Share

Dimensi lain

POV Cahaya

"Ayah cariin kemana-mana," kata Ayah. 

Kepala Ayah menoleh kesana kemari seperti mencari sesuatu.

"Haya, dari tadi di sini aja kok Yah." Agak gugup juga aku. Sepertinya Ayah curiga. 

"Tadi Ayah dengar, Haya seperti sedang ngobrol. Sama siapa?" 

"Em, Ayah salah dengar kali. Dari tadi Haya cuma telfonan sama teman Haya di sekolah."

"Yang bener ?" tanya Ayah menyelidik.

"Iya, suer." Aku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku.

"Ya sudah, cepat ke bawah. Kita makan siang dulu. Ayah sudah pesan kentang goreng kesukaan Haya."

"Iya, nanti Haya nyusul."

"Jangan lama-lama. Haya tau kan, Ayah gak bisa makan, kalau Haya belom makan." Aku menganggukkan kepalaku.

Ayah melangkah keluar lagi, membuka pintu kamarku, sebelum keluar, Ayah berbalik melihatku. Aduh, sepertinya Ayah nggak percaya, matanya masih saja melihat kesana kemari.

"Ya udah deh, Haya ikut Ayah aja." Aku segera menyusul Ayah.

"Tunggu ya," bisikku hampir tak bersuara pada Dara yang menatapku dengan dingin dan kaku. Namanya hantu, pasti rata-rata begitu tatapannya.

Saat ini, jangan buat Ayah curiga dulu. Ribet urusannya kalau Ayah mulai curiga. Bisa-bisa, Ayah konsultasi lagi sama Ustad Faruk. Pokoknya, jangan sampai gelagatku bikin Ayah jadi tau, kalau aku sudah membohonginya. Nggak asik kalau mata batinku ditutup. Aku juga masih berharap, Bunda akan bisa hadir juga di rumah ini.

Ayah nggak pernah marah sama aku. Aku yakin, kalau Ayah tau aku sudah berbohong, dia juga gak akan marah. Tapi Ayah akan jadi sedih, aku nggak mau lihat Ayah sedih. Ayah jadi jelek kalau sedang sedih. Mukanya cemberut aja sepanjang hari.

"Yah, kunci kamar itu, ada sama Ayah?" tanyaku ketika kami sudah keluar dari kamarku, dan pandanganku langsung tertuju pada kamar yang dikunci itu.

"Nggak ada. Mungkin pemiliknya lupa kasih kuncinya. Kenapa memangnya?" 

"Haya pengen tau aja isinya gimana. Kali aja lebih bagus dari kamar Haya." 

"Apa kurang bagus, kamar Haya?" 

"Bagus sih." 

"Ya sudah. Syukuri apa yang ada."

Aku menggandeng tangan Ayah saat menuruni tangga. Sudah pada menunggu di bawah semua ternyata. 

"Si manja Ayah udah turun, cepetan dong Sayang. Perut Nenek udah bunyi dari tadi," sungut Nek Ipah.

"Maafin Haya, ya Nek. Sebagai gantinya, gapapa deh, Haya suapin Nenek sampai kenyang," kataku sembari memeluk Nek Ipah dari belakang kursinya.

"Males ah, memangnya Nenek udah jompo pakai disuapin segala." 

"Kalau gitu, sukur deh." 

"Ternyata hanya pura-pura dia." Semua tertawa mendengar yang dibilang Nek Ipah. 

"Haya duduk dekat Kakek sini." Aku menuruti kata-kata Kakek. Ada bangku yang masih kosong di dekat Kakek. 

"Yah, nanti sekali-kali kita pulang ke rumah lama ya. Apa kita nggak ziarahi kuburan Bunda, Nek Wati sama Kakek buyut." 

Tanganku mulai mengambil nasi yang sudah tersedia di meja, juga ayam goreng dan kentang goreng juga tentunya. 

"Nanti ya, kapan-kapan. Baru juga sampe di sini." 

"Sudah, habiskan makannya dulu. Kalau makan jangan sambil ngobrol, pantang," kata Nek Wiyah.

"Pantang? Pantang kenapa Nek?" 

"Ya pantang, bisa keselek nanti." 

"Kirain." 

Itulah keluargaku. Aku anggota keluarga yang paling muda di sini. Selain Ayah, aku punya tiga orang nenek. Nek Ipah, Nek Widuri sama Nek Wiyah. Satu Kakek, kek Darma namanya. Dulu, ada juga Kakek Buyut tinggal bersama kami. Tapi beliau sudah meninggal dua tahun lalu karena sakit. Cuma aku agak merasa ganjil. Kakek buyut waktu sakit pengen banget pulang kampung, tapi Ayah nggak mengizinkan. Baru itu aku lihat Ayah sekeras itu. Kasihan rasanya, melihat Kakek buyut, sampai meninggal keinginannya tidak terwujud.

