แชร์

TEKA-TEKI PEKERJAAN BARU

ผู้เขียน: Mario Bojano Sogen
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-07-21 03:35:26

Di sana, tepatnya di kos, Feren melirik jam pada gawainya. Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Semuanya diam membisu. Mereka duduk membisu mengitari hidangan makanan yang telah disajikan di atas lantai. Mereka masih menunggu kehadiran Lucio.

Namun Lucio tak peduli. Baginya, yang terpenting saat ini ialah mendapatkan kembali tawaran pekerjaan yang ditawarkan oleh wanita itu.

Langkah kakinya terhenti. Lucio berbalik dan berusaha mendapatkan suara seseorang yang menyapanya baru saja. Ternyata benar. Wanita paruh baya itu kini berdiri di hadapannya lagi. Ia baru saja tiba dan hendak masuk ke taman.

Lucio tak tahu apa yang sering wanita itu lakukan ketika datang ke taman malam-malam seorang diri. Tapi ia tak pedulikan semua itu. Sungguh, ia tak pedulikan apapun selain yang satu ini.

"Oh,,, hai,,,," sapa Lucio dengan nada gugup seperti biasa.

Wanita itu berjalan masuk ke taman. Lucio tak menunggu perintah apapun lagi. Kedua kakinya langsung melangkah masuk mengikuti langkah wanita itu.

Di dalam hatinya, ia telah menyiapkan beberapa pertanyaan. Lucio tak ingin gagal malam ini. Tidak akan. Tujuan utamanya ialah pekerjaan yang sempat ditawarkan beberapa hari lalu.

"Sepertinya, Ibu terlambat ya malam ini?" Tanya Lucio seketika membuka percakapan. Ia masih berdiri sedangkan wanita itu telah duduk di bangkunya.

"Maksudku, mengapa Ibu terlambat datang...."

"Kamu menungguku?" Tanya wanita itu cepat memotong pembicaraan Lucio.

Seketika Lucio membisu. Gagap. Ia sangat malu karena niatnya datang ke taman malam ini langsung diketahui oleh wanita itu. Ia hanya menunduk malu tak bisa menjawab pertanyaan tersebut.

"Duduklah, jangan berdiri seperti itu. Gak enak dilihat orang."

Dengan malu-malu Lucio lalu duduk, kali ini dengan berani ia langsung ambil tempat di samping wanita itu. Lagi-lagi keduanya terpaksa berbagi tempat.

"Aku yakin kamu pasti akan mencariku lagi," lanjut wanita itu yakin.

"Maaf, Bu. Saya...."

"Jangan panggil saya Ibu. Bukannya kemarin sudah aku kasih tahu? Panggil saja Maya," jawabnya cepat lagi-lagi memotong perkataan Lucio, membuat Lucio sekali lagi kelagapan di hadapannya.

"Berapa usia kamu?" Tanya Maya lagi pada Lucio.

"Saya 27 tahun, Bu."

"Sudah kukatakan jangan panggil Ibu. Panggil Maya saja. Apakah aku terlihat sangat tua bagimu?"

Lucio hanya mengangguk malu. Sebenarnya tak sulit baginya untuk langsung memanggilnya dengan namanya. Hanya ia merasa tak pantas jika harus memanggil langsung dengan nama Maya.

Namun apa mau dikata jika itulah kenyataannya? Lucio harus melakukannya, bukan? Demi tawaran pekerjaan itu.

"Sejujurnya saya penasaran dengan tawaran pekerjaan yang Maya tawarkan ke saya beberapa hari lalu. Apakah saya boleh tahu pekerjaan apakah itu?"

Lucio memberanikan diri untuk bertanya dengan nada santun meskipun pada kenyataannya ia masih gugup saat langsung menyebut nama Maya.

"Nah, kalau seperti itu kan kita terlihat sedang tak ada jarak. Lebih akrab. Jangan panggil Ibu lagi."

Lucio hanya mengangguk. Ia sejatinya menunggu jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan baru saja. Bukan mendengar ceramahnya lagi perkara nama panggilan. Lalu ia akan segera pulang karena Feren dan saudaranya yang lain sedang menunggunya.

"Apakah kamu siap bekerja denganku?" Tanya Maya spontan.

