Share

Kematian Dara

Penulis: KARTIKA DEKA
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-10 16:00:09

POV Cahaya

Dara terus memegangi lehernya, sepertinya dia sangat kesakitan. Mama Dara hanya melihatnya, tanpa berniat memberikan pertolongan.

"Dara! Kamu kenapa?" Aku panik, tapi juga bingung mau bagaimana. 

Kulihat Dara kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan busa. Kenapa Dara? Tiba-tiba tubuh Dara jatuh, untuk sesaat dia terus kejang.

"DARAAAA!" Mama Dara histeris.

Dia langsung meraih tubuh Dara ke dalam pelukannya. Dia menangis sejadinya sambil memeluk Dara. 

"Maafin Mama, Sayang." 

Dara kejang-kejang di pelukan ibunya, lalu diam, tak lagi bergerak. Aku membekap mulutku sendiri, kenapa Dara? Aku jadi ikut menangis. Apakah seperti itu Dara meninggal, tragis sekali.

Mama Dara terus menangis sambil memeluk tubuh Dara, erat sekali. Diciuminya seluruh wajah Dara. Menyesalpun sudah terlambat, Dara sudah meninggal. 

Mama Dara mengelap busa di mulut Dara dengan tangannya. Lalu bangkit dari atas tempat tidur, susah payah digendongnya tubuh Dara. Aku terus mengikutinya. Mau dia bawa kemana tubuh Dara. 

Dia membawa Dara ke kamarnya, lalu menggeletakkan tubuh Dara, seakan dia sedang tidur saja. Mama Dara keluar dari kamarnya dan kembali masuk ke kamar Dara. 

Dia mengambil mangkuk berisi mi itu. Mi beracun, ya aku yakin, serbuk tadi pasti serbuk racun. Apa yang ada dipikiran Mama Dara, hingga tega meracuni anaknya sendiri. 

"Dara, kamu harus terus sama-sama dengan Mama, Nak," lirihnya.

Dia mulai memakan mi itu. Gila! Mama Dara mau bunuh diri. Bagaimana ini? Aku nggak bisa mencegahnya. Aku terus memperhatikan Mama Dara. Dia memakan mi itu dengan berurai air mata.

Dia mulai tersedak, sama seperti Dara tadi. Mama Dara mencoba menahan rasa sakitnya, hingga mangkuk mi itu terjatuh telungkup di atas tempat tidur Dara. Dia bangkit, lalu mencoba berjalan keluar dari kamar Dara. Mukanya hingga memerah, mungkin menahan sakit akibat efek racun yang mulai bekerja. 

Dia berjalan dengan memegangi dinding kamar, terus berjalan hingga menuju ke kamarnya.

TOK TOK TOK

"Dara!" Aku mendengar suara seorang laki-laki memanggil nama Dara. 

Siapa itu? Cepatlah masuk, siapa tau Mama Dara sempat tertolong. 

Kulihat Mama Dara sempat menoleh, lalu meneruskan lagi perjalanannya menuju ke kamarnya. 

CEKLEK

Aku mendengar suara pintu dibuka. Aku melongok ke bawah. Kulihat Papa Dara sudah masuk ke dalam rumah, di tangannya memegang sebuah gantungan kunci. Berarti dia memiliki kunci cadangan. Dia terlihat ke dapur, mungkin mencari keberadaan Dara. 

Mama Dara sudah masuk ke kamar, dia terus memegangi leher dan dadanya. Pasti sakit sekali yang dia rasa saat ini. Aku terus mengikuti Mama Dara, dia menggeletakkan tubuhnya di sebelah Dara. Mengangkat kepala Dara agar berada di dadanya. Ya Tuhan, apa Mama Dara juga meninggal? 

Kudengar suara sepatu yang menaiki anak tangga. Aku melihat keluar kamar, Papa Dara mulai naik ke atas. Aku berjalan ke arahnya.

"Om, cepat Om. Cepat tolong Mama Dara," kataku padanya. Tapi dia tidak mendengarku. 

Papa Dara langsung menuju ke kamar Dara yang terbuka, dia merasa aneh melihat ada mangkuk mi yang tertelungkup di atas tempat tidur. 

