Di sana, tepatnya di kos, Feren melirik jam pada gawainya. Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Semuanya diam membisu. Mereka duduk membisu mengitari hidangan makanan yang telah disajikan di atas lantai. Mereka masih menunggu kehadiran Lucio.
Namun Lucio tak peduli. Baginya, yang terpenting saat ini ialah mendapatkan kembali tawaran pekerjaan yang ditawarkan oleh wanita itu.
Langkah kakinya terhenti. Lucio berbalik dan berusaha mendapatkan suara seseorang yang menyapanya baru saja. Ternyata benar. Wanita paruh baya itu kini berdiri di hadapannya lagi. Ia baru saja tiba dan hendak masuk ke taman.
Lucio tak tahu apa yang sering wanita itu lakukan ketika datang ke taman malam-malam seorang diri. Tapi ia tak pedulikan semua itu. Sungguh, ia tak pedulikan apapun selain yang satu ini.
"Oh,,, hai,,,," sapa Lucio dengan nada gugup seperti biasa.
Wanita itu berjalan masuk ke taman. Lucio tak menunggu perintah apapun lagi. Kedua kakinya langsung melangkah masuk mengikuti langkah wanita itu.
Di dalam hatinya, ia telah menyiapkan beberapa pertanyaan. Lucio tak ingin gagal malam ini. Tidak akan. Tujuan utamanya ialah pekerjaan yang sempat ditawarkan beberapa hari lalu.
"Sepertinya, Ibu terlambat ya malam ini?" Tanya Lucio seketika membuka percakapan. Ia masih berdiri sedangkan wanita itu telah duduk di bangkunya.
"Maksudku, mengapa Ibu terlambat datang...."
"Kamu menungguku?" Tanya wanita itu cepat memotong pembicaraan Lucio.
Seketika Lucio membisu. Gagap. Ia sangat malu karena niatnya datang ke taman malam ini langsung diketahui oleh wanita itu. Ia hanya menunduk malu tak bisa menjawab pertanyaan tersebut.
"Duduklah, jangan berdiri seperti itu. Gak enak dilihat orang."
Dengan malu-malu Lucio lalu duduk, kali ini dengan berani ia langsung ambil tempat di samping wanita itu. Lagi-lagi keduanya terpaksa berbagi tempat.
"Aku yakin kamu pasti akan mencariku lagi," lanjut wanita itu yakin.
"Maaf, Bu. Saya...."
"Jangan panggil saya Ibu. Bukannya kemarin sudah aku kasih tahu? Panggil saja Maya," jawabnya cepat lagi-lagi memotong perkataan Lucio, membuat Lucio sekali lagi kelagapan di hadapannya.
"Berapa usia kamu?" Tanya Maya lagi pada Lucio.
"Saya 27 tahun, Bu."
"Sudah kukatakan jangan panggil Ibu. Panggil Maya saja. Apakah aku terlihat sangat tua bagimu?"
Lucio hanya mengangguk malu. Sebenarnya tak sulit baginya untuk langsung memanggilnya dengan namanya. Hanya ia merasa tak pantas jika harus memanggil langsung dengan nama Maya.
Namun apa mau dikata jika itulah kenyataannya? Lucio harus melakukannya, bukan? Demi tawaran pekerjaan itu.
"Sejujurnya saya penasaran dengan tawaran pekerjaan yang Maya tawarkan ke saya beberapa hari lalu. Apakah saya boleh tahu pekerjaan apakah itu?"
Lucio memberanikan diri untuk bertanya dengan nada santun meskipun pada kenyataannya ia masih gugup saat langsung menyebut nama Maya.
"Nah, kalau seperti itu kan kita terlihat sedang tak ada jarak. Lebih akrab. Jangan panggil Ibu lagi."
Lucio hanya mengangguk. Ia sejatinya menunggu jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan baru saja. Bukan mendengar ceramahnya lagi perkara nama panggilan. Lalu ia akan segera pulang karena Feren dan saudaranya yang lain sedang menunggunya.
"Apakah kamu siap bekerja denganku?" Tanya Maya spontan.
