Share

Marah

Bab3

"Maafkan saya, saya sudah membuat kegaduhan di acara Tuan." Masih dengan posisi menunduk, Case memberanikan diri bersuara.

"Joe, bawalah dia pulang," titah Jeremy.

"Baik, Tuan." Joe menjawab dengan berat hati sebenarnya, sebab dia, belum sempat menikmati acara dan berbincang dengan orang-orang penting lainnya. 

Apalagi di acara besar ini, banyak di hadiri, para tetua dan pemegang saham lainnya. Sangat di sayangkan sekali, jika Joe pulang lebih awal, tanpa sempat menjual wajahnya ke beberapa orang penting di jamuan malam ini.

"Ketua," desah tunangan Jeremy.

Jeremy pun menoleh, sang ayah pun mendekat dengan senyuman di wajahnya dengan wanita cantik di samping lengannya. Diikuti Khan, yang sudah berganti pakaian.

"Halo cantik," sapa pemilik Giant Company Group itu, pada tunangan Jeremy.

"Jeremy, apakah acara pertunangannya masih lama? Mama akan membawa Papa untuk beristirahat." 

Wanita yang menyebut dirinya Mama itu, membuat Case Mowales mendongakkan wajahnya.

"Wanita itu," gumam Case dalam hati. Tangannya mengepal tinju, menahan gejolak amarah di dalam dadanya kini.

"Belum, sebentar lagi." 

"Tunggulah saat Ibuku benar-benar sudah sadar, kamu tidak akan kuampuni," teriak Case, masih dalam hati. Wanita itu tidak memiliki keberanian, untuk berteriak lantang di depan lawannya.

Mereka semua berjalan menuju tempat duduk vip. Sembari menunggu sesi yang di tentukan, untuk pengumuman, acara pertunangan Jeremy.

Dikejauhan, Case memandangi pilu, melihat tawa lebar keluarga kaya itu. Sedangkan dirinya, harus menahan perih setiap harinya.

Hinaan dan cacian, bagaikan makanan sehari-hari Case Mowales.

"Tunggu apalagi? Ayo keluar duluan! Aku malu, jika harus berjalan beriringan sama kamu," tekan Joe, dengan tatapan marah.

Case Mowales pun mengangguk pasrah. Dengan langkah terseok, dia berjalan menuju pintu keluar. Pikirannya mengembara tidak karuan.

Bahkan di dalam mobil pun, Case dan Joe saling diam. Mereka, terbaui dengan pikirannya masing-masing.

____

Case yang memasuki istana besar Wiliam pun menyisir seluruh ruangan dengan lekat.

"Bagaimana bisa, kamu melompat ke kolam itu? Sedangkan kamu tidak bisa berenang?" Lelaki yang bernama Khan itu bertanya. 

"Aku disenggol seseorang."

"Kamu terlalu ceroboh," desis lelaki itu.

Wanita itu menghela napas berat.

"Apakah semua lelaki sama? Pandainya hanya menyalahkan orang saja," keluh Case dengan suara pelan.

Lelaki itu memanggil bi Sena, dan meminta bi Sena mengurus keperluan Case.

"Pinjamkan saya baju sederhana saja, Bi."

"Tapi Nona, baju anda terlihat mahal."

"Tidak masalah." 

"Turun," bentak Joe. Membuyarkan lamunan Case. 

"Iya," sahut Case dengan suara lemah. Mereka pun keluar mobil, dengan wajah Joe yang nampak tidak bahagia malam ini.

"Kau sudah pulang?" tanya Nyonya Sabhira, ketika melihat Joe dan Case Mowales, memasuki rumah.

"Ya," sahut Joe malas.

"Kenapa wanita ini, berpakaian babu begitu?" tanya Nyonya Sabhira lagi, menatap heran pada Case, yang berpakaian biasa.

"Tanyakanlah pada orangnya, Joe capek!" sahut Joe malas, dan bergegas menaiki anak tangga, masuk ke dalam kamarnya.

Case pun berniat menaiki anak tangga. Namun teriakkan nyonya Sabhira, menghentikkan langkahnya.

"Heh wanita miskin, apa yang terjadi di acara itu? Apakah kamu mengacaukan acara anakku?"

"Maafkan saya, Ibu." Hanya kata-kata itu, yang bisa Case ucapkan.

"Dasar memalukan! Sampai kapan, kamu akan mengacaukan keluargaku ini?" geram nyonya Sabhira, yang sangat murka pada Case.

