Beranda / Romansa / Bukan cinta pilihan / Wajah yang harus di tunjukkan

Share

Wajah yang harus di tunjukkan

Penulis: jeanna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-11 15:35:00

Ada jenis lelah yang bukan karena tubuh. Lelah yang datang dari tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja. Untuk tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi dengan senyum yang tidak sepenuhnya milik sendiri.

Dan hari itu, Nayla merasakannya bahkan sejak membuka mata.

Bukan karena tubuhnya lelah. Tapi karena sejak semalam, pikirannya sudah penuh oleh bayangan keramaian, suara tawa, dan pertanyaan-pertanyaan yang akan datang tanpa diminta. Hari ini adalah arisan keluarga besar dari pihak ibunya. Dua bulan sekali, dan kali ini giliran rumah mereka menjadi tuan rumah.

Artinya ia harus membawa Arvin ke tengah-tengah keluarga besarnya. Sebagai "suami". Sebagai seseorang yang seharusnya sudah menyatu dalam lingkaran itu. Padahal kenyataannya, hubungan mereka sendiri masih berada di ambang: bukan orang asing, tapi juga belum bisa disebut pasangan yang sebenarnya.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Rambutnya masih sedikit kusut, matanya belum sepenuhnya terbuka. Tapi bahkan wajah lelah itu harus segera dikaburkan. Ada wajah lain yang harus ditunjukkan hari ini.

Wajah yang kuat. Wajah yang tenang.

Di meja makan, aroma roti panggang dan kopi hitam menyambut pagi yang enggan. Arvin sudah duduk di sana. Ia tampak rapi seperti biasa, dengan kemeja polos lengan panjang dan ekspresi datar yang familiar.

“Ini pertama kalinya kamu ikut ke acara keluarga?” tanya Nayla sambil menarik kursi di seberangnya.

Arvin menatap sekilas, lalu mengangguk pelan. “Kalau bisa dihindari, aku biasanya menghindar.”

Nayla nyaris tersenyum. “Sayangnya, kamu nggak bisa hindar kali ini.”

Arvin mengangkat satu alis. “Kenapa?”

“Karena ini rumah kita yang jadi tuan rumah,” jawab Nayla sambil mengangkat cangkir kopinya. “Dan kamu… suamiku.”

Kalimat itu terdengar datar, tapi ada sedikit getaran yang tak bisa ia sembunyikan. Arvin tersenyum miring, seperti mengerti bahwa peran ini memang belum terasa nyaman bagi siapa pun.

“Nggak perlu diaktingin, kan?” katanya setengah bercanda.

“Kita nggak akting,” Nayla membalas cepat. Terlalu cepat.

Ada jeda. Dan penyesalan di tatapannya.

Arvin tidak menanggapi langsung. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap pohon mangga di halaman yang daunnya bergerak pelan ditiup angin.

“Iya,” gumamnya akhirnya. “Kita memang nggak akting. Kita… belajar.”

Dan pagi pun berlanjut. Tapi bukan tanpa tekanan.

**

Menjelang pukul sepuluh, rumah mulai terasa berbeda. Suara klakson terdengar di depan pagar, diikuti dengan langkah kaki dan suara salam dari beberapa tamu yang datang lebih awal. Tante-tante Nayla berdatangan, membawa rantang makanan, bunga plastik, dan cerita yang tak habis-habis.

Nayla yang sejak tadi memeriksa ulang daftar makanan, sesekali harus menyambut mereka sambil tersenyum. Tubuhnya bergerak otomatis: menata gelas, mengatur kursi tambahan, dan memastikan dapur tidak kehabisan sendok.

Di ruang tamu, Arvin berdiri di pojokan, dekat rak buku. Sesekali ia tersenyum kecil ketika seseorang menyapanya, tapi kebanyakan waktu ia hanya mengamati. Matanya memindai ruangan, seolah mencoba membaca aturan tak tertulis di tempat itu.

Kemudian, seorang wanita paruh baya mendekatinya sambil tertawa.

“Eh ini pasti Arvin! Suami Nayla yang katanya pendiam banget itu!”

Arvin hanya tersenyum. “Saya memang agak pendiam, Bu.”

“Jangan ‘Bu’, panggil aja Tante Mira. Eh tapi kenapa sih bisa dijodohin? Kan kalian muda-muda, cantik-ganteng pula. Nggak sempat cari sendiri?”