"Dara! Marta!" Dia mulai panik dan langsung menuju ke kamar Mama Dara.

"Dara, Marta." Papa Dara mendekati Dara dan Mamanya. 

"Marta." Diguncangnya tubuh Mama Marta. 

"Astagfirullah hal adzim." Alangkah terkejutnya dia saat tubuh Mama Dara ditariknya, banyak busa di mulutnya.

"Marta! Marta! Bangun!" Dia mengguncang tubuh Mama Dara. Tak ada reaksi.

Papa Dara langsung naik ke atas tempat tidur mendekati tubuh Dara.

"Dara! Dara!" Dia mengangkat tubuh Dar ke dalam pelukannya. 

"Ya Allah, Dara. Anak Papa, bangun Nak." Dia histeris, dipeluknya erat tubuh Dara. 

Dia coba menenangkan dirinya sendiri. Masih dengan linangan air mata, dia mencoba memeriksa lebih teliti kondisi Dara dan Ibunya. Diletakkan jari telunjuknya di hidung Dara dan Mamanya. Juga memeriksa denyut nadi di tangan mereka. Dia semakin histeris.

"DARAAAA!" Dia menjerit sejadinya. 

Tiba-tiba bayangan menyilaukan itu datang lagi. Aku reflek memejamkan mataku kuat sekali. Lalu kubuka perlahan mataku, wajah Dara yang pertama kali tampak, aku sudah kembali ada di kamarku.

"Sekarang, kamu sudah taukan, bagaimana aku meninggal?" tanya Dara, aku menjawab dengan anggukan.

"Memang kenapa sih, Mama kamu sampai seperti itu?" tanyaku. Seketika kulihat wajah Dara berubah menjadi sedih.

"Maaf ya." Aku jadi merasa nggak enak, sudah buat dia jadi sedih. 

"Gak papa." Dia tersenyum.

"Mama aku itu, punya sifat buruk yang tidak disukai Papaku."

"Maksudnya?"

"Mamaku sangat suka shopping, kumpul-kumpul dengan temannya yang gayanya sosialita. Sampai ikut arisan dengan jumlah yang sangat besar."

Dara bangkit, berpindah duduk jadi di sofa, dekat si jutek Riko.

"Papaku sangat marah, waktu Mama ketahuan memakai uang perusahaan buat foya-foya. Sampai akhirnya Papaku bangkrut. Mama minta maaf, janji nggak akan mengulangi. Papa juga memaafkan Mama. Tapi Mama nggak kapok ternyata."

Aku dan Riko hanya diam mendengarkan cerita Dara.

"Mama diam-diam masih ikut arisan berlian. Mama juga selalu meminjam uang ke teman-temannya yang sosialita itu. Makanya Papa sangat marah. Karena Papa udah nggak punya perusahaan lagi. Masih untung Papa aku masih diterima kerja di perusahaan temannya. Sekarang Papa aku, hanya karyawan biasa. Papa bingung, bagaimana cara bayar hutang Mama?"

Aku mengerti sekarang, kenapa Papa Dara sangat marah dan meninggalkan Mama Dara. Mungkin saat itu dia sudah tidak bisa lagi menahan marah. 

"Terus, Mama kamu meninggal juga?" 

"Nggak."

"Loh, tapi …."

"Mama aku sekarang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Bina Insan. Itu sebabnya aku butuh pertolongan dari kamu." Dahiku mengernyit. Baru kali ini ada hantu minta tolong sama aku. 

"Pertolongan? Aku nggak ngerti maksudnya ini."

"Mama aku depresi berat, selain karena memikirkan hutang, juga rasa bersalahnya pada Papa juga aku. Kalau soal hutang, sudah dilunasi sama Papa. Uang dari hasil penjualan rumah ini. Papa juga sudah maafin Mama. Mama masih butuh maaf dari aku. Aku minta tolong sama kamu, sampaikan sama Mama, kalau aku sudah memaafkannya." 

"Umm, bagaimana caranya? Ayah aku pasti nggak ngizinin aku pergi sendiri. Sementara kalau aku cerita, Ayah aku pasti maksa aku menutup mata batinku." 

