“Ah … tu-tunggu, Xavier ….”
Kayla merintih saat Xavier hendak menyatukan milik mereka. Tubuhnya bergetar antara takut dan juga asing dengan gelenyar aneh yang membuat darahnya berdesir.
Namun, Xavier tidak memberinya waktu untuk berpikir. Pria itu melesak masuk hingga membuat Kayla merasa begitu penuh dan sesak.
“Ah! S-sakit … tolong hentikan ….” rintih Kayla, merasa tidak nyaman.
Xavier tidak menggubris. Ia memberikan sentuhan-sentuhan ringan untuk mengalihkan perhatian Kayla dari rasa sakit.
“Xavier ….”
“Aku belum selesai,” ucap Xavier dengan suara beratnya. Napasnya memburu, menikmati sensasi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Kayla hanya bisa menggigit bibirnya dan memejamkan matanya merasakan setiap sentuhan dan gerakan Xavier di atas tubuhnya.
Xavier tersenyum miring kala melihat reaksi Kayla saat ia sentuh. Tidak pernah ia mendapatkan gadis yang masih perawan, dan akhirnya ia bisa menikmati ini. Dan wanita yang kini berada di bawah kuasanya adalah istrinya sendiri.
Kayla menarik selimut untuk menutupi tubuhnya begitu Xavier menyelesaikan permainan di malam pertama mereka.
“Shh, sakit sekali,” rintihnya. Ini adalah kali pertama Kayla melakukannya. Namun, siapa sangka jika rasa sakit itu tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata.
Tak lama kemudian, Xavier kembali dan berdiri di dekat ranjang dengan ekspresi datar, lalu melempar sebuah amplop ke arah Kayla hingga membuat kertas itu jatuh di atas selimutnya.
“Baca dan tanda tangani surat perjanjian itu.”
Kayla perlahan membuka amplop itu. Matanya menyapu setiap baris dengan cepat, lalu kembali membaca dari awal, memastikan ia tidak salah paham.
Isi perjanjian itu membuatnya terhenyak—sebuah kontrak sebagai istri Xavier, penuh dengan batasan yang tidak masuk akal.
Tidak boleh menolak kapan pun Xavier menginginkannya, harus tampak bahagia dan harmonis di hadapan keluarga mereka, tidak boleh membicarakan masalah pribadi mereka kepada siapa pun, dan yang paling mengerikan—tidak ada hak untuk menggugat cerai dalam waktu yang tidak ditentukan.
“Ini benar-benar gila. Bahkan kau tidak mencintaiku. Bagaimana mungkin aku bisa terlihat bahagia di depan keluargamu, Xavier?” lirih Kayla.
Xavier hanya memutar badannya perlahan lalu menatap Kayla yang kini duduk dengan selimut membalut tubuhnya.
“Itu urusanmu. Semakin pandai berakting, semakin sedikit hukuman yang akan kau terima,” ucapnya dingin, nyaris tanpa ekspresi. Tidak ada empati di wajahnya, hanya kontrol dan kepastian mutlak.
“Hu—hukuman?” Kayla tersentak mendengarnya. “Bukankah tugasku hanya melahirkan anak laki-laki untukmu?” tanyanya bingung, kedua alisnya bertaut.
Xavier melangkah mendekat, langkahnya tenang namun penuh ancaman tak kasat mata. Ia berdiri di hadapan Kayla dan menunduk sedikit, menatap matanya tajam.
“Yang jelas,” desisnya pelan, “aku akan menciptakan neraka di hidupmu jika kau berani menentang semua perintahku.”
Kayla memejamkan matanya sejenak, mencoba menahan guncangan di dalam dadanya. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tidak menangis lagi. Jika bisa, ia ingin melarikan diri sejauh mungkin dari pria ini. Tapi ia tahu, itu mustahil.
Xavier memiliki kuasa terlalu besar. Lelaki itu bukan hanya kaya dan berpengaruh, tapi juga berbahaya. Dan sekarang, dia adalah suaminya.