Pertanyaan itu meluncur mulus, tanpa jeda. Dan entah kenapa, terasa seperti sengatan kecil. Arvin hanya mengangguk pelan, menjawab sekenanya, “Sudah jalan takdir, mungkin, Tante.”

Tante Mira terkikik, puas dengan jawabannya. Tapi sebelum ia lanjut, Nayla tiba-tiba muncul di sebelah mereka.

“Maaf, Tante,” katanya cepat tapi tetap sopan. “Aku pinjam Arvin sebentar, ya? Ada yang harus dibantuin di dapur.”

Tante Mira melambai santai. “Iya iya, pergi sana. Kalian berdua manis banget deh. Sama-sama pendiam tapi kelihatan cocok.”

Di dapur, Nayla menarik napas. “Maaf,” katanya, menoleh ke Arvin. “Aku tahu pasti capek jawab pertanyaan kayak gitu terus.”

Arvin hanya mengangguk. “Tadi pertanyaannya udah keenam.”

Nayla nyengir. “Tebakannya bagus. Emang baru enam.”

Mereka tertawa kecil. Untuk pertama kalinya hari itu, tawa itu terdengar tidak dipaksakan.

“Kalau kamu udah capek banget, nanti kita bisa ngumpet di kamar sebentar,” ucap Nayla, masih setengah bercanda.

Arvin menatapnya. “Kamu sering harus... pura-pura juga?”

“Setiap kali kumpul keluarga,” jawab Nayla pelan. “Mereka pikir karena aku nggak banyak cerita, mereka boleh menebak apa pun tentangku.”

Arvin menunduk, seperti sedang menyimpan sesuatu. “Aku ngerti rasanya.”

Nayla memandangi wajahnya. Dan entah kenapa, ruang sempit dapur itu terasa seperti tempat paling nyaman hari itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan cinta pilihan    Diam yang tak biasa

    Hujan kembali turun sore itu. Bukan deras, hanya gerimis kecil yang mengetuk kaca jendela seperti irama ragu-ragu. Udara di dalam rumah menjadi lebih lembap dan sunyi terasa menebal, seolah setiap benda di dalam ruangan sedang menahan napas.Nayla duduk di lantai ruang tamu, bersandar di sisi sofa dengan selimut tipis melingkari tubuhnya. Buku yang dibawanya belum dibuka sama sekali sejak satu jam lalu. Pandangannya hanya menatap kaca jendela yang mulai berkabut. Entah sudah berapa lama ia berada di posisi itu. Waktu terasa tak penting ketika pikiran terlalu penuh oleh hal-hal yang tak bisa diucapkan.Langkah kaki Arvin terdengar dari arah dapur. Biasa, tenang, tanpa tergesa. Namun, kali ini ada jeda di antara langkahnya. Seolah ia pun sedang memikirkan sesuatu. Nayla tidak menoleh. Ia tahu Arvin akan melihatnya, dan itu sudah cukup.Benar saja. Arvin berhenti di ambang ruang tamu, memandang Nayla dalam diam. Tangannya membawa dua gelas, satu berisi teh hangat, satu lagi cokelat panas

  • Bukan cinta pilihan    Kenangan yang belum usai

    Pagi berikutnya datang tanpa pertanda. Hanya sinar matahari yang menyelinap pelan lewat sela tirai kamar, membentuk garis-garis hangat di lantai kayu. Nayla masih berbaring, matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong.Semalam ia tidur larut. Bukan karena begadang, tapi karena pikirannya sibuk menyusun ulang semua perasaan yang mulai tumbuh. Ia mencoba menertibkan emosinya, seperti menata buku di rak yang sudah penuh. Tapi selalu ada satu dua yang jatuh, dan membuat kekacauan kecil di dalam hatinya.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.“Nayla,” suara Arvin terdengar dari balik pintu. “Sarapan udah siap.”Nayla menarik napas, lalu bangkit. Langkahnya pelan menuju kamar mandi, membasuh wajah yang masih menyimpan bayang-bayang semalam. Cermin memantulkan sosoknya yang diam, dengan mata yang sedikit sembab. Ia tidak menangis, hanya terlalu lelah untuk menyembunyikan apa yang terasa.Saat tiba di meja makan, Arvin sudah duduk. Di hadapannya, dua piring nasi goreng b

