak bersahabat, mendung dan sebentar lagi akan hujan. Tapi Jenna tidak mengurungkan niatnya untuk pergi ke rumah sang ayah. Selain untuk mencari kalung yang dulu pernah diberikan Reyhan pada Jenna, gadis itu juga merindukan sang ayah. Setelah memastikan kembali jika penampilannya sudah sempurna, Jenna melangkah keluar dari kamar. Suaminya itu pasti sudah menunggu Jenna di garasi. Memang, ini adalah hari weekend. Jenna sengaja memilih hari weekend agar bisa pergi bersama dengan Reyhan dan juga Anala. "Maaf bikin nunggu lama ya," ucap Jenna dengan senyum kecil di wajah. "Nggak apa-apa, baru nunggu setengah jam kok." Reyhan membalas dengan bibirnya yang tersenyum miring. Bukan! Itu bukanlah bentuk kemarahannya, melainkan sebuah ledekan dari seorang pria yang kesal karena wanitanya lama bersiap-siap. "Maaf, Mas." Jenna menyahutinya lagi, masih dengan senyum kecil di wajah. "Ya sudah, ayo cepat masuk! Tuan Putri sudah tidak sabar ingin bertemu kakek
"Jenna ... sepertinya aku mulai mencintaimu, karena itu alasanku mendiamkan kamu seperti ini." Pupil melebar menjadi respon Jenna atas perkataan Reyhan barusan. Maksudnya, saat ini pria itu sedang confess begitu? “A-aku tau kamu lagi bercanda, Mas. Cuma mau menenangkan aku, kan?” Pada akhirnya, hanya itu yang bisa Jenna lontarkan. Sekali pun itu kebenaran, Jenna ingin mendengar kalimat yang lebih meyakinkan dari pria itu. Dibandingkan hanya sebuah kalimat yang terdengar menenangkan saat kecemasannya kambuh. “A-aku harus jemput Anala dulu, Mas.” Memilih untuk menghindari pembicaraan canggung itu, Jenna pun berdiri. Menjadikan alasan menjemput Anala sebagai langkahnya untuk segera pergi.Namun baru saja akan melangkah, lengannya lebih dulu ditarik oleh Reyhan sehingga membuatnya kembali terjatuh pada kursi. Belum usai keterkejutan Jenna saat lengannya ditarik, kini dia lebih terkejut saat Reyhan mencondongkan tubuhnya ke depan wajahnya.“Apa aku terlihat sedang bercanda?” desis Rey
Jika kehidupan seseorang bisa dipilih akan bagaimana perjalanannya, mungkin Jenna tidak menginginkan perjalanan hidup yang banyak menorehkan luka di hatinya seperti ini. Memang, siapa yang ingin menjadi seseorang yang dinilai meruntuhkan rumah tangga orang lain? Seseorang yang kehadirannya dinilai begitu buruk oleh hampir kebanyakan orang. Padahal dirinya tidak seperti itu. Tentu saja Jenna juga tidak ingin. Mendapatkan cinta, di posisinya yang kedua—Jenna pernah merasakan rasa pesimis luar biasa. Statusnya yang berada di nomor dua, sudah pasti tidak akan menjadi prioritas. Tapi setelah kepergian madunya itu, atau seseorang yang menyandang status istri pertama—hati Jenna sempat mengharapkan jika cinta itu akan hadir, karena bagaimana pun dirinya kini berstatus sebagai satu-satunya istri. Menjalani hidup sebagai seorang istri yang awalnya tak diharapkan, tentu tidak mudah untuk dilakukan. Berbulan-bulan lamanya Jenna sering makan hati saat mendengar ocehan demi ocehan dari orang-ora
Dalam satu minggu ini, Jenna merasakan banyak perubahan dalam hubungannya bersama Reyhan dan Anala. Hal itu terjadi setelah Anala demam, dan insiden Jenna yang kehujanan lalu disusul oleh Reyhan. Sejak itu, interaksi mereka pun tidak lagi canggung. Reyhan bahkan sudah sering mengajaknya untuk shalat berjama'ah jika pria itu sudah pulang dari kantor, ataupun mengajak Jenna untuk sama-sama tidur di kamar Anala seperti waktu itu. Meskipun belum sampai ke tahap mereka satu ranjang yang sama tanpa Anala, tapi Jenna merasa semuanya sudah cukup. Tidak ada lagi beban pikiran bagi Jenna, untuk memikirkan bagaimana cara mengambil hati dua orang itu. "Bunda!" Lihat! Anala bahkan sudah mau memanggilnya dengan sebutan 'bunda', alih-alih dia memanggil 'tante' seperti biasanya. Saat Jenna mendengar puteri sambungnya itu memanggil, dia dengan segera menoleh dan menghampiri Anala. "Ada apa, Sayang?" Dengan penuh kelembutan, Jenna menjawab panggilan Anala. Senyum juga turut hadir di wajahnya yang c
"M-mas Reyhan?" Jenna mengerjapkan mata saat menangkap presensi suaminya itu di hadapannya. Dia berdiri dengan payung besar di tangannya, pun dengan sorot mata yang terlihat ... khawatir?Jenna tertegun sambil menatap Reyhan dengan mendongakkan kepala, bolehkah dia berharap—jika Reyhan memang sedang khawatir dan sekarang menjemputnya?"Kamu kenapa?" Selanjutnya, Reyhan membungkukkan badan, dan hal itu membuat Jenna buru-buru memalingkan wajah ke arah lain. Ketahuan menatap Reyhan dengan binar, tentu saja hal memalukan untuk Jenna, bukan?"Kakiku sepertinya keseleo, Mas. Tadi aku nggak sengaja injak batu itu," adu Jenna sambil menunjuk batu yang tadi dia injak. Reyhan mengikuti ke mana arah Jenna menunjuk, dia lantas bergegas mengambil batu tersebut dan melemparkannya ke arah yang tidak dilalui oleh orang."Kenapa kamu bisa ceroboh? Sekarang hujan-hujanan pula," gerutu Reyhan. Memang benar, Reyhan saat ini melihat Jenna seperti seorang anak kecil yang tidak tau arah jalan pulang. Ba
Langit telah menggelap sepenuhnya. Selain itu, tidak adanya sang bintang yang biasanya bertaburan—turut andil dalam membuat malam ini terasa lebih mencekam. Belum lagi suara petir yang mulai terdengar, menandakan jika air mata langit akan turun—membuat seorang gadis yang berjalan dengan membawa dompetnya itu, kini berlari kecil. Memilih untuk berjalan kaki lantaran jarak Supermarket dan rumahnya hanya 200 meter, tujuan utama gadis itu adalah membeli obat penurun panas untuk Anala. Karena stok di rumah hanya ada obat penurun panas berbentuk tablet, yang mana rasanya pun pahit—Anala tidak menginginkan untuk minum obat tersebut. Alhasil, gadis yang tak lain adalah Jenna tersebut harus mau tidak mau keluar untuk membeli obat.Sementara sang suami, sekaligus ayah dari Anala—belum pulang dari kantornya sampai saat ini. Padahal Jenna sudah memberitahu, jika Anala sedang demam di rumah. Mungkin, karena kesibukannya sebagai seorang pemimpin perusahaan—membuatnya tidak bisa berleha-leha seper