“Kau tahu ke mana kakakmu pergi?” tanya Xavier tiba-tiba.
Kayla menggeleng pelan. “Tidak tahu,” jawabnya jujur, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Ia menatap wajah pria itu dengan pandangan sayu, kecewa, sekaligus marah. “Dan ini yang akan dia dapatkan jika dia menikah denganmu? Perjanjian ini … tidak, ini bukan perjanjian,” lanjutnya dengan suara lirihnya, “melainkan peraturan yang harus aku lakukan.”
Xavier tidak membantah. Ia hanya menatapnya tanpa rasa bersalah. “Ya. Aturan yang harus kau patuhi selama menjadi istriku,” jawabnya datar, seolah itu hal biasa, seolah kehidupan yang dipaksa dan ketundukan total adalah bagian dari definisi pernikahan menurutnya.
Kayla menghela napas panjang. “Kalau kau hanya ingin seorang anak, kenapa tidak cari ibu pengganti saja? Kenapa harus aku yang menjadi korbannya?”
“Apa hakmu mengaturku, Kayla? Kau sudah aku beli, dan kau harus mematuhi semua perintahku. Paham?!”
Malam perlahan turun menyelimuti pulau pribadi itu, membawa serta semilir angin laut yang membelai lembut kulit.Cahaya bulan menggantung anggun di langit, memantulkan sinarnya ke permukaan laut yang tenang, menciptakan kilau perak yang indah seperti lukisan hidup.Ombak memecah perlahan di bibir pantai, menciptakan irama alami yang menenangkan.Kayla melangkah pelan di atas pasir putih yang masih hangat oleh sisa panas matahari siang tadi. Jemari kakinya menyentuh permukaan air laut yang lembut.Gaun tipis warna putih yang ia kenakan berkibar tertiup angin. Rambutnya dibiarkan terurai, sebagian menempel di leher dan pundak karena udara lembap.Di sampingnya, Xavier berjalan tanpa alas kaki, mengenakan kemeja santai yang lengannya ia gulung hingga siku, terbuka sebagian di bagian dada.Satu tangannya melingkar erat di pinggang Kayla, menjaganya tetap dekat, seolah enggan membiarkan wanita itu menjauh sedikit pun.Mereka berjalan tanpa
Udara tropis menyambut kedatangan mereka. Angin pantai bertiup lembut, membawa aroma asin dari laut dan suara debur ombak yang menghantam karang terdengar menenangkan.Helikopter pribadi yang mereka tumpangi baru saja lepas landas kembali, meninggalkan Xavier dan Kayla berdua saja di sebuah pulau eksklusif—yang ternyata adalah milik pribadi Xavier.Kayla memutar tubuhnya, matanya membelalak melihat betapa luas dan indah tempat itu.Hamparan pasir putih membentang sejauh mata memandang, air laut sebening kristal berkilauan memantulkan cahaya mentari.Vila kayu bergaya tropikal berdiri di tengah pepohonan palem, seolah menyatu dengan alam.“Ini semuanya … milikmu?” Kayla menoleh tak percaya.Xavier hanya mengangguk kecil sambil menyampirkan kacamata hitam ke wajahnya. “Ya. Kubeli satu minggu setelah menikahimu.”Kayla menganga menatap tak percaya ke arah suaminya. “Tuhan ... aku bahkan belum pe
Perjalanan pulang itu berlangsung dalam diam, namun bukan lagi diam penuh amarah. Ada ketegangan berbeda yang menggantung di udara.Tegangan yang membelit seperti benang tak terlihat, menyelimuti keduanya dalam ketidaktahuan akan arah selanjutnya. Tapi satu hal pasti—mereka sama-sama terbakar oleh emosi yang belum sempat tuntas.Begitu sampai di rumah, Xavier membanting pintu mobil dan berjalan lebih dulu, sementara Kayla mengikutinya perlahan.Ketika pintu rumah tertutup di belakang mereka, suasana berubah drastis. Keheningan tak lagi terasa nyaman. Ia kini seperti bara yang siap membakar.Kayla baru saja hendak melangkah ke arah tangga ketika Xavier menyentaknya. Tangannya kuat mencengkeram lengan Kayla lalu menariknya hingga tubuh mereka nyaris bertubrukan.“Aku muak dengan semua keraguanmu, Kayla,” gumam Xavier rendah, suaranya serak tertahan. “Kalau kau pikir aku tak menginginkanmu, kau salah besar.”Kayla menatapnya, dada naik turun karena emosi yang belum tuntas. “Aku lelah ter