Pernah aku bertanya sama nenek nenekku penyebab sikap Ayah seperti itu. Tapi nggak ada yang bisa jawab. Kata mereka, tunggu aku dewasa baru mereka mau menjelaskan. Sampai sekarang aku penasaran jadinya. 

Ayahku orangnya sangat lembut dan mudah luluh. Mengapa dia sangat keras hati saat Kakek buyut minta pulang kampung? Pasti ada sebabnya. Suatu hari aku pasti akan cari tahu.

"Eeegghh alhamdulillah, Haya udah kenyang. Haya naik lagi ya."

"Anak gadis, sendawanya besar banget gitu. Nggak sopan Ndok." Nek Ipah memperingatiku.

"Iya Nek, maaf, kelepasan hehe," kataku sembari jalan ke arah anak tangga. Satu persatu anak tangga mulai kunaiki. Pengennya lari, tapi ntar pada teriak semua. 

Aku penasaran banget sama cerita Dara. Kira-kira dia mau minta tolong apa ya? Sampai di lantai dua, mataku kembali tertumbuk pada pintu kamar yang masih dikunci itu. Nampaknya aku butuh bantuan Pak Dirman. Tapi nanti aja deh, sekarang aku mau temuin Dara sama Riko dulu. 

"Dara! Riko!" panggilku pada dua hantu yang baru saja berkenalan denganku. 

Kemana mereka? Apa mereka ngambek ya, terus pergi? 

Ah, sudahlah. Mending aku ngobrol sama Bunda, maksudku dengan foto Bunda. Siapa tau, Bunda dengar dan datang kesini.

Kuambil album foto yang ada di atas meja kecil di samping tempat tidurku. Kubuka satu-persatu lembaran album foto itu, sambil rebahan, tepatnya tengkurap sih. Bunda, Haya kangen sama Bunda hiks.

"Siapa dia?" 

"Eh, ngagetin aja! Kayak hantu kamu!" sungutku pada Dara yang tau-tau sudah tengkurap juga di sebelahku.

"Emang aku hantu," sahutnya santai sambil nyengir. 

"Kemana aja sih kamu?"

"Nggak kemana-mana. Disini aja dari tadi."

"Kok aku nggak lihat." 

"Kami bisa kasih lihat wujud kami, sesuka kami." 

"Adikmu mana?"

"Maksud kamu, Riko?"

"Iya, siapa lagi?" 

"Dia bukan adek aku. Kalau kami masih hidup, usianya lebih tua dari aku." 

"Tapi kan sekarang di dunia hantu, tetap aja dia yang lebih muda." 

"Hmm, benar juga. Kenapa nggak kepikiran aku ya. Tapi syukurlah, dia jadi hantu yang adekan aku. Kalau dia jadi hantu dewasa, pasti dia jadi hantu cowok yang jutek habis hehehe." 

"Kalian lagi nyeritain aku!" Aku agak terkejut, Riko sudah duduk kembali di sofa. 

"Panjang umur dia. Diceritain langsung datang," kata Dara. 

"Asal kamu. Panjang umur darimana? Udah jadi hantu gitu haha." Aku mengejek Dara. 

"Udah dulu kita ngobrolnya. Sekarang aku mau, kamu bantu kami." Dara mulai serius lagi. 

Aku bangkit, duduk bersila memeluk gulingku.

"Kalian mau minta bantuan yang bagaimana sih?" tanyaku dengan dahi mengkerut.

"Kamu diam ya, pejamkan matamu perlahan." Dara memberi intruksi seperti tadi lagi, saat Ayah datang memanggilku.

Perlahan kupejamkan mataku. Kurasakan telapak tangan Dara menempel di dahiku, menciptakan sensasi dingin yang menjalar ke seluruh tubuhku.

Aku merasa tubuhku ditarik dengan sangat kuat hingga aku terjatuh, tapi tidak merasakan sakit, kubuka mataku perlahan. Aku dimana? Ini seperti kamarku, hanya sedikit berbeda. Tadi seingat aku, seprei yang membalut tempat tidurku berwarna pink. Kenapa sekarang hijau.

"Mas, tolong … jangan pergi!" 

"Nggak bisa! Aku sudah nggak tahan sama kamu! Kamu nggak bisa jadi istri yang becus!" 

"Maafin aku Mas. Aku janji, aku akan berubah Mas." 

Suara siapa itu? Sepertinya dari arah luar. 

Aku melangkah perlahan keluar dari kamar, hendak melihat ke sumber suara tadi. Kubuka pintu pelan-pelan. Kulihat Dara sedang menangis terduduk di depan pintu kamar.

"Dara." Aku mencoba menegurnya, tapi dia tak acuh. Apa dia tidak mendengarku?

★★★KARTIKA DEKA★★★

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status