Pagi itu, rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu yang tak terlihat, mengendap seperti embun di balik kaca jendela. Sunyi yang biasanya terasa nyaman, kini seperti menyimpan bisik-bisik dari masa lalu. Lantainya dingin saat disentuh kaki telanjang Nayla, membuatnya bergidik sedikit. Ia menarik lengan bajunya lebih rapat, berusaha menahan hawa dingin yang datang dari jendela terbuka setengah.
Nayla bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum naik tinggi, dan langit masih tersaput warna abu yang belum sepenuhnya memutuskan ingin cerah atau mendung. Ia duduk di tepi ranjang untuk beberapa saat, menyandarkan punggungnya pada dinding yang dingin. Matanya masih berat, tapi ada kegelisahan samar yang menyelusup masuk, seperti mimpi yang tak sepenuhnya dia ingat, namun meninggalkan jejak samar di hati. Ia memejamkan mata kembali sejenak, berharap perasaan itu menghilang. Tapi tidak. Perasaan itu tetap tinggal. Ia membuka jendela kamar. Angin pagi menyusup masuk, membawa aroma tanah yang masih lembap dari hujan semalam. Burung-burung belum ramai bersuara, hanya satu-dua terdengar jauh di kejauhan. Dari sana, ia bisa melihat halaman yang masih basah, dedaunan masih menampung sisa-sisa air. Perlahan, ia turun ke dapur. Langkah Nayla pelan, tidak tergesa. Ia menyentuh permukaan meja makan dengan jemarinya, lalu berjalan ke rak teh dan memilih kantong teh melati yang aromanya selalu menenangkannya. Bunyi ketel mendesis pelan mengisi ruangan yang sunyi. Sambil menunggu air mendidih, Nayla membuka tirai kecil di dekat wastafel, membiarkan cahaya samar masuk dan memperlihatkan partikel debu yang menari di udara. Ia mulai membuat sarapan, roti panggang, telur orak-arik, dan potongan kecil buah apel yang ia susun rapi di piring putih. Setiap gerakan dilakukan perlahan, hati-hati, seperti mencoba mengisi kekosongan dengan rutinitas. Tangannya tidak cekatan, tapi telaten. Ia menyetel lagu dari playlist lamanya, bukan sengaja memilih lagu sedih, hanya kebetulan tangan memilih itu. Lagu-lagu indie tahun 2010-an yang dulu sering ia dengarkan saat masih duduk di bangku SMA. Ada rasa nostalgia, tapi juga semacam ketenangan. Seolah masa lalu itu masih bisa dia sentuh jika menutup mata cukup lama. Ia membiarkan musik mengalun pelan, memenuhi ruang dapur seperti kabut tipis. Suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Berat, lambat. Arvin muncul dengan hoodie gelap masih menggantung di tubuhnya, rambut acak-acakan dan mata yang belum sepenuhnya terjaga. Dia berhenti di ambang pintu dapur. Tak langsung masuk, hanya berdiri sejenak sambil mendengarkan lagu yang sedang mengalun. "Lagu lama," gumamnya, seperti berbicara kepada dirinya sendiri, tapi cukup keras untuk Nayla dengar. Nayla menoleh dan tersenyum kecil. "Iya. Biar nggak sepi." Arvin masuk dan duduk di kursi tinggi dekat meja dapur. Pandangannya kosong, menembus kaca jendela. Ada sesuatu dalam wajahnya pagi itu, bukan murung, tapi jelas bukan damai. "Kamu suka lagu ini?" tanya Nayla, mencoba mencairkan suasana. Arvin butuh beberapa detik sebelum menjawab. "Dulu. Seseorang yang pernah dekat denganku suka banget lagu ini. Dulu dia sering muter lagu ini di mobil, pas lagi nyetir malam-malam pulang kerja." Nayla diam. Tangannya berhenti menuangkan teh. Itu bukan pertama kalinya dia mendengar Arvin menyebut masa lalunya, tapi kali ini terasa lebih nyata. Lebih tajam. Karena ada wajah yang bisa dia bayangkan di balik kata-kata itu. Seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidup Arvin—seseorang yang pernah membuatnya tersenyum di bawah lagu yang kini mengalun di dapur mereka. "Maaf," kata Arvin cepat-cepat, menyadari keheningan yang muncul. "Aku nggak maksud apa-apa. Kadang memori itu datang sendiri." Nayla tersenyum, tipis. "Nggak apa-apa. Itu bagian dari kamu juga, kan?" Percakapan berhenti di sana. Mereka duduk dalam diam, hanya ditemani suara detik jam dinding dan lagu yang masih mengalun. Aroma roti panggang mulai memenuhi ruangan. Tapi sarapan berlangsung dalam hening yang canggung. Tidak sepenuhnya tidak nyaman, tapi cukup berbeda dari biasanya. Nayla mengunyah