Mendengar pertanyaan itu, Lucio tak butuh waktu lama untuk mengangguk tanda bahwa ia siap menerima tawaran Maya. Ia tak peduli. Apapun pekerjaannya, ia sudah menanamkan komitmen tak akan menolaknya.
"Baiklah. Temui aku esok malam pukul sepuluh," kata Maya lagi dengan tegas. Kali ini diikuti dengan sebuah tatapan biasa namun penuh teka-teki.
Lucio bingung dengan maksud Maya. Tapi ia menunggu apa yang akan dikatakan Maya selanjutnya. Ia bahkan belum memperkenalkan dirinya sejak tadi.
"Kamu lihat hotel yang di sana? Berikan aku nomor ponselmu. Akan kukirim via chat nomor kamarnya."
"Deeeggggg...."
Mendengar kata hotel, Jantung Lucio tiba-tiba berdegup kencang. Sangat kencang seperti ia baru saja berlari di kejar binatang buas.
Tapi tak ada pilihan lagi. Ia sudah terlanjur berjanji dengan dirinya sendiri. Apapun pekerjaan dan resikonya, ia harus terima. Demi sekolah adiknya. Demi ibunya di kampung.
"Kosong delapan dua satu, delapan delapan tujuh lima, ...."
Lucio menyebutkan nomor ponselnya menuruti permintaan wanita bernama Maya itu.
"Namanya terserah Maya mau ditulis apa aja boleh,,,," lanjut Lucio yang menolak memberitahu namanya, atau lebih tepatnya identitasnya.
Lucio sedikit merinding dengan tawaran pekerjaannya sehingga ia melakukan ini untuk menyembunyikan identitasnya. Lucio kembali menunduk. Ia kembali berpikir keras.
'Hotel. Jam sepuluh malam. Berdua? Atau? Ah, masa bodoh....'
Lucio mencoba menepis semua pikiran negatif. Yang terpenting sekarang adalah pekerjaan dan uang. Itu saja.
"Wah, wah, aku suka ini. Kamu menolak memberitahuku siapa namamu?"
Kali ini Lucio hanya tersenyum, tak menjawab apapun. Tentu saja dengan sebuah senyuman palsu. Sejatinya ia telah berperang hebat di dalam dadanya. Bertarung dengan pikirannya sendiri.
"Kamu hendak pulang atau masih mau di sini?" Tanya Maya sekali lagi memecah keheningan dan membuyarkan pikiran Lucio.
"Mau langsung pulang saja. Sampai bertemu besok," jawab Lucio tegas dan singkat. Ia merasa tak enak hati telah membuat saudara-saudaranya menunggu di sana.
"Terima kasih sebelumnya. Aku menunggumu esok malam."
Setelah mengangguk tanpa suara, dengan cepat Lucio berdiri, membungkukkan tubuhnya lalu pergi meninggalkan Maya seorang diri.
Namun sebelum melangkah pergi...
"Untuk namaku, panggil saja number one." Maya hanya tersenyum lalu menunduk memainkan jemarinya pada layar gawainya.
"Aku sudah menemukan seseorang. Jadwal pertemuan menyusul." Maya mengirimkan pesan ke sebuah grup waslap, lalu kembali menyulut sebatang rokok. Seorang diri.
* * * * *
Lucio menemui saudara-saudaranya yang sudah lama menunggu kehadirannya. Di hadapan mereka sudah ada makanan ala anak kosan yang dihidangkan. Mereka benar-benar serius menyiapkan hal ini.
"Maaf telah membuat kalian menunggu terlalu lama."
Feren hanya mengangguk. Mereka memang sudah terlihat seperti saudara satu rahim. Tak ada pertengkaran di antara mereka selama ini. Makanan sesedikit apapun mereka rasakan bersama. Tak ada yang menikmatinya seorang diri.
"Bagaimana? Apa yang mau dibicarakan?" Tanya Lucio memulai percakapan.
Sedari tadi tak ada yang bersuara. Semuanya diam. Kehilangan pekerjaan ini membuat mereka seperti dihadapkan pada sebuah masalah besar. Mereka memang sudah bergantung pada pekerjaan ini. Berbeda dengan Lucio yang sudah sedikit tenang meskipun belum tahu persis apa pekerjaannya esok.