Kayla kini tengah duduk di restoran milik sahabatnya—Julia bahkan tidak memberitahu Xavier terlebih dahulu dia pergi ke sana. Sudah masa bodoh, meski nanti dia akan mendapat amarah dari suaminya itu.Kayla mengaduk pelan matcha latte di depannya, tanpa benar-benar bermaksud meminumnya. Pandangannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh dari tempat itu.“Ayah Xavier memintanya langsung. Dan mulai hari ini, aku tidak boleh datang lagi ke kantor,” ucap Kayla akhirnya dengan suara yang pelan.Julia membulatkan matanya, “Astaga, Kayla! Serius kau dipecat?”Kayla mengangguk pelan. “Bukan cuma dipecat, Julia. Aku bahkan merasa sudah benar-benar dikeluarkan dari hidup Xavier. Mungkin habis ini dia akan menceraikan aku dan mengganti aku dengan wanita lain yang lebih bisa diterima keluarganya.”Julia menyandarkan tubuh ke kursi dengan ekspresi jengkel. “Gila. Itu keluarga atau mafia?! Dan Xavier? Bukannya dia harusnya melindungimu?”Kayla hanya menghela napas berat. “Aku tidak tahu harus baga
Kayla pulang lebih awal dari kantor hari ini. Sementara Xavier masih terjebak dalam serangkaian meeting penting yang tak kunjung usai. Ia tak menahannya, seperti biasa—karena bagi Xavier, pekerjaan selalu nomor satu.Setibanya di rumah, Kayla melepas sepatu dengan pelan dan menggantung jas kerjanya di gantungan dekat pintu. Rumah terasa lengang. Sepi. Hanya suara detak jam dinding dan deru pendingin udara yang mengisi ruang tengah.Dia duduk di sofa, tangannya bertumpu di pangkuan, matanya menatap kosong ke arah jendela. Tapi pikirannya melayang jauh.Kata-kata Anthony siang tadi masih terus menggema di benaknya. Ancaman. Sindiran. Lalu bagaimana Xavier bereaksi.Dan sikap Xavier ... masih terlalu banyak yang tak ia pahami dari pria itu.Tangannya menggenggam bantal kecil di sofa. Sesekali dia menarik napas dalam-dalam seolah mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas wajah Xavier muncul dalam pikirannya.Apakah Xavier akan benar-benar men
“Kau benar-benar gila, Xavier!” desis Anthony dengan suara tajamnya. “Kau sudah melanggar aturan yang sudah kita sepakati bersama, Xavier!”“Kesepakatan?” Xavier menyunggingkan senyum sinis. “Kau pikir aku tidak tahu, selama ini kau berusaha menggoyahkan perusahaan ayahnya Kayla dan mengirim ancaman berkali-kali padanya?”Wajah Anthony sontak menegang mendengarnya. Tangannya mengepal erat menatap datar wajah Xavier yang menurutnya anaknya itu memang sulit untuk dikendalikan."Kalau begitu, jawab aku, Xavier," ucap Anthony dengan suara berat. "Apakah kau mencintai wanita itu? Katakan yang sebenarnya dan jangan berbohong padaku!”Xavier menatap ayahnya tanpa gentar. Tak ada emosi yang terpancar dari wajahnya, hanya datar dan dingin seperti biasa."Perasaan bukan sesuatu yang perlu diumbar. Tapi satu hal yang aku tahu pasti—pernikahan itu sakral. Tidak bisa dipermainkan," jawab Xavier mantap