Share

PART 3 : Berlari

Ternyata di balik meja itu, ada sebuah hal yang tersembunyi. Terdapat sebuah tangga dari semen yang mengarah turun ke bawah sana. Pria itu memberi isyarat dengan tangannya, "Ayo, ikuti aku" kata pria tersebut sembari mengambil langkah. Dia lantas mulai berjalan menurun ke bawah sana dengan membawa sebuah lampu minyak. Sindi yang tidak punya pilihan pun segera menurut. Dia sedikit berlari karena takut ketinggalan jauh di belakang.

Benar sekali, ternyata itu adalah sebuah ruangan bawah tanah yang tersembunyi. Tangga itu berakhir dan bertemu dengan sebuah lorong yang panjang. Dinding-dinding lorong itu terbuat dari semen. Lorong itu mengarah lurus ke ujung sana. Seakan tak berujung.

Tidak ada cahaya penerang lain yang terlihat selain dari cahaya lampu minyak yang sedikit redup. Ruangan itu gelap. Suasana begitu mencekam. Hawa terasa panas dan pengap. Tidak ada yang terdengar selain dari pada suara dentuman langkah kaki mereka yang berjalan menerobos lorong gelap yang seakan tiada berujung. Pria itu terus mengarah ke depan sana, memimpin perjalanan.

Sekitar lima menit kemudian, terlihat ada sebuah persimpangan jalan. Kiri dan kanan. Pria itu kemudian berbelok ke arah kanan mengikuti lorong gelap yang membentang panjang ke ujung sana. Beberapa menit berjalan, lorong gelap itu pun berakhir dengan sebuah tangga semen yang mengarah ke bawah. Sepertinya ada sebuah ruangan yang tersembunyi di bawah sana.

Berbagai rasa mulai datang menghujamnya. Aura di tempat itu benar-benar menakutkan. Dinding-dinding semen yang telah retak, dipenuhi oleh akar-akar pepohonan yang tumbuh dari atas sana membuat kesan horor menjadi semakin tajam. Sindi mulai merinding.

"Pak, kita mau kemana?" Tanya Sindi dengan penuh curiga. Suaranya bahkan terdengar gemetar.

"Ikut saja, nanti kau akan tahu sendiri" balas pria tersebut dari arah depan. Tanpa menoleh dan terus melangkah. Sindi menjadi curiga dan takut. Dia segera berlari kembali menuju lantai atas dengan penerang cahaya dari ponselnya. Pria itu lantas berlari ke belakang dan mengejarnya sambil memekik dan mengutuk.

"HEEEYY! BERHENTI! DASAR PEMABUK!" Seru pria itu sambil terus berlari mengejar Sindi dari belakang. Saat ia mengintip ke belakang, pria misterius itu terlihat sudah semakin dekat dengannya. Dengan kaki yang pincang itu, Sindi berusaha untuk mendaki satu per satu takah anak tangga yang mengarah naik ke lantai dua.

Jantungnya berdebar. Kedua lututnya bergoncang hebat. Sindi ketakutan mendengar suara teriakan pria itu, seakan-akan memenuhi seisi lorong ruangan tersebut. Ia segera melompat dan berusaha untuk menaiki satu dua takah anak tangga yang mengarah naik ke lantai dua. Kakinya terasa begitu berat. Darah mulai mengalir keluar dari celah-celah lukanya yang masih basah. Sindi terus berusaha dengan sekuat tenaga untuk menopang tubuhnya itu agar sampai di lantai dua. Ia bahkan sampai merangkak dengan menggunakan kedua tangannya.

Tinggal satu langkah lagi, tiba-tiba ia melihat ada cahaya terang yang terpancar dari ujung lorong lantai dua tersebut. Saat ia melongakkan kepalanya ke atas sana, terlihatlah ada belasan orang yang berjalan menggunakan lampu-lampu minyak. "YA TUHAAN..!" Sindi menjerit. Ternyata oang-orang itu adalah para penumpang yang menyeramkan di dalam bus tadi. Pria yang mengenakkan baju hitam itu berada di posisi paling depan. Sindi langsung berputar mundur dan turun kembali ke lantai bawah.

Saat ia berpaling ke belakang, tiba-tiba saja pria itu sudah berada di depannya. Ia memukul kepala Sindi dengan sebilah balok kayu. Sindi pun terjatuh dan tidak berdaya lagi untuk berlari. Pria itu langsung menggotong tubuhnya yang penuh darah itu menuju lantai bawah dan membawanya berjalan hingga ke ujung lorong.