Mendengar pertanyaan itu, Lucio tak butuh waktu lama untuk mengangguk tanda bahwa ia siap menerima tawaran Maya. Ia tak peduli. Apapun pekerjaannya, ia sudah menanamkan komitmen tak akan menolaknya.

"Baiklah. Temui aku esok malam pukul sepuluh," kata Maya lagi dengan tegas. Kali ini diikuti dengan sebuah tatapan biasa namun penuh teka-teki.

Lucio bingung dengan maksud Maya. Tapi ia menunggu apa yang akan dikatakan Maya selanjutnya. Ia bahkan belum memperkenalkan dirinya sejak tadi.

"Kamu lihat hotel yang di sana? Berikan aku nomor ponselmu. Akan kukirim via chat nomor kamarnya."

"Deeeggggg...."

Mendengar kata hotel, Jantung Lucio tiba-tiba berdegup kencang. Sangat kencang seperti ia baru saja berlari di kejar binatang buas.

Tapi tak ada pilihan lagi. Ia sudah terlanjur berjanji dengan dirinya sendiri. Apapun pekerjaan dan resikonya, ia harus terima. Demi sekolah adiknya. Demi ibunya di kampung.

"Kosong delapan dua satu, delapan delapan tujuh lima, ...."

Lucio menyebutkan nomor ponselnya menuruti permintaan wanita bernama Maya itu.

"Namanya terserah Maya mau ditulis apa aja boleh,,,," lanjut Lucio yang menolak memberitahu namanya, atau lebih tepatnya identitasnya.

Lucio sedikit merinding dengan tawaran pekerjaannya sehingga ia melakukan ini untuk menyembunyikan identitasnya. Lucio kembali menunduk. Ia kembali berpikir keras.

'Hotel. Jam sepuluh malam. Berdua? Atau? Ah, masa bodoh....' 

Lucio mencoba menepis semua pikiran negatif. Yang terpenting sekarang adalah pekerjaan dan uang. Itu saja.

"Wah, wah, aku suka ini. Kamu menolak memberitahuku siapa namamu?"

Kali ini Lucio hanya tersenyum, tak menjawab apapun. Tentu saja dengan sebuah senyuman palsu. Sejatinya ia telah berperang hebat di dalam dadanya. Bertarung dengan pikirannya sendiri.

"Kamu hendak pulang atau masih mau di sini?" Tanya Maya sekali lagi memecah keheningan dan membuyarkan pikiran Lucio.

"Mau langsung pulang saja. Sampai bertemu besok," jawab Lucio tegas dan singkat. Ia merasa tak enak hati telah membuat saudara-saudaranya menunggu di sana.

"Terima kasih sebelumnya. Aku menunggumu esok malam."

Setelah mengangguk tanpa suara, dengan cepat Lucio berdiri, membungkukkan tubuhnya lalu pergi meninggalkan Maya seorang diri.

Namun sebelum melangkah pergi...

"Untuk namaku, panggil saja number one." Maya hanya tersenyum lalu menunduk memainkan jemarinya pada layar gawainya.

"Aku sudah menemukan seseorang. Jadwal pertemuan menyusul." Maya mengirimkan pesan ke sebuah grup waslap, lalu kembali menyulut sebatang rokok. Seorang diri.

                               * * * * *

Lucio menemui saudara-saudaranya yang sudah lama menunggu kehadirannya. Di hadapan mereka sudah ada makanan ala anak kosan yang dihidangkan. Mereka benar-benar serius menyiapkan hal ini.

"Maaf telah membuat kalian menunggu terlalu lama."

Feren hanya mengangguk. Mereka memang sudah terlihat seperti saudara satu rahim. Tak ada pertengkaran di antara mereka selama ini. Makanan sesedikit apapun mereka rasakan bersama. Tak ada yang menikmatinya seorang diri.

"Bagaimana? Apa yang mau dibicarakan?" Tanya Lucio memulai percakapan.

Sedari tadi tak ada yang bersuara. Semuanya diam. Kehilangan pekerjaan ini membuat mereka seperti dihadapkan pada sebuah masalah besar. Mereka memang sudah bergantung pada pekerjaan ini. Berbeda dengan Lucio yang sudah sedikit tenang meskipun belum tahu persis apa pekerjaannya esok.

