Share

PART 2 : Bus Misterius

Sindi langsung menjerit. Tiba-tiba dia teringat dengan sesuatu.

"Cepat tolong teman saya, Pak. Mobil kami terpental jauh kedalam semak, di depan sana. Ayo, pak. Kita harus menolong Meri di sana, Pak" Sindi berteriak histeris kepada Pria tersebut.

"Ya ampun, di mana dia?" Tanya pria itu dengan setengah panik. "Di sana, Pak. Di dalam semak di bagian kanan jalan" Tunjuk Sindi dengan tangannya.

"Baiklah, kamu tunggu di sini, ya. Jangan kemana-mana. Saya akan ke sana sebentar untuk menolong temanmu itu dan membawanya ke sini untuk dibawa ke rumah sakit." Sindi pun mengangguk. Pria itu segera berlari keluar bus dengan membawa sebuah senter untuk menjemput Meri yang masih terbaring di dalam mobil.

Pria itu semakin lama semakin jauh ke depan sana. Sindi terdiam mengintip dari balik jendela kaca mobil. Suasana di dalam bus terasa begitu sunyi dan senyap. Ada yang aneh. "Kenapa semua penumpangnya tidak ada yang bersuara? Apakah mereka semua sudah tidur?" Tanya Sindi di dalam hati. Ia pun segera menoleh pada mereka. Mengintip. Ternyata mereka semua masih terjaga. Semua penumpang yang ada di bus itu tampak menyeramkan. Mata mereka tertuju pada Sindi dengan tatapan yang tajam.

Sindi mulai merasa was-was. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Ia pun segera pindah ke kursi depan. Saat ia kembali menoleh ke belakang, ternyata para penumpang itu masih juga menatapnya. Yang paling menyeramkan adalah pria yang berbaju hitam itu. Posisinya paling dekat dengan Sindi. Tatapan itu sungguh begitu misterius dan mengerikan. Pandangan mereka semua tampak datar, tanpa ekspresi. Wajah-wajah mereka terlihat pucat dan menyeramkan.

Sindi mulai merinding. Ia kembali meraih ponselnya untuk menelepon keluarganya di rumah. Namun, lagi-lagi sinyal ponselnya itu masih juga kosong. Jantungnya mulai berdebar. Hawa panas mulai meliliti sekujur tubuhnya. Rasa takutnya semakin memuncak.

"BUUMM..!" Bunyi benda-benda keras yang jatuh mengenai lantai besi. Suara itu nyaring sekali. Kaki kanan Sindi menyandung sesuatu. Ia segera menyalakan cahaya penerang ponselnya. Saat ia mengintip, ternyata benda yang jatuh itu adalah kotak paku-paku kecil beserta dengan palu-palu, pisau, kapak dan juga parang.

Ia terhenyak melihat semua benda-benda tajam tersebut. Mengapa sopir itu menaruh banyak sekali sajam di dalam bus nya ini? Untuk apakah semua benda-benda tersebut? Sindi semakin ketakutan.

"TAAARR..!" Terdengar suara pintu belakang bus yang dibanting. Sindi terperanjat. Jantungnya semakin berdegup tidak menentu. Hujan dan petir masih berkecamuk di luar. Malam sungguh begitu kelam dan mencekam.

Saat ia menoleh ke belakang, ternyata itu adalah suara sang sopir yang menutup pintu bus. Ia telah kembali.

"DI MANA KAWAN MU ITU, HAH? MENGAPA KAU MEMBOHONGI KU?" Bentak pria itu dengan nada keras. Sindi langsung kecut. Ia tidak menyangka pria yang telah menolongnya itu akan berteriak selantang itu kepadanya.

"Ta..di.. dddiaa.. ddisana.., pak" suara Sindi terdengar gemetar. Tatapan mata pria itu menyala-nyala. Ia tampak begitu marah pada Sindi. Sindi semakin ketakutan. Tubuhnya bergoncang, gemetar menahan takut.

"Maafkan saya. Saya tidak bermaksud untuk membuatmu takut. Saya hanya merasa kesal. Saya merasa dibohongi oleh kamu." Suara pria itu mulai melunak.

"AAH..! SUDAHLAH! LUPAKAN SEMUANYA!" Pekik pria itu lagi. Sindi semakin ketakutan. Dia berusaha untuk menjauh dari pria tersebut. Mundur dan menghindarinya.

Pria misterius itu langsung menyalakan bus nya tersebut. Sindi menjadi semakin tidak menentu. Dia pun berusaha untuk turun dan keluar dari bus tersebut, namun semua pintunya malah terkunci. Dia pun menjerit meminta agar pria itu membukakan pintu bus tesebut. Namun, semua penumpang yang berada di dalam bus itu malah tertawa.