Penglihatannya berubah menjadi remang dan buram. Darahnya terus bercucuran membasahi lantai. Dari kejauhan, terlihat para penumpang yang misterius itu berjalan jauh di belakang sana menyusul mereka dengan perlahan-lahan. Sindi tak sadarkan diri. Dia pingsan.

Kepalanya terasa sakit. Ia tak bisa melihat dengan jelas. Sekelilingnya masih tampak buram. Namun semua itu tidak berlangsung lama, perlahan-lahan semuanya kembali membaik. Ia sungguh begitu kaget, ternyata saat itu dia berada di dalam sebuah penjara besi yang penuh darah. Bau busuk tercium di mana-mana. Sisa-sisa tulang manusia dan para binatang tergeletak di dalam parit kecil yang berada di tepi ruangan. Sepertinya, ruangan itu adalah tempat pembantaian yang sungguh begitu sadis.

"TOO..LONNGG.. TOO..LOONGG!" Sindi berteriak ketakutan. Ia menjerit menangis dengan histeris di ruangan tersebut sambil menggedor-gedor pintu jeruji itu dengan sekuat tenaga. Akan tetapi semuanya sia-sia. Pintu besi tersebut dikunci dengan rantai dan gembok yang kuat.

Di saat yang sama, terdengarlah bunyi suara pijakan kaki seseorang yang berjalan mendekat dari luar ruangan. Suara langkahnya begitu pelan dan lambat. Dekat dan semakin dekat. Sindi bahkan sampai mundur ke belakang hingga punggungnya pun tersorok ke dinding penjara. Ia membisu menatap sisi lorong luar penjara dengan mata yang menganga. Terbelalak. Tidak ada yang terlihat. Bahkan suara itu pun juga sudah lenyap.

Sindi mencoba untuk menenangkan diri. Ia berdiri mengatur nafasnya yang terus berderu kencang. Ngos-ngosan. Setelah itu, mulailah ia berjalan dengan kaki terjinjit menuju pintu penjara. Ia kemudian mendongak keluar untuk memeriksa situasi. Tidak ada satu pun orang yang berada di tempat itu. Sindi mulai berpikir. Dia berpikir untuk mencari cara agar bisa keluar dari tempat itu dengan selamat.

Ketika ia sibuk memutar otaknya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara yang aneh. Suara itu terdengar begitu pelan sekali. "Tooo..loong.."

Sindi segera menoleh ke segala arah untuk mencari sumber suara tersebut, akan tetapi dia tidak menemukannya.

"Too..loonngg.." suara itu kembali terdengar. Sindi pun kembali memasang telinganya untuk mencari sumber suara tersebut. "Iya, suara itu berasal dari sana," gumamnya dalam hati. Ia pun segera mengintip ke belakang sana untuk mencari tahu apakah gerangan yang sedang terjadi di sana? Dan ternyata ada sebuah pemandangan yang begitu mengerikan.

Sindi menjerit di dalam hatinya. Ia tak habis pikir dengan apa yang dilihatnya tersebut. Pria itu terikat dan digantung dengan posisi yang terbalik. Tangan kirinya sudah putus. Darah merah terus menerus keluar dan menetes membasahi lantai. Pria itu menatap Sindi dengan lemah. Tak berdaya lagi untuk berkata-kata. Sindi shock. Ternyata pria itu adalah korban kecelakaan yang dilihatnya dalam berita tadi malam. Pria malang itu benar-benar sedang sekarat.

"BUM..!" Terdengar suara lantang pintu yang dibanting. Sindi segera beranjak dari tempat itu dan kembali berbaring di tanah. Dia berpura-pura pingsan di lantai. Pria misterius itu datang membawa sebilah parang. Lalu berhenti sejenak di depan pintu jeruji besi itu menatap Sindi yang masih terbaring.

Pria itu kini mulai beranjak ke ruangan sebelah tempat di mana pria malang tadi dikurung. Terdengarlah bunyi gemercingan kunci besi yang dibawanya. Sepertinya pria itu sedang berusaha untuk membukakan pintu jeruji besi ruangan sebelah dengan kunci-kunci yang ada di tangannya. Tak lama kemudian, terdengarlah bunyi pintu jeruji besi itu terbuka. Pria malang yang ada di ruangan itu seketika lansung menjerit ketakutan. Suaranya begitu histeris.

"Aaaaa.... Tooo..looonnngg.." jeritannya semakin keras memenuhi ruangan di bawah tanah.

