“Ke-kenapa? Aku tidak mau! Aku tidak mau!” teriaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Anakku itu bahkan mengacungkan tangan, menunjukkan penolakan saat Mas Ammar mulai melangkah.
“Mas. Tolong.” Segera aku beranjak, mencegah langkahnya. Tubuh suamiku yang menjulang itu, segera aku dorong keluar.
“Aku--”
“Stop!” desisku memotong ucapannya.
Mataku menyorot tajam ke arahnya. Tidak peduli ucapannya, aku tetap mendorongnya melewati pintu kamar.
Aku mendengus kesal. Apa yang aku katakan tadi ternyata tidak didengar. Harus menggunakan bahasa apa supaya dia mengerti?
“Aida, aku ingin bertemu Daniel. A-aku tidak sabar ingin mengetahui keadaannya.” Sorot matanya menunjukkan keengganan. Dia masih bersikukuh dengan niatnya.
“Mas Ammar. Ini bukan masalah kamu atau aku. Apalagi, hanya ingin memuaskan perasaan penasaran. Ini masalah kesehatan Daniel.”
“Tapi, Ai. Aku--”
“Untuk apa Mas Ammar masuk ke dalam kamar? Apa Mas hanya ingin menambah sakit Daniel?! Tidak cukupkan Mas Ammar menyakiti hatinya dengan foto-foto sialan itu?” cecarku dengan kerutan dahi semakin dalam. Aku menatap ke sekeliling. Beberapa perawat melihat kami. Mungkin karena suaraku yang keras.
Harusnya dia di sini membantu, tapi dia justru membuat keadaan semakin runyam.
“Awas kalau kamu masuk ke kamar lagi!” Aku mengajungkan jari telunjuk. Sekali lagi, aku melemparkan tatapan mengancam, sebelum berbalik dan merubah raut wajah ini.
“Orang itu sudah pergi, Ma?” ucap Daniel menyambutku setelah pintu tertutup.
Aku tersenyum, kemudian duduk di tempat semula.
“Tenang, ya, Sayang. Mama ada di sini menjagamu. Kalau kamu tidak nyaman dengan kehadiran Papa, Mama akan melarangnya datang. Sekarang, fokus dengan kesembuhanmu.”
Tangan ini terulur membelai rambutnya, merapikan helaian di dahi.
“Mama janji?”
“Iya. Mama janji,” jawabku, kemudian mengaitkan jari kelingking kami.
Kriet!
Kami sama-sama terhenyak saat terdengar pintu diketuk dan dibuka. Aku bernapas lega. Aku pikir Mas Ammar datang kembali.
Ternyata, rombongan petugas medis.
Dokter yang kemarin diikuti beberapa dokter dan perawat, dengan total lima orang.
Aku sontak mengernyit. Kenapa kunjungan pasien sampai membawa banyak orang seperti ini?
Jangan-jangan anakku dijadikan kelinci percobaan oleh dokter muda yang baru belajar? Kaki ini langsung merapat di sebelah Daniel, mengawasi apa yang mereka lakukan.
Mata ini menilik kembali tulisan di bagian dada jas yang dikenakan dokter yang menangani Daniel dari kemarin. Dokter Burhan. Dokter yang memantik kekesalanku kemarin.
“Ibunya Daniel, kan?” Dokter itu menunjuk kepadaku. Aku mengangguk sambil mengernyit. Belum ada dua puluh empat jam kami berselisih paham, sekarang dia sudah lupa.
“Dengan ibu ….”
“Aida,” sahutku cepat menjawab perkataannya yang menggantung.
“Ada yang saya bicarakan dengan Ibu Aida,” katanya cepat. Kemudian, dia memberi intruksi kepada dokter dan perawat yang menyertainya.
Sesekali, dia mengangguk saat perawat menunjukkan hasil pemeriksaan.
Dia lalu menunjuk keluar, memberi tanda supaya aku mengikutinya.
