"Kamar nomor 28. Langsung masuk saja. Syarat untuk hari pertama kamu adalah kamu harus wangi dan bersih."
Lucio telah siap seperti apa yang diminta oleh Maya dalam pesan waslapnya. Semuanya akan dimulai malam ini. Mendapatkan pekerjaan secepatnya telah ia capai saat ini. Sekarang, tinggal komitmennya sendiri yang menentukan. Lanjut, atau berhenti di sini sekarang dan mencari pekerjaan lain.
Bagaimana tidak? Melihat isi pesan yang telah dikirimkan pada Lucio, siapapun tentu saja menebak-nebak apa yang akan terjadi kedepannya. Entah baik atau buruk.
Sementara itu...
Feren dan yang lain masih belum pulang mencari pekerjaan. Setelah mendapat info lowongan pekerjaan tadi malam, mereka semua langsung bergegas. Tak ada kata menunggu. Mereka butuh pekerjaan sekarang juga.
Setelah memastikan semuanya sudah pas, Lucio sempatkan dirinya berdiri di hadapan kaca cermin. Ia memandangi cerminan dirinya sendiri tanpa kata. Membisu. Kata hotel kembali terngiang di telinganya. Tambah lagi, syaratnya ia harus wangi.
Pikirannya sudah mulai memikirkan hal-hal yang bukan-bukan namun ia urungkan demi kepercayaan yang telah diberikan padanya. Lagipula, ia sendirilah yang mengejar dan ingin mendapatkan pekerjaan itu meski ia belum tahu pekerjaan seperti apakah itu.
Sesaat Lucio memejamkan matanya. Dalam hatinya ia berdoa agar apa yang ia lakukan nanti dapat berjalan dengan lancar apapun resikonya. Demi ibu. Demi Fred, adiknya. Demi sebuah pekerjaan.
Lucio mencoba meyakinkan lagi dirinya sendiri bahwa ia akan menemui seseorang di hotel untuk membicarakan perihal pekerjaan.
'Mungkin Maya akan mengenalkanku pada seseorang yang membutuhkan seorang pekerja seperti diriku. Karena itulah, tak hanya wangi seperti yang dimintai Maya, kerapihan pun akan aku tunjukan malam ini.'
Celana panjang warna hitam, kemeja lengan panjang warna putih dibaluti blazzer, sepatu, dan sebuah jam tangan baru yang baru saja ia beli tadi pagi demi pertemuan di hotel malam ini ia kenakan semuanya.
Lucio memilih mengendarai sepeda motor meski jaraknya bisa ditempuh dengan jalan kaki dari kost. Setelah tiba, Lucio bercermin sekali lagi lewat kaca spion sepeda motornya.
Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang setelah ia berjalan memasuki hotel. Banyak wanita berpenampilan seksi keluar dan masuk bersama pasangan. Ada yang sendiri. Kebanyakan yang ia temui mengenakan dress.
"Oh my God." Kakinya kini terasa berat untuk melangkah. Berbeda seperti ketika ia masih di kost. Jantungnya semakin kencang berdegup.
Namun, apa yang bisa ia lakukan? Ia tak bisa berbuat banyak lagi. Ia tak mau mengecewakan Maya. Tak mau menodai harga diri dan komitmennya sebagai lelaki.
"Permisi, saya ingin menemui Bu Maya di kamar nomor 28." Lucio menyapa dan menginformasikan kepada resepsionis maksud kedatangannya ke New Idola Hotel ini.
"Dengan Number One, betul?" Tanya sang resepsionis kembali memastikan.
"Ya, betul." Lucio memainkan alis matanya. Sebetulnya ia kaget namanya sudah diketahui oleh si resepsionis cantik di hadapannya. Meski itu hanya nama samaran, tetap saja itu membuat jantungnya semakin berdegup dengan sangat kencang.
"Siapa Maya sebenarnya?"
"Silakan,,, kamarnya ada di lantai 3 sebelah kiri ya, Mas."