Case hanya menunduk menahan perih di dalam dadanya. Jika bukan karena Tuan Bastara, mungkin Case pun tidak akan berani mengambil keputusan, menikah dengan Joe. 

Meskipun ada perasaan kagum pada sosok lelaki itu. Tapi Case sadar diri, dia hanyalah wanita hina di mata mereka.

Ingin rasanya Case mengatakan identitas dirinya yang sebenarnya. Namun, mengingat pesan sang Ibu, Case harus menelan pahitnya buah dari kebohongan.

"Kita sudah dilupakan! Dan semua ini, berkat keputusan Ibu yang memang salah. Jadi, maafkanlah Ibu, Nak. Berusahalah, lupakan asal-usul kita, demi Ibu," pinta Aluna Welas saat itu. 

Bahkan, dia telah mengganti nama Case Welas, menjadi Case Mowelas.

Lelaki berperawakan ramping itu, berdiri di balkon, memandangi indahnya kota Monarki dari ketinggian. 

Lingkaran tangan seorang wanita, bergerak lembuat, memeluk erat tubuh Jeremy dari belakang.

"Deslim," seru lelaki itu. 

"Huu'uumm ...." Deslim membenamkan wajahnya, di tengkuk leher jenjang milik Jeremy.

"Pemandangan yang indah," lirih wanita itu.

"Iya. Kamu senang?" Jeremy membalikkan tubuhnya, dan memegangi kedua pipi chuby milik Deslim.

"Tentu saja. Menjalani hubungan jarak jauh itu, tentu sangat tidak menyenangkan," ungkap Deslim.

"Ah, kamu benar." 

"Jeremy, mengapa kamu sering tercenung? Apakah begitu banyak pekerjaan di kantor?"

Deslim bersikap begitu perhatian. Dan hal itu pulalah, yang membuat Jeremy menyukainya.

"Aku rindu Ibu," lirih Jeremy. "Juga saudara kembarku."

"Aku mengerti. Cobalah tenangkan dulu pikiranmu, dan bayangkan semua yang baik tentang mereka."

"Sudah 16 tahun, Ibu pergi tanpa alasan jelas. Bahkan, Papa sendiri, telah berusaha keras mencari keberadaannya. Tapi Ibu dan saudara kembarku, tidak kunjung bisa di temukan. Hanya saja, wanita yang diacara pertunangan kita malam itu, aku seperti melihat diriku sendiri."

"Maksud kamu?" Deslim menuntut penjelasan yang jelas.

"Wanita itu, garis wajahnya, nyaris mirip denganku. Hanya saja, dia selalu menyembunyikan wajahnya."

"Wanita beraura pembantu itu?" 

Jeremy mengangguk, membenarkan tebakan Deslim.

"Kuharap dia bukan saudara perempuanmu. Memalukan sekali penampilannya malam itu," kata Deslim, membayangkan dengan tingkah jijik pada pikirannya sendiri.

"Tidak perlu berlebihan," tegur Jeremy malas berdebat.

___________

Case Mowelas memasuki ruang rawat inap sang Ibu. Di perhatikannya wajah cantik Aluna Welas, yang kini terbaring koma, di ranjang perawatan.

Case Mowelas meraih kursi, dan mulai berbicara pada Ibunya yang masih koma.

"Aku melihat jelas, raut wajah Papa, juga Jeremy yang nampak bahagia, juga baik-  baik saja tanpa kita. Aku merasa iri rasanya, Bu." 

Sembari memeluk lengan Aluna Welas, Case Mowelas menangis tersedu-sedu.

"Mengapa hidup ini tidak adil pada kita? Apa yang membuat Ibu, meninggalkan Papa begitu saja?" 

Meskipun tidak kunjung mendapatkan respon pada orang yang koma. Case Mowelas selalu setia setiap hari, menceritakan tentang hidupnya pada sang Ibu.

Perjuangannya bertahan kuat, meskipun cacian dan makian, nyaris setiap hari Case Mowelas panen.

Dia tetap mengukir senyum dan harapan di wajahnya setiap pagi.

Case Mowelas berusaha yakin dan percaya diri, bahwa dibalik semua rasa sakit yang dia jalani kini, akan berbuah kebahagiaan nantinya.

Seperti biasa, Case Mowelas akan pulang, ketika hari sudah mulai memasuki magrib.

Meskipun dengan berat hati, dia tetap menjalani ketentuan keluarga Wilianus dengan lapang dada.