Sekarang kami di ruang kerjanya, duduk berhadapan dihalangi meja kerja yang bersih tanpa barang di atasnya.
Tidak ada pigura keluarga atau pernak-pernik yang menghias seperti meja kerja pada umumnya.
“Ibu Aida. Sudah saya tekankan berulang kali, kesembuhan pasien tidak hanya tergantung pada obat atau jenis perawatan apapun. Namun, ini juga dipengaruhi dengan keadaan kejiwaan pasien. Pasien harus tenang.”
Aku mengernyit, menatap wajah datar di depanku ini. Seandainya wajahnya dihiasi senyuman sedikit saja, pasti tidak terkesan seperti algojo.
Dia bicara tentang kejiwaan, tetapi tidak sadar kalau wajah kakunya membuatku kesal.
“Saya dengar dari perawat. Tadi ada keributan."
"I-iya. Tadi Papanya Daniel datang. Ada masalah keluarga yang sebenarnya yang menyebabkan musibah ini," sahutku berusaha meminta pemakluman darinya.
Bukannya mendapat simpati, justru perkataan yang lebih pedas yang aku dengar.
"Anda ini seorang ibu yang mengutamakan kesembuhan putranya, kan? Namun, kenapa Anda tidak mencegah sesuatu yang membuat pasien tertekan?”
Aku menatapnya tanpa kedip. Bahkan, aku sampai lupa untuk bernapas. Tangan yang di atas pangkuan, meremat keras menahan kekesalan yang semakin di ubun-ubun. Kalau tidak, bisa jadi tangan ini terayun ke mulutnya yang pedas ini.
Walaupun aku tahu yang dia ucapkan benar, tetapi apa tidak ada kalimat yang lebih manis dan enak didengar?
Tanpa sadar, aku termenung sampai suara berat itu menyadarkanku.
“Ibu Aida? Dengar dan mengerti apa yang saya katakan, kan?”
Mata ini menatap laki-laki di depanku tanpa kedip. Yang aku lihat bibirnya bergerak-gerak tanpa mendengar suara yang diucapkan. Indra pendengaranku seakan dilumpuhkan karena penolakan hati yang enggan menambah rasa sakit. Ucapannya yang sempat tertangkap begitu menggores hati ini."Anda ini seorang ibu yang mengutamakan kesembuhan putranya, kan? Namun, kenapa Anda tidak mencegah sesuatu yang membuat pasien tertekan?” Ucapan ini terngiang di telinga, menandakan dia mempertanyakan aku sebagai seorang ibu. Jiwa dan raga ini seakan dihantam dari segala arah. Semua menyerangku secara bersamaan, sampai-sampai aku ingin menyerah. Dan, menyatakan kalau aku kalah. Namun, apakah itu menjadi sebuah jawaban? Atau, hanya menambah beban? Menyatakan kalau aku hanya wanita yang tidak diperhitungkan?“Terima kasih atas penjelasannya, Dok,” ucapku kemudian beranjak.Tidak peduli dengan dia yang masih berucap, entah itu apa. Aku hanya ingin secepatnya pergi dari ruangan dokter yang tidak memberika
Walaupun tidak sepenuh hati, aku menerima alasan Mas Ammar tentang foto-foto itu. Toh, di luar sana banyak laki-laki yang luar biasa gila. Sedangkan suamiku hanya khilaf. Itupun karena pengaruh alkohol yang dicekoki oleh teman-temannya. Bukan seperti cerita orang-orang yang suaminya terpergok selingkuh dan ternyata sudah beranak-pinak. Tuduhanku dan penolakan Daniel, memantik kemarahan Mas Ammar. Bahkan suamiku terlihat kesal saat menelponku malam itu. “Bagaimana keadaan Daniel?” Sesaat aku terdiam. Mata ini menajam ke layar ponsel di depanku. Bukan memperhatikan wajah suamiku, tetapi menilik keadaan sekitarnya. Kecurigaanku masih enggan beranjak dari hati. Bisa jadi panggilan video call ini dia terima di tempat lain. “Kata dokter Daniel sudah mulai membaik, Mas. Dia bisa pulang di waktu dekat ini,” jawabku dengan perasaan lega. Dinding yang menjadi latar belakangnya, sangat aku kenal. Wall paper garis-garis membuktikan kalau dia b