Lucio mengangguk ragu lalu melangkah pergi meninggalkan petugas resepsionis hotel. Lagi-lagi, jantungnya terus berdegup kencang ketika mulai mendekati pintu lift. Langkah kakinya begitu canggung.
Tetapi demi pekerjaan, ia berusaha membuang jauh-jauh segala pikiran negatif yang mengganggu pikiran dan konsentrasinya saat ini.
'Aku harus bersikap profesional karena telah menerima tawaran Maya itu.'
Pintu lift terbuka setelah Lucio menyentuh tombol panah naik. Ia hendak masuk namun ia dikagetkan oleh sebuah pemandangan yang menantang kelelakiannya. Sepasang kekasih satu malam rupanya sedang berciuman di dalam lift. Aksi mereka terhenti setelah menyadari kehadiran Lucio lalu mereka dengan segera keluar sambil berpelukan, mengabaikan keberadaan Lucio.
Masa bodoh, Lucio pun mengabaikannya, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat apa yang terjadi baru saja.
"Akan jadi seperti apa aku nanti jika hotel ini adalah hotel tempat berhubungan gelap?" Gumamnya dalam hati namun kakinya tak bisa berjalan mundur lagi. Pekerjaan yang ia butuhkan sudah ada di depan matanya saat ini.
Karena itu, sekali lagi Lucio berjuang menepis segala pikiran yang bukan-bukan. Ia berjalan keluar setelah pintu lift terbuka di lantai tiga dan langsung mencari kamar nomor 28 dan langsung mengetuknya dengan penuh keragu-raguan. Seseorang membuka pintu kamar nomor 28.
Dan apa yang Lucio lihat?
Dibaluti dress berwarna hitam sependek paha, wanita itu sangat terlihat feminim. Kecantikannya malam ini dapat membohongi usianya yang sebenarnya sudah tak muda lagi. Ia menatap Lucio dengan sebuah tatapan paling manja yang ia miliki.
Ya, wanita yang kini tengah menyambut kedatangan Lucio tak lain adalah Maya. Wanita paruh baya yang menawari pekerjaan pada Lucio kemarin. Lucio tersipu malu dan gugup. Segala perasaan campur aduk tentunya langsung menguasai dirinya.
"Senang bertemu denganmu lagi, Number One." Maya menyapa lembut dari dalam kamar hotel menyebutkan nama samaran Lucio. Keduanya sejenak beradu pandang. Tentu saja Lucio kalah.
Lucio menunduk. Namun dengan lembut, Maya meraih tangannya dan menariknya, mengajak Lucio masuk ke dalam kamar yang rupanya khusus disediakan untuk pertemuan mereka berdua malam ini. "Tidak baik terlalu lama di depan pintu. Kamu adalah tamu istimewaku malam ini."
Duuugggggg.
Sesuatu seperti menghujam keras tepat di dada Lucio saat kata-kata itu merengsek masuk ke telinganya. Seperti kepalang tanggung, ia tak bisa mengelak.
Kedua kakinya sudah berada di dalam lingkaran yang telah dibuat oleh Maya. Atau lebih tepatnya lingkaran yang mereka buat bersama kemarin.
Lucio berjalan mengikuti langkah kaki Maya yang masih menarik lembut tangannya. Dalam hatinya, Lucio ingin sekali berteriak ketakutan, menolak, dan lari dari dalam kamar hotel ini.
Bukan pekerjaan seperti ini yang aku inginkan. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Toh seperti apa pekerjaannya pun aku belum dikasih tahu, bukan?
"Kamu seperti orang yang hendak melamar kerja di sebuah perusahaan." Maya membuyarkan segala pikiran yang sedang bertarung di dalam hati Lucio. Sejenak Lucio tersipu malu karena penampilannya dikomentari oleh Maya.
Lalu apa maksud perkataannya barusan? Bukankah aku dan Maya akan membahas tentang sebuah pekerjaan?
