Zhafran mendongak, menatapku yang berada di atas kepalanya. Tatapan elangnya itu tidak bisa aku artikan. Ada kemarahan, kesenduan, dan kebingungan di dalam sana. Pandangan kami beradu tajam beberapa saat, aku mencoba menyelisik pekat cokelat itu. Mencari apa yang ia sembunyikan di balik netra tajamnya. Dia hendak bangkit berdiri. Namun, aku gegas mencekal lengan kekarnya. Zhafran menatapku tajam, begitu pun sebaliknya. "Lepasin tangan gue! Enggak usah modus!" Zhafran mendengkus seraya mengentakkan tanganku. Dia mengayunkan kaki pergi menjauh. Aku segera mengejarnya. "Apa susahnya, sih, kamu jawab pertanyaan saya! Kenapa kamu selalu menghindar saat saya bertanya tentang Kak Naila?" Aku bertanya sembari mengejar punggung Zhafran. "Saya yakin, kamu banyak mengetahui tentang apa yang terjadi sama Kak Naila. Saya cuman pengen kamu ngasi tau ...."'Bruk!"Aww!" Aku mengaduh kala Zhafran berhenti tiba-tiba, hingga membuat hidun
Tubuhku menegang disertai dengan mata yang membulat sempurna. Zhafran yang berada tepat di hadapanku juga bereaksi sama. Dia mematung disertai mata yang memelotot sempurna. Hampir saja bola mata Zhafran keluar dari tempatnya. Namun, bersamaan dengan itu, wajah Zhafran juga sedikit memucat. "Saya enggak liat apa-apa ...!" pekikku segera menutup muka dengan kedua telapak tangan. "Shit!" Terdengar Zhafran mengumpat keras. Tangan yang tadinya ia gunakan mendorong bahuku ke lemari, ditariknya. Aku merasakan kain tebal berbulu yang tadinya menimpa kakiku, diangkat. Napas lega ku-embuskan setelahnya. Namun, aku belum berani menurunkan telapak tanganku dari wajah. Degup jantung pun berdebar tidak karuan, membayangkan apa yang barusan sekilas ditangkap oleh netraku. Ya, ketika Zhafran marah dan mendorong tubuhku kasar ke lemari tadi, tiba-tiba saja handuk yang melilit di pinggangnya melorot. Aish! Benaran, aku tidak melihat apa pun.
Semua orang berseru, memprovokasi Zhafran agar tidak melepaskan dan membiarkanku keluar dari basecamp-nya. Sang pria hanya menatapku tajam dengan raut wajah yang dingin dan terkena cipratan darah. Zhafran mengayunkan kaki, makin mendekat kepadaku. Tangannya yang menggenggam pisau penuh darah, ia letakkan di pipi kiriku. Membuat pipiku mendingin terkena mata pisau tersebut. Sontak aku menahan napas di tenggorokan, kala mencium aroma anyir menusuk indra penciuman. "Lo bisa tutup mulut?" tanya Zhafran seraya menatapku tajam dengan raut dingin. "Jangan, Bos, dia bis---""Diam!" bentak Zhafran memotong perkataan Cindy yang hendak protes. Suara yang dikeluarkan Zhafran begitu besar, hingga membuat Cindy, beberapa teman Zhafran, bahkan aku terlonjak kaget. "Lo bisa tutup mulut? Hmm ...." Kembali Zhafran menanyakan hal itu dengan nada berat. Tatapan elang serta raut dingin ia layangkan, membuat diri ini seperti berada di r
Zhafran mengumpat seraya menggeram keras kala mendapat hantaman seseorang dari luar sana. Aku segera ikutan keluar dari mobil. Ingin melihat siapa yang barusan memukul Zhafran. Terlihat di sebelah mobil, Bryan menatap tajam ke Zhafran yang sedang menyeka sudut bibirnya usai dipukul olehnya. "Lo kenapa mukul gue? Hah!" seru Zhafran menatap Bryan tajam. Bryan tidak menjawab pertanyaan Zhafran. Petugas kepolisian yang sepertinya hendak bersiap-siap ke kantor itu, malah mencengkeram kerah baju Zhafran dan mendorong tubuh adiknya ke kap mobil. Zhafran yang tidak terima dengan sikap Bryan dan tidak mengerti kenapa kakaknya menyerangnya tiba-tiba, langsung melayangkan pukulan ke wajah Bryan. Membuat petugas kepolisian yang mengenakkan jaket kulit cokelat itu terempas ke samping. Tidak sampai di situ, Zhafran kembali mendaratkan serangan susulan. Dia hendak menendang tubuh Bryan. Namun, Bryan lebih sigap menahan kaki Zhafran