"Mama sih setuju saja, jika Joe memilih kamu," ucap nyonya Sabhira.

Mendengar perkataan nyonya Sabhira, langkah Case Mowelas menuju daun pintu utama rumah Wilianus terhenti. Mencerna dan berusaha mengenali, dengan jelas pembicaraan mereka dari luar.

"Siapa yang di rumah?" batin Case. Ia melihat high heels cantik di depan rumah mertuanya itu.

"Sepertinya wanita itu datang lagi ke rumah ini," gumam Case pelan. Dia pun mengayun langkah, dan memasuki rumah.

"Case, sini!" pinta nyonya Sabhira.

Case pun mengangguk hormat, dan berjalan ke arah nyonya dengan lemah.

"Kau lihat dia," tunjuk nyonya Sabhira pada Mary. "Dia cantik, berpendidikan, juga dari keluarga kaya. Harusnya dia yang menjadi menantuku, bukan kamu," cibir nyonya Sabhira, di sambut kekehan keras dari Elvina.

"Nasib sial kak Joe, punya istri buluk begini," ejek Elvina, sembari tertawa keras.

Case Mowales menahan perih dihatinya lagi. Ingin sekali sebenarnya dia marah, tapi dia merasa tidak mampu melakukan hal itu. Demi Ibu yang masih butuh perawatan, dia harus rela menahan pahitnya cibiran dan hinaan.

"Tante sayang, jangan risau. Lagi pula, dengan adanya wanita ini, kalian tidak perlu menyewa pembantu lagi, ada dia," tunjuk Mary sembari tersenyum mengejek.

"Hahaha, ah betul juga," timpal Elvina.

Mereka bertiga tertawa terbahak, hanya Case Mowales yang terus berusaha kuat menahan diri.

"Apalagi Ibunya itu, hidup segan, mati tak mau," kata nyonya Sabhira lagi. 

Membuat Case Mowales memilin ujung bajunya. Hatinya panas, sangat panas rasanya. Ibu kecintaannya, dihina-hina nyonya Sabhira. Dan dia sendiri, tidak mampu melawannya.

"Sudah sana kebelakang, muak saya melihat mukamu itu," bentak nyonya Sabhira.

Dengan langkah terseok, diiringi hati yang luka, Case Mowelas pergi menuju dapur.

"Mengapa mereka begitu ringan menghinaku," desah Case Mowelas.  "Kemiskinan ini, membuat mereka seenaknya," lirih Case Mowelas, sembari berjalan menuju timpukkan piring.

"Kapan kamu akan meninggalkan Joe?" tanya Mary, membuat Case Mowelas tersentak. Ia yang sedari tadi sibuk mencuci piring pun menoleh ke belakang.

Mary menyandarkan tubuhnya ke dinding, sembari menyilangkan kedua tangan, dengan tatapan jijik mengarah Case Mowelas.

Case Mowales menghela napas berat, dan melanjutkan pekerjaannya.

"Kapanpun Joe mau, aku tidak keberatan. Kau tanyakan dulu padanya, apakah dia mau, menceraikan aku?" Case Mowales menjawab tanpa menghentikan aktivitasnya.

"Angkuh sekali jawabanmu ini, seakan akan, Joe yang mau pernikahan ini."

Case Mowales menghentikan aktivitasnya. Dan menoleh ke arah Mary, yang terus mengoceh, mengganggu kerjaan Case.

"Ini fakta," tekan Case, kemudian dia tersenyum tipis, dan kembali melanjutkan aktivitasnya.

Mary menghentakkan kaki dengan kesal. "Wanita gila," desis Mary, kemudian wanita berambut pirang itu pun pergi meninggalkan dapur, dengan amarah yang bergemuruh di dadanya.

"Kenapa?" tanya Elvina, ketika melihat wajah masam Mary.

"Iparmu itu sudah berani menyombongkan diri padaku."

"Menyombongkan diri? Yang benar saja. Apa kamu nggak bisa lihat? Dia sangat tidak sempurna dalam segala hal. Jadi, apa yang bisa dia sombongkan pada kamu?" 

"Aku memintanya untuk melepaskan Joe. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu."

"Terus."

"Dia suruh aku tanyakan hal itu pada Joe. Seolah-olah, Joe yang tidak bisa pisah dengannya, menjijikan sekali, jika harus bersaing dengan wanita itu," desah Mary frustasi.

"Kenapa kamu ada di sini?" Suara bariton itu terdengar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status