Ada jeda yang panjang antara dua orang yang belum saling memahami. Jeda itu tidak selalu sunyi. Kadang justru dipenuhi ribuan pikiran yang tak bisa diucapkan, karena tak tahu harus dimulai dari mana.
Dan pagi itu, jeda di antara Nayla dan Arvin terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan semalam menyisakan udara dingin. Langit berwarna abu-abu pudar. Rumah itu hangat, tapi di antara mereka, ada ketegangan samar yang menggantung tanpa nama. Nayla menyeduh teh di dapur dengan gerakan lambat. Seperti biasa, ia bangun lebih awal. Tapi kali ini, langkah-langkahnya tak seenergik biasanya. Ada yang menekan dadanya sejak malam sebelumnya. Arvin belum turun. Mungkin masih tidur. Atau sengaja menghindari pagi. Dan Nayla masih mengingat percakapan kecil semalam. Percakapan yang tak sempat selesai. --- Semalam, mereka duduk di ruang tamu. Televisi menyala, tapi tidak ada yang benar-benar menonton. Nayla hanya membaca novel tipis yang belum selesai sejak dua minggu lalu, dan Arvin sedang membuka laptop, walau matanya lebih sering melirik ke arah jendela. “Aku pernah tunangan sebelumnya.” Kalimat itu keluar dari Arvin seperti gumaman. Tapi cukup jelas untuk membuat Nayla berhenti membaca. Ia menoleh pelan. Tidak kaget, tapi... waspada. “Oh,” jawabnya singkat. Arvin tidak menatapnya. “Dia... pergi. Sebelum kami sempat bicara soal tanggal pernikahan. Hilang begitu saja. Nggak ada penjelasan.” Nayla diam. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena ia tahu luka semacam itu tidak butuh komentar, hanya ruang. “Sejak itu, aku nggak terlalu percaya dengan ‘rencana jangka panjang’.” Nayla menggenggam bukunya lebih erat. Ada bagian dari cerita itu yang... familiar. Ia pun menjawab, pelan, “Aku juga pernah gagal tunangan.” Arvin baru benar-benar menatapnya. Matanya menyipit sedikit. “Kapan?” “Dua tahun lalu. Dia selingkuh dengan sahabatku. Aku tahu tiga minggu sebelum lamaran. Jadi aku pergi sebelum keluarga tahu.” Ada keheningan yang lebih dalam setelah itu. Seperti keduanya sedang membiarkan luka lama mereka saling melihat. Bukan untuk diobati, hanya dikenali. “Jadi kita dua orang yang pernah patah, sekarang disuruh belajar berdiri bareng,” ucap Nayla akhirnya, setengah menertawakan diri sendiri. Arvin tidak tertawa. Tapi sudut bibirnya sedikit mengangkat. “Mungkin kita bisa belajar jalan dulu. Nggak usah berdiri terlalu tinggi.” Dan untuk beberapa saat, malam itu terasa seperti awal yang baik. Tapi... Sebelum mereka benar-benar melanjutkan obrolan, ponsel Arvin bergetar. Dia melihat layarnya. Menarik napas pelan. “Maaf. Aku harus jawab ini,” katanya, lalu bangkit dan menjauh. Nayla sempat melihat sekilas nama yang muncul di layar: Meira. Entah siapa. Tapi entah kenapa, rasanya asing di tengah keakraban baru itu. Seperti gangguan kecil dalam simfoni yang belum selesai. Pagi tiba, bunyi pepohonan dan ayam yang sepertinya mengingatkan ia agar segera bangun dari ranjang yang menghangatkan itu, Namun, pagi ini. Nayla belum bisa mengabaikan perasaan itu. Bukan cemburu, tidak. Belum sejauh itu. Tapi lebih pada rasa was-was yang datang saat seseorang mulai membuka sedikit ruang... lalu tiba-tiba menutupnya lagi. Saat Arvin akhirnya turun ke dapur, Nayla sedang duduk dengan cangkir teh di tangan. Ia hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke luar jendela. “Pagi,” ucap Arvin, seperti biasa. “Pagi,” sahut Nayla. Tapi kali ini, suaranya sedikit kaku. Arvin menyeduh kopi, lalu duduk di seberang. Ada keheningan. Lalu... “Tadi malam... soal telepon itu,” katanya perlahan, “itu teman kantor. Ada proyek dadakan yang harus diberesin. Maaf aku ninggalin obrolan kita.” Nayla hanya mengangguk. Tapi tidak menjawab. Arvin menatapnya. “Kamu kelihatan beda pagi ini.” Nayla menghela napas. “Aku cuma