POV Cahaya
Kulihat seorang wanita dewasa sedang menarik tangan seorang pria. Apa itu orang tua Dara? Mereka juga sepertinya tidak melihatku.
"Mas … kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku mohon," rengek wanita itu.
"Aku capek. Aku lelah sama kamu. Semua kerjaku sia-sia gara-gara ulah kamu. Berapa kali kamu minta maaf, selalu kamu ulangi," kata laki-laki itu dengan bersimbah air mata.
"Dara. Ikut Papa," kata laki-laki itu pada Dara. Ternyata dia Papa Dara. Berarti wanita itu, Mama Dara.
Dara menggeleng, dia masih meringkuk di lantai. Dia seperti sangat terpukul melihat pertengkaran orang tuanya.
Papa Dara tidak berniat membujuk Dara lagi. Papa Dara pergi begitu saja membawa sebuah tas yang cukup besar, meninggalkan Mama Dara yang hampir saja tersungkur dari tangga. Tanganku reflek ingin menolongnya, tapi kenapa aku tidak bisa menyentuh tubuh wanita itu?
"Huhuhu, Mas!" Mama Dara sangat histeris, dia bangkit dan berlari mengejar laki-laki itu yang sudah membuka pintu utama rumah ini. Rumah yang sekarang sudah dibeli Ayahku.
Aku hanya bisa melihat dari atas, Mama Dara sampai bersujud di kaki Papa Dara, tapi tak dihiraukan. Papa Dara terus saja keluar dari rumah. Masih kulihat Mama Dara mengejarnya. Entah apa yang terjadi selanjutnya di luar rumah.
"Huhuhuhu." Aku menoleh ke arah Dara yang kelihatan sangat terguncang. Dia hingga meringkuk memegangi lututnya, dia terus menangis, air matanya sangat deras mengalir di pipinya.
Kulangkahkan kaki mendekatinya dan berjongkok di sebelahnya. "Dara, are you oke?" Dia tetap tidak mempedulikan aku. Berarti dia memang tidak mendengar atau melihatku.
Dara pasti bingung harus pilih yang mana. Papa atau Mamanya. Perpisahan itu, kata orang pasti tetap bikin hati anak terluka, sebesar apa pun dia.
Sok tau aku, ngerasain kehadiran Bunda saat masih hidup aja nggak pernah.
"Mas, maafin aku." Aku dengar suara Mama Dara.
Aku bangkit, untuk melihat ke bawah. Mama Dara sudah kembali masuk ke dalam rumah. Dia mengunci pintu rumah, lalu melangkah dengan gontai menapaki anak tangga satu persatu. Pandangan matanya tampak kosong.
"Aku janji, nggak akan mengulangi lagi." Dia masih meracau.
Ada apa sebenarnya? Kenapa Papa Dara meninggalkan rumah ini?
DOG DOG DOG
"Marta, keluar!" Terdengar suara orang berteriak dari arah luar rumah, diiringi suara pintu yang diketuk sangat keras.
Wanita itu melihat ke arah pintu, lalu lanjut menaiki anak tangga lagi tanpa mempedulikan. Dia seperti enggan untuk membuka pintu. Air matanya sudah mengering di kedua pipinya.
DOG DOG DOG
"Marta!" Suara itu semakin keras.
BRAKK
Pintu didobrak dari luar.
"Heh Marta! Jangan pura-pura nggak dengar kamu ya!"
Kulihat beberapa orang ibu-ibu yang kelihatannya dari kalangan orang kaya, masuk ke dalam rumah. Tanpa mengucap salam sama sekali, mereka tampak sangat marah.
Mereka langsung menuju ke tangga, dan menarik paksa tangan Mama Dara hingga kembali lagi ke bawah.
"Kapan kamu mau ganti uang yang kamu tilep itu hah!" kata seorang Ibu dengan kasarnya menjambak rambu Mama Dara.
Aku ingin mencegah, tapi sepertinya tidak bisa. Aku mulai menyadari, Dara membawaku ke dimensi lain. Kembali ke masa dia masih hidup.
Wanita itu hanya diam saja tanpa ekspresi diperlakukan sedemikian kasar. Dara bangkit, langsung berlari menuruni anak tangga menghampiri Mamanya yang sudah terduduk di lantai.
"Mama." Dara memeluk erat wanita itu yang masih diam saja tanpa ekspresi. Dia sepertinya sedang depresi berat.
"Tolong, jangan ganggu Mama saya," rengek Dara pada ibu-ibu yang sangat marah itu.
"Bilang sama Mama kamu, cepat bayar utangnya! Juga ganti rugi uang arisan yang dia makan!" Seorang Ibu bertubuh gemuk menghardik Dara, tanpa sedikitpun rasa iba.
