Beranda / Romansa / Bukan cinta pilihan / Hujan yang mengetuk perlahan

Share

Hujan yang mengetuk perlahan

Penulis: jeanna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-11 15:35:04

Langit sore itu menggantung berat, seperti seseorang yang memendam terlalu banyak perasaan. Awan kelabu saling bertumpuk, menutup matahari dan mengunci cahaya di balik dinding diam. Tak lama, rintik hujan mulai turun. Pelan, teratur, seperti mengetuk atap satu-satu, memohon untuk didengar.

Nayla berdiri di depan rak buku yang sudah lama tak tersentuh. Debu tipis menyelimuti punggung-punggung buku tua yang sebagian besar milik almarhum ayahnya. Ia mengusapnya perlahan, seolah menyentuh kenangan yang rapuh. Tangan Nayla bergerak lembut, menyusun ulang buku-buku itu satu per satu, sesekali berhenti membaca judul atau menatap kosong ke kejauhan. Sore ini, ia tak ingin banyak berpikir. Ia hanya ingin larut dalam ketenangan yang nyaris tak bisa ditemukan belakangan ini.

Suara langkah pelan dari arah dapur menarik perhatiannya. Arvin muncul dengan dua gelas teh hangat di tangan. Rambutnya masih basah dan berantakan, kaus abu-abunya melekat sedikit di tubuhnya karena lembap setelah mandi.

“Kamu bersihin rak itu?” tanyanya ringan, sambil meletakkan salah satu gelas di meja kecil di dekat sofa.

Nayla mengangguk tanpa menoleh. “Lagi bosan. Hujan bikin ngantuk, tapi aku nggak bisa tidur.”

Arvin duduk di kursi seberang, menatap jendela yang mulai dipenuhi embun dan tetes hujan. “Kamu suka hujan?”

Nayla menarik lututnya ke atas sofa, memeluknya. “Dulu suka banget. Waktu kecil, aku suka duduk di teras, nonton hujan sambil makan gorengan. Tapi sekarang... hujan jadi semacam pemicu kenangan. Aku jadi nggak nyaman.”

Arvin mendengarkan. Tak menyela. Hanya memandangi tetes air yang meluncur di balik kaca. “Hujan kadang terlalu jujur, ya.”

Nayla menoleh, sedikit heran. “Kamu juga nggak suka?”

Dia mengangkat bahu. “Bukan nggak suka. Tapi aku lebih nyaman dengar suara hujan dari dalam ruangan. Aku nggak suka kehujanan. Rasanya kayak kehilangan arah. Semua jadi kabur. Langkah jadi ragu.”

Suara hujan makin lebat. Tapi di ruang itu, suara mereka lebih nyata.

“Kamu puitis juga,” Nayla berkata pelan, setengah senyum.

Arvin membalas pandangannya sejenak. “Kamu juga. Tapi kamu pandai sembunyi.”

“Terlatih,” Nayla menjawab. “Terlalu sering dianggap aneh karena ngomongin hal yang kelihatan nggak penting.”

Arvin menyesap tehnya sebelum bicara lagi. “Kadang, justru yang kelihatan nggak penting itu yang paling jujur. Kayak kamu tadi. Bilang kamu pernah suka hujan tapi sekarang enggak. Di situ ada cerita. Ada perubahan. Ada sesuatu yang... patah.”

Ucapan itu menggantung di udara. Tak perlu dijawab. Tapi di dada Nayla, ada getar halus yang belum ia kenal sebelumnya.

____

Hujan terus turun. Tapi suasana di dalam rumah tetap hangat. Nayla membaca satu buku tua dari rak, sesekali tersenyum kecil pada paragraf yang mengingatkannya pada masa lalu. Arvin di sisi lain ruangan, mengetik di laptop, entah apa. Sesekali mereka saling melirik. Tak ada dialog, tak ada komentar. Tapi tidak juga ada canggung. Hening itu terasa seperti ruang aman.

Malam datang bersama udara lembap dan bau tanah basah. Setelah makan malam sederhana—nasi goreng yang dibuat Nayla dengan bumbu sedikit berlebihan tapi tetap habis oleh Arvin—Nayla keluar untuk menyapu halaman.

Tanah masih basah, daun-daun berserakan, dan udara membawa aroma nostalgia. Seperti sore-sore lama yang dulu ia habiskan bersama ibu atau ayah, menyapu halaman sambil bercengkerama ringan.