mikir.” “Mikir apa?” “Kalau kita benar-benar mau belajar jalan bareng, harusnya kita mulai jujur tentang arah tujuan kita.” Arvin menunduk, mengaduk kopinya meski tak ada yang perlu diaduk. “Aku belum tahu arahku,” katanya jujur. “Tapi aku mau jalan.” Nayla tersenyum miris. “Kadang jalan tanpa tahu tujuan itu yang paling bikin capek.” Arvin menatapnya dalam. Kali ini, lebih lama dari biasanya. “Kamu takut jatuh lagi, ya?” “Siapa yang ngga?” Dan pertanyaan itu... tidak dijawab. Karena jawaban itu terlalu dalam untuk pagi yang masih dingin. Ya hari itu mereka tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Tapi ada jeda di antaranya. Jeda yang muncul dari kejujuran, bukan dari kemarahan. Namun tetap... menjauhkan. Di ruang kerja, Arvin duduk menatap layar kosong. Tangannya tak bergerak. Pikirannya tidak di proyek yang sedang dikejar, tapi pada kalimat Nayla tadi pagi. “Harusnya kita mulai jujur tentang arah tujuan kita.” Ia bukan tidak ingin jujur. Tapi kadang, jujur pun tidak cukup. Karena ada hal-hal yang bahkan belum ia pahami dari dirinya sendiri. Dan Nayla... Nayla terlalu tenang, terlalu dalam. Membuat Arvin merasa seperti orang yang perlu berpikir dua kali sebelum bicara. Sementara Nayla, di lantai dua, menuliskan hal-hal yang tak bisa ia katakan di jurnalnya. “Aku ingin tahu kamu, tapi aku juga takut tahu terlalu banyak dan jatuh terlalu dalam. Karena aku belum siap patah lagi.” Dia bukan perempuan yang suka menggantung harapan. Tapi dia juga bukan orang yang bisa membuka hati begitu saja. Hatinya seperti rumah yang pernah terbakar dan kini membangun dinding baru. Lebih kuat. Tapi lebih dingin. Dan Arvin... belum tahu cara masuk ke dalamnya. Malam haripun tiba namun... mereka makan malam dalam diam. Tapi bukan diam yang dingin. Lebih seperti diam yang saling menghargai. Di akhir makan, Nayla akhirnya bicara. “Aku ngga butuh kamu sempurna, Arvin. Aku cuma butuh kamu ada.” Arvin menatapnya, sedikit terkejut. Lalu mengangguk. “Aku di sini. Meskipun masih belajar.” Dan malam itu, mereka kembali ke kamar masing-masing tanpa pelukan, tanpa pelukan mata, tanpa apa-apa. Tapi ada sesuatu yang tumbuh. Perlahan. Seperti akar yang merayap diam-diam di tanah yang keras. Bukan cinta. Belum. Tapi kepercayaan kecil. Dan mungkin, untuk mereka yang pernah patah, itu lebih penting.Hujan kembali turun sore itu. Bukan deras, hanya gerimis kecil yang mengetuk kaca jendela seperti irama ragu-ragu. Udara di dalam rumah menjadi lebih lembap dan sunyi terasa menebal, seolah setiap benda di dalam ruangan sedang menahan napas.Nayla duduk di lantai ruang tamu, bersandar di sisi sofa dengan selimut tipis melingkari tubuhnya. Buku yang dibawanya belum dibuka sama sekali sejak satu jam lalu. Pandangannya hanya menatap kaca jendela yang mulai berkabut. Entah sudah berapa lama ia berada di posisi itu. Waktu terasa tak penting ketika pikiran terlalu penuh oleh hal-hal yang tak bisa diucapkan.Langkah kaki Arvin terdengar dari arah dapur. Biasa, tenang, tanpa tergesa. Namun, kali ini ada jeda di antara langkahnya. Seolah ia pun sedang memikirkan sesuatu. Nayla tidak menoleh. Ia tahu Arvin akan melihatnya, dan itu sudah cukup.Benar saja. Arvin berhenti di ambang ruang tamu, memandang Nayla dalam diam. Tangannya membawa dua gelas, satu berisi teh hangat, satu lagi cokelat panas
