LOGIN
“Lahirkan anak laki-laki untukku.”
Suara berat dari seorang pria yang sudah sah menjadi suaminya membuat Kayla mendongakkan kepalanya.
Kayla berdiri mematung dan masih mengenakan gaun pengantin yang terasa begitu asing menempel di tubuhnya. Hari yang seharusnya dipenuhi sukacita justru terasa seperti vonis penjara seumur hidup bagi Kayla.
Ia terpaksa menerima pernikahan ini karena Marsha—kakaknya—kabur satu hari sebelum pernikahan. Tanpa sepatah kata pun, tanpa pesan, hanya meninggalkan gaun pengantin dan keluarga yang diliputi kecemasan dan malu.
Ia tidak mengerti mengapa kakaknya kabur begitu saja. Dan kenapa harus dirinya yang menjadi tumbal?
“A-apa maksudmu, Xavier?” tanya wanita berusia dua puluh tiga tahun itu dengan suara bergetar. Ia menatap pria di depannya dengan sorot mata penuh kebingungan dan ketakutan yang belum sempat ia redam sejak upacara pernikahan berakhir.
Xavier, pria berusia tiga puluh tahun itu, menoleh perlahan. Tatapannya tajam, dingin, dan tak terbaca. Pria itu tinggi dan tegap, dengan garis rahang tegas yang semakin memperkuat aura otoritas yang dimilikinya.
“Apa kau tuli?” ucapnya sinis. Kilat matanya yang begitu tajam membuat jantung Kayla berdebar dengan cepat.
Suasana kamar pengantin yang mewah itu berubah menjadi ruang interogasi yang mencekam.
“Keluargamu berutang budi padaku. Jadi kau harus membayarnya dengan melahirkan seorang anak,” lanjut Xavier tanpa sedikit pun perubahan nada.
Kayla membeku. “Utang budi? Itu tidak bisa disebut utang budi, Xavier. Kau berinvestasi di perusahaan ayahku dan kau akan mendapat keuntungan,” ucapnya membela diri.
Bagaimanapun, ini hanya pernikahan bisnis. Bukan pernikahan atas dasar cinta!
Xavier tertawa pelan, namun tawa itu terasa seperti cambuk yang menyayat. “Rupanya orang tuamu tidak menceritakan secara detail padamu apa yang sebenarnya aku inginkan.”
Kayla menelan ludahnya dan tampak bingung dengan ucapan Xavier tadi. “A-apa maksudmu?”
Xavier menatap datar wajah Kayla dengan kedua tangan berada di dalam saku celana hitam yang ia kenakan.
“Kau harus melahirkan keturunanku.”
“Bagaimana mungkin aku bisa mengabulkan permintaan—”
“Itu bukan permintaan, melainkan perintah!” sentak Xavier, memotong ucapan Kayla dengan nada dingin dan tak terbantahkan.
Kayla seketika terdiam.
Xavier lantas berjalan mendekat dan menatap Kayla tajam. “Kau sudah kubayar mahal,” katanya dengan suara hampir mendesis. “Kau tidak berhak membantahku.”
Susah payah gadis itu menelan ludah. “A-aku tidak mengerti,” katanya gugup. Tatapan pria di hadapannya itu seolah menciutkan semua nyalinya.
Selain tidak punya pilihan, Kayla menggantikan kakaknya karena berpikir bahwa pernikahan itu hanya formalitas. Tapi mengapa Xavier malah meminta anak?
“Kalau aku tidak bisa memenuhi perintahmu, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya takut-takut.
“Sederhana saja,” kata Xavier lalu mendenguskan tawa sinis. “Aku akan menghentikan investasiku di perusahaan ayahmu.”
Kayla menelan salivanya. Kalimat itu seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya.
Ia sangat menyayangi keluarganya, bahkan setelah mereka tega menjadikannya sebagai pengantin pengganti tanpa memberinya pilihan.
Tapi dia tahu, jika Xavier menarik investasinya, kehancuran keluarganya hanya tinggal menunggu waktu.
Perusahaan ayahnya yang sudah di ujung tanduk akan ambruk, dan ayahnya—yang sudah setengah hancur oleh pengkhianatan orang kepercayaan—tidak akan sanggup menahan beban tambahan.
Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Ketika kembali membuka mata, sorotnya sudah berbeda—campuran antara pasrah dan tekad yang dibentuk dari serpihan luka.
“Lalu bagaimana jika ternyata aku melahirkan anak perempuan?”
“Itu urusanmu,” jawab Xavier dingin. “Malam ini juga kita akan melakukannya.”