"HAHAHA.." Suara tawa mereka sungguh begitu menyeramkan. Sindi semakin histeris. Dia menangis dan meronta-ronta sambil memukul-mukul pintu bus tersebut dengan tangannya. Namun semuanya sia-sia.

"HEI DAGING REBUS! DIAM KAU! JIKA KAU MASIH JUGA BERISIK DI DALAM BUS KU INI, AKAN KU POTONG LEHERMU!" Pria itu menghardik Sindi. Suaranya begitu keras. Sindi pun langsung terdiam dan menutup mulutnya. Dia menangis.

"JIKA KAU MASIH INGIN MELIHAT HARI BESOK, MAKA, KAU HARUS DUDUK DI SEBELAHKU! AYO SINI!" Pria misterius itu berteriak memanggilnya dari kursi depan. Sindi menjadi semakin takut. Air matanya semakin bercucuran deras.

"JIKA KAU BELUM JUGA KEMARI SEBELUM HITUNGAN YANG KE TIGA, AKU PASTIKAN KAU TIDAK AKAN PUNYA KEDUA KAKI MU ITU LAGI!" Hardik pria itu lagi. Disertai isak tangisnya, Sindi pun segera berjalan menuju kursi depan, dan duduk tepat di sebelah pria tersebut. Bus itu pun mulai berjalan. Suasana kembali hening dan senyap. Para penumpang yang misterius itu, kini juga sudah terdiam. Akan tetapi, sorotan mata mereka yang mengerikan itu masih juga tak mau berkedip. Mereka melotot menatap Sindi yang duduk di kursi depan.

"Sudahlah, jangan hiraukan mereka. Jika kau terus menatap mereka, maka mereka akan menyembelih mu, dan kemudian menghidangkan daging-daging dan tulang mu di meja makan. Mereka akan berpesta ria, dan menyantap semuanya dengan suka cita. Diamlah di tempat itu, aku akan segera mengantarmu pulang di pagi besok." Ujar pria tersebut. Wajahnya dingin, sedingin udara malam yang semakin beku dan larut. Pria itu terus berselancar dengan bus nya itu di jalanan aspal hitam yang basah. Menembus malam yang begitu gelap.

Sindi terdiam. Pandangannya kosong menghadap kaca depan mobil. Bus itu terus melaju. Ia pasrah. Dia sungguh menyesal, menyesal karena tidak mau mendengarkan pesan yang disampaikan oleh ibunya di pagi kemarin.

Dia teringat dengan temannya, Meri. Di manakah dia sekarang? Apakah dia masih hidup? Ataukah pria misterius ini telah membunuhnya? Ataukah dia sudah tewas kedinginan? Kehabisan darah? Oh tidak!Berbagai pertanyaan silih berganti muncul di dalam benaknya.

"Kita mau kemana?" Tanya Sindi kepada pria itu.

"SSSSTTTT..Jangan berisik. Mereka semua itu adalah para psikopat dan juga para kanibal. Nanti mereka akan mendengarnya. Tenang saja, aku akan menyelamatkanmu. Tidak usah takut" Pria itu menempelkan jari telunjuknya di bibir sembari menyipitkan kedua matanya dengan tajam. Sindi semakin merinding. Air matanya bercucuran deras.

Bus kota itu terus melesat di jalanan menembus gelap. Suasana begitu hening dan senyap. Yang terdengar hanyalah suara dengungan bus dan hujan yang jatuh. Sungguh malam yang mengerikan.

Setelah puluhan menit menempuh jalan lurus yang cukup panjang, bus kota itu kini mulai berhadapan dengan medan jalan yang sedikit berliku-liku. Pohon sawit dan karet tumbuh di sepanjang jalan, menghiasi pemandangan malam yang semakin mengerikan.

"Tolong, pak. Jangan bunuh aku. Aku mau pulang, pak. Aku ingin bertemu dengan keluargaku di kampung pak," Sindi memohon kepada pria tersebut. Suaranya terbata-bata menahan isak tangisnya. Air matanya mengalir deras.

"Aku sudah bilang, kamu tenang saja. Aku akan menolong mu" ujar pria tersebut.

