Orang pertama yang wajib aku curigai adalah Om Andi. Aku mengetuk pintu kamarnya. Tidak dibuka, aku ketuk lagi, masih juga tidak ada jawaban. Lalu pintu kamar terbuka begitu saja. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan memasuki kabar beliau. Kelambu sebagai alat pengusir nyamuk sudah turun. Lalu aku lihat di dalam sana ada yang berbaring sangat lelap. Iya, itu Om Andi. Dia tidur tidak memakai baju, sangat nyenyak sekali. Tidak masuk akal rasanya kalau tadi dia berbuat tidak baik di kamarku lalu tiba-tiba saja sudah ke kamar sendiri. Aku saja yang terlalu suud’zon. “Nora, kamu kenapa di sini?” Gawat, tiba-tiba saja Om Andi bangun. Aduh, ketahuan aku. Bisa-bisa dituduh mencuri nanti.“Nggak, Om, tadi ada tikus masuk ke kamar, jadi Indah kejar ternyata nggak ada. Maaf, ya, Om.” Lekas aku keluar daripada disangka wanita murahan. Walau memang iya, tapi aku bukan pelacur yang menjajakan tubuhku pada banyak pria. Hanya dengan Bang Angga saja. Satu lelaki dari pertama kali sampa
Aku masih berbaring di atas ranjang kapuk ini, dengan dia. Iya, dia yang sama sekali tidak aku lihat wajahnya karena berada dalam kegelapan. Bahkan bau tubuhnya saja tidak ada. Aku mulai kesal padanya, karena dia tidak melakukan hal yang lebih jauh. Bahkan bajuku saja masih melekat tanpa tersingkap sama sekali. Terasa ada keraguan, aku tahu itu. Lebih anehnya lagi aku. Anggap saja aku pengemis cinta, bukan cinta, tepatnya penghamba kenikmatan semu. Kenapa semu? Karena yang aku lakukan adalah dosa lagi. Isi kepalaku antara ingin menyudahi lebih dahulu atau biarkan saja dia menguasai diri ini. Atau biarkan saja dia berbuat sesuka hati. Bodoh sekali aku jadi orang. Harusnya aku punya harga diri, tapi aku terlihat murahan sekali. Dia mengembuskan napas hangat dan menerpa wajahku. Dia ingin beranjak, aku menahannya. Aku memeluk dia sangat erat, ingin mencari tahu bentuk tubuh siapa ini. Lagi-lagi aku bersikap konyol. Lelaki yang pernah aku peluk erat hanya Bang Angga saja dan orangnya su
“Dulu, waktu mendiang Nora Syafitri masih hidup, dia punya cita-cita ingin punya rumah tingkat dua dengan kayu paling mahal. Di tingkat dua nanti ada empat kamar. Supaya anak-anak kami kalau pulang kampung membawa istri dan anak-anaknya tidak bingung lagi tidur di mana.” Again dia bercerita tanpa aku minta. “Om, Indah nggak nanya loh?” “Kalau tidak bertanya, terus kenapa ada di lantai dua kemarin malam?” “Kepo aja, emang nggak boleh?” “Om nggak tahu ada semua bahasa anak muda, Nora. Jadi pakai istilah biasa-biasa saja.” “Cuma ingin tahu, Om.” Aku ingin membuka satu pintu kamar yang tertutup. Lekas Om Andi memegang telapak tanganku. “Tidak semua yang kamu ingin tahu, harus dicari tahu. Ingat kamu tamu di sini.” “Iya, tahu, Om, besok juga Indah bakalan pulang.” “Sudah pesan tiket speed boat?” tanyanya lagi. “Belum. Nggak tahu mau pesan sama siapa.” “Ya sudah, biar Om yang urus semua. Kamu sedang tidak ada kerjaan, bukan? Tolong masak di dapur, sudah Om belikan bahan. Jangan bi
Di dalam kamar, aku tidak bosan-bosannya memandang perhiasan emas pemberian Om Andi. Ke mana tadi marahku dengan dia? Semua menguap begitu saja tanpa ada jejak. Ingin kasihan dengan diri sendiri sebenarnya. Betapa mudahnya aku dibujuk dengan kilau harta dunia. Ya, orang hidup juga butuh biaya. Aku mendengar suara Om Andi memanggilku. Lekas aku rapikan rambut yang berantakan dan baju aku turunkan agar menutupi pinggang. Aku minta beliau menunggu sebentar. Satu set perhiasan emas itu aku gunakan agar aku terlihat lebih cantik. Apakah wajar yang aku lakukan hal seperti ini? “Iya, Om, kenapa?” tanyaku dengannya, nada bicaraku tidak lagi tinggi seperti tadi. Kurasa bukan Om Andi pelakunya. Mungkin saja … iya, bisa jadi itu arwah Bang Angga. “Ini tiket speed boat untuk pulang besok.” Calon mertuaku menyodorkan lembaran tiket yang masih baru. Senyumku langsung sirna.“Oh, iya ,ya, besok Indah sudah pulang.” Aku mengambil dan mengucapkan terima kasih. Ingin kuganti uang tiketnya tapi dia t
“Om besok mengantar kamu agak siang ke pelabuhan. Karena pagi harinya harus mengurus getah untuk ditimbang. Kamu sendirian pagi di rumah, ya.” “Oke, Om,” jawabku santai aja.Sampai di rumah aku memasak bahan yang diantar oleh orang ke rumah Om Andi. Walau sebenarnya aku sangat lelah. Ada kepiting, lalu aku buat saja sup ditambah dengan jagung rebus. Makan malam kami berlangsung cepat. Kata Om Andi dia kelelahan. Kami masih ke kamar masing-masing. Aku mengganti baju tidur dengan gaun yang pendek sampai ke lutut. Tidak ada lapisan luar lagi karena malam ini cuaca agak hangat. Terasa dari ujung rambut sampai kaki. Aku membaringkan diri di kasur kapuk. Selama di sini ponselku seperti tidak ada gunanya. Detik demi detik mataku berkedip. Perlahan-lahan wewangian menyejukkan itu datang lagi dan membuatku lemas. Aku tidak bisa bergerak dibuatnya. Kembali dalam kepasrahan dan kepatuhan. Namun, tidak ada yang datang, sangat lama aku menunggu. Malam semakin gelap dan aku tidak bisa melihat
Bagian 9 Mimpi Berjalan Satu hari ini aku sudah melewatkan keberangkatan speed boat ke kota. Tiga hari kapal kecil itu akan kembali mengangkut penumpang. Sejujurnya aku menyesal tidak mengikuti nasehat abang awak speed itu. Agar langsung pulang satu jam kemudian. Mana sekarang aku sakit, dan harus diurus orang pula, yang tak lain adalah calon mertuaku sendiri. Dari tadi pagi, sudah terhitung dua kali beliau membantuku makan. Bubur yang dibuat rasanya berbeda-beda terus. Tidak tahu dengan malam ini. Kenapa dia sangat sibuk? Mungkin karena dia kasihan denganku. Aku tidak bisa bangun, kecuali urusan ke kamar mandi. Itu pun jalan memegang dinding. Om Andi melihat tapi tidak mau menolong. Ya, mungkin dia lelah. “Nora, Om boleh izin masuk?” Suaranya membuyarkan lamunanku. “Iya,” jawabku. Lagi pula dia sudah bolak-balik ke sini dari pagi. Apa yang harus aku curigakan?“Sudah bisa makan sendiri. Ini ada