Kayla menegang. Tubuhnya membeku seketika.
Ia bahkan belum sempat memahami arti sepenuhnya dari pernikahan ini, dan kini Xavier langsung melompat ke tujuan akhir yang begitu jelas—mendapatkan keturunan laki-laki.
Namun belum sempat ia mencerna sepenuhnya, Xavier kembali berbicara.
“Tapi, aku harus memastikan satu hal terlebih dahulu.”
Kayla menatapnya, jantungnya berdegup semakin kencang. Napasnya memburu. Rasa cemas dan takut yang tadi berusaha ia redam kembali naik ke permukaan.
‘Apa maksudnya?’ pikirnya. Ia belum bisa tenang sebelum mengetahui motif dan niat Xavier sepenuhnya.
Xavier melangkah mendekat, langkahnya mantap dan penuh tekanan. Tatapannya tajam menghujam seperti ingin menelanjangi isi hatinya.
“Aku akan membunuhmu jika ternyata kau sudah bukan gadis lagi,” ucapnya dengan tegas.
Kayla membeku. Untuk sesaat, napasnya berhenti. Matanya melebar, seolah-olah baru saja disambar petir di siang bolong.
“Aku masih perawan!” kata Kayla sengit. Tidak terima dengan nada merendahkan pria itu. “Aku bahkan tidak punya waktu untuk menjalin hubungan. Selama ini aku hanya bekerja dan menjaga keluargaku!”
Xavier menatapnya lekat, mencoba membaca setiap gurat ekspresi di wajah wanita itu.
Tidak ada alasan untuk berbohong. Tapi di dunia Xavier yang penuh manipulasi dan kontrol, kepercayaan adalah barang mewah.
Ia mendekatkan wajah hingga hanya berjarak beberapa senti dari wajah Kayla yang pias.
Senyum miring terukir di wajah rupawan itu saat ia berbisik dengan suara yang dalam, tepat di depan bibir Kayla.
“Kita buktikan malam ini, Kayla.”
Gedung kaca megah milik XKL Company berdiri di bawah langit sore yang berwarna keemasan.Bendera dengan logo XKL berkibar di depan halaman, mencerminkan cahaya matahari seperti lambang harapan baru.Para tamu dan wartawan memenuhi aula besar di lantai utama, di mana Xavier Anderson akan memperkenalkan visi perusahaannya kepada dunia.Beberapa bulan telah berlalu sejak Aurora lahir. Hidup Xavier berubah total. Tak ada lagi ambisi dingin atau malam-malam tanpa arah di kantor The Moons Company.Kini, setiap langkahnya dituntun oleh cinta, oleh tujuan yang sederhana tapi bermakna: keluarganya.Kayla duduk di barisan depan, mengenakan gaun pastel yang anggun. Wajahnya bersinar meski masih tampak lembut kelelahan seorang ibu muda.Di pangkuannya, Aurora tertidur pulas, dibalut selimut putih dengan logo kecil XKL di sudutnya. Anak kecil itu adalah simbol dari segalanya—awal baru, perjuangan, dan cinta yang menebus luka masa lalu.Ketika Xavier naik ke podium, tepuk tangan bergema.Sorot lamp
Beberapa minggu telah berlalu sejak malam penuh ketegangan itu. Rumah mereka kini dipenuhi suara lembut—tangisan kecil, tawa pelan, dan nada-nada kehangatan yang menenangkan hati.Kayla perlahan pulih, meski tubuhnya masih lemah. Di pagi hari, sinar matahari menembus tirai ruang keluarga, menyoroti wajahnya yang mulai kembali segar.Ia duduk di kursi goyang dekat jendela, menyusui bayi mungil mereka, Aurora Beatrice.Di sisinya, Xavier duduk santai dengan laptop terbuka, sesekali mengalihkan pandangan dari layar untuk memastikan Kayla nyaman.Ia lebih sering bekerja dari rumah sekarang. Ruang kerjanya tak lagi sunyi seperti dulu; kadang diselingi tawa kecil Kayla, kadang tangisan Aurora yang menuntut perhatian ayahnya.Dan setiap kali bayi itu menangis, Xavier akan segera bangkit, seolah panggilan kecil itu adalah perintah tertinggi dalam hidupnya.“Psst…” bisik Xavier, menghampiri bayi mereka yang baru saja berhenti menangis. Ia menatap wajah mungil itu dengan senyum lembut, lalu ber