Seseorang sering kali menampilkan kepribadian yang berbeda saat bekerja. Padahal, belum tentu selepas jam kerja, dia berpenampilan sama. Seperti yang tertangkap di mata ini sekarang.Aku mendekatkan langkah dan mendapati dia yang berbeda. Penampilannya tidak seperti yang biasa tertangkap di mata ini. Wajah kaku dan ekspresi menyebalkan tidak berbekas pada sosok di depanku sekarang.Dengan masih menampilkan sisa tawa, dia menoleh. Tidak ada rambut yang biasanya klimis, bahkan baju bercorak kotak-kotak terlihat santai dipadu dengan celana jeans biru tua.“Dokter Burhan? Kenapa ada di sini?” ucapku sambil menggelengkan kepala. Mata yang sempat terpaku tadi, harus aku singkirkan segera. Dia tidak semempesona Lee Ming Ho, tapi cukup membuat mata ini tidak berkedip beberapa detik.Seketika bibir yang menampilkan senyuman itu kembali lenyap. Raut wajahnya kembali kaku. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia beranjak dan kembali menghadap Daniel. “Mama kamu sudah datang. Saya pergi dulu. Ada yang
Dulu aku menyukai menjadi anak tunggal. Apa-apa hanya untukku seorang. Aku tidak perlu susah-susah seperti anak-anak lain yang harus menggadaikan keinginan untuk berbagi dengan saudara. Sekarang aku merasakan ketidaknyamanan tidak memiliki saudara. Banyak yang ingin aku bicarakan. Biasanya kepada Mas Ammarlah aku berkeluh kesah. Bertukar pikiran, sampai mengatakan kekesalan atau kegembiraan yang yang menyangkut dengan pekerjaan. Namun, semenjak pertengkaran karena penolakan Daniel, dia menghilang tanpa kabar. Aku pun malas menghubunginya. Apalagi membayangkan pertengkaran yang akan terjadi. “Hei, kenapa melamun?” Tepukan di pundak mengagetkan aku. Mata ini melotot, tapi terganti dengan senyuman mendapati siapa yang berdiri di belakangku. “Fungsinya ada pintu itu untuk diketuk sebelum masuk. Bukan asal menyelonong dan bikin kaget orang. Untung saja aku tidak jantungan!” Laila sahabatku hanya geleng-geleng kepala, tanpa melepas senyuman dari wajahnya. Dia menunjukkan tas bawaan yang
Raut wajahnya masih sama, beku. Hanya ada sedikit perubahan, rambutnya tidak seklimis sebelumnya. Yang memaksa mata ini membulat, dia tidak mengenakan jas putih seperti biasanya. Namun, setelan jas bercorak kotak-kotak warna black and grey dengan potongan pas di badan. Sesaat waktu seakan berhenti. Setelah sadar, aku memilih bergerak cepat merapikan makanan dan memasukkan ke dalam kabinet penyimpanan makanan. Daripada ini menimbulkan celetukan yang memanaskan telinga. Sedangkan, Laila menyambut Daniel dan bersama suster, mereka membantu anakku untuk berbaring kembali ke ranjang. “Ma-maaf,” ucapku menyambutnya setelah meneguk air putih. Rasa pedas masih tersisa di mulut. Kenikmatan yang harus terjeda, padahal dua sendok terakhir sebenarnya suapan yang paling istimewa. Seandainya anakku datang tanpa orang ini …. Dengan tampang tanpa senyuman, dia menunjuk suster untuk menyerahkan hasil lap kepadaku. “Hasil pemeriksaan Daniel sudah bagus. Tidak ada yang perlu dikawatirkan. Agak siang