perlahan, sesekali mencuri pandang ke arah Arvin. Ingin tahu apa yang sedang dia pikirkan. Ingin bertanya lebih jauh, tapi takut mendengar jawabannya. Usai makan, Nayla berdiri lebih dulu, membereskan piring mereka. Suara air keran mengalun tenang. Busanya menggenang di dasar wastafel. Arvin sudah kembali ke ruang kerjanya, dan dari celah pintu yang sedikit terbuka, terdengar ketikan pelan dari keyboard. Biasanya, suara itu menenangkan. Tapi hari ini, Nayla merasa seperti orang asing yang kebetulan tinggal satu atap dengan seseorang yang menyimpan terlalu banyak cerita. Ia berjalan ke lorong, lalu ke ruang kerja Arvin, niat awalnya hanya untuk mengambil charger. Ia tahu Arvin biasa menyimpannya di laci meja. Tapi matanya terpaku pada sebuah kotak kayu kecil di sudut rak. Kotak itu sederhana. Nyaris tak mencolok. Tapi ada secarik kain kecil yang menyembul keluar dari celah penutupnya. Tangannya ragu, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia menyentuh kotak itu, mengangkat penutupnya perlahan. Di dalamnya, ada foto. Wajah perempuan. Muda, manis, dengan senyum yang hangat. Di sebelahnya, Arvin, lebih muda, dengan rambut lebih panjang, kacamata tipis, dan ekspresi bahagia yang Nayla belum pernah lihat sendiri sejak mereka tinggal bersama. Foto itu tidak baru. Warnanya mulai pudar, dan ada goresan di salah satu sisinya. Tapi bukan itu yang membuat Nayla tercekat. Melainkan cara Arvin memandang perempuan di foto itu. Pandangan yang menyimpan dunia, yang penuh rasa. Nayla buru-buru menutup kotak itu. Napasnya tidak beraturan. Ia bahkan lupa alasan awalnya masuk ke ruangan itu. Langkahnya tergesa keluar, seolah takut ada yang menangkapnya sedang menyentuh sesuatu yang bukan miliknya. Di lorong rumah yang sepi, ia berdiri beberapa detik, mencoba menenangkan dirinya. Tapi ada sesuatu yang sudah terlanjur mengalir dalam dadanya. Perasaan yang tak bisa ia abaikan lagi. Malamnya, Nayla duduk di teras. Udara masih membawa sisa dingin dari hujan kemarin. Ia menyelimuti kakinya dengan selimut tipis, secangkir cokelat panas di tangan, tapi belum tersentuh. Arvin menyusul beberapa menit kemudian. Duduk di kursi sebelah, membawa minuman juga. Mereka tidak berbicara. Hanya duduk, diam, bersama. Nyamuk sesekali beterbangan. Angin mengayun lembut tirai di balik pintu kaca. Cahaya lampu temaram menyinari sebagian wajah Nayla, membentuk bayangan samar di bawah matanya. "Kadang aku ngerasa kamu lagi mikirin hal yang nggak bisa aku sentuh," katanya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Arvin menoleh, lambat. "Maksud kamu?" Nayla tak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng dan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Mungkin cuma aku yang terlalu banyak mikir." Tapi jauh di dalam hatinya, Nayla tahu. Ia mulai menyukai laki-laki itu. Dan ia tahu, perasaannya tidak berdiri sendiri. Ada bayangan perempuan lain di antara mereka. Seseorang yang dulu pernah membuat Arvin bahagia. Seseorang yang jejaknya masih tertinggal di sudut-sudut rumah ini. Di playlist lagu. Di kotak kayu. Di cara Arvin diam terlalu lama saat pagi datang. “Aku datang terlambat,” pikir Nayla. Dan cinta yang datang terlambat, selalu berjalan dengan kaki yang ragu. Ia menatap langit malam. Malam yang hening, tapi tak sepenuhnya sepi. Karena hatinya kini tahu, cerita mereka baru saja menyentuh bagian yang paling rapuh.Hujan kembali turun sore itu. Bukan deras, hanya gerimis kecil yang mengetuk kaca jendela seperti irama ragu-ragu. Udara di dalam rumah menjadi lebih lembap dan sunyi terasa menebal, seolah setiap benda di dalam ruangan sedang menahan napas.Nayla duduk di lantai ruang tamu, bersandar di sisi sofa dengan selimut tipis melingkari tubuhnya. Buku yang dibawanya belum dibuka sama sekali sejak satu jam lalu. Pandangannya hanya menatap kaca jendela yang mulai berkabut. Entah sudah berapa lama ia berada di posisi itu. Waktu terasa tak penting ketika pikiran terlalu penuh oleh hal-hal yang tak bisa diucapkan.Langkah kaki Arvin terdengar dari arah dapur. Biasa, tenang, tanpa tergesa. Namun, kali ini ada jeda di antara langkahnya. Seolah ia pun sedang memikirkan sesuatu. Nayla tidak menoleh. Ia tahu Arvin akan melihatnya, dan itu sudah cukup.Benar saja. Arvin berhenti di ambang ruang tamu, memandang Nayla dalam diam. Tangannya membawa dua gelas, satu berisi teh hangat, satu lagi cokelat panas