"Jangan pura-pura amnesia kamu Marta! Bayar utangmu yang lima ratus juta itu! Juga arisan yang dua ratus juta! Makanya nggak usah sok sosialita, kalau kere," kata ibu satu lagi, kelihatan sangat jutek wajahnya.
Mereka berbicara sambil terus menuding kepala Mama Dara. Mata mereka juga melotot tajam penuh amarah.
"Tolong, jangan apa-apakan Mama saya. Saya janji, saya akan bilang Mama. Mama saya sedang sakit." Dara terus memohon.
"Kami kasih waktu dua hari. Awas aja, kalau kamu mangkir! Ke lobang semut pun kamu akan kami cari!" Wanita gendut itu kembali mengintimidasi Mama Dara.
"Kamu tenang aja Marta! Kalau kamu nggak kembalikan semua uang kami, kami nggak akan mengirimmu ke kantor polisi. Enak aja kamu, mau makan gratis tanpa kembalikan uang kami. Tapi kami akan mengirimmu ke neraka, paham!" kata seorang ibu yang memakai banyak perhiasan dengan nada sinis.
Sebelum semua ibu-ibu pergi, mereka masih sempat menempeleng kepala Mama Dara. Kasihan sekali aku melihatnya, pasti dia merasa sudah kehilangan harga dirinya.
Tiba-tiba ada cahaya putih yang sangat menyilaukan, hingga aku reflek menutup mata dengan lenganku untuk meminimalisir silaunya. Setelah kurasa tak ada lagi cahaya silau itu, aku kembali membuka mataku.
Dimana lagi ini?
Sepertinya aku ada di dapur, kenapa aku bisa sampai di sini?
Ada yang sedang memasak, dari aromanya aku tau. Ini aroma mi instan rasa kari ayam, rasa kesukaan aku.
Aku mendekati orang yang memasak itu, ternyata Mama Dara. Syukurlah dia sepertinya sudah baik-baik saja. Hanya saja, aku merasa ada yang aneh. Tatapan matanya masih kosong. Seakan tak ada semangat hidup.
Dia mematikan kompornya, lalu meletakkan mi itu ke dalam sebuah mangkuk. Hei, apa itu? Dia seperti menaburkan sesuatu ke dalam mi itu. Bentuknya serbuk, dia mengaduk-aduk mi agar tercampur rata.
Apa itu ya? Apa penyedap rasa? Ah nggak mungkin, bumbu mi instan kan, sudah komplit. Tidak perlu ditambahi penyedap lagi.
Dia meletakkan mangkuk mi itu di atas nampan, lalu berjalan keluar dari dapur, mulai menapaki anak tangga lagi. Aku terus mengikuti langkah kakinya, dimana dia mau makan mi itu? Padahal meja makan ada di bawah.
Mama Dara menuju ke kamarku, kulihat Dara sedang rebahan membaca buku. Berarti, ini sebelumnya kamar Dara.
"Ma," sapa Dara, ketika meihat Mamanya masuk ke dalam kamar.
"Makan dulu," kata Mama Dara menyodorkan mi tadi. Dara tersenyum, sangat manis. Lalu duduk dengan kaki bersila di atas tempat tidurnya.
Mama Dara menyerahkan nampan berisi mangkuk mi itu ke tangan Dara. Dara menerimanya dengan senang hati.
"Mama makan juga dong."
"Kamu duluan. Mama masih kenyang."
"Dari semalam Mama belum makan. Nggak mungkin kenyang."
"Nurut sama Mama, makan yang banyak ya." Mama Dara membelai wajah Dara, masih dengan tatapan kosong dan wajah yang pucat. Seperti hantu saja.
"Nanti Dara suapin Mama, ya," kata Dara, disambut anggukan Mama Dara.
Aku terus saja memperhatikan mereka. Dara terlihat sangat senang, dia mulai menikmati mi nya. Aman saja, tidak ada apa-apa. Apa maksud Dara membawaku ke sini? Apa yang mau dia tunjukkan?
Sampai di suapan ketiga, tiba-tiba Dara memegangi lehernya. Wajahnya sampai memerah. Kenapa dia? Apa dia tersedak?
