Beranda / Romansa / Bukan cinta pilihan / Diam yang tak biasa

Share

Diam yang tak biasa

Penulis: jeanna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-14 16:06:08
Hujan kembali turun sore itu. Bukan deras, hanya gerimis kecil yang mengetuk kaca jendela seperti irama ragu-ragu. Udara di dalam rumah menjadi lebih lembap dan sunyi terasa menebal, seolah setiap benda di dalam ruangan sedang menahan napas.

Nayla duduk di lantai ruang tamu, bersandar di sisi sofa dengan selimut tipis melingkari tubuhnya. Buku yang dibawanya belum dibuka sama sekali sejak satu jam lalu. Pandangannya hanya menatap kaca jendela yang mulai berkabut. Entah sudah berapa lama ia berada di posisi itu. Waktu terasa tak penting ketika pikiran terlalu penuh oleh hal-hal yang tak bisa diucapkan.

Langkah kaki Arvin terdengar dari arah dapur. Biasa, tenang, tanpa tergesa. Namun, kali ini ada jeda di antara langkahnya. Seolah ia pun sedang memikirkan sesuatu. Nayla tidak menoleh. Ia tahu Arvin akan melihatnya, dan itu sudah cukup.

Benar saja. Arvin berhenti di ambang ruang tamu, memandang Nayla dalam diam. Tangannya membawa dua gelas, satu berisi teh hangat, satu lagi cokelat
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Bukan cinta pilihan    Diam yang tak biasa

    Hujan kembali turun sore itu. Bukan deras, hanya gerimis kecil yang mengetuk kaca jendela seperti irama ragu-ragu. Udara di dalam rumah menjadi lebih lembap dan sunyi terasa menebal, seolah setiap benda di dalam ruangan sedang menahan napas. Nayla duduk di lantai ruang tamu, bersandar di sisi sofa dengan selimut tipis melingkari tubuhnya. Buku yang dibawanya belum dibuka sama sekali sejak satu jam lalu. Pandangannya hanya menatap kaca jendela yang mulai berkabut. Entah sudah berapa lama ia berada di posisi itu. Waktu terasa tak penting ketika pikiran terlalu penuh oleh hal-hal yang tak bisa diucapkan. Langkah kaki Arvin terdengar dari arah dapur. Biasa, tenang, tanpa tergesa. Namun, kali ini ada jeda di antara langkahnya. Seolah ia pun sedang memikirkan sesuatu. Nayla tidak menoleh. Ia tahu Arvin akan melihatnya, dan itu sudah cukup. Benar saja. Arvin berhenti di ambang ruang tamu, memandang Nayla dalam diam. Tangannya membawa dua gelas, satu berisi teh hangat, satu lagi cokelat

  • Bukan cinta pilihan    Kenangan yang belum usai

    Pagi berikutnya datang tanpa pertanda. Hanya sinar matahari yang menyelinap pelan lewat sela tirai kamar, membentuk garis-garis hangat di lantai kayu. Nayla masih berbaring, matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong.Semalam ia tidur larut. Bukan karena begadang, tapi karena pikirannya sibuk menyusun ulang semua perasaan yang mulai tumbuh. Ia mencoba menertibkan emosinya, seperti menata buku di rak yang sudah penuh. Tapi selalu ada satu dua yang jatuh, dan membuat kekacauan kecil di dalam hatinya.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.“Nayla,” suara Arvin terdengar dari balik pintu. “Sarapan udah siap.”Nayla menarik napas, lalu bangkit. Langkahnya pelan menuju kamar mandi, membasuh wajah yang masih menyimpan bayang-bayang semalam. Cermin memantulkan sosoknya yang diam, dengan mata yang sedikit sembab. Ia tidak menangis, hanya terlalu lelah untuk menyembunyikan apa yang terasa.Saat tiba di meja makan, Arvin sudah duduk. Di hadapannya, dua piring nasi goreng b