"Lain kali tak usah rapi seperti ini. Aku hanya butuh kamu wangi," lanjut Maya setelah menyadari Lucio tidak bisa berkata apa-apa.
"Aku tahu kamu kaget. Kamu rileks saja, tidak usah terlalu tegang," kata Maya lagi sambil menuangkan wine ke dalam dua buah gelas yang sudah tersedia di atas meja.
Kemeja baru yang ia kenakan kini telah dibasahi oleh keringat ketakutan. Semua yang ada di hadapannya saat ini sama seperti mimpi. Mimpi yang tak pernah ia harapkan untuk terjadi. Kamar hotel, wanita, minuman beralkohol dan segala yang akan terjadi nanti tak pernah terlintas sekalipun dalam bayangannya sebelumnya.
"Minumlah, sayang. Tenangkan pikiranmu. Santai. Lalu kita bicarakan pekerjaannya."
Lucio tersentak kaget mendengar kata pekerjaan. Ia sungguh berharap, Maya benar-benar membicarakan pekerjaan lain. Bukan perihal seks dan yang lainnya yang serupa dengan itu di dalam kamar hotel ini.
Lucio tiba-tiba merasa kedinginan. Ia berusaha membuka matanya. Ia kaget bukan main ketika menyadari ia sedang berada di dalam sebuah kamar mewah seperti kamar hotel."Kamu sudah sadar?" Suara itu tiba-tiba membuatnya mendapatkan kesadarannya sepenuhnya. Lucio membuka kedua matanya lalu bangkit dari ranjang. Ia kaget bukan main setelah melihat sosok seorang gadis di tepi ranjang. Jantungnya seketika kembali berdegup sangat kencang untuk kesekian kalinya."Aku Maya. Kamu menabrakku sebelum kamu pingsan sehingga aku membawamu kesini."Mendengar kata Maya, Lucio mengucak kedua matanya agar dapat dengan sempurna memandangi gadis yang menyebut namanya Maya. Yang ia pikir saat ini wanita di hadapannya adalah Maya yang tadi bersamanya di hotel."Ahh,,, syukurlah. Bukan Maya yang tadi," gumamnya setelah berhasil menangkap dengan jelas wajah gadis itu lalu kembali merebahkan tubuhnya lagi ke ranjang. &n
Lucio mematung tanpa satu pun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Sedangkan di hadapannya Maya sesekali mencuri pandang, menatap Lucio dengan sebuah tatapan penuh tanda tanya.Jantung Lucio kembali berdegup kencang untuk kesekian kalinya. Apalagi saat Maya meraih dua buah gelas yang sudah terisi wine, lalu berjalan dengan langkah yang begitu anggun mendekati Lucio.Lucio masih tak kuasa untuk mengangkat wajahnya. Kedua matanya masih tak sanggup membalas tatapan mata Maya."Minumlah, ini gelas pertama untuk ucapan selamat datang. Aku berharap tak ada penolakan."Ucapan selamat datang? Berarti masih ada lagi gelas-gelas yang akan berisi wine berikutnya? Apa maksud semua ini? Bukankah aku kesini untuk membahas pekerjaan yang ia tawarkan padaku? Oh, tidaaaaakkk...Hati Lucio berteriak sendiri tanpa suara.Andai saja aku memiliki kuasa, juga sebuah keberanian, aku tentu sudah
"Kamar nomor 28. Langsung masuk saja. Syarat untuk hari pertama kamu adalah kamu harus wangi dan bersih."Lucio telah siap seperti apa yang diminta oleh Maya dalam pesan waslapnya. Semuanya akan dimulai malam ini. Mendapatkan pekerjaan secepatnya telah ia capai saat ini. Sekarang, tinggal komitmennya sendiri yang menentukan. Lanjut, atau berhenti di sini sekarang dan mencari pekerjaan lain.Bagaimana tidak? Melihat isi pesan yang telah dikirimkan pada Lucio, siapapun tentu saja menebak-nebak apa yang akan terjadi kedepannya. Entah baik atau buruk.Sementara itu...Feren dan yang lain masih belum pulang mencari pekerjaan. Setelah mendapat info lowongan pekerjaan tadi malam, mereka semua langsung bergegas. Tak ada kata menunggu. Mereka butuh pekerjaan sekarang juga.Setelah memastikan semuanya sudah pas, Lucio sempatkan dirinya berdiri di hadapan kaca cermin. Ia memandangi cerminan dirinya sendiri t