Pagi berikutnya datang tanpa pertanda. Hanya sinar matahari yang menyelinap pelan lewat sela tirai kamar, membentuk garis-garis hangat di lantai kayu. Nayla masih berbaring, matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong.Semalam ia tidur larut. Bukan karena begadang, tapi karena pikirannya sibuk menyusun ulang semua perasaan yang mulai tumbuh. Ia mencoba menertibkan emosinya, seperti menata buku di rak yang sudah penuh. Tapi selalu ada satu dua yang jatuh, dan membuat kekacauan kecil di dalam hatinya.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.“Nayla,” suara Arvin terdengar dari balik pintu. “Sarapan udah siap.”Nayla menarik napas, lalu bangkit. Langkahnya pelan menuju kamar mandi, membasuh wajah yang masih menyimpan bayang-bayang semalam. Cermin memantulkan sosoknya yang diam, dengan mata yang sedikit sembab. Ia tidak menangis, hanya terlalu lelah untuk menyembunyikan apa yang terasa.Saat tiba di meja makan, Arvin sudah duduk. Di hadapannya, dua piring nasi goreng b
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, atau setidaknya, terlihat seperti itu.Nayla tetap bangun pagi, membuat sarapan, mendengarkan lagu-lagu lamanya sambil menyiapkan teh. Arvin tetap muncul dari tangga dengan hoodie lusuh dan mata setengah terbuka, duduk diam sambil menikmati aroma roti panggang.Namun sejak malam itu di teras, ada sesuatu yang berubah. Tidak mencolok. Hanya semacam jarak tak kasatmata yang menyelinap di antara kursi-kursi makan, membayangi setiap percakapan, menyusup ke dalam keheningan yang dulu terasa nyaman. Kini, keheningan itu lebih seperti jeda panjang yang menunggu penjelasan, tapi tak ada yang bicara.Nayla tak pernah membahas kotak kayu itu. Tidak menyinggung tentang foto, atau perempuan di dalamnya. Tapi bayangan wajah itu terus melekat di benaknya. Muncul saat ia menyapu, saat ia menyusun buku, bahkan saat ia menatap Arvin diam-diam dari balik pintu.Pagi itu, Arvin tampak sedikit lebih rapi. Kemeja biru muda dan parfum yang khas. Ia baru saja men
Pagi itu, rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu yang tak terlihat, mengendap seperti embun di balik kaca jendela. Sunyi yang biasanya terasa nyaman, kini seperti menyimpan bisik-bisik dari masa lalu. Lantainya dingin saat disentuh kaki telanjang Nayla, membuatnya bergidik sedikit. Ia menarik lengan bajunya lebih rapat, berusaha menahan hawa dingin yang datang dari jendela terbuka setengah. Nayla bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum naik tinggi, dan langit masih tersaput warna abu yang belum sepenuhnya memutuskan ingin cerah atau mendung. Ia duduk di tepi ranjang untuk beberapa saat, menyandarkan punggungnya pada dinding yang dingin. Matanya masih berat, tapi ada kegelisahan samar yang menyelusup masuk, seperti mimpi yang tak sepenuhnya dia ingat, namun meninggalkan jejak samar di hati. Ia memejamkan mata kembali sejenak, berharap perasaan itu menghilang. Tapi tidak. Perasaan itu tetap tinggal. Ia membuka jendela kamar. Angin pagi
Langit sore itu menggantung berat, seperti seseorang yang memendam terlalu banyak perasaan. Awan kelabu saling bertumpuk, menutup matahari dan mengunci cahaya di balik dinding diam. Tak lama, rintik hujan mulai turun. Pelan, teratur, seperti mengetuk atap satu-satu, memohon untuk didengar. Nayla berdiri di depan rak buku yang sudah lama tak tersentuh. Debu tipis menyelimuti punggung-punggung buku tua yang sebagian besar milik almarhum ayahnya. Ia mengusapnya perlahan, seolah menyentuh kenangan yang rapuh. Tangan Nayla bergerak lembut, menyusun ulang buku-buku itu satu per satu, sesekali berhenti membaca judul atau menatap kosong ke kejauhan. Sore ini, ia tak ingin banyak berpikir. Ia hanya ingin larut dalam ketenangan yang nyaris tak bisa ditemukan belakangan ini. Suara langkah pelan dari arah dapur menarik perhatiannya. Arvin muncul dengan dua gelas teh hangat di tangan. Rambutnya masih basah dan berantakan, kaus abu-abunya melekat sedikit di tubuhnya karena lembap setelah mandi. “