"Sebaiknya kita sambil makan. Sudah lapar soalnya," kata Feren diikuti suara brisik yang lain tanda setuju. Baru saat itulah mereka terlihat ceria, bersuara, dan saling jaim.
"Saya sudah mendapat pekerjaan. Hanya butuh satu orang jadi saya tidak bisa mengajak kalian."
Lucio kembali membuka percakapan setelah semuanya sudah sedang makan. Feren tampak tersenyum bahagia mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Lucio.
"Mantap, bro. Setidaknya ada satu di antara kita yang menanggung biaya hidup kita di sini untuk sementara sampai kita semua mendapat pekerjaan," kata Feren diikuti anggukan oleh yang lainnya.
"Malam ini kita semua wajib googling mencari lowongan pekerjaan. Besok kita harus siapkan lamarannya," kata Feren melanjutkan. Yang lain hanya mengangguk tanda siap.
Namun Lucio tiba-tiba membisu. Pikirannya kembali memikirkan hotel, jam sepuluh dan apa yang akan terjadi selanjutnya esok malam.
Lucio tiba-tiba merasa kedinginan. Ia berusaha membuka matanya. Ia kaget bukan main ketika menyadari ia sedang berada di dalam sebuah kamar mewah seperti kamar hotel."Kamu sudah sadar?" Suara itu tiba-tiba membuatnya mendapatkan kesadarannya sepenuhnya. Lucio membuka kedua matanya lalu bangkit dari ranjang. Ia kaget bukan main setelah melihat sosok seorang gadis di tepi ranjang. Jantungnya seketika kembali berdegup sangat kencang untuk kesekian kalinya."Aku Maya. Kamu menabrakku sebelum kamu pingsan sehingga aku membawamu kesini."Mendengar kata Maya, Lucio mengucak kedua matanya agar dapat dengan sempurna memandangi gadis yang menyebut namanya Maya. Yang ia pikir saat ini wanita di hadapannya adalah Maya yang tadi bersamanya di hotel."Ahh,,, syukurlah. Bukan Maya yang tadi," gumamnya setelah berhasil menangkap dengan jelas wajah gadis itu lalu kembali merebahkan tubuhnya lagi ke ranjang. &n
Lucio mematung tanpa satu pun kata yang mampu keluar dari mulutnya. Sedangkan di hadapannya Maya sesekali mencuri pandang, menatap Lucio dengan sebuah tatapan penuh tanda tanya.Jantung Lucio kembali berdegup kencang untuk kesekian kalinya. Apalagi saat Maya meraih dua buah gelas yang sudah terisi wine, lalu berjalan dengan langkah yang begitu anggun mendekati Lucio.Lucio masih tak kuasa untuk mengangkat wajahnya. Kedua matanya masih tak sanggup membalas tatapan mata Maya."Minumlah, ini gelas pertama untuk ucapan selamat datang. Aku berharap tak ada penolakan."Ucapan selamat datang? Berarti masih ada lagi gelas-gelas yang akan berisi wine berikutnya? Apa maksud semua ini? Bukankah aku kesini untuk membahas pekerjaan yang ia tawarkan padaku? Oh, tidaaaaakkk...Hati Lucio berteriak sendiri tanpa suara.Andai saja aku memiliki kuasa, juga sebuah keberanian, aku tentu sudah
"Kamar nomor 28. Langsung masuk saja. Syarat untuk hari pertama kamu adalah kamu harus wangi dan bersih."Lucio telah siap seperti apa yang diminta oleh Maya dalam pesan waslapnya. Semuanya akan dimulai malam ini. Mendapatkan pekerjaan secepatnya telah ia capai saat ini. Sekarang, tinggal komitmennya sendiri yang menentukan. Lanjut, atau berhenti di sini sekarang dan mencari pekerjaan lain.Bagaimana tidak? Melihat isi pesan yang telah dikirimkan pada Lucio, siapapun tentu saja menebak-nebak apa yang akan terjadi kedepannya. Entah baik atau buruk.Sementara itu...Feren dan yang lain masih belum pulang mencari pekerjaan. Setelah mendapat info lowongan pekerjaan tadi malam, mereka semua langsung bergegas. Tak ada kata menunggu. Mereka butuh pekerjaan sekarang juga.Setelah memastikan semuanya sudah pas, Lucio sempatkan dirinya berdiri di hadapan kaca cermin. Ia memandangi cerminan dirinya sendiri t