Pagi berikutnya datang tanpa pertanda. Hanya sinar matahari yang menyelinap pelan lewat sela tirai kamar, membentuk garis-garis hangat di lantai kayu. Nayla masih berbaring, matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong.Semalam ia tidur larut. Bukan karena begadang, tapi karena pikirannya sibuk menyusun ulang semua perasaan yang mulai tumbuh. Ia mencoba menertibkan emosinya, seperti menata buku di rak yang sudah penuh. Tapi selalu ada satu dua yang jatuh, dan membuat kekacauan kecil di dalam hatinya.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.“Nayla,” suara Arvin terdengar dari balik pintu. “Sarapan udah siap.”Nayla menarik napas, lalu bangkit. Langkahnya pelan menuju kamar mandi, membasuh wajah yang masih menyimpan bayang-bayang semalam. Cermin memantulkan sosoknya yang diam, dengan mata yang sedikit sembab. Ia tidak menangis, hanya terlalu lelah untuk menyembunyikan apa yang terasa.Saat tiba di meja makan, Arvin sudah duduk. Di hadapannya, dua piring nasi goreng b
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, atau setidaknya, terlihat seperti itu.Nayla tetap bangun pagi, membuat sarapan, mendengarkan lagu-lagu lamanya sambil menyiapkan teh. Arvin tetap muncul dari tangga dengan hoodie lusuh dan mata setengah terbuka, duduk diam sambil menikmati aroma roti panggang.Namun sejak malam itu di teras, ada sesuatu yang berubah. Tidak mencolok. Hanya semacam jarak tak kasatmata yang menyelinap di antara kursi-kursi makan, membayangi setiap percakapan, menyusup ke dalam keheningan yang dulu terasa nyaman. Kini, keheningan itu lebih seperti jeda panjang yang menunggu penjelasan, tapi tak ada yang bicara.Nayla tak pernah membahas kotak kayu itu. Tidak menyinggung tentang foto, atau perempuan di dalamnya. Tapi bayangan wajah itu terus melekat di benaknya. Muncul saat ia menyapu, saat ia menyusun buku, bahkan saat ia menatap Arvin diam-diam dari balik pintu.Pagi itu, Arvin tampak sedikit lebih rapi. Kemeja biru muda dan parfum yang khas. Ia baru saja men
Pagi itu, rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu yang tak terlihat, mengendap seperti embun di balik kaca jendela. Sunyi yang biasanya terasa nyaman, kini seperti menyimpan bisik-bisik dari masa lalu. Lantainya dingin saat disentuh kaki telanjang Nayla, membuatnya bergidik sedikit. Ia menarik lengan bajunya lebih rapat, berusaha menahan hawa dingin yang datang dari jendela terbuka setengah. Nayla bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum naik tinggi, dan langit masih tersaput warna abu yang belum sepenuhnya memutuskan ingin cerah atau mendung. Ia duduk di tepi ranjang untuk beberapa saat, menyandarkan punggungnya pada dinding yang dingin. Matanya masih berat, tapi ada kegelisahan samar yang menyelusup masuk, seperti mimpi yang tak sepenuhnya dia ingat, namun meninggalkan jejak samar di hati. Ia memejamkan mata kembali sejenak, berharap perasaan itu menghilang. Tapi tidak. Perasaan itu tetap tinggal. Ia membuka jendela kamar. Angin pagi
Langit sore itu menggantung berat, seperti seseorang yang memendam terlalu banyak perasaan. Awan kelabu saling bertumpuk, menutup matahari dan mengunci cahaya di balik dinding diam. Tak lama, rintik hujan mulai turun. Pelan, teratur, seperti mengetuk atap satu-satu, memohon untuk didengar. Nayla berdiri di depan rak buku yang sudah lama tak tersentuh. Debu tipis menyelimuti punggung-punggung buku tua yang sebagian besar milik almarhum ayahnya. Ia mengusapnya perlahan, seolah menyentuh kenangan yang rapuh. Tangan Nayla bergerak lembut, menyusun ulang buku-buku itu satu per satu, sesekali berhenti membaca judul atau menatap kosong ke kejauhan. Sore ini, ia tak ingin banyak berpikir. Ia hanya ingin larut dalam ketenangan yang nyaris tak bisa ditemukan belakangan ini. Suara langkah pelan dari arah dapur menarik perhatiannya. Arvin muncul dengan dua gelas teh hangat di tangan. Rambutnya masih basah dan berantakan, kaus abu-abunya melekat sedikit di tubuhnya karena lembap setelah mandi. “