Langkah pelan terdengar dari balik pintu pagar. Arvin muncul dengan payung lipat di tangan dan jaket tipis menempel di tubuhnya.

“Udah malam, Nay. Dingin mulai masuk,” ujarnya.

Nayla tetap menyapu, walau gerakannya melambat. “Udara setelah hujan tuh rasanya segar. Kayak... semua yang kotor udah dibilas.”

Arvin menatap jalan yang masih mengilap oleh sisa air. Lampu jalan memantul di genangan. Suasana hening, seperti dunia sedang mengambil napas panjang.

“Mungkin kita juga gitu,” katanya akhirnya. “Kadang kita harus kena hujan dulu, biar bisa bersih.”

Nayla berhenti menyapu. Ia menatapnya. “Apa maksudmu?”

Arvin tak langsung menjawab. Matanya tetap terpaku pada jalanan. “Kamu bilang kamu berubah karena hujan. Aku juga berubah karena sesuatu. Tapi... mungkin hujan itu bukan pertanda kesedihan. Mungkin itu tanda bahwa kita siap untuk mulai lagi.”

Ucapan itu tak terdengar seperti nasihat. Lebih seperti seseorang yang sedang berbicara pada dirinya sendiri, mencoba meraba sesuatu yang samar.

Namun buat Nayla, itu cukup. Malam itu, di bawah langit yang belum benar-benar cerah, Arvin terasa sedikit lebih dekat. Sedikit lebih hangat. Dan untuk pertama kalinya, rumah itu tak terasa terlalu sunyi.

____

Di dalam kamar, Nayla duduk di depan meja kecilnya, membuka jurnal. Pensilnya bergerak pelan.

"Hari ini, aku tidak bicara banyak. Tapi aku merasa lebih dimengerti. Bukan karena dia memberi jawaban, tapi karena dia duduk di dekatku, dan diam bersama."

Dan di luar sana, hujan turun lagi. Ringan. Seperti mengetuk jendela dengan lembut. Seolah hujan pun tahu—ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara dua hati yang masih belajar sembuh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan cinta pilihan    Diam yang tak biasa

    Hujan kembali turun sore itu. Bukan deras, hanya gerimis kecil yang mengetuk kaca jendela seperti irama ragu-ragu. Udara di dalam rumah menjadi lebih lembap dan sunyi terasa menebal, seolah setiap benda di dalam ruangan sedang menahan napas.Nayla duduk di lantai ruang tamu, bersandar di sisi sofa dengan selimut tipis melingkari tubuhnya. Buku yang dibawanya belum dibuka sama sekali sejak satu jam lalu. Pandangannya hanya menatap kaca jendela yang mulai berkabut. Entah sudah berapa lama ia berada di posisi itu. Waktu terasa tak penting ketika pikiran terlalu penuh oleh hal-hal yang tak bisa diucapkan.Langkah kaki Arvin terdengar dari arah dapur. Biasa, tenang, tanpa tergesa. Namun, kali ini ada jeda di antara langkahnya. Seolah ia pun sedang memikirkan sesuatu. Nayla tidak menoleh. Ia tahu Arvin akan melihatnya, dan itu sudah cukup.Benar saja. Arvin berhenti di ambang ruang tamu, memandang Nayla dalam diam. Tangannya membawa dua gelas, satu berisi teh hangat, satu lagi cokelat panas

  • Bukan cinta pilihan    Kenangan yang belum usai

    Pagi berikutnya datang tanpa pertanda. Hanya sinar matahari yang menyelinap pelan lewat sela tirai kamar, membentuk garis-garis hangat di lantai kayu. Nayla masih berbaring, matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong.Semalam ia tidur larut. Bukan karena begadang, tapi karena pikirannya sibuk menyusun ulang semua perasaan yang mulai tumbuh. Ia mencoba menertibkan emosinya, seperti menata buku di rak yang sudah penuh. Tapi selalu ada satu dua yang jatuh, dan membuat kekacauan kecil di dalam hatinya.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.“Nayla,” suara Arvin terdengar dari balik pintu. “Sarapan udah siap.”Nayla menarik napas, lalu bangkit. Langkahnya pelan menuju kamar mandi, membasuh wajah yang masih menyimpan bayang-bayang semalam. Cermin memantulkan sosoknya yang diam, dengan mata yang sedikit sembab. Ia tidak menangis, hanya terlalu lelah untuk menyembunyikan apa yang terasa.Saat tiba di meja makan, Arvin sudah duduk. Di hadapannya, dua piring nasi goreng b