"Pliss Haya, bantu aku. Kasihan Mamaku. Dia nggak jahat. Dia pikir, dia bisa sama-sama aku kalau dia meracuniku dan bunuh diri. Tapi takdir berkata lain. Mungkin Tuhan ingin Mamaku bisa memperbaiki semua kesalahannya sama Papa, makanya Mamaku masih selamat. Tolong Haya, kasihan juga Papaku, sekarang Papaku selalu murung, kayak nggak semangat hidup. Papaku sangat mencintai Mamaku. Aku yakin, mereka bisa bahagia, kalau Mama sudah bisa menerima kenyataan dan maaf dariku." 

Dara benar-benar sangat memohon padaku. Aku harus bagaimana sekarang?

★★★KARTIKA DEKA★★★

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Tamat

    [Aku ikut] balas Rindi.[Cilla mana nih? Jangan ngintip aja] komen Meti. Aku mulai memikirkan permintaan Ayah. Kayaknya nggak salah juga sih, masuk pesantren. Tapi, aku mau request di pesantren mana aku mau belajar. [Aku bilang ayahku dulu ya. Nanti aku kasih tau kalian semua] Setelah mengirim komentar, aku tinggalkan hapeku di atas tempat tidur, lalu gegas turun ke kamar Ayah. Tok tok tokKu ketuk pintu kamar Ayah sambil memanggil Ayah. "Yah." "Ya." Mendengar Ayah menyahut. Aku membuka pintu kamar Ayah perlahan. Aku melihat Ayah sedang berdiri di dekat jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana. "Yah, Ayah marah sama Cahaya?" tanyaku hati-hati. Ada rasa bersalah sih, udah buat Ayah jadi sedih. "Nggak," jawab Ayah. "Yah. Haya mau masuk pesantren." Ayah langsung melihat wajahku ketika kubilang kalau aku mau masuk pesantren. Mungkin nggak percaya juga sih. Soalnya, tadi kan aku jelas menolak dengan sangat tegas."Kamu beneran mau?" tanya Ayah untuk benar-benar memastikan.

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Dipindahkan ke pesantren

    Ayah mengajakku pulang bersamanya setelah jenazah Pak Rahman dimakamkan. Apa sebaiknya aku ceritakan sama Ayah aja ya, tentang penglihatanku? Tapi … nanti Ayah pasti akan menutup mata batinku. Yang kulihat adalah sebuah kasus kejahatan. Mana mungkin hanya aku and the genk yang mengungkap. Mana ada yang percaya sama aku. Apalagi pelakunya juga sudah mati. "Kok melamun? Lagi mikirin apa?" tegur Ayah. Sebaiknya aku cerita aja lah sama Ayah. Tak tenang juga kalau terus dihantui begini. "Yah." "Hmm." Ayah tetap fokus pada jalanan. "Em …." Duh, beratnya lidah ini mau bicara. "Apa sih? Bikin penasaran," tanya Ayah. "Tapi Ayah janji, jangan marah sama Haya." Dahi Ayah mengkerut mendengar yang kukatakan. "Kenapa harus marah? Kamu bikin salah di sekolah?" "Nggak," jawabku seraya menggeleng."Terus?" "Yah, dulu ada kejadian di sekolah Haya–" "Kejadian apa?" "Jangan potong dulu dong." Kesel, Ayah belum apa-apa udah motong kata-kataku."Ok ok," kata Ayah sambil membentuk garis pada bi

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Penglihatan

    Wina tak menjawab. Namun terpaksa menurut juga. Dia hanya anak orang susah. Dia tak mau orang tuanya bertambah susah karena masalah ini. Sebenarnya Wina anak yang berani, sebab itu dia berani melaporkan anak Pak Rahman yang sudah membully Yanto. Yanto salah satu murid yang berprestasi, sehingga selalu saja bisa mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Anak Pak Rahman sangat membenci Yanto, karena guru-guru di sekolah, selalu memuji dan menjadikan Yanto contoh teladan buat murid lainnya. Namun situasinya sekarang, dia sedang terpojok. Mau tak mau dia harus menuruti anak Pak Rahman. Wina terus saja menangis, sambil membereskan ruangan kelas yang berantakan. Aku mengikuti anak Pak Rahman, mau diapakan jenazah anak Pak Rudi? Kulihat mereka menggotong anak Pak Rudi keluar gerbang sekolah, setelah sebelumnya, temannya yang berkulit hitam mengawasi sekitar. Kebetulan jalanan di depan sekolah sangat lengang. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Di seberang sekolah masih lahan kosong. Sem

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Ternyata anak Pak Rahman

    "Berani kau!" gertak anak Pak Rahman.Matanya nyalang menatap anak Pak Rudi. Aku lihat, diam-diam anak perempuan yang hampir dilecehkan tadi diam-diam berjalan ke arah pintu. Dia memanfaatkan situasi, disaat anak Pak Rahman dan teman-temannya lengah karena fokus pada anak Pak Rudi.Saat dia sudah dekat ke pintu, cepat dia berlari, sambil menarik tangan anak Pak Rudi. Berdua mereka berlari sambil bergandengan tangan. Anak Pak Rahman dan teman-temannya reflek mengejar mereka. Aku juga ikut berlari mengikuti, ingin tau apa yang terjadi selanjutnya. Anak Pak Rahman, berlari lebih kencang dari teman-temannya. Dia berhasil menggapai tas anak Pak Rudi. Anak Pak Rudi berusaha melepaskan tasnya, tapi terlambat. Anak Pak Rahman cepat mencekal tangannya. Adrenalinku benar-benar terpacu melihat adegan itu. Adegan tarik menarik antara anak Pak Rahman dan teman anak Pak Rudi yang bernama Wina terjadi. Wina berusaha menarik tangan anak Pak Rudi dari anak Pak Rahman.Teman-teman anak Pak Rahman, de

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Peristiwa lalu

    "Aku nggak tau, tapi aku merasa merinding sejak tadi," katanya. Wajah Meti memang tampak takut.Mataku menjadi liar, mencari sosok tak kasat mata di sekitar sini. Saat menatap ke atas balkon rumah Pak Rahman, aku terpaku melihat sosok hantu gosong di sana. Dia juga menatap ke arahku. Cepat aku buang pandanganku. Dag dig dug, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Sosok itu tampak sangat menyeramkan. Aku sangat terkejut, tiba-tiba hantu itu sudah ada di hadapanku. Lidahku terasa kelu. Keringat dingin terasa mulai membasahi wajahku. Telapak tanganku hingga berkeringat jadinya. Aku melirik dengan ekor mataku, kulihat Kak Siska tampak mematung di tempatnya. Begitupun dengan teman-temanku. Ingin rasanya memanggil mereka, tapi lidahku terasa kelu. Waktu seakan berhenti berputar, persis seperti di depan ruangan laboratorium waktu itu. Hantu gosong itu semakin mendekat padaku. Ingin rasanya aku lari dari sini, tapi seluruh anggota tubuhku sangat sulit untuk digerakkan. Hantu gosong it

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Melayat

    "Infonya tadi nggak salah kan Rin?" tanya Cilla."Ya nggak lah. Yang ngasih tau tadi, Nisa sepupuku. Rumahnya dekat dengan rumah Pak Rahman," jelas Rindi. "Berarti, kasus selesai dong. Tersangka utama sudah meninggal. Berarti arwah Pak Rudi nggak akan ganggu kamu lagi Ya," kata Andri. Apa yang dibilang Andri ada benarnya juga. Berarti kami nggak perlu repot lagi, untuk membuktikan kalau Pak Rahman adalah penyebab kebakaran yang menghilangkan nyawa Pak Rudi. Juga menjadi dalang dari kematian anak Pak Rudi. Orangnya juga sudah meninggal. Semoga saja arwah Pak Rudi bisa tenang.Tapi aku merasa ada yang janggal. Baru tadi pagi, anak Pak Rahman meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Sekarang, Pak Rahman sendiri yang meninggal karena jatuh dari atas balkon. "Apa … ada kaitannya sama Pak Rudi?" gumamku."Hah, apa Ya?" tanya Meti."Eh, ng–gak." Aku jadi tergagap."Udah deh Ya, jangan ada lagi rahasia antara kita. Aku denger kok, apa yang kamu bilang tadi," kata Raya. Aku mau bilang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status