★★★KARTIKA DEKA★★★
POV CahayaDara terus memegangi lehernya, sepertinya dia sangat kesakitan. Mama Dara hanya melihatnya, tanpa berniat memberikan pertolongan."Dara! Kamu kenapa?" Aku panik, tapi juga bingung mau bagaimana. Kulihat Dara kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan busa. Kenapa Dara? Tiba-tiba tubuh Dara jatuh, untuk sesaat dia terus kejang."DARAAAA!" Mama Dara histeris.Dia langsung meraih tubuh Dara ke dalam pelukannya. Dia menangis sejadinya sambil memeluk Dara. "Maafin Mama, Sayang." Dara kejang-kejang di pelukan ibunya, lalu diam, tak lagi bergerak. Aku membekap mulutku sendiri, kenapa Dara? Aku jadi ikut menangis. Apakah seperti itu Dara meninggal, tragis sekali.Mama Dara terus menangis sambil memeluk tubuh Dara, erat sekali. Diciuminya seluruh wajah Dara. Menyesalpun sudah terlambat, Dara sudah meninggal. Mama Dara mengelap busa di mulut Dara dengan tangannya. Lalu bangkit dari atas tempat tidur, susah payah digendongnya tubuh Dara. Aku terus mengikutinya. Mau dia bawa kemana tubuh
"Oke, tapi nggak sekarang. Nunggu aku masuk sekolah dulu ya." "Janji." Mata Dara langsung berbinar karena aku mengabulkan permohonannya. Mau bagaimana lagi? Kalau nggak dituruti, dia bisa sangat mengganggu kehidupanku. Lagipula, nggak ada salahnya kan, menolong orang. Eh, orang … hantu kali. "Lalu kamu, Dik?" Aku mengarahkan daguku pada Riko, berlagak sombong pada hantu jutek itu. "Adik! Aku lebih tua dari kamu tau!" Dia nggak senang saudara, dipanggil Adik."Itukan kalau kamu hidup. Kamu aja meninggal masih lebih kecil dari aku," sahutku asal aja. Lalu rebahan lagi di atas ranjangku. Dia diam melototkan matanya padaku, aku melengos, dia kira aku takut. "Kalau nggak ada perlu lagi, aku mau tidur nih. Capek tau, dari perjalanan jauh. Sampai di sini di recokin sama kalian!" ketusku.Tiba-tiba si Riko menghilang. Tersinggung mungkin, biarin aja lah. Siapa suruh jadi hantu kok jutek amat. Kalau dia hidup, mungkin nggak punya teman kali. "Hmm Ca … Ca." Dara menggeleng kepala melihatk
Suara itu meminta siapa yang maju? Apa aku? Aku kan paling belakang. Tapi, bukan hanya aku kok. Di sini kan, ada beberapa barisan. Di setiap barisan ada yang berada di posisi paling belakang. "Kamu, yang baru datang, yang paling terlambat, maju." "Kayaknya kamu deh yang dipanggil," kata Cila. Tuh kan, bener. Bakalan dihukum aku nampaknya. Ragu-ragu aku melangkahkan kaki maju ke depan. "Cepat sedikit!" hardik suara itu. Ngapain bentak-bentak sih! Dia kan pakai toa, aku juga dengar kali. Terpaksa kupercepat langkahku, mana semua mata melihat semua. Malu banget rasanya. Sampai di depan, OMG, ada makhluk Tuhan paling cakep, aku sampai terpelongo melihatnya. Widih, he's perfect, no minus. Mirip sama Al Ghazali anak penyanyi itu loh. Mimpi apa sih aku tadi malam, ketemu cowok handsome begini. Kulihat name tag di dadanya, namanya Ikhsan. "Yang lain, boleh masuk kelas masing-masing. Kamu, tetap di tempat!" Aku justru senang dia melarang aku masuk. Jadi bisa lama-lama memandang wajahny
"Kamu sudah baikan?" tanya Siska. Bisa manis juga dia, tadi juteknya minta ampun. Aku hanya mengangguk, pura-pura lemah tentunya."Sukur lah. Maaf ya, kalau kami berlebihan, kenalin aku Siska kelas dua belas. Kamu bisa panggil aku Kakak." Dia memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.Gak nyangka, sikapnya bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia minta aku panggil dia Kakak. So sweet banget. Kok aku jadi terharu ya?"Aku Cahaya, Kak." Kusambut uluran tangannya. Tinggal kami berdua yang ada di ruangan ini. Nggak tau juga, kemana teman-temannya tadi. Serrr, aku merasa ada hembusan angin lewat. Kok aku tiba-tiba merinding ya. Apa ada arwah di sini? Kepalaku reflek mengarah ke arah arah jendela UKS yang lebar dan terbuat dari kaca keseluruhan. Jadi bisa tampak keluar. Seperti ada yang lewat. Apa itu …."Kamu kenapa?" "Um, gapapa Kak. Kak, aku udah mendingan, mau ke kelasku." "Gapapa nggak masuk dulu, hari ini cuma acara perkenalan aja kok. Kamu masih kelas sepuluh kan?" "Iy