"Sekitar 200 meter lagi di depan sana, bus ini akan berbelok ke dalam ladang karet yang berada di sisi kanan jalan. Saat bus ini berhenti, maka kau harus cepat-cepat keluar dari bus ini bersamaku. Aku akan membawamu ke sebuah tempat yang aman. Jika kau tidak menuruti perkataan ku ini dan memilih untuk tetap berada di dalam bus ini bersama mereka, maka hidupmu akan berakhir sampai di sini. Mereka akan memotong lehermu, lalu mengeluarkan jantung dan isi perutmu. Mereka akan memasaknya dan memakan tubuhmu sampai tak tersisa lagi. Ketahuilah, mereka semua adalah para kanibal! Tatapan pria itu sungguh bukanlah main-main. Dia tampak begitu serius dengan ucapannya.

Mendengar hal tersebut, Sindi langsung mengangguk. Dia akan mengikuti semua perintah pria tersebut. Sekitar satu sampai dua menit kemudian, seperti yang dikatakan oleh pria tadi, bus kota itu pun berbelok ke sebelah kanan jalan memasuki area perkebunan karet.

Pria itu kembali melayangkan mukanya pada Sindi. Ia memberikan sebuah isyarat, agar Sindi bersiap-siap untuk melakukan hal tersebut. Benar, bus itu pun berhenti tepat di depan rumah-rumah kayu yang berada di sana.

Pintu bus langsung terbuka. Pria itu segera turun. Begitupun dengan Sindi. Ia segera keluar dan sedikit berlari menyusul pria itu yang berjalan menuju rumah kayu tersebut. Saat ia menoleh ke belakang, para penumpang itu tampak masih duduk manis di bangku mereka masing-masing tanpa beranjak walau sedikitpun.

Di tempat itu terdapat ada sekitar empat rumah. Ada dua mobil lain yang terpakir. Dua mobil sedan itu berwarna putih. Sindi langsung teringat dengan sebuah mobil sedan putih yang dilihatnya melesat kencang dan berhenti dekat lokasi mereka kecelakaan. Mungkinkah mobil ini yang telah menculik Meri?" Sindi bertanya-tanya di dalam hati. Setelah dia memperhatikan bentuk dan corak mobil tersebut dengan jelas, namun entah mengapa dia menjadi tidak begitu yakin. Mungkin itu hanyalah perasaanya saja.

Pria itu mengeluarkan sebuah gantungan kunci dari balik tas kecil yang terkalung di lehernya. Di gantungan kunci itu, terlihat banyak sekali anak-anak kunci yang bergelantungan. Suara gemercingannya sudah macam lonceng sapi. Tak lama kemudian, pintu itu pun akhirnya terbuka. Pria itu segera masuk.

"Ayo masuk, cepat!" Desak pria itu. Sindi pun segera masuk.

Beberapa saat kemudian, ruangan rumah yang gelap itu pun langsung benderang. Pria itu menyalakan empat lampu minyak yang menggantung di dinding dengan korek apinya.

Ruangan itu tampak polos. Tidak banyak perabot dan hiasan dinding yang mengisinya. Ada satu dua dan enam kepala binatang yang tertempel di dinding. Tiga kepala babi, dua kepala rusa, dan satu kepala seekor anjing. Beberapa tulang-tulang binatang lain pun juga ikut menjadi penghias ruangan.

Ada yang aneh, ternyata rumah kayu itu berlantaikan semen. Di ruangan tersebut, terdapat ada dua petak kamar yang seukuran tiga persegi. Tidak ada tikar ataupun alas lain yang menutupi lantai. Terlihat juga ada tiga kursi sofa yang di susun rapi melingkari sebuah meja.

Pria itu berjalan menuju kursi tersebut. Dia memanggil Sindi dan menyuruhnya datang dan duduk di kursi itu.

"Tidak usah takut, aku hanya bercanda tentang para penumpang itu. Kami ini adalah para petani karet. Di samping itu, kami juga senang berburu. Jika harga dan hasil karet menurun seperti saat musim hujan ini, maka kami pun akan beralih menjadi tukang buru untuk mencukupi kebutuhan harian kami. Lihatlah kepala-kepala yang cantik itu" Kata pria itu sambil tersenyum menunjuk ke arah dinding ruangan.

Sindi membisu tanpa kata. Dia kembali menoleh ke belakang, terlihatlah kepala-kepala para binatang itu yang menempel di dinding. Saat itu juga, tiba-tiba saja nuansa horor yang mengerikan datang menggerogoti jantungnya. Hawa di ruangan rumah kayu itu mulai terasa aneh. Panas.

"Lihatlah" kata pria itu pada Sindi. Pria misterius itu mengangkat meja yang berada di hadapannya. Sindi melotot, bercampur penasaran. Ketika meja kayu besar itu terangkat, terlihatlah sebuah pemandangan yang menohok. Sindi terhenyak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status