Share

Bab 8. Kesal

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-19 11:22:32

“Ke-kenapa? Aku tidak mau! Aku tidak mau!” teriaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Anakku itu bahkan mengacungkan tangan, menunjukkan penolakan saat Mas Ammar mulai melangkah.

“Mas. Tolong.”  Segera aku beranjak, mencegah langkahnya. Tubuh suamiku yang menjulang itu, segera aku dorong keluar.

“Aku--”

“Stop!” desisku memotong ucapannya.

Mataku menyorot tajam ke arahnya. Tidak peduli ucapannya, aku tetap mendorongnya melewati pintu kamar.

Aku mendengus kesal. Apa yang aku katakan tadi ternyata tidak didengar. Harus menggunakan bahasa apa supaya dia mengerti?

“Aida, aku ingin bertemu Daniel. A-aku tidak sabar ingin mengetahui keadaannya.” Sorot matanya menunjukkan keengganan. Dia masih bersikukuh dengan niatnya.

“Mas Ammar. Ini bukan masalah kamu atau aku. Apalagi, hanya ingin memuaskan perasaan penasaran. Ini masalah kesehatan Daniel.”

“Tapi, Ai. Aku--”

“Untuk apa Mas Ammar masuk ke dalam kamar? Apa Mas hanya ingin menambah sakit Daniel?! Tidak cukupkan Mas Ammar menyakiti hatinya dengan foto-foto sialan itu?” cecarku dengan kerutan dahi semakin dalam. Aku menatap ke sekeliling. Beberapa perawat melihat kami. Mungkin karena suaraku yang keras.

Harusnya dia di sini membantu, tapi dia justru membuat keadaan semakin runyam.

“Awas kalau kamu masuk ke kamar lagi!” Aku mengajungkan jari telunjuk. Sekali lagi, aku melemparkan tatapan mengancam, sebelum berbalik dan merubah raut wajah ini.

“Orang itu sudah pergi, Ma?” ucap Daniel menyambutku setelah pintu tertutup.

Aku tersenyum, kemudian duduk di tempat semula.

“Tenang, ya, Sayang. Mama ada di sini menjagamu. Kalau kamu tidak nyaman dengan kehadiran Papa, Mama akan melarangnya datang. Sekarang, fokus dengan kesembuhanmu.”

Tangan ini terulur membelai rambutnya, merapikan helaian di dahi.

“Mama janji?”

“Iya. Mama janji,” jawabku, kemudian mengaitkan jari kelingking kami.

Kriet!

Kami sama-sama terhenyak saat terdengar pintu diketuk dan dibuka. Aku bernapas lega. Aku pikir Mas Ammar datang kembali.

Ternyata, rombongan petugas medis.

Dokter yang kemarin diikuti beberapa dokter dan perawat, dengan total lima orang.

Aku sontak mengernyit. Kenapa kunjungan pasien sampai membawa banyak orang seperti ini?

Jangan-jangan anakku dijadikan kelinci percobaan oleh dokter muda yang baru belajar? Kaki ini langsung merapat di sebelah Daniel, mengawasi apa yang mereka lakukan.

Mata ini menilik kembali tulisan di bagian dada jas yang dikenakan dokter yang menangani Daniel dari kemarin. Dokter Burhan. Dokter yang memantik kekesalanku kemarin.

“Ibunya Daniel, kan?” Dokter itu menunjuk kepadaku. Aku mengangguk sambil mengernyit. Belum ada dua puluh empat jam kami berselisih paham, sekarang dia sudah lupa.

“Dengan ibu ….”

“Aida,” sahutku cepat menjawab perkataannya yang menggantung.

“Ada yang saya bicarakan dengan Ibu Aida,” katanya cepat. Kemudian, dia memberi intruksi kepada dokter dan perawat yang menyertainya.

Sesekali, dia mengangguk saat perawat menunjukkan hasil pemeriksaan.

Dia lalu menunjuk keluar, memberi tanda supaya aku mengikutinya.

Sekarang kami di ruang kerjanya, duduk berhadapan dihalangi meja kerja yang bersih tanpa barang di atasnya.

Tidak ada pigura keluarga atau pernak-pernik yang menghias seperti meja kerja pada umumnya.

“Ibu Aida. Sudah saya tekankan berulang kali, kesembuhan pasien tidak hanya tergantung pada obat atau jenis perawatan apapun. Namun, ini juga dipengaruhi dengan keadaan kejiwaan pasien. Pasien harus tenang.”

Aku mengernyit, menatap wajah datar di depanku ini. Seandainya wajahnya dihiasi senyuman sedikit saja, pasti tidak terkesan seperti algojo.

Dia bicara tentang kejiwaan, tetapi tidak sadar kalau wajah kakunya membuatku kesal.

“Saya dengar dari perawat. Tadi ada keributan."

"I-iya. Tadi Papanya Daniel datang. Ada masalah keluarga yang sebenarnya yang menyebabkan musibah ini," sahutku berusaha meminta pemakluman darinya. 

Bukannya mendapat simpati, justru perkataan yang lebih pedas yang aku dengar.

"Anda ini seorang ibu yang mengutamakan kesembuhan putranya, kan? Namun, kenapa Anda tidak mencegah sesuatu yang membuat pasien tertekan?”

Aku menatapnya tanpa kedip. Bahkan, aku sampai lupa untuk bernapas. Tangan yang di atas pangkuan, meremat keras menahan kekesalan yang semakin di ubun-ubun. Kalau tidak, bisa jadi tangan ini terayun ke mulutnya yang pedas ini.

Walaupun aku tahu yang dia ucapkan benar, tetapi apa tidak ada kalimat yang lebih manis dan enak didengar?

Tanpa sadar, aku termenung sampai suara berat itu menyadarkanku.

“Ibu Aida? Dengar dan mengerti apa yang saya katakan, kan?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
arif
Amar penipu ulung
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 107. Merah Muda - TAMAT

    Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 106. Lelaki di Sebelahku

    “Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 105. Goyah?

    “Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 104. Keliling

    “Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 103. Mengobrol

    POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 102. Awal Langkah Baru

    Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status