Ada jenis lelah yang bukan karena tubuh. Lelah yang datang dari tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja. Untuk tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi dengan senyum yang tidak sepenuhnya milik sendiri. Dan hari itu, Nayla merasakannya bahkan sejak membuka mata. Bukan karena tubuhnya lelah. Tapi karena sejak semalam, pikirannya sudah penuh oleh bayangan keramaian, suara tawa, dan pertanyaan-pertanyaan yang akan datang tanpa diminta. Hari ini adalah arisan keluarga besar dari pihak ibunya. Dua bulan sekali, dan kali ini giliran rumah mereka menjadi tuan rumah. Artinya ia harus membawa Arvin ke tengah-tengah keluarga besarnya. Sebagai "suami". Sebagai seseorang yang seharusnya sudah menyatu dalam lingkaran itu. Padahal kenyataannya, hubungan mereka sendiri masih berada di ambang: bukan orang asing, tapi juga belum bisa disebut pasangan yang sebenarnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Rambutnya masih sedikit kusut, matanya belum sepenuhnya terbuka. Tapi b
Ada jeda yang panjang antara dua orang yang belum saling memahami. Jeda itu tidak selalu sunyi. Kadang justru dipenuhi ribuan pikiran yang tak bisa diucapkan, karena tak tahu harus dimulai dari mana. Dan pagi itu, jeda di antara Nayla dan Arvin terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan semalam menyisakan udara dingin. Langit berwarna abu-abu pudar. Rumah itu hangat, tapi di antara mereka, ada ketegangan samar yang menggantung tanpa nama. Nayla menyeduh teh di dapur dengan gerakan lambat. Seperti biasa, ia bangun lebih awal. Tapi kali ini, langkah-langkahnya tak seenergik biasanya. Ada yang menekan dadanya sejak malam sebelumnya. Arvin belum turun. Mungkin masih tidur. Atau sengaja menghindari pagi. Dan Nayla masih mengingat percakapan kecil semalam. Percakapan yang tak sempat selesai. --- Semalam, mereka duduk di ruang tamu. Televisi menyala, tapi tidak ada yang benar-benar menonton. Nayla hanya membaca novel tipis yang belum selesai sejak dua minggu lalu, dan Arvin sedang membu
Ada rumah yang tak pernah benar-benar kosong. Tapi tetap terasa sunyi. Bukan karena tak ada suara, melainkan karena dua orang di dalamnya... tak tahu harus berkata apa.Rumah milik Arvin itu berdiri tenang di ujung jalan kecil yang jarang dilalui kendaraan. Pagar besi dicat hitam, taman depan ditumbuhi rumput yang teratur panjangnya. Lampu-lampu gantung di teras menyala redup setiap sore, memantulkan warna kuning hangat di dinding putih bersih.Tidak ada yang salah dengan rumah itu. Lantainya bersih, sofanya empuk dan tertata, lemari dapurnya rapi. Tapi rumah itu seperti memantulkan hawa: bukan hangat kekeluargaan, melainkan hening yang menjaga jarak. Seperti seseorang yang selalu siap untuk ditinggalkan.Dan di situlah Nayla tinggal sekarang.Bukan karena cinta. Bukan juga karena paksaan. Tapi karena keputusan bersama. Sebuah kesepakatan antara dua keluarga yang sudah bersahabat sejak puluhan tahun lalu.Perjodohan itu datang tanpa banyak perdebatan. Tak ada drama, tak ada tangisan.
Waktu berjalan cepat, ya," gumam Tante Rika pelan, suara lembutnya menyatu dengan denting pelan sendok teh yang beradu di pinggir cangkir. Uap dari teko teh masih mengepul ketika ia menuangkan cairan hangat itu ke dalam cangkir Bu Diah.Di ruang tengah rumah keluarga Nayla, malam menggelayut tenang. Lampu gantung menyala temaram, menyinari percakapan yang terdengar seperti kenangan masa lalu yang dipanggil kembali perlahan.“Rasanya baru kemarin kita bawa anak-anak ke taman waktu mereka masih pakai seragam TK,” lanjutnya sambil tersenyum samar, seakan membayangkan kembali dua bocah kecil yang dulu berlari-larian di bawah matahari sore.Bu Diah mengangguk pelan. “Dan sekarang... kita membicarakan pernikahan mereka.”Kata “pernikahan” tidak meluncur dengan ringan. Ia mengambang di udara, menetap sejenak sebelum tenggelam dalam kesunyian antar napas mereka. Di balik senyum hangat para ibu, tersimpan kekhawatiran yang tidak diucapkan: tentang ketidakpastian, tentang dua hati muda yang mun