Kaca mobil itu diturunkan sepenuhnya. Menampilkan seorang pria paruh baya yang mengenakan setelan jas kantoran dengan sedikit uban di pelipisnya. Dia tersenyum manis kepada diri ini. Aku pun membalas senyumannya dengan sedikit kikuk. "Kamu mau ke mana?" tanya pria itu sambil membuka pintu mobil. Keluar dari sana. "Emm, saya ...." Aku menggantung kalimat seraya menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ke mana?" Dia mendesak tidak sabaran. "Saya lagi nyari kerjaan Tuan Besar," jawabku berbohong. Tidak sepenuhnya berbohong. Aku memang harus segera mencari pekerjaan, karena sekarang aku butuh makan juga tempat tinggal. "Owh, begitu." Ayah dari Bryan dan Zhafran itu manggut-manggut seraya terlihat sedang berpikir."Kalau kamu mau, kebetulan ada teman saya yang lagi nyari karyawan untuk tempat kerjanya ....""Mau, Tuan, saya mau. Apa pun pekerjaannya, saya mau. Yang penting halal," ucapku antusias menyela p
Aku menggenggam erat kalung titanium dengan liontin setengah hati itu. Mata ini mengembun menatapnya. Napasku rasanya tercekat di tenggorokan, melihat kalung sama persis dengan yang dipegang Zhafran waktu itu. Lebih tepatnya, ini kalung couple Zhafran waktu itu. Couple-nya ada pada Kak Naila. Mereka mempunyai kalung couple dengan bentuk hati. Apa sebenarnya hubungan antara Kak Naila dan Zhafran? Mengapa mereka sampai mempunyai kalung couple berbentuk hati? Apakah mereka pacaran? Apakah mereka pernah menjalin hubungan? Tadi juga Bryan sempat mengatakan kalau aku dan Kak Naila sama-sama menyembunyikan kelakuan bejat Zhafran. Apa maksud ucapan itu semua? Apakah mungkin bukan Bryan yang menghamili Kak Naila, tetapi Zhafran? Dan Kak Naila tidak mau mengakuinya, malah menyembunyikan kelakuan bejat tersebut. Apakah begitu? Kepalaku terasa pecah meluruskan benang kusut ini! "Nilfan! Kamu ada di sini? Apa kabar kamu, Nil?"Suara
Pak Ojol memberhentikan motornya di depan gedung yang menjulang tinggi. Sekitar 30 tingkat. Aku mendongak, menatap gedung bertingkat itu. Sambil menarik kedua tali tas punggung yang tersampir di samping badan, aku mulai mengayunkan kaki masuk ke gedung itu. Kelihatannya, gedung apartemen ini tidak semewah apartment Bryan. Namun, tetap saja aku ragu tidak bisa menyewa tempat tinggal di sini. "Mau ke mana, Mbak?"Ketika baru saja melangkahkan kaki masuk ke gedung apartemen, seorang petugas keamanan menahan langkahku.Pandangannya memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala. Di mana aku masih mengenakan pakaian yang diberikan oleh Zhafran. Sweater hitam dan celana jeans selutut. Haish, seharusnya tadi aku mengganti pakaian dahulu sebelum datang kemari. "Saya mau cari tempat tinggal, Pak. Mau sewa apartemen di sini," jawabku berusaha percaya diri. Petugas keamanan bertubuh jangkung itu, menatapku ragu. Namun, beberapa
Mendengar tawarannya yang terkesan gila itu, sontak saja aku menggeleng cepat."Enggak, Pak, saya nggak mau. Saya mau kerja sebagai cleaning servis saja," tolakku sopan. "Coba dipikir lagi, kamu akan mendapat gaji yang lebih besar ketimbang hanya menjadi cleaning servis yang hanya beberapa juta, beda dengan penari yang gajinya mencapai puluhan juta. Kamu pasti akan menyukai pekerjaan ini!" Pria tua klimis itu masih memprovokasi agar aku menuruti saran bodoh yang dikatakanya. "Enggak, Pak. Saya nggak mau! Saya mau jadi cleaning servis saja!" tolakku lagi. Kini lebih tegas dari sebelumnya. Pria itu mengangguk sekilas. Dia menatapku sedikit sinis. "Baiklah." Pria itu kembali duduk di kursi kerjanya. "Jaki!" teriaknya. Tidak lama kemudian, seorang pria berkulit hitam manis datang tergopoh masuk ke ruangan. "Iya, ada apa, Tuan?" tanya pria yang bernama Jaki itu seraya menunduk hormat. "Bawa cewek itu