Suasana di luar ruang bersalin begitu mencekam. Lampu indikator merah di atas pintu menyala, menandakan proses kelahiran sedang berlangsung.Setiap detik terasa seperti jarum yang menembus dada Xavier. Ia berdiri mematung di depan pintu, telapak tangannya dingin, napasnya tersengal meski ia berusaha tenang.Dari balik pintu tertutup rapat itu, suara jeritan Kayla terdengar lagi—serak, penuh rasa sakit, membuat darah Xavier seakan berhenti mengalir.“Kayla…” bisiknya lirih, seolah panggilan lembut itu bisa menembus dinding tebal dan memberi kekuatan pada istrinya di dalam sana.Ia menunduk, menatap lantai steril rumah sakit yang terasa seperti dunia yang membeku.Perawat berlalu-lalang, suara alat medis berdentang dari kejauhan, tapi yang ia dengar hanya satu: tangisan tertahan, napas tersengal, dan teriakan “tolong” dari orang yang paling dicintainya.Waktu seperti kehilangan makna.Xavier bersandar pada dinding, menutup wajah dengan kedua tangan. Di sanalah semua ketegangan menumpuk—
Waktu terus berjalan, dan kini usia kandungan Kayla memasuki bulan kesembilan. Perutnya membulat sempurna, kulitnya meregang dengan indah di bawah sentuhan lembut lampu kamar.Namun di balik senyum hangat yang sering ia tunjukkan pada Xavier, tubuhnya mulai terasa semakin berat, setiap langkah disertai napas yang sedikit terengah.Malam-malamnya pun tak lagi tenang — kontraksi palsu datang dan pergi seperti gelombang kecil yang mengingatkannya bahwa waktu sudah semakin dekat.Xavier selalu berusaha pulang tepat waktu. Begitu melewati pintu rumah, ia akan menggulung lengan kemejanya, melepaskan dasi, lalu menuju kamar tanpa menunggu lama.Kayla biasanya sudah duduk di ranjang, mengelus perutnya sambil berbicara pelan pada bayi mereka.Tanpa banyak kata, Xavier duduk di lantai, mengangkat kaki istrinya ke pangkuannya, dan mulai memijat dengan gerakan lembut.Jemarinya menyusuri betis Kayla, penuh perhatian dan kasih yang hanya dimiliki seseorang yang benar-benar mencintai.“Aku sudah bi
Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah gedung berlantai lima di kawasan yang masih baru berkembang.Tidak semegah The Moons Company, tapi memiliki aura berbeda — lebih hangat, lebih hidup.Logo XKL Company terpampang jelas di atas pintu masuk: tiga huruf yang melambangkan harapan baru, kerja keras, dan cinta yang menjadi pondasinya.Xavier turun dari mobil dengan langkah mantap.Ia menatap gedung itu lama, membiarkan dirinya menyerap setiap detailnya — dinding kaca modern, taman kecil di depan lobi, dan papan nama yang baru dipasang semalam. Semuanya sederhana, tapi memiliki makna besar.Richard sudah menunggunya di pintu, tersenyum bangga. “Tidak sebesar The Moons Company, tapi ini punya jiwa, Xavier.”Xavier mengangguk, matanya menatap lobi yang dipenuhi wajah-wajah muda penuh semangat. “Dan itu lebih dari cukup.”Begitu ia melangkah masuk, seluruh ruangan langsung riuh oleh suara langkah kaki dan bisik kagum.Karyawan-karyawan baru — sebagian besar anak muda idealis yang percaya
Udara pagi di depan gedung The Moons Company terasa dingin menusuk, meski matahari sudah tinggi di langit.Langit Jakarta tampak biru pucat, dan angin membawa aroma logam dari jalan raya yang sibuk.Xavier berdiri di depan pintu kaca besar yang selama bertahun-tahun menjadi pintu masuknya menuju dunia penuh tekanan, ambisi, dan manipulasi. Hari ini, untuk pertama kalinya, pintu itu bukan lagi miliknya.Ia menarik napas panjang, menatap ke dalam sejenak — ke arah lobi megah dengan lantai marmer putih, dinding kaca tinggi, dan logo besar berbentuk bulan perak yang bersinar di tengah ruangan.Di tempat itulah ia dulu belajar menjadi pemimpin, lalu perlahan berubah menjadi boneka di tangan ayahnya.Kini, tempat itu hanya menjadi kenangan.Langkah kakinya terdengar tegas menuruni anak tangga. Setiap langkah seolah menandai akhir dari satu bab besar dalam hidupnya.Mantap, namun berat — seperti seseorang yang meninggalkan bagian dari dirinya sendiri di belakang.Para karyawan yang melihatny