  • Bukan cinta pilihan    Jarak yang tak terucap

    Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, atau setidaknya, terlihat seperti itu.Nayla tetap bangun pagi, membuat sarapan, mendengarkan lagu-lagu lamanya sambil menyiapkan teh. Arvin tetap muncul dari tangga dengan hoodie lusuh dan mata setengah terbuka, duduk diam sambil menikmati aroma roti panggang.Namun sejak malam itu di teras, ada sesuatu yang berubah. Tidak mencolok. Hanya semacam jarak tak kasatmata yang menyelinap di antara kursi-kursi makan, membayangi setiap percakapan, menyusup ke dalam keheningan yang dulu terasa nyaman. Kini, keheningan itu lebih seperti jeda panjang yang menunggu penjelasan, tapi tak ada yang bicara.Nayla tak pernah membahas kotak kayu itu. Tidak menyinggung tentang foto, atau perempuan di dalamnya. Tapi bayangan wajah itu terus melekat di benaknya. Muncul saat ia menyapu, saat ia menyusun buku, bahkan saat ia menatap Arvin diam-diam dari balik pintu.Pagi itu, Arvin tampak sedikit lebih rapi. Kemeja biru muda dan parfum yang khas. Ia baru saja men

  • Bukan cinta pilihan    Bukan cinta pilihan

    Pagi itu, rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu yang tak terlihat, mengendap seperti embun di balik kaca jendela. Sunyi yang biasanya terasa nyaman, kini seperti menyimpan bisik-bisik dari masa lalu. Lantainya dingin saat disentuh kaki telanjang Nayla, membuatnya bergidik sedikit. Ia menarik lengan bajunya lebih rapat, berusaha menahan hawa dingin yang datang dari jendela terbuka setengah. Nayla bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum naik tinggi, dan langit masih tersaput warna abu yang belum sepenuhnya memutuskan ingin cerah atau mendung. Ia duduk di tepi ranjang untuk beberapa saat, menyandarkan punggungnya pada dinding yang dingin. Matanya masih berat, tapi ada kegelisahan samar yang menyelusup masuk, seperti mimpi yang tak sepenuhnya dia ingat, namun meninggalkan jejak samar di hati. Ia memejamkan mata kembali sejenak, berharap perasaan itu menghilang. Tapi tidak. Perasaan itu tetap tinggal. Ia membuka jendela kamar. Angin pagi

  • Bukan cinta pilihan    Hujan yang mengetuk perlahan

    Langit sore itu menggantung berat, seperti seseorang yang memendam terlalu banyak perasaan. Awan kelabu saling bertumpuk, menutup matahari dan mengunci cahaya di balik dinding diam. Tak lama, rintik hujan mulai turun. Pelan, teratur, seperti mengetuk atap satu-satu, memohon untuk didengar. Nayla berdiri di depan rak buku yang sudah lama tak tersentuh. Debu tipis menyelimuti punggung-punggung buku tua yang sebagian besar milik almarhum ayahnya. Ia mengusapnya perlahan, seolah menyentuh kenangan yang rapuh. Tangan Nayla bergerak lembut, menyusun ulang buku-buku itu satu per satu, sesekali berhenti membaca judul atau menatap kosong ke kejauhan. Sore ini, ia tak ingin banyak berpikir. Ia hanya ingin larut dalam ketenangan yang nyaris tak bisa ditemukan belakangan ini. Suara langkah pelan dari arah dapur menarik perhatiannya. Arvin muncul dengan dua gelas teh hangat di tangan. Rambutnya masih basah dan berantakan, kaus abu-abunya melekat sedikit di tubuhnya karena lembap setelah mandi. “