  • Bukan cinta pilihan    Jarak yang tak terucap

    Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, atau setidaknya, terlihat seperti itu.Nayla tetap bangun pagi, membuat sarapan, mendengarkan lagu-lagu lamanya sambil menyiapkan teh. Arvin tetap muncul dari tangga dengan hoodie lusuh dan mata setengah terbuka, duduk diam sambil menikmati aroma roti panggang.Namun sejak malam itu di teras, ada sesuatu yang berubah. Tidak mencolok. Hanya semacam jarak tak kasatmata yang menyelinap di antara kursi-kursi makan, membayangi setiap percakapan, menyusup ke dalam keheningan yang dulu terasa nyaman. Kini, keheningan itu lebih seperti jeda panjang yang menunggu penjelasan, tapi tak ada yang bicara.Nayla tak pernah membahas kotak kayu itu. Tidak menyinggung tentang foto, atau perempuan di dalamnya. Tapi bayangan wajah itu terus melekat di benaknya. Muncul saat ia menyapu, saat ia menyusun buku, bahkan saat ia menatap Arvin diam-diam dari balik pintu.Pagi itu, Arvin tampak sedikit lebih rapi. Kemeja biru muda dan parfum yang khas. Ia baru saja men

  • Bukan cinta pilihan    Bukan cinta pilihan

    Pagi itu, rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu yang tak terlihat, mengendap seperti embun di balik kaca jendela. Sunyi yang biasanya terasa nyaman, kini seperti menyimpan bisik-bisik dari masa lalu. Lantainya dingin saat disentuh kaki telanjang Nayla, membuatnya bergidik sedikit. Ia menarik lengan bajunya lebih rapat, berusaha menahan hawa dingin yang datang dari jendela terbuka setengah. Nayla bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum naik tinggi, dan langit masih tersaput warna abu yang belum sepenuhnya memutuskan ingin cerah atau mendung. Ia duduk di tepi ranjang untuk beberapa saat, menyandarkan punggungnya pada dinding yang dingin. Matanya masih berat, tapi ada kegelisahan samar yang menyelusup masuk, seperti mimpi yang tak sepenuhnya dia ingat, namun meninggalkan jejak samar di hati. Ia memejamkan mata kembali sejenak, berharap perasaan itu menghilang. Tapi tidak. Perasaan itu tetap tinggal. Ia membuka jendela kamar. Angin pagi

  • Bukan cinta pilihan    Hujan yang mengetuk perlahan

    Langit sore itu menggantung berat, seperti seseorang yang memendam terlalu banyak perasaan. Awan kelabu saling bertumpuk, menutup matahari dan mengunci cahaya di balik dinding diam. Tak lama, rintik hujan mulai turun. Pelan, teratur, seperti mengetuk atap satu-satu, memohon untuk didengar. Nayla berdiri di depan rak buku yang sudah lama tak tersentuh. Debu tipis menyelimuti punggung-punggung buku tua yang sebagian besar milik almarhum ayahnya. Ia mengusapnya perlahan, seolah menyentuh kenangan yang rapuh. Tangan Nayla bergerak lembut, menyusun ulang buku-buku itu satu per satu, sesekali berhenti membaca judul atau menatap kosong ke kejauhan. Sore ini, ia tak ingin banyak berpikir. Ia hanya ingin larut dalam ketenangan yang nyaris tak bisa ditemukan belakangan ini. Suara langkah pelan dari arah dapur menarik perhatiannya. Arvin muncul dengan dua gelas teh hangat di tangan. Rambutnya masih basah dan berantakan, kaus abu-abunya melekat sedikit di tubuhnya karena lembap setelah mandi. “

  • Bukan cinta pilihan    Wajah yang harus di tunjukkan

    Ada jenis lelah yang bukan karena tubuh. Lelah yang datang dari tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja. Untuk tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi dengan senyum yang tidak sepenuhnya milik sendiri. Dan hari itu, Nayla merasakannya bahkan sejak membuka mata. Bukan karena tubuhnya lelah. Tapi karena sejak semalam, pikirannya sudah penuh oleh bayangan keramaian, suara tawa, dan pertanyaan-pertanyaan yang akan datang tanpa diminta. Hari ini adalah arisan keluarga besar dari pihak ibunya. Dua bulan sekali, dan kali ini giliran rumah mereka menjadi tuan rumah. Artinya ia harus membawa Arvin ke tengah-tengah keluarga besarnya. Sebagai "suami". Sebagai seseorang yang seharusnya sudah menyatu dalam lingkaran itu. Padahal kenyataannya, hubungan mereka sendiri masih berada di ambang: bukan orang asing, tapi juga belum bisa disebut pasangan yang sebenarnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Rambutnya masih sedikit kusut, matanya belum sepenuhnya terbuka. Tapi b

