Share

Bab 8. Kesal

“Ke-kenapa? Aku tidak mau! Aku tidak mau!” teriaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Anakku itu bahkan mengacungkan tangan, menunjukkan penolakan saat Mas Ammar mulai melangkah.

“Mas. Tolong.”  Segera aku beranjak, mencegah langkahnya. Tubuh suamiku yang menjulang itu, segera aku dorong keluar.

“Aku--”

“Stop!” desisku memotong ucapannya.

Mataku menyorot tajam ke arahnya. Tidak peduli ucapannya, aku tetap mendorongnya melewati pintu kamar.

Aku mendengus kesal. Apa yang aku katakan tadi ternyata tidak didengar. Harus menggunakan bahasa apa supaya dia mengerti?

“Aida, aku ingin bertemu Daniel. A-aku tidak sabar ingin mengetahui keadaannya.” Sorot matanya menunjukkan keengganan. Dia masih bersikukuh dengan niatnya.

“Mas Ammar. Ini bukan masalah kamu atau aku. Apalagi, hanya ingin memuaskan perasaan penasaran. Ini masalah kesehatan Daniel.”

“Tapi, Ai. Aku--”

“Untuk apa Mas Ammar masuk ke dalam kamar? Apa Mas hanya ingin menambah sakit Daniel?! Tidak cukupkan Mas Ammar menyakiti hatinya dengan foto-foto sialan itu?” cecarku dengan kerutan dahi semakin dalam. Aku menatap ke sekeliling. Beberapa perawat melihat kami. Mungkin karena suaraku yang keras.

Harusnya dia di sini membantu, tapi dia justru membuat keadaan semakin runyam.

“Awas kalau kamu masuk ke kamar lagi!” Aku mengajungkan jari telunjuk. Sekali lagi, aku melemparkan tatapan mengancam, sebelum berbalik dan merubah raut wajah ini.

“Orang itu sudah pergi, Ma?” ucap Daniel menyambutku setelah pintu tertutup.

Aku tersenyum, kemudian duduk di tempat semula.

“Tenang, ya, Sayang. Mama ada di sini menjagamu. Kalau kamu tidak nyaman dengan kehadiran Papa, Mama akan melarangnya datang. Sekarang, fokus dengan kesembuhanmu.”

Tangan ini terulur membelai rambutnya, merapikan helaian di dahi.

“Mama janji?”

“Iya. Mama janji,” jawabku, kemudian mengaitkan jari kelingking kami.

Kriet!

Kami sama-sama terhenyak saat terdengar pintu diketuk dan dibuka. Aku bernapas lega. Aku pikir Mas Ammar datang kembali.

Ternyata, rombongan petugas medis.

Dokter yang kemarin diikuti beberapa dokter dan perawat, dengan total lima orang.

Aku sontak mengernyit. Kenapa kunjungan pasien sampai membawa banyak orang seperti ini?

Jangan-jangan anakku dijadikan kelinci percobaan oleh dokter muda yang baru belajar? Kaki ini langsung merapat di sebelah Daniel, mengawasi apa yang mereka lakukan.

Mata ini menilik kembali tulisan di bagian dada jas yang dikenakan dokter yang menangani Daniel dari kemarin. Dokter Burhan. Dokter yang memantik kekesalanku kemarin.

“Ibunya Daniel, kan?” Dokter itu menunjuk kepadaku. Aku mengangguk sambil mengernyit. Belum ada dua puluh empat jam kami berselisih paham, sekarang dia sudah lupa.

“Dengan ibu ….”

“Aida,” sahutku cepat menjawab perkataannya yang menggantung.

“Ada yang saya bicarakan dengan Ibu Aida,” katanya cepat. Kemudian, dia memberi intruksi kepada dokter dan perawat yang menyertainya.

Sesekali, dia mengangguk saat perawat menunjukkan hasil pemeriksaan.

Dia lalu menunjuk keluar, memberi tanda supaya aku mengikutinya.

Sekarang kami di ruang kerjanya, duduk berhadapan dihalangi meja kerja yang bersih tanpa barang di atasnya.

Tidak ada pigura keluarga atau pernak-pernik yang menghias seperti meja kerja pada umumnya.

“Ibu Aida. Sudah saya tekankan berulang kali, kesembuhan pasien tidak hanya tergantung pada obat atau jenis perawatan apapun. Namun, ini juga dipengaruhi dengan keadaan kejiwaan pasien. Pasien harus tenang.”

Aku mengernyit, menatap wajah datar di depanku ini. Seandainya wajahnya dihiasi senyuman sedikit saja, pasti tidak terkesan seperti algojo.

Dia bicara tentang kejiwaan, tetapi tidak sadar kalau wajah kakunya membuatku kesal.

“Saya dengar dari perawat. Tadi ada keributan."

"I-iya. Tadi Papanya Daniel datang. Ada masalah keluarga yang sebenarnya yang menyebabkan musibah ini," sahutku berusaha meminta pemakluman darinya. 

Bukannya mendapat simpati, justru perkataan yang lebih pedas yang aku dengar.

"Anda ini seorang ibu yang mengutamakan kesembuhan putranya, kan? Namun, kenapa Anda tidak mencegah sesuatu yang membuat pasien tertekan?”

Aku menatapnya tanpa kedip. Bahkan, aku sampai lupa untuk bernapas. Tangan yang di atas pangkuan, meremat keras menahan kekesalan yang semakin di ubun-ubun. Kalau tidak, bisa jadi tangan ini terayun ke mulutnya yang pedas ini.

Walaupun aku tahu yang dia ucapkan benar, tetapi apa tidak ada kalimat yang lebih manis dan enak didengar?

Tanpa sadar, aku termenung sampai suara berat itu menyadarkanku.

“Ibu Aida? Dengar dan mengerti apa yang saya katakan, kan?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
arif
Amar penipu ulung
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status