Share

Tentang Dara

Author: KARTIKA DEKA
last update Last Updated: 2022-06-10 15:57:27

POV Cahaya

Kulihat seorang wanita dewasa sedang menarik tangan seorang pria. Apa itu orang tua Dara? Mereka juga sepertinya tidak melihatku.

"Mas … kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku mohon," rengek wanita itu.

"Aku capek. Aku lelah sama kamu. Semua kerjaku sia-sia gara-gara ulah kamu. Berapa kali kamu minta maaf, selalu kamu ulangi," kata laki-laki itu dengan bersimbah air mata. 

"Dara. Ikut Papa," kata laki-laki itu pada Dara. Ternyata dia Papa Dara. Berarti wanita itu, Mama Dara.

Dara menggeleng, dia masih meringkuk di lantai. Dia seperti sangat terpukul melihat pertengkaran orang tuanya.

Papa Dara tidak berniat membujuk Dara lagi. Papa Dara pergi begitu saja membawa sebuah tas yang cukup besar, meninggalkan Mama Dara yang hampir saja tersungkur dari tangga. Tanganku reflek ingin menolongnya, tapi kenapa aku tidak bisa menyentuh tubuh wanita itu?

"Huhuhu, Mas!" Mama Dara sangat histeris, dia bangkit dan berlari mengejar laki-laki itu yang sudah membuka pintu utama rumah ini. Rumah yang sekarang sudah dibeli Ayahku. 

Aku hanya bisa melihat dari atas, Mama Dara sampai bersujud di kaki Papa Dara, tapi tak dihiraukan. Papa Dara terus saja keluar dari rumah. Masih kulihat Mama Dara mengejarnya. Entah apa yang terjadi selanjutnya di luar rumah.

"Huhuhuhu." Aku menoleh ke arah Dara yang kelihatan sangat terguncang. Dia hingga meringkuk memegangi lututnya, dia terus menangis, air matanya sangat deras mengalir di pipinya. 

Kulangkahkan kaki mendekatinya dan berjongkok di sebelahnya. "Dara, are you oke?" Dia tetap tidak mempedulikan aku. Berarti dia memang tidak mendengar atau melihatku.

Dara pasti bingung harus pilih yang mana. Papa atau Mamanya. Perpisahan itu, kata orang pasti tetap bikin hati anak terluka, sebesar apa pun dia. 

Sok tau aku, ngerasain kehadiran Bunda saat masih hidup aja nggak pernah.

"Mas, maafin aku." Aku dengar suara Mama Dara. 

Aku bangkit, untuk melihat ke bawah. Mama Dara sudah kembali masuk ke dalam rumah. Dia mengunci pintu rumah, lalu melangkah dengan gontai menapaki anak tangga satu persatu. Pandangan matanya tampak kosong.

"Aku janji, nggak akan mengulangi lagi." Dia masih meracau. 

Ada apa sebenarnya? Kenapa Papa Dara meninggalkan rumah ini? 

DOG DOG DOG

"Marta, keluar!" Terdengar suara orang berteriak dari arah luar rumah, diiringi suara pintu yang diketuk sangat keras.

Wanita itu melihat ke arah pintu, lalu lanjut menaiki anak tangga lagi tanpa mempedulikan. Dia seperti enggan untuk membuka pintu. Air matanya sudah mengering di kedua pipinya. 

DOG DOG DOG

"Marta!" Suara itu semakin keras.

BRAKK

Pintu didobrak dari luar.

"Heh Marta! Jangan pura-pura nggak dengar kamu ya!" 

Kulihat beberapa orang ibu-ibu yang kelihatannya dari kalangan orang kaya, masuk ke dalam rumah. Tanpa mengucap salam sama sekali, mereka tampak sangat marah.

Mereka langsung menuju ke tangga, dan menarik paksa tangan Mama Dara hingga kembali lagi ke bawah. 

"Kapan kamu mau ganti uang yang kamu tilep itu hah!" kata seorang Ibu dengan kasarnya menjambak rambu Mama Dara.

Aku ingin mencegah, tapi sepertinya tidak bisa. Aku mulai menyadari, Dara membawaku ke dimensi lain. Kembali ke masa dia masih hidup. 