Di sana, tepatnya di kos, Feren melirik jam pada gawainya. Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Semuanya diam membisu. Mereka duduk membisu mengitari hidangan makanan yang telah disajikan di atas lantai. Mereka masih menunggu kehadiran Lucio.Namun Lucio tak peduli. Baginya, yang terpenting saat ini ialah mendapatkan kembali tawaran pekerjaan yang ditawarkan oleh wanita itu.Langkah kakinya terhenti. Lucio berbalik dan berusaha mendapatkan suara seseorang yang menyapanya baru saja. Ternyata benar. Wanita paruh baya itu kini berdiri di hadapannya lagi. Ia baru saja tiba dan hendak masuk ke taman.Lucio tak tahu apa yang sering wanita itu lakukan ketika datang ke taman malam-malam seorang diri. Tapi ia tak pedulikan semua itu. Sungguh, ia tak pedulikan apapun selain yang satu ini."Oh,,, hai,,,," sapa Lucio dengan nada gugup seperti biasa.Wanita itu berjalan masuk ke taman. Lucio tak menunggu perintah apapun lagi. Kedua kakinya langsung melangkah masuk mengikuti langkah wanita it
Lucio melangkah gontai diikuti kelima orang rekannya. Atau lebih tepatnya saudaranya, keluarganya.Hari ini menjadi hari yang paling menegangkan karena sesaat lagi Lucio dan kelima saudaranya akan mengetahui siapa saja di antara mereka yang akan di-PHK dan siapa yang akan bertahan.Lucio menoleh dan melihat ke wajah Feren, lalu ke yang lainnya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hanya sebuah tatapan kosong dan rekan-rekannya tampak sangat lesu. Hari masih pagi."Apakah kalian sudah siap?"Kali ini tak seperti biasanya, Lucio akan lebih banyak bersuara ketimbang beberapa hari lalu ketika mendengar info akan ada PHK besar-besaran. Satu per satu rekannya mengangguk bisu. Mereka tampak benar-benar lesu."Ayolah,,, jangan loyo mukamu. Apapun keputusannya kita harus terima."Lucio mencoba memberikan semangat pada rekan-rekannya yang sudah menjadi keluarga baginya selama kurang lebih tiga tahun. Jauh dalam lubuk hatinya, Lucio tak tega melihat nasib mereka semua saat ini.Bukan hanya Lu
Tak ada tempat lain yang Lucio tuju saat ini. Ia kembali ke sebuah taman yang tak jauh dari kosnya. Taman ini selalu menjadi pilihan utama ketika Lucio butuh waktu untuk sendiri: merenung, bersedih, mengenang masa lalunya atau hanya menghilangkan lelah sekalipun.Lucio selalu seperti ini. Berjalan seorang diri. Sama sekali tak ada niat untuk mengajak rekannya yang lain.Ada sebuah bangku dekat pintu masuk sebelah barat yang mungkin sudah bosan dengan kehadiran Lucio. Seperti biasanya, ketika ke tempat ini ia tak lupa membawa serta sebotol minuman dingin Good Day Coffee yang ia beli di pedagang kaki lima yang sering berjualan dengan sepeda mengelilingi taman ini.Tak hanya kopi dalam kemasan, di tangannya ia bawa juga sebungkus rokok Marlboro filter yang sudah tak penuh lagi isinya. Lucio mulai kecanduan rokok sejak ia masih duduk di bangku SMP.Lucio melangkah masuk ke taman. Tatapannya kosong ke depan. Di hadapan Lucio saat ini berdiri kokoh sebuah bangunan mewah yang tidak terlalu t