Pagi itu, sinar mentari menembus tirai kamar dan jatuh hangat di kulit Kayla yang masih terlelap.
Tubuhnya terasa pegal di beberapa bagian—kenangan semalam masih tertinggal jelas di otot dan kulitnya.
Ia mengerang pelan, menggeliat malas di ranjang sebelum akhirnya mencium aroma menggoda dari arah luar kamar.
Aroma kopi hitam yang pekat dan suara desis mentega di atas wajan.
Dengan mata yang masih setengah terbuka, Kayla bangkit. Ia mengenakan kemeja kebesaran milik Xavier yang tergeletak di lantai—masih hangat oleh aroma tubuh suaminya.
Kancingnya ia biarkan terbuka hingga pertengahan paha, dan kakinya melangkah perlahan menuju dapur.
Apa yang dilihatnya membuat senyum terbit di wajahnya.
Xavier berdiri di depan kompor, masih bertelanjang dada, hanya mengenakan celana tidur tipis.
Otot punggung dan lengannya menegang setiap kali dia mengaduk telur orak-arik di wajan. Di meja makan, sudah tersaji roti panggang, baco
Waktu telah menunjuk angka dua belas siang. Matahari menggantung tinggi di langit, memancarkan sinarnya yang hangat namun tidak menyengat.Langit siang yang cerah menaungi pantai pribadi yang terhampar tenang, seolah waktu berhenti sejenak hanya untuk mengabadikan momen di antara pasir putih yang membentang dan debur ombak yang berkejaran lembut, memeluk bibir pantai dalam ritme yang menenangkan.Di depan sebuah vila mewah yang menghadap langsung ke lautan biru kehijauan itu, berdirilah Xavier—tinggi, tegap, dan berwibawa, namun kini memancarkan aura penuh gairah dan kehangatan.Di tangannya, tergenggam sepotong bikini dua potong berwarna merah marun yang tampak sangat mungil.Warna itu tampak kontras namun serasi dengan kulit pucat dan halus istrinya, Kayla, yang kini berdiri hanya berbalut handuk tipis.Kayla menatap pakaian itu dengan mata membulat, lalu menoleh pada suaminya yang tengah tersenyum penuh arti.“Kenapa kau yang memilih bikininya?” tanyanya dengan nada menggerutu manj
Pagi itu, sinar mentari menembus tirai kamar dan jatuh hangat di kulit Kayla yang masih terlelap.Tubuhnya terasa pegal di beberapa bagian—kenangan semalam masih tertinggal jelas di otot dan kulitnya.Ia mengerang pelan, menggeliat malas di ranjang sebelum akhirnya mencium aroma menggoda dari arah luar kamar.Aroma kopi hitam yang pekat dan suara desis mentega di atas wajan.Dengan mata yang masih setengah terbuka, Kayla bangkit. Ia mengenakan kemeja kebesaran milik Xavier yang tergeletak di lantai—masih hangat oleh aroma tubuh suaminya.Kancingnya ia biarkan terbuka hingga pertengahan paha, dan kakinya melangkah perlahan menuju dapur.Apa yang dilihatnya membuat senyum terbit di wajahnya.Xavier berdiri di depan kompor, masih bertelanjang dada, hanya mengenakan celana tidur tipis.Otot punggung dan lengannya menegang setiap kali dia mengaduk telur orak-arik di wajan. Di meja makan, sudah tersaji roti panggang, baco