Apa memang laki-laki diciptakan sebagai makhluk yang mengesalkan? Tidak hanya dokter ini, tapi juga Daniel, termasuk Mas Ammar.[Maaf, aku tidak bisa menjemput Daniel. Aku harus ke luar kota selama beberapa hari. Ada proyek yang harus aku tangani.][Tidak bisa ditunda besuk, Mas Ammar? Daniel membutuhkanmu] jawabku langsung.Tangan ini tetap memegang ponsel, menunggu jawabannya. Namun, sampai aku sudah tiba di kamar Daniel, jawaban tidak kunjung datang.“Bagaimana, Aida? Semua sudah beres?” tanya Laila sambil mengemas barang-barang ke dalam tas. Aku melirik Daniel yang sedang berdiri di depan jendela dengan tangan terlipat di dada. Dia menatap ke luar jendela dengan wajah terlihat kaku, seakan memikirkan sesuatu.“Iya. Kita bisa pulang sekarang,” jawabku, kemudian menoleh ke arah anakku. “Kenapa dia?”“Ngambek.” Laila berkata sambil menarik resleting tas pakaian. Kemudian menarikku untuk duduk di sampingnya. “Sabar, ya.”“Pasti, Lai. Kamu kan tahu aku bagaimana dari dulu. Wanita tangg
[Aku janji] [I love you, Aidanya Ammar] Sikap manisnya tidak berubah, termasuk kebiasaan Mas Ammar, meminjam uang yang entah membayarnya kapan. Dia memang mengatakan kalau berjanji mengembalikan, sebelumnya pun juga begini. Namun tak apalah, toh ini untuk kerjaan. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan tentang keuangan. Laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, semuanya menjadi satu. Termasuk keuangan. Kebetulan saja, pintu rezeki lebih dilebarkan untukku. Pendapatanku menjadi penyumbang utama di dalam keluarga. Bahkan Mas Ammar sering meminta bantuan untuk pekerjaannya seperti tadi. Bukankah apa yang aku dapatkan karena dukungan dan kesempatan dari suami? Karenanya aku tidak pernah hitung-hitungan dengan dia. Termasuk semua pengelolaan aset yang sudah terkumpul. Mas Ammar bisa dipercaya, buktinya sudah berwujud beberapa tanah, rumah, dan ruko yang disewakan. Segera aku membuka aplikasi mobile banking. Melakukan transfer atas nama Mas Ammar sesuai permintaannya. Sepuluh juta. Be
Kecurigaan memang perasaan yang bersifat racun. Itu yang selama ini aku hindari terhadap perilaku Mas Ammar. Suamiku memang berpenampilan memesona. Tubuh yang tinggi kurus dengan rambut ikal sebahu, terlebih saat mengendari mobil jeep berwarna hitam yang menyempurnakan kegagahannya. Perempuan mana yang tidak silau dengan ini.Namun, semua itu terpatahkan dengan sikapnya yang tetap menunjukkan perasaan tidak berubah kepadaku. Manis dan selalu romantis, walaupun sesekali keras kepala.“Maaf dengan siapa? Nanti saya tanyakan karena saya karyawan magang di sini,” ucap wanita itu lagi. Ucapannya meluruhkan kecurigaan ini.“Oh, tidak apa-apa, Mbak. Saya langsung ke sana saja.”Aku langsung menutup telpon. Entah ini siapa yang salah. Mungkin saja karena penerima telpon karyawan magang, jadi belum mengenal dengan Bagas.Bibir ini tersenyum mengingat sikap over thingking kemarin. Seharusnya aku lebih mempercayai seseorang yang sudah membersamaiku selama tujuh belan tahun daripada suara sumbang