  • Bukan cinta pilihan    Jarak yang tak terucap

    Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, atau setidaknya, terlihat seperti itu.Nayla tetap bangun pagi, membuat sarapan, mendengarkan lagu-lagu lamanya sambil menyiapkan teh. Arvin tetap muncul dari tangga dengan hoodie lusuh dan mata setengah terbuka, duduk diam sambil menikmati aroma roti panggang.Namun sejak malam itu di teras, ada sesuatu yang berubah. Tidak mencolok. Hanya semacam jarak tak kasatmata yang menyelinap di antara kursi-kursi makan, membayangi setiap percakapan, menyusup ke dalam keheningan yang dulu terasa nyaman. Kini, keheningan itu lebih seperti jeda panjang yang menunggu penjelasan, tapi tak ada yang bicara.Nayla tak pernah membahas kotak kayu itu. Tidak menyinggung tentang foto, atau perempuan di dalamnya. Tapi bayangan wajah itu terus melekat di benaknya. Muncul saat ia menyapu, saat ia menyusun buku, bahkan saat ia menatap Arvin diam-diam dari balik pintu.Pagi itu, Arvin tampak sedikit lebih rapi. Kemeja biru muda dan parfum yang khas. Ia baru saja men

  • Bukan cinta pilihan    Bukan cinta pilihan

    Pagi itu, rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu yang tak terlihat, mengendap seperti embun di balik kaca jendela. Sunyi yang biasanya terasa nyaman, kini seperti menyimpan bisik-bisik dari masa lalu. Lantainya dingin saat disentuh kaki telanjang Nayla, membuatnya bergidik sedikit. Ia menarik lengan bajunya lebih rapat, berusaha menahan hawa dingin yang datang dari jendela terbuka setengah. Nayla bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum naik tinggi, dan langit masih tersaput warna abu yang belum sepenuhnya memutuskan ingin cerah atau mendung. Ia duduk di tepi ranjang untuk beberapa saat, menyandarkan punggungnya pada dinding yang dingin. Matanya masih berat, tapi ada kegelisahan samar yang menyelusup masuk, seperti mimpi yang tak sepenuhnya dia ingat, namun meninggalkan jejak samar di hati. Ia memejamkan mata kembali sejenak, berharap perasaan itu menghilang. Tapi tidak. Perasaan itu tetap tinggal. Ia membuka jendela kamar. Angin pagi

  • Bukan cinta pilihan    Hujan yang mengetuk perlahan

    Langit sore itu menggantung berat, seperti seseorang yang memendam terlalu banyak perasaan. Awan kelabu saling bertumpuk, menutup matahari dan mengunci cahaya di balik dinding diam. Tak lama, rintik hujan mulai turun. Pelan, teratur, seperti mengetuk atap satu-satu, memohon untuk didengar. Nayla berdiri di depan rak buku yang sudah lama tak tersentuh. Debu tipis menyelimuti punggung-punggung buku tua yang sebagian besar milik almarhum ayahnya. Ia mengusapnya perlahan, seolah menyentuh kenangan yang rapuh. Tangan Nayla bergerak lembut, menyusun ulang buku-buku itu satu per satu, sesekali berhenti membaca judul atau menatap kosong ke kejauhan. Sore ini, ia tak ingin banyak berpikir. Ia hanya ingin larut dalam ketenangan yang nyaris tak bisa ditemukan belakangan ini. Suara langkah pelan dari arah dapur menarik perhatiannya. Arvin muncul dengan dua gelas teh hangat di tangan. Rambutnya masih basah dan berantakan, kaus abu-abunya melekat sedikit di tubuhnya karena lembap setelah mandi. “

  • Bukan cinta pilihan    Wajah yang harus di tunjukkan

    Ada jenis lelah yang bukan karena tubuh. Lelah yang datang dari tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja. Untuk tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi dengan senyum yang tidak sepenuhnya milik sendiri. Dan hari itu, Nayla merasakannya bahkan sejak membuka mata. Bukan karena tubuhnya lelah. Tapi karena sejak semalam, pikirannya sudah penuh oleh bayangan keramaian, suara tawa, dan pertanyaan-pertanyaan yang akan datang tanpa diminta. Hari ini adalah arisan keluarga besar dari pihak ibunya. Dua bulan sekali, dan kali ini giliran rumah mereka menjadi tuan rumah. Artinya ia harus membawa Arvin ke tengah-tengah keluarga besarnya. Sebagai "suami". Sebagai seseorang yang seharusnya sudah menyatu dalam lingkaran itu. Padahal kenyataannya, hubungan mereka sendiri masih berada di ambang: bukan orang asing, tapi juga belum bisa disebut pasangan yang sebenarnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Rambutnya masih sedikit kusut, matanya belum sepenuhnya terbuka. Tapi b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status