"Sebaiknya kita sambil makan. Sudah lapar soalnya," kata Feren diikuti suara brisik yang lain tanda setuju. Baru saat itulah mereka terlihat ceria, bersuara, dan saling jaim.

"Saya sudah mendapat pekerjaan. Hanya butuh satu orang jadi saya tidak bisa mengajak kalian."

Lucio kembali membuka percakapan setelah semuanya sudah sedang makan. Feren tampak tersenyum bahagia mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Lucio.

"Mantap, bro. Setidaknya ada satu di antara kita yang menanggung biaya hidup kita di sini untuk sementara sampai kita semua mendapat pekerjaan," kata Feren diikuti anggukan oleh yang lainnya.

"Malam ini kita semua wajib googling mencari lowongan pekerjaan. Besok kita harus siapkan lamarannya," kata Feren melanjutkan. Yang lain hanya mengangguk tanda siap.

Namun Lucio tiba-tiba membisu. Pikirannya kembali memikirkan hotel, jam sepuluh dan apa yang akan terjadi selanjutnya esok malam.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • CALL ME NUMBER ONE   GAIRAH CINTA PAGI HARI

    Mona terjaga saat merasa ingin buang air kecil. Ia membuka matanya dan betapa kagetnya ia saat menyadari ternyata Number One masih memeluknya dengan erat. Tangan Number One masih melingkar di perutnya. "Oh my God, ini kapan ya terakhir kali aku ngerasain tidur dipeluk kek gini? Udah lama banget gak sih? Ah, Number One. Kamu emang paling pinter bikin aku meleleh pagi-pagi gini," batin Mona sambil tersenyum bahagia. Niatnya ia langsung bangun dan menuju ke kamar mandi namun ia urungkan niatnya saat menyadari sesuatu yang lain. Number One memeluknya dalam keadaan telanjang. Dan yang lebih gilanya lagi, batang rudal Number One dalam keadaan turn on. Mungkin pengaruh ereksi pagi hari namun itu sangat menggoda Mona. Ingin sekali ia langsung menyentuh batang rudal yang semalaman mengokang di bagian pantatnya. "Ngga, aku ke kamar mandi buang air dulu. Abis itu, bakal aku balas kamu. Mumpung masih tidur, kan?" Pikir Mona jorok dan nakal. Ia dengan sangat pelan bergerak turun dari ran

  • CALL ME NUMBER ONE   KLIMAKS BERKALI-KALI (2)

    Setelah dua kali mencapai puncak kenikmatannya, Number One sama sekali tak membiarkan kesempatan bagi Mona untuk leluasa sedikitpun. Kedua tangannya masih diikat. Tanpa sehelai kainpun yang menututpi tubuhnya. Lubang gua miliknya pun masih tetap menganga di bawah sana. Ada rasa kepuasan tersendiri bagi Number One. Entah kenapa, saat Mona berhasil membuat dirinya berhasil mencapai puncak terlebih dahulu, ia merasa dendam dan ingin menyiksa wanita itu. Dan itu masih terjadi hingga kini.Number One duduk santai menikmati sebatang rokok. Ia sama sekali tak peduli dengan kondisi Mona. Ada rasa tak tega namun Number One masih merasa belum puas menyiksa wanita itu."Kamu serius membiarkan aka seperti ini sampai pagi?" Tanya Mona seketika. Tak ada kemarahan apapun dalam dirinya. Ia justru menikmati cara Number One memperlakukannya. "Aku masih belum puas bermain-main denganmu, Nona. Maafkan aku, tapi Nona tenang saja. Aku bakal puasin Nona," janji Number One. Lalu kembali fokus menikmati ro

  • CALL ME NUMBER ONE   PERTEMUAN FEREN DAN MAYA

    Setelah lama mengurung diri di kamar, Maya memutuskan untuk keluar sejenak. Tujuannya kali ini ialah taman tempat ia bertemu dengan Number One. Ia meninggalkan Nancy seorang diri di kamarnya. Namun ternyata, Nancy diam-diam mengetahui kepergian ibunya saat mendengar bunyi daun pintu dibukakan. Bukan tanpa sebab Maya ingin mencari angin segar atau sekedar menenangkan dirinya. Ia masih terbebani dengan permintaan putrinya. "Aku menolak permintaan Nancy, otomatis aku udah gak bisa lagi ketemu sama Number One. Kalaupun masih bisa, aku harus bermain rapi. Nancy gak boleh tahu sama sekali," pikir Maya seorang diri sedari tadi di kamarnya. Nancy yang mengetahui bahwa ibunya hendak pergi, diam-diam mengikuti. Namun saat tahu bahwa ibunya hanya pergi ke taman, Nancy akhirnya kembali ke rumah. Ia memilih pulang dan istirahat karena besok masih hari sekolah.Sementara itu, di lain tempat, Juan dan Bambang mencari keberadaan Feren. "Gue gak tahu, bro. Pas pulang tadi gue masih sempet liat dia