Wanita itu hanya diam saja tanpa ekspresi diperlakukan sedemikian kasar. Dara bangkit, langsung berlari menuruni anak tangga menghampiri Mamanya yang sudah terduduk di lantai. 

"Mama." Dara memeluk erat wanita itu yang masih diam saja tanpa ekspresi. Dia sepertinya sedang depresi berat.

"Tolong, jangan ganggu Mama saya," rengek Dara pada ibu-ibu yang sangat marah itu. 

"Bilang sama Mama kamu, cepat bayar utangnya! Juga ganti rugi uang arisan yang dia makan!" Seorang Ibu bertubuh gemuk menghardik Dara, tanpa sedikitpun rasa iba.

"Jangan pura-pura amnesia kamu Marta! Bayar utangmu yang lima ratus juta itu! Juga arisan yang dua ratus juta! Makanya nggak usah sok sosialita, kalau kere," kata ibu satu lagi, kelihatan sangat jutek wajahnya. 

Mereka berbicara sambil terus menuding kepala Mama Dara. Mata mereka juga melotot tajam penuh amarah. 

"Tolong, jangan apa-apakan Mama saya. Saya janji, saya akan bilang Mama. Mama saya sedang sakit." Dara terus memohon. 

"Kami kasih waktu dua hari. Awas aja, kalau kamu mangkir! Ke lobang semut pun kamu akan kami cari!" Wanita gendut itu kembali mengintimidasi Mama Dara.

"Kamu tenang aja Marta! Kalau kamu nggak kembalikan semua uang kami, kami nggak akan mengirimmu ke kantor polisi. Enak aja kamu, mau makan gratis tanpa kembalikan uang kami. Tapi kami akan mengirimmu ke neraka, paham!" kata seorang ibu yang memakai banyak perhiasan dengan nada sinis.

Sebelum semua ibu-ibu pergi, mereka masih sempat menempeleng kepala Mama Dara. Kasihan sekali aku melihatnya, pasti dia merasa sudah kehilangan harga dirinya. 

Tiba-tiba ada cahaya putih yang sangat menyilaukan, hingga aku reflek menutup mata dengan lenganku untuk meminimalisir silaunya. Setelah kurasa tak ada lagi cahaya silau itu, aku kembali membuka mataku. 

Dimana lagi ini?

Sepertinya aku ada di dapur, kenapa aku bisa sampai di sini? 

Ada yang sedang memasak, dari aromanya aku tau. Ini aroma mi instan rasa kari ayam, rasa kesukaan aku. 

Aku mendekati orang yang memasak itu, ternyata Mama Dara. Syukurlah dia sepertinya sudah baik-baik saja. Hanya saja, aku merasa ada yang aneh. Tatapan matanya masih kosong. Seakan tak ada semangat hidup. 

Dia mematikan kompornya, lalu meletakkan mi itu ke dalam sebuah mangkuk. Hei, apa itu? Dia seperti menaburkan sesuatu ke dalam mi itu. Bentuknya serbuk, dia mengaduk-aduk mi agar tercampur rata. 

Apa itu ya? Apa penyedap rasa? Ah nggak mungkin, bumbu mi instan kan, sudah komplit. Tidak perlu ditambahi penyedap lagi.

Dia meletakkan mangkuk mi itu di atas nampan, lalu berjalan keluar dari dapur, mulai menapaki anak tangga lagi. Aku terus mengikuti langkah kakinya, dimana dia mau makan mi itu? Padahal meja makan ada di bawah.

Mama Dara menuju ke kamarku, kulihat Dara sedang rebahan membaca buku. Berarti, ini sebelumnya kamar Dara.

"Ma," sapa Dara, ketika meihat Mamanya masuk ke dalam kamar.

"Makan dulu," kata Mama Dara menyodorkan mi tadi. Dara tersenyum, sangat manis. Lalu duduk dengan kaki bersila di atas tempat tidurnya.

Mama Dara menyerahkan nampan berisi mangkuk mi itu ke tangan Dara. Dara menerimanya dengan senang hati. 

"Mama makan juga dong." 

"Kamu duluan. Mama masih kenyang." 

"Dari semalam Mama belum makan. Nggak mungkin kenyang." 