Di sana, tepatnya di kos, Feren melirik jam pada gawainya. Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Semuanya diam membisu. Mereka duduk membisu mengitari hidangan makanan yang telah disajikan di atas lantai. Mereka masih menunggu kehadiran Lucio.Namun Lucio tak peduli. Baginya, yang terpenting saat ini ialah mendapatkan kembali tawaran pekerjaan yang ditawarkan oleh wanita itu.Langkah kakinya terhenti. Lucio berbalik dan berusaha mendapatkan suara seseorang yang menyapanya baru saja. Ternyata benar. Wanita paruh baya itu kini berdiri di hadapannya lagi. Ia baru saja tiba dan hendak masuk ke taman.Lucio tak tahu apa yang sering wanita itu lakukan ketika datang ke taman malam-malam seorang diri. Tapi ia tak pedulikan semua itu. Sungguh, ia tak pedulikan apapun selain yang satu ini."Oh,,, hai,,,," sapa Lucio dengan nada gugup seperti biasa.Wanita itu berjalan masuk ke taman. Lucio tak menunggu perintah apapun lagi. Kedua kakinya langsung melangkah masuk mengikuti langkah wanita it
Lucio melangkah gontai diikuti kelima orang rekannya. Atau lebih tepatnya saudaranya, keluarganya.Hari ini menjadi hari yang paling menegangkan karena sesaat lagi Lucio dan kelima saudaranya akan mengetahui siapa saja di antara mereka yang akan di-PHK dan siapa yang akan bertahan.Lucio menoleh dan melihat ke wajah Feren, lalu ke yang lainnya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hanya sebuah tatapan kosong dan rekan-rekannya tampak sangat lesu. Hari masih pagi."Apakah kalian sudah siap?"Kali ini tak seperti biasanya, Lucio akan lebih banyak bersuara ketimbang beberapa hari lalu ketika mendengar info akan ada PHK besar-besaran. Satu per satu rekannya mengangguk bisu. Mereka tampak benar-benar lesu."Ayolah,,, jangan loyo mukamu. Apapun keputusannya kita harus terima."Lucio mencoba memberikan semangat pada rekan-rekannya yang sudah menjadi keluarga baginya selama kurang lebih tiga tahun. Jauh dalam lubuk hatinya, Lucio tak tega melihat nasib mereka semua saat ini.Bukan hanya Lu
Tak ada tempat lain yang Lucio tuju saat ini. Ia kembali ke sebuah taman yang tak jauh dari kosnya. Taman ini selalu menjadi pilihan utama ketika Lucio butuh waktu untuk sendiri: merenung, bersedih, mengenang masa lalunya atau hanya menghilangkan lelah sekalipun.Lucio selalu seperti ini. Berjalan seorang diri. Sama sekali tak ada niat untuk mengajak rekannya yang lain.Ada sebuah bangku dekat pintu masuk sebelah barat yang mungkin sudah bosan dengan kehadiran Lucio. Seperti biasanya, ketika ke tempat ini ia tak lupa membawa serta sebotol minuman dingin Good Day Coffee yang ia beli di pedagang kaki lima yang sering berjualan dengan sepeda mengelilingi taman ini.Tak hanya kopi dalam kemasan, di tangannya ia bawa juga sebungkus rokok Marlboro filter yang sudah tak penuh lagi isinya. Lucio mulai kecanduan rokok sejak ia masih duduk di bangku SMP.Lucio melangkah masuk ke taman. Tatapannya kosong ke depan. Di hadapan Lucio saat ini berdiri kokoh sebuah bangunan mewah yang tidak terlalu t