  • Bukan cinta pilihan    Wajah yang harus di tunjukkan

    Ada jenis lelah yang bukan karena tubuh. Lelah yang datang dari tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja. Untuk tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi dengan senyum yang tidak sepenuhnya milik sendiri. Dan hari itu, Nayla merasakannya bahkan sejak membuka mata. Bukan karena tubuhnya lelah. Tapi karena sejak semalam, pikirannya sudah penuh oleh bayangan keramaian, suara tawa, dan pertanyaan-pertanyaan yang akan datang tanpa diminta. Hari ini adalah arisan keluarga besar dari pihak ibunya. Dua bulan sekali, dan kali ini giliran rumah mereka menjadi tuan rumah. Artinya ia harus membawa Arvin ke tengah-tengah keluarga besarnya. Sebagai "suami". Sebagai seseorang yang seharusnya sudah menyatu dalam lingkaran itu. Padahal kenyataannya, hubungan mereka sendiri masih berada di ambang: bukan orang asing, tapi juga belum bisa disebut pasangan yang sebenarnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Rambutnya masih sedikit kusut, matanya belum sepenuhnya terbuka. Tapi b

  • Bukan cinta pilihan    Jeda dalam hening

    Ada jeda yang panjang antara dua orang yang belum saling memahami. Jeda itu tidak selalu sunyi. Kadang justru dipenuhi ribuan pikiran yang tak bisa diucapkan, karena tak tahu harus dimulai dari mana. Dan pagi itu, jeda di antara Nayla dan Arvin terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan semalam menyisakan udara dingin. Langit berwarna abu-abu pudar. Rumah itu hangat, tapi di antara mereka, ada ketegangan samar yang menggantung tanpa nama. Nayla menyeduh teh di dapur dengan gerakan lambat. Seperti biasa, ia bangun lebih awal. Tapi kali ini, langkah-langkahnya tak seenergik biasanya. Ada yang menekan dadanya sejak malam sebelumnya. Arvin belum turun. Mungkin masih tidur. Atau sengaja menghindari pagi. Dan Nayla masih mengingat percakapan kecil semalam. Percakapan yang tak sempat selesai. --- Semalam, mereka duduk di ruang tamu. Televisi menyala, tapi tidak ada yang benar-benar menonton. Nayla hanya membaca novel tipis yang belum selesai sejak dua minggu lalu, dan Arvin sedang membu

  • Bukan cinta pilihan    Rumah tanpa suara

    Ada rumah yang tak pernah benar-benar kosong. Tapi tetap terasa sunyi. Bukan karena tak ada suara, melainkan karena dua orang di dalamnya... tak tahu harus berkata apa.Rumah milik Arvin itu berdiri tenang di ujung jalan kecil yang jarang dilalui kendaraan. Pagar besi dicat hitam, taman depan ditumbuhi rumput yang teratur panjangnya. Lampu-lampu gantung di teras menyala redup setiap sore, memantulkan warna kuning hangat di dinding putih bersih.Tidak ada yang salah dengan rumah itu. Lantainya bersih, sofanya empuk dan tertata, lemari dapurnya rapi. Tapi rumah itu seperti memantulkan hawa: bukan hangat kekeluargaan, melainkan hening yang menjaga jarak. Seperti seseorang yang selalu siap untuk ditinggalkan.Dan di situlah Nayla tinggal sekarang.Bukan karena cinta. Bukan juga karena paksaan. Tapi karena keputusan bersama. Sebuah kesepakatan antara dua keluarga yang sudah bersahabat sejak puluhan tahun lalu.Perjodohan itu datang tanpa banyak perdebatan. Tak ada drama, tak ada tangisan.

  • Bukan cinta pilihan    Awal yang Tidak asing

    Waktu berjalan cepat, ya," gumam Tante Rika pelan, suara lembutnya menyatu dengan denting pelan sendok teh yang beradu di pinggir cangkir. Uap dari teko teh masih mengepul ketika ia menuangkan cairan hangat itu ke dalam cangkir Bu Diah.Di ruang tengah rumah keluarga Nayla, malam menggelayut tenang. Lampu gantung menyala temaram, menyinari percakapan yang terdengar seperti kenangan masa lalu yang dipanggil kembali perlahan.“Rasanya baru kemarin kita bawa anak-anak ke taman waktu mereka masih pakai seragam TK,” lanjutnya sambil tersenyum samar, seakan membayangkan kembali dua bocah kecil yang dulu berlari-larian di bawah matahari sore.Bu Diah mengangguk pelan. “Dan sekarang... kita membicarakan pernikahan mereka.”Kata “pernikahan” tidak meluncur dengan ringan. Ia mengambang di udara, menetap sejenak sebelum tenggelam dalam kesunyian antar napas mereka. Di balik senyum hangat para ibu, tersimpan kekhawatiran yang tidak diucapkan: tentang ketidakpastian, tentang dua hati muda yang mun

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status