  • Bukan cinta pilihan    Jeda dalam hening

    Ada jeda yang panjang antara dua orang yang belum saling memahami. Jeda itu tidak selalu sunyi. Kadang justru dipenuhi ribuan pikiran yang tak bisa diucapkan, karena tak tahu harus dimulai dari mana. Dan pagi itu, jeda di antara Nayla dan Arvin terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan semalam menyisakan udara dingin. Langit berwarna abu-abu pudar. Rumah itu hangat, tapi di antara mereka, ada ketegangan samar yang menggantung tanpa nama. Nayla menyeduh teh di dapur dengan gerakan lambat. Seperti biasa, ia bangun lebih awal. Tapi kali ini, langkah-langkahnya tak seenergik biasanya. Ada yang menekan dadanya sejak malam sebelumnya. Arvin belum turun. Mungkin masih tidur. Atau sengaja menghindari pagi. Dan Nayla masih mengingat percakapan kecil semalam. Percakapan yang tak sempat selesai. --- Semalam, mereka duduk di ruang tamu. Televisi menyala, tapi tidak ada yang benar-benar menonton. Nayla hanya membaca novel tipis yang belum selesai sejak dua minggu lalu, dan Arvin sedang membu

  • Bukan cinta pilihan    Rumah tanpa suara

    Ada rumah yang tak pernah benar-benar kosong. Tapi tetap terasa sunyi. Bukan karena tak ada suara, melainkan karena dua orang di dalamnya... tak tahu harus berkata apa.Rumah milik Arvin itu berdiri tenang di ujung jalan kecil yang jarang dilalui kendaraan. Pagar besi dicat hitam, taman depan ditumbuhi rumput yang teratur panjangnya. Lampu-lampu gantung di teras menyala redup setiap sore, memantulkan warna kuning hangat di dinding putih bersih.Tidak ada yang salah dengan rumah itu. Lantainya bersih, sofanya empuk dan tertata, lemari dapurnya rapi. Tapi rumah itu seperti memantulkan hawa: bukan hangat kekeluargaan, melainkan hening yang menjaga jarak. Seperti seseorang yang selalu siap untuk ditinggalkan.Dan di situlah Nayla tinggal sekarang.Bukan karena cinta. Bukan juga karena paksaan. Tapi karena keputusan bersama. Sebuah kesepakatan antara dua keluarga yang sudah bersahabat sejak puluhan tahun lalu.Perjodohan itu datang tanpa banyak perdebatan. Tak ada drama, tak ada tangisan.

  • Bukan cinta pilihan    Awal yang Tidak asing

    Waktu berjalan cepat, ya," gumam Tante Rika pelan, suara lembutnya menyatu dengan denting pelan sendok teh yang beradu di pinggir cangkir. Uap dari teko teh masih mengepul ketika ia menuangkan cairan hangat itu ke dalam cangkir Bu Diah.Di ruang tengah rumah keluarga Nayla, malam menggelayut tenang. Lampu gantung menyala temaram, menyinari percakapan yang terdengar seperti kenangan masa lalu yang dipanggil kembali perlahan.“Rasanya baru kemarin kita bawa anak-anak ke taman waktu mereka masih pakai seragam TK,” lanjutnya sambil tersenyum samar, seakan membayangkan kembali dua bocah kecil yang dulu berlari-larian di bawah matahari sore.Bu Diah mengangguk pelan. “Dan sekarang... kita membicarakan pernikahan mereka.”Kata “pernikahan” tidak meluncur dengan ringan. Ia mengambang di udara, menetap sejenak sebelum tenggelam dalam kesunyian antar napas mereka. Di balik senyum hangat para ibu, tersimpan kekhawatiran yang tidak diucapkan: tentang ketidakpastian, tentang dua hati muda yang mun

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status