Ada jenis lelah yang bukan karena tubuh. Lelah yang datang dari tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja. Untuk tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi dengan senyum yang tidak sepenuhnya milik sendiri. Dan hari itu, Nayla merasakannya bahkan sejak membuka mata. Bukan karena tubuhnya lelah. Tapi karena sejak semalam, pikirannya sudah penuh oleh bayangan keramaian, suara tawa, dan pertanyaan-pertanyaan yang akan datang tanpa diminta. Hari ini adalah arisan keluarga besar dari pihak ibunya. Dua bulan sekali, dan kali ini giliran rumah mereka menjadi tuan rumah. Artinya ia harus membawa Arvin ke tengah-tengah keluarga besarnya. Sebagai "suami". Sebagai seseorang yang seharusnya sudah menyatu dalam lingkaran itu. Padahal kenyataannya, hubungan mereka sendiri masih berada di ambang: bukan orang asing, tapi juga belum bisa disebut pasangan yang sebenarnya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Rambutnya masih sedikit kusut, matanya belum sepenuhnya terbuka. Tapi b
Ada jeda yang panjang antara dua orang yang belum saling memahami. Jeda itu tidak selalu sunyi. Kadang justru dipenuhi ribuan pikiran yang tak bisa diucapkan, karena tak tahu harus dimulai dari mana. Dan pagi itu, jeda di antara Nayla dan Arvin terasa lebih panjang dari biasanya. Hujan semalam menyisakan udara dingin. Langit berwarna abu-abu pudar. Rumah itu hangat, tapi di antara mereka, ada ketegangan samar yang menggantung tanpa nama. Nayla menyeduh teh di dapur dengan gerakan lambat. Seperti biasa, ia bangun lebih awal. Tapi kali ini, langkah-langkahnya tak seenergik biasanya. Ada yang menekan dadanya sejak malam sebelumnya. Arvin belum turun. Mungkin masih tidur. Atau sengaja menghindari pagi. Dan Nayla masih mengingat percakapan kecil semalam. Percakapan yang tak sempat selesai. --- Semalam, mereka duduk di ruang tamu. Televisi menyala, tapi tidak ada yang benar-benar menonton. Nayla hanya membaca novel tipis yang belum selesai sejak dua minggu lalu, dan Arvin sedang membu
Ada rumah yang tak pernah benar-benar kosong. Tapi tetap terasa sunyi. Bukan karena tak ada suara, melainkan karena dua orang di dalamnya... tak tahu harus berkata apa.Rumah milik Arvin itu berdiri tenang di ujung jalan kecil yang jarang dilalui kendaraan. Pagar besi dicat hitam, taman depan ditumbuhi rumput yang teratur panjangnya. Lampu-lampu gantung di teras menyala redup setiap sore, memantulkan warna kuning hangat di dinding putih bersih.Tidak ada yang salah dengan rumah itu. Lantainya bersih, sofanya empuk dan tertata, lemari dapurnya rapi. Tapi rumah itu seperti memantulkan hawa: bukan hangat kekeluargaan, melainkan hening yang menjaga jarak. Seperti seseorang yang selalu siap untuk ditinggalkan.Dan di situlah Nayla tinggal sekarang.Bukan karena cinta. Bukan juga karena paksaan. Tapi karena keputusan bersama. Sebuah kesepakatan antara dua keluarga yang sudah bersahabat sejak puluhan tahun lalu.Perjodohan itu datang tanpa banyak perdebatan. Tak ada drama, tak ada tangisan.
Waktu berjalan cepat, ya," gumam Tante Rika pelan, suara lembutnya menyatu dengan denting pelan sendok teh yang beradu di pinggir cangkir. Uap dari teko teh masih mengepul ketika ia menuangkan cairan hangat itu ke dalam cangkir Bu Diah.Di ruang tengah rumah keluarga Nayla, malam menggelayut tenang. Lampu gantung menyala temaram, menyinari percakapan yang terdengar seperti kenangan masa lalu yang dipanggil kembali perlahan.“Rasanya baru kemarin kita bawa anak-anak ke taman waktu mereka masih pakai seragam TK,” lanjutnya sambil tersenyum samar, seakan membayangkan kembali dua bocah kecil yang dulu berlari-larian di bawah matahari sore.Bu Diah mengangguk pelan. “Dan sekarang... kita membicarakan pernikahan mereka.”Kata “pernikahan” tidak meluncur dengan ringan. Ia mengambang di udara, menetap sejenak sebelum tenggelam dalam kesunyian antar napas mereka. Di balik senyum hangat para ibu, tersimpan kekhawatiran yang tidak diucapkan: tentang ketidakpastian, tentang dua hati muda yang mun