  • CALL ME NUMBER ONE   KLIMAKS BERKALI-KALI

    Seperti yang sudah-sudah, Number One paling tidak terima jika ia dikalahkan oleh wanitanya. Ia memejamkan matanya, membiarkan Mona tersenyum puas di atas perutnya setelah merasa menang atas dirinya. "Kita liat aja nanti, kamu atau aku yang bakal merengek minta dikasihani." Mona membalikkan tubuhnya setelah berhasil menelan semua cairan kental milik Number One. "Aku pikir kamu kuat loh, ternyata cuma segini? Baru diemut udah tumpah duluan," ledek Mona sambil tersenyum puas. Setelah mendengar kalimat itu keluar dari mulut Mona, Number One membuka matanya. Ia menatap penuh dendam wanita yang sedang tersenyum bangga itu. Secepat kilat, setelah berhasil mengumpulkan tenaganya, Number One mendorong tubuh Mona agar menempel ke dinding. "Wow, ada yang marah nih kayanya," ucap Mona masih dengan nada meledek dan berusaha tetap tenang. Sedangkan Number One sudah dipenuhi ambisi besar untuk menyiksa Mona. Number One melirik ke tempat lain seolah mencari sesuatu. Dan ia mendapatkan ide setela

  • CALL ME NUMBER ONE   MALAM PANJANG MONA (2)

    "Ahh, kamu ternyata pintar banget ya Number One?" Number One diam. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya sebuah pelukan erat yang ia berikan pada pinggang Mona, sambil terus memagut bibir seksi Mona. Ia sendiri pun telah dikuasai oleh nafsunya sendiri.Sejurus kemudian, saat Number One sudah tak kuasa lagi menahan nafsunya, ia menggendong Mona ke ranjang. Kemudian meletakannya ke atas ranjang. Number One berdiri sejenak, menatap Mona dengan tatapan nakal dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seolah-olah ingin segera menerjang wanita itu sekarang juga.Namun lelaki itu diam, membiarkan Mona berbaring santai. Ia meraih gelas yang masih berada di tangan Mona lalu meletakkannya kembali ke atas meja. Number One berjalan kembali ke atas ranjang, mendekati Mona lalu membukan dress berwarna merah yang dikenakan oleh Mona. Ia menyisakan sepasang pakaian dalam atas dan bawah milik Mona, lalu kembali ke meja. Tanpa berpikir lebih lama lagi, Number One me

  • CALL ME NUMBER ONE   MALAM PANJANG MONA

    "Berapapun lamanya, aku siap melayanimu, Nona." Sebuah jawaban singkat. Sebuah respon balik yang tak pernah dilakukan Number One selama ini. Panggilan Nona yang ia berikan pada Mona membuat wanita itu seketika mematung lagi. Pipinya memerah, mulutnya bungkam, namun tidak di dadanya. Jantung Mona berdegup sangat kencang. Ia sungguh jatuh cinta dengan lelaki yang ada di hadapannya saat ini. Namun ia sadar bahwa itu tak mungkin terjadi. Mona sadar akan usianya. Juga sadar bahwa semua ini hanya sesaat saja. Hubungannya dengan Toni memang tidak seharmonis pasangan lain. Toni lebih memilih wanita lain untuk memenuhi kebutuhan seksnya. Sedangkan Mona, ia terperangkap disini sekarang. Bukan berarti ia tak lihai soal urusan ranjang, tapi inilah kenyataannya.Semua itu membawanya untuk berada disini. Bahkan ia tak tahu menahu bahwa Toni ternyata selingkuh dengan teman baiknya sendiri. Karena itu, Mona pun melakukan hal yang sama. Tapi bukan untuk mendua. Hanya untuk sesaat. Hanya untuk meme

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status