"Kelas kamu disana. Kok malah kesini?" Kak Ikhsan menunjuk ke lorong sebelah kiri. "Iya Kak, aku tau. Sesak tadi, kirain di sini toilet." Bohong lagi deh. Sorry cogan. "Kalau toilet, di sana tuh, jalan lurus paling ujung. Justru ngelewatin kelas kamu." "Oke, Kak. Makasih ya."Cepat-cepat aku pergi dari hadapan Kak Ikhsan. Kayaknya bakal ada pengalaman setu di sekolah ini. Masih penasaran aku, dengan 'dia'."Cahaya!" panggil Cilla yang lagi keluar kelas. Kenapa tuh bocah keluar?Semakin kupercepat langkahku, menyongsong Cilla. "Kamu kok keluar?" tanyaku saat sudah mulai dekat dengannya. "Gak ada, emang pengen lihat kamu aja. Kok kamu lama banget?" "Biasalah." Aku nyelonong aja masuk ke dalam kelas. Ternyata nggak ada guru, pantes Cila keluar."Sini, kita duduk satu bangku." Cilla menarik tanganku, untuk duduk di urutan bangku paling depan. "Hai, kenalin aku Andri." Tau-tau udah ada temen cowok yang ngajak kenalan, kusambut uluran tangannya. "Cahaya." Aku sebutkan namaku."Mulai
"Buat apa coba? Nggak usah deh berurusan sama yang begituan," tanya Cila yang kayaknya takut. "Jujur ya, saat masuk sekolah ini. Ruangan yang duluan aku lihat, ya laboratorium. Aku merasakan hawanya berbeda disitu. Kali aja ada misteri yang belum terungkap, dibalik peristiwa kebakaran itu." "Meti benar, aku ikut sama Meti." Aku angkat tanganku. Akan semakin seru kalau ada teman kan? Aku sama Meti bisa saling melengkapi. "Kalian, bagaimana?" tanya Meti pada Rindi, Cuma, Andri dan Ray. Mereka tidak langsung menjawab, cukup lama aku dan Meti memandangi mereka."Ya sudah, kalau kalian tidak ikut. Kita batal jadi geng," sungut Meti. Dia kelihatan semangat sekali untuk menyelidiki peristiwa tujuh tahun silam."Emangnya kita udah bentuk geng gitu?" celetuk Ray, membuat kami semua tertawa. "Ya udah, kalau nggak mau. Kita berdua aja Ca, mereka semua penakut." Meti kembali ke mejanya, yang berjajar dengan mejaku dan Cila. "Panggil Haya aja, jangan Ca. Lebih enak dipanggil Haya," kataku.
"Nggak papa kok, cuma kayak keseleo nih leher aku," kataku sambil menggoyang-goyangkan kepalaku. Belum saatnya kalian tau yang sebenarnya.Aku melihat sosok yang sangat menyeramkan sedang mengintip dari pintu lab. Tubuhnya penuh luka bakar, sangat mengerikan. Apa itu petugas kebersihan yang meninggal saat peristiwa kebakaran dulu?Bulu halus di sekujur tubuhku seketika bangkit semua. Belum pernah aku 'melihat' yang seperti itu wujudnya. Pantas saja, banyak orang takut melihat hantu. Kalau wujudnya seperti itu sih, Pak Ustad juga bakalan kabur."Haya, kamu bisa merasakan ya?" bisik Meti, sambil menoel tanganku, dia sudah berada di sebelah kiriku."Maksudnya?" Aku pura-pura tidak tau maksud Meti. Kami terus mengayunkan langkah kaki kami menuju ke kantin sekolah. "Pasti tadi kamu merasakannya kan? Makanya kamu kayak kaget gitu." "Ah, enggak kok. Amit-amit kalau aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hiii." Aku pura-pura merinding, supaya Meti tidak curiga. Meti tetap saja memandang
Hei, kenapa ini? Kenapa langkah kami sangat berat? "Guys, kakiku nggak bisa gerak nih," kata Rindi."Sama, aku juga," sahut Ray.Reflek kami semua berusaha mengangkat kaki kami, tak ada yang bisa mengangkat kakinya. "Gimana ini?" tanya Cila mulai ketakutan. "Semua tenang. Tarik nafas dalam-dalam, jangan ada yang takut," kata Meti. Aku merasakan ada yang memegang bahuku, aku ingin menoleh tapi tak bisa. Rasanya tubuhku menjadi dingin sekali. Keringat sebesar-besar jagung keluar dari pori-poriku. Waktu seakan berhenti berputar. Aku mencoba melirik dengan ekor mataku. Alangkah terkejutnya aku, melihat hantu gosong menampakkan dirinya perlahan dari belakangku. Perlahan tapi pasti, dia semakin jelas berjalan ke depanku. Bau anyir juga gosong yang sangat menusuk, langsung memenuhi rongga hidungku. Aku mencoba memanggil teman-temanku, tapi suaraku tidak mau keluar dari tenggorokanku.Masih bisa ekor mataku melirik kesana kemari, teman-temanku hanya berdiri seperti patung saja. Kini sos