"Aaaakkkhhhh..." Suara teriakan itu pun berakhir dengan sebuah rintihan pedih. Menyakitkan. Setelah itu, tubuh pria malang tersebut pun tidak bergeming lagi. Sindi segera bangun dan kembali mengintip dari lubang kecil. Dia shock. Pria malang itu tewas mengenaskan dengan kepala yang terlepas dari lehernya. Darah merah bercucuran memenuhi lantai.

Psikopat yang kejam itu mulai memotong-motong tubuh pria malang tersebut. Lalu memasukkan potongan-potongan itu ke dalam sebuah keranjang. Ia mengeluarkan hati, jantung, usus, dan semua isi perutnya lalu dia masukkan ke dalam keranjang tersebut. Sindi tak sanggup melihatnya. Dia menjerit ketakutan.

Mendengar suara jeritan tersebut, psikopat itu langsung mengehentikan pekerjaannya. Ia lantas bergegas keluar dari ruangan itu membawa sebilah golok untuk mendatangi Sindi yang berada di ruangan sebelah. Sindi pun semakin histeris.

"Jangan bunuh aku.. tolong.. aku mohon.." Sindi berlutut kepada pria itu dan menangis sejadi-jadinya. Ia sungguh ketakutan. Namun pria itu tak bersuara sedikit pun. Ia hanya terpaku diam menatap Sindi tanpa ekspresi. Wajahnya benar-benar misterius dan menakutkan.

"Aku mohon, paaak... Tolong jangan bunuh aku..." Sindi masih menangis di kaki pria tersebut. Memohon agar dia tidak membunuhnya.

Tak lama kemudian, tiba-tiba saja pria tersebut keluar dari tempat itu dan mengunci pintu jeruji itu dengan gembok. Setelah itu, ia segera bergegas pergi membawa keranjang yang berdarah itu menyusuri lorong dengan lampu minyak yang dibawanya. Suara langkah kakinya terdengar nyaring memenuhi ruangan. Semakin lama semakin pelan. Hingga akhirnya, suasana pun kembali menjadi hening dan sunyi.

Melihat peluang tersebut, Sindi pun tak mau menyia-nyiakan nya. Ia segera bangun dan menyalakan ponselnya untuk mencari sesuatu yang ada di dalam ruangan tersebut. Sial sekali, ternyata dia tidak menemukan apapun. Waktu Sindi semakin menipis. Tidak lama lagi, para kanibal yang sadis itu pasti akan kembali untuk menyembelihnya dan memasukkan potongan-potongan tubuhnya itu kedalam keranjang untuk dimasak. Sindi pun semakin panik. Dia tidak ingin mati ditempat kotor itu tanpa makam dan tanpa diketahui oleh siapapun. Dia tidak rela membiarkan tubuhnya menjadi santapan empuk bagi para kanibal yang gila itu.

Meski rasa takut terus menghimpitnya, namun Sindi tidak mau menyerah. Ia kembali berputar-putar di ruangan itu mengandalkan cahaya ponselnya yang hampir padam tersebut dan memeriksa semuanya dengan penuh teliti. Dia membuka matanya lebar-lebar, pelan-pelan dia menyapu ruangan itu. Sekali lagi, dia tidak menemukan apapun. Lantai ruangan itu penuh dengan debu-debu dan sebagian lumpur.

Ketika ia hendak berputar ke belakang, tiba-tiba saja ada yang terasa mengganjal kakinya. Dia segera meraba benda tersebut untuk mencari tahu apakah gerangan yang sedang mengganggu langkahnya tersebut. Sungguh tak diduga, ternyata benda itu adalah sisa dari potongan tulang kaki manusia. Tulang itu terkubur di dalam tanah. Sindi pun merinding. Jantungnya semakin meledak. Keringatnya mengucur deras dari kepala hingga wajahnya.

Tidak ada pilihan lain, Sindi pun memutuskan untuk menggalinya dengan kedua tangan. Tidak lama kemudian, akhirnya ia pun berhasil mengeluarkan benda tersebut dari tempatnya. Sindi langsung menggali lantai penjara itu dengan tulang tersebut. Ia mengais-ngais tanah itu dengan kedua tangannya, lalu terburu-buru kembali menggalinya dengan sekuat tenaga. Perlahan-lahan, lantai penjara itu pun mulai berlubang.

Waktu berlalu dengan begitu cepat. Udara di ruangan bawah tanah itu terasa begitu pengap dan panas. Keringatnya bercucuran deras, nafasnya sudah semakin menderu. Ngos-ngosan, akan tetapi lubang itu baru saja sejengkal di bawah tanah. Tiba-tiba dari ujung lorong sana, terdengarlah suara langkah kaki para gerombolan kanibal yang sedang mendekat. Sindi semakin mempercepat galiannya itu dengan seluruh kekuatan yang masih dimilikinya. Lubang itu pun kini telah hampir mendekati tiga jengkal.