Kayla mematung. Informasi itu seperti badai yang datang tiba-tiba. “Kau … menyuruhnya pergi?” tanyanya dengan suara lirihnya. “Aku memang tahu dia punya kekasih. Tapi, aku tidak menyangka kalau dia yang memintaku jadi penggantinya.”Xavier mengangguk. “Ya. Sejak saat itu, aku mencaritahu tentangmu. Kau adalah gadis kecil yang manis dan ceria. Aku menyukai senyummu saat kau menjadi pelayan kasir di restoran sahabatmu.”Kayla menganga mendengarnya. “Kau bahkan menguntitku, Xavier?” ucapnya tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Xavier tadi.Pria itu mengusapi sisian wajah Kayla dengan lembut. “Satu minggu sebelum pernikahan dimulai, Marsha datang padaku dan aku mencaritahu tentangmu. Aku mengubah nama Marsha menjadi namamu di akta pernikahan kita.”“Jadi … pernikahan kita ini, semuanya sudah direncanakan?” ucap Kayla lagi.Xavier mengangguk. “Ya. Direncana
Malam perlahan turun menyelimuti pulau pribadi itu, membawa serta semilir angin laut yang membelai lembut kulit.Cahaya bulan menggantung anggun di langit, memantulkan sinarnya ke permukaan laut yang tenang, menciptakan kilau perak yang indah seperti lukisan hidup.Ombak memecah perlahan di bibir pantai, menciptakan irama alami yang menenangkan.Kayla melangkah pelan di atas pasir putih yang masih hangat oleh sisa panas matahari siang tadi. Jemari kakinya menyentuh permukaan air laut yang lembut.Gaun tipis warna putih yang ia kenakan berkibar tertiup angin. Rambutnya dibiarkan terurai, sebagian menempel di leher dan pundak karena udara lembap.Di sampingnya, Xavier berjalan tanpa alas kaki, mengenakan kemeja santai yang lengannya ia gulung hingga siku, terbuka sebagian di bagian dada.Satu tangannya melingkar erat di pinggang Kayla, menjaganya tetap dekat, seolah enggan membiarkan wanita itu menjauh sedikit pun.Mereka berjalan tanpa
Udara tropis menyambut kedatangan mereka. Angin pantai bertiup lembut, membawa aroma asin dari laut dan suara debur ombak yang menghantam karang terdengar menenangkan.Helikopter pribadi yang mereka tumpangi baru saja lepas landas kembali, meninggalkan Xavier dan Kayla berdua saja di sebuah pulau eksklusif—yang ternyata adalah milik pribadi Xavier.Kayla memutar tubuhnya, matanya membelalak melihat betapa luas dan indah tempat itu.Hamparan pasir putih membentang sejauh mata memandang, air laut sebening kristal berkilauan memantulkan cahaya mentari.Vila kayu bergaya tropikal berdiri di tengah pepohonan palem, seolah menyatu dengan alam.“Ini semuanya … milikmu?” Kayla menoleh tak percaya.Xavier hanya mengangguk kecil sambil menyampirkan kacamata hitam ke wajahnya. “Ya. Kubeli satu minggu setelah menikahimu.”Kayla menganga menatap tak percaya ke arah suaminya. “Tuhan ... aku bahkan belum pe
Perjalanan pulang itu berlangsung dalam diam, namun bukan lagi diam penuh amarah. Ada ketegangan berbeda yang menggantung di udara.Tegangan yang membelit seperti benang tak terlihat, menyelimuti keduanya dalam ketidaktahuan akan arah selanjutnya. Tapi satu hal pasti—mereka sama-sama terbakar oleh emosi yang belum sempat tuntas.Begitu sampai di rumah, Xavier membanting pintu mobil dan berjalan lebih dulu, sementara Kayla mengikutinya perlahan.Ketika pintu rumah tertutup di belakang mereka, suasana berubah drastis. Keheningan tak lagi terasa nyaman. Ia kini seperti bara yang siap membakar.Kayla baru saja hendak melangkah ke arah tangga ketika Xavier menyentaknya. Tangannya kuat mencengkeram lengan Kayla lalu menariknya hingga tubuh mereka nyaris bertubrukan.“Aku muak dengan semua keraguanmu, Kayla,” gumam Xavier rendah, suaranya serak tertahan. “Kalau kau pikir aku tak menginginkanmu, kau salah besar.”Kayla menatapnya, dada naik turun karena emosi yang belum tuntas. “Aku lelah ter