“SIALAN!” teriak Tommy hingga suaranya menggema di seluruh ruangan. “Randy mati! Anak buah sialan itu ditembak seperti anjing oleh Xavier!”Para kaki tangannya yang berdiri di sekeliling ruangan saling pandang, sebagian menunduk, tak berani bicara.Semua orang tahu Randy adalah salah satu eksekutor terbaik Tommy. Jika dia sudah mati, berarti Xavier benar-benar sedang serius.Seorang pria berpostur kurus dengan wajah pucat, yang merupakan tangan kanan Tommy, memberanikan diri untuk berbicara.“Bos … mungkin sudah saatnya kita mundur,” ujarnya hati-hati.“Xavier bukan orang biasa. Jika kita terus mengusiknya, kita akan bernasib sama seperti Randy. Dia … dia bisa menghancurkan kita semua.”Tommy menoleh dengan tatapan membunuh. “Mundur?!” ucapnya dengan nada dingin penuh amarah yang ditekan.Dia bangkit dari kursinya lalu berdiri tegak dan mengancam. “Kau pikir aku akan menyerah hanya karena satu orang anak buahku mati?!”“B-bukan begitu maksudku, Bos.” Pria itu mengangkat tangan, mencob
Ruangan gudang itu terasa begitu hening setelah pengakuan Randy keluar. Suara hujan yang menetes di atap seng terdengar seperti gemuruh di telinga Xavier.Tubuh pria itu membeku di tempatnya, mata tajamnya terpaku pada Randy yang masih terengah di lantai.“Tommy Yuan,” ucap Xavier dengan lirih, penuh ketidakpercayaan.Kata itu menggantung di udara, mengalir bersama hawa dingin yang mengelilingi ruangan.Selama ini Xavier selalu meyakini bahwa orang yang mengincar istrinya adalah ayahnya sendiri—orang yang selama ini menjadi musuh utama dalam hidupnya.Namun kenyataan yang baru saja terkuak seperti pukulan keras di wajahnya."Jadi selama ini, aku salah sasaran?" batinnya dan dadanya terasa sesak.Di belakang Xavier, Richard yang mendengar nama itu langsung terperanjat.“Apa … apa kau barusan bilang Tommy?!” serunya tak percaya.Dia melangkah maju mendekati Randy, wajahnya memerah karena emosi yang meledak-ledak.“Kau yakin tidak salah sebut nama, brengsek?!”Randy yang penuh luka dan k
Hanya butuh tiga hari. Tiga hari penuh kejar-kejaran, pengintaian, dan pertaruhan nyawa di jalanan.Crimson Fang, sang gengster, akhirnya berhasil menemukan pria yang hampir membunuh Kayla.Malam itu, hujan deras mengguyur kota dan membuat suasana semakin mencekam. Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, lampu redup menyinari ruangan luas yang dipenuhi aroma karat dan oli.Suara langkah berat menggema saat Crimson menyeret seorang pria dengan tangan terikat dan wajah babak belur.“Cepat!” bentak Crimson sambil mendorong tubuh pria itu ke tengah ruangan.Pria itu—seorang anggota gangster terkenal yang dijuluki Randy "Pitbull" Vargas karena sifatnya yang brutal—merintih kesakitan dan darah segar menetes dari sudut bibirnya.Di tengah ruangan, Xavier duduk dengan tenang di atas kursi besi. Dia mengenakan jaket kulit hitam yang melekat sempurna pada tubuh tegapnya.Sarung tangan kulit hitam menutupi tangannya yang memegang pistol berwarna perak berkilat. Aura dingin dan mematikan memancar
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Kayla terbangun dengan rasa mual hebat yang menghantam perutnya seperti gelombang. Tubuhnya terasa lemas dan kepalanya berdenyut."Ugh!" desahnya lirih sambil menutup mulut dengan telapak tangan ketika rasa mual semakin kuat.Kayla bergegas menuju kamar mandi. Baru saja dia membuka pintu, aroma samar parfum Xavier yang masih tertinggal di udara menusuk hidungnya.Biasanya, aroma itu selalu menenangkan hatinya dan membuatnya merasa aman.Tapi pagi ini, baunya justru memicu rasa mual yang lebih parah. Dia memuntahkan isi perutnya di wastafel dengan tubuh yang gemetar hebat.Setelah beberapa menit, Kayla membilas wajahnya dengan air dingin. Dia kembali menatap bayangan dirinya di cermin dengan mata merah dan wajah pucat pasi."Apa yang salah dengan tubuhku?" gumamnya dengan suara serak.Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya masuk angin atau kelelahan.Beberapa hari terakhir, dia memang banyak menghabiskan waktu mengurus rumah dan me
"Aku tidak peduli!" suaranya menggelegar hingga memantul ke seluruh sudut ruangan.Richard tersentak mendengar teriakan sepupunya itu. "Xavier, kau harus tenang dulu. Kita tidak bisa gegabah. Geng itu terkenal berbahaya, dan—""Diam, Richard!" Xavier memotong kasar dan menatap Richard dengan tatapan membunuh."Aku tidak akan duduk diam ketika seseorang mencoba mencelakai Kayla. Aku bisa menyewa geng yang lebih ganas dan bringas dari mereka, dan aku akan melakukannya malam ini juga!"Semua orang sontak terdiam. Tidak ada satu pun yang berani bersuara. Mereka tahu, ketika Xavier sudah bersuara seperti itu, keputusannya tidak bisa diganggu gugat.Itu artinya, dia benar-benar sudah berada di titik puncak amarah. Dan jika Xavier Anderson sudah memutuskan untuk melawan, maka tidak akan ada belas kasihan.Xavier menoleh tajam ke arah tim IT yang masih berdiri dengan tubuh kaku. "Di mana markas mereka?"Salah satu anggota tim IT, seorang pria muda dengan wajah pucat karena ketakutan, segera m
Hening yang menegangkan memenuhi ruang kerja Xavier malam itu. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, bercampur dengan napas berat Xavier yang duduk di kursi kerjanya dengan wajah kelam.Pintu terbuka tiba-tiba. John masuk dengan tergesa, keringat membasahi pelipisnya meski AC ruangan cukup dingin. Di tangannya, sebuah flashdisk kecil tergenggam erat.“Tuan,” ucap John dengan napas tersengal. “Saya sudah mendapatkannya.”Xavier mendongak dengan sorot mata tajam, penuh amarah yang ditahan. “Tunjukkan,” titahnya dengan nada dingin dan tegas.John melangkah maju dan meletakkan flashdisk itu di atas meja.“Ini rekaman CCTV dari kenalan yang bertugas di pos jalan raya. Motor itu jelas terlihat. Kejadiannya persis seperti yang Nyonya Kayla ceritakan … pria itu benar-benar dengan sengaja mengarahkan motornya ke arah istri Anda.“Rekaman ini diambil setelah dia gagal menabrak Nyonya Kayla. Dia pergi ke jalan yang terhindar dari pantauan CCTV di jalan.”Sorot mata Xavier menggelap dan k