Ia segera telungkup dan memasukkan kepalanya ke dalam lubang tersebut. Lalu mulai mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga. Perlahan-lahan tubuhnya mulai bergerak masuk. Mulai dari menggeser kepala, punggung, dan juga pinggangnya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya itu berhenti ketika bokongnya menyentuh lubang tersebut. Dia tersangkut dan tak bisa bergerak untuk maju.

Cahaya lampu obor dan lampu minyak dari para pria gila itu sudah terlihat menyeruap di ujung lorong. Jarak mereka hanya terpaut sekitar seratus meter. Sindi menjadi kaget dan juga panik. Ia kembali mendorong tubuhnya itu dengan sekuat tenaga, menekan dengan kedua kakinya dan juga menarik dengan kedua tangannya. Sssset. Dia berhasil keluar dari ruangan tersebut setelah menurunkan sepatu dan celana jeansnya hingga paha. Ia langsung bangun dan berlari ke ujung lorong gelap itu tanpa cahaya dan juga alas kaki. Dia berlari menembus gelap.

Para gerombolan itu terus berjalan mendekat dan menuju ruangan tersebut tanpa curiga sedikitpun. Saat mereka tiba di depan ruangan itu, mereka sungguh begitu kaget. Ternyata mangsa mereka telah lenyap. Ruangan itu telah kosong. Yang ada hanyalah debu-debu dan lubang bekas galian yang tercecer di lantai. Para kanibal yang sadis itu menjadi murka. Mereka segera berlari ke ujung lorong untuk mengejar jejak kaki Sindi yang berlumuran darah. Mereka berlari dengan begitu cepat. Membabi buta.

Sindi panik. Ia tak tahu harus kemana lagi bersembunyi, ia seakan tidak punya tujuan.

Satu-satunya yang ada di dalam pikirannya pada saat itu adalah bagaimanakah caranya agar ia bisa keluar dari ruangan itu secepatnya. Tak ada cahaya, kedua matanya seakan-akan telah buta. Ia tak mau mengeluarkan ponselnya, karena itu berpotensi dapat membuat para kanibal itu menemukannya dengan cepat. Ia memutuskan untuk terus berjalan melewati lorong demi lorong yang penuh persimpangan itu, meski belum jelas apakah jalan itu akan membawanya keluar dan ataukah akan menjebaknya di tempat itu selamanya? Sindi tidak tahu.

Suara teriakan para kanibal itu terdengar memenuhi ruangan. Mereka sungguh begitu murka. Lorong demi lorong mereka telusuri, namun jejak kaki Sindi belum juga ditemukan. Mereka berpencar dalam beberapa kelompok. Berteriak dan memukul dinding-dinding lorong.

Sindi ketakutan. Para kanibal yang sadis itu semakin dekat di belakangnya. Mereka hanya terpaut satu belokan. Ssst. Tangannya menyentuh angin. Sepertinya dinding lorong itu terputus, ia tak bisa merabanya. Itu adalah persimpangan. Sindi segera kembali meraih dinding itu dan berbelok ke sebelah kiri.

Tidak begitu jauh di depan sana, ada lagi sebuah persimpangan. Sindi memutuskan untuk berbelok lagi ke sebelah kanan. Sekitar 15 meter di depan sana, ia melihat ada sebuah cahaya kecil yang sepertinya terpancar dari dalam sebuah ruangan. Ia pun berniat untuk mundur ke belakang. Belum sempat ia menunaikan niatnya itu, suara para kanibal itu sudah terdengar risih dari arah sana. Cahaya lampu minyak mereka terlihat semakin dekat. Sindi tak punya pilihan, ia terpaksa melanjutkan langkahnya ke arah sana. Melewati ruangan yang bercahaya tersebut.

Saat ia tiba di depan ruangan itu, ia pun merapatkan tubuhnya di dinding agar para kanibal itu tak melihat bayangan tubuhnya dari ujung lorong yang ada di belakang sana. Tak lama kemudian, lewatlah mereka. Beruntung, mereka tidak berbelok ke arah Sindi. Mereka berjalan lurus ke depan sana.

Sindi merasa lega. Ia kembali melanjutkan perjalanannya, namun sebelum itu ia terlebih dahulu mengintip ke dalam ruangan itu untuk memastikan semuanya. Syukurlah semuanya aman. Ruangan itu tampak kosong. Ia pun segera berlari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status