"Nurut sama Mama, makan yang banyak ya." Mama Dara membelai wajah Dara, masih dengan tatapan kosong dan wajah yang pucat. Seperti hantu saja. 

"Nanti Dara suapin Mama, ya," kata Dara, disambut anggukan Mama Dara.

Aku terus saja memperhatikan mereka. Dara terlihat sangat senang, dia mulai menikmati mi nya. Aman saja, tidak ada apa-apa. Apa maksud Dara membawaku ke sini? Apa yang mau dia tunjukkan?

Sampai di suapan ketiga, tiba-tiba Dara memegangi lehernya. Wajahnya sampai memerah. Kenapa dia? Apa dia tersedak?

★★★KARTIKA DEKA★★★

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Tamat

    [Aku ikut] balas Rindi.[Cilla mana nih? Jangan ngintip aja] komen Meti. Aku mulai memikirkan permintaan Ayah. Kayaknya nggak salah juga sih, masuk pesantren. Tapi, aku mau request di pesantren mana aku mau belajar. [Aku bilang ayahku dulu ya. Nanti aku kasih tau kalian semua] Setelah mengirim komentar, aku tinggalkan hapeku di atas tempat tidur, lalu gegas turun ke kamar Ayah. Tok tok tokKu ketuk pintu kamar Ayah sambil memanggil Ayah. "Yah." "Ya." Mendengar Ayah menyahut. Aku membuka pintu kamar Ayah perlahan. Aku melihat Ayah sedang berdiri di dekat jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana. "Yah, Ayah marah sama Cahaya?" tanyaku hati-hati. Ada rasa bersalah sih, udah buat Ayah jadi sedih. "Nggak," jawab Ayah. "Yah. Haya mau masuk pesantren." Ayah langsung melihat wajahku ketika kubilang kalau aku mau masuk pesantren. Mungkin nggak percaya juga sih. Soalnya, tadi kan aku jelas menolak dengan sangat tegas."Kamu beneran mau?" tanya Ayah untuk benar-benar memastikan.

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Dipindahkan ke pesantren

    Ayah mengajakku pulang bersamanya setelah jenazah Pak Rahman dimakamkan. Apa sebaiknya aku ceritakan sama Ayah aja ya, tentang penglihatanku? Tapi … nanti Ayah pasti akan menutup mata batinku. Yang kulihat adalah sebuah kasus kejahatan. Mana mungkin hanya aku and the genk yang mengungkap. Mana ada yang percaya sama aku. Apalagi pelakunya juga sudah mati. "Kok melamun? Lagi mikirin apa?" tegur Ayah. Sebaiknya aku cerita aja lah sama Ayah. Tak tenang juga kalau terus dihantui begini. "Yah." "Hmm." Ayah tetap fokus pada jalanan. "Em …." Duh, beratnya lidah ini mau bicara. "Apa sih? Bikin penasaran," tanya Ayah. "Tapi Ayah janji, jangan marah sama Haya." Dahi Ayah mengkerut mendengar yang kukatakan. "Kenapa harus marah? Kamu bikin salah di sekolah?" "Nggak," jawabku seraya menggeleng."Terus?" "Yah, dulu ada kejadian di sekolah Haya–" "Kejadian apa?" "Jangan potong dulu dong." Kesel, Ayah belum apa-apa udah motong kata-kataku."Ok ok," kata Ayah sambil membentuk garis pada bi

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Penglihatan

    Wina tak menjawab. Namun terpaksa menurut juga. Dia hanya anak orang susah. Dia tak mau orang tuanya bertambah susah karena masalah ini. Sebenarnya Wina anak yang berani, sebab itu dia berani melaporkan anak Pak Rahman yang sudah membully Yanto. Yanto salah satu murid yang berprestasi, sehingga selalu saja bisa mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Anak Pak Rahman sangat membenci Yanto, karena guru-guru di sekolah, selalu memuji dan menjadikan Yanto contoh teladan buat murid lainnya. Namun situasinya sekarang, dia sedang terpojok. Mau tak mau dia harus menuruti anak Pak Rahman. Wina terus saja menangis, sambil membereskan ruangan kelas yang berantakan. Aku mengikuti anak Pak Rahman, mau diapakan jenazah anak Pak Rudi? Kulihat mereka menggotong anak Pak Rudi keluar gerbang sekolah, setelah sebelumnya, temannya yang berkulit hitam mengawasi sekitar. Kebetulan jalanan di depan sekolah sangat lengang. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Di seberang sekolah masih lahan kosong. Sem

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Ternyata anak Pak Rahman

    "Berani kau!" gertak anak Pak Rahman.Matanya nyalang menatap anak Pak Rudi. Aku lihat, diam-diam anak perempuan yang hampir dilecehkan tadi diam-diam berjalan ke arah pintu. Dia memanfaatkan situasi, disaat anak Pak Rahman dan teman-temannya lengah karena fokus pada anak Pak Rudi.Saat dia sudah dekat ke pintu, cepat dia berlari, sambil menarik tangan anak Pak Rudi. Berdua mereka berlari sambil bergandengan tangan. Anak Pak Rahman dan teman-temannya reflek mengejar mereka. Aku juga ikut berlari mengikuti, ingin tau apa yang terjadi selanjutnya. Anak Pak Rahman, berlari lebih kencang dari teman-temannya. Dia berhasil menggapai tas anak Pak Rudi. Anak Pak Rudi berusaha melepaskan tasnya, tapi terlambat. Anak Pak Rahman cepat mencekal tangannya. Adrenalinku benar-benar terpacu melihat adegan itu. Adegan tarik menarik antara anak Pak Rahman dan teman anak Pak Rudi yang bernama Wina terjadi. Wina berusaha menarik tangan anak Pak Rudi dari anak Pak Rahman.Teman-teman anak Pak Rahman, de

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Peristiwa lalu

    "Aku nggak tau, tapi aku merasa merinding sejak tadi," katanya. Wajah Meti memang tampak takut.Mataku menjadi liar, mencari sosok tak kasat mata di sekitar sini. Saat menatap ke atas balkon rumah Pak Rahman, aku terpaku melihat sosok hantu gosong di sana. Dia juga menatap ke arahku. Cepat aku buang pandanganku. Dag dig dug, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Sosok itu tampak sangat menyeramkan. Aku sangat terkejut, tiba-tiba hantu itu sudah ada di hadapanku. Lidahku terasa kelu. Keringat dingin terasa mulai membasahi wajahku. Telapak tanganku hingga berkeringat jadinya. Aku melirik dengan ekor mataku, kulihat Kak Siska tampak mematung di tempatnya. Begitupun dengan teman-temanku. Ingin rasanya memanggil mereka, tapi lidahku terasa kelu. Waktu seakan berhenti berputar, persis seperti di depan ruangan laboratorium waktu itu. Hantu gosong itu semakin mendekat padaku. Ingin rasanya aku lari dari sini, tapi seluruh anggota tubuhku sangat sulit untuk digerakkan. Hantu gosong it

  • CAHAYA (Patung Kuda Di Rumah Mertua 2)   Melayat

    "Infonya tadi nggak salah kan Rin?" tanya Cilla."Ya nggak lah. Yang ngasih tau tadi, Nisa sepupuku. Rumahnya dekat dengan rumah Pak Rahman," jelas Rindi. "Berarti, kasus selesai dong. Tersangka utama sudah meninggal. Berarti arwah Pak Rudi nggak akan ganggu kamu lagi Ya," kata Andri. Apa yang dibilang Andri ada benarnya juga. Berarti kami nggak perlu repot lagi, untuk membuktikan kalau Pak Rahman adalah penyebab kebakaran yang menghilangkan nyawa Pak Rudi. Juga menjadi dalang dari kematian anak Pak Rudi. Orangnya juga sudah meninggal. Semoga saja arwah Pak Rudi bisa tenang.Tapi aku merasa ada yang janggal. Baru tadi pagi, anak Pak Rahman meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Sekarang, Pak Rahman sendiri yang meninggal karena jatuh dari atas balkon. "Apa … ada kaitannya sama Pak Rudi?" gumamku."Hah, apa Ya?" tanya Meti."Eh, ng–gak." Aku jadi tergagap."Udah deh Ya, jangan ada lagi rahasia antara kita. Aku denger kok, apa yang kamu bilang tadi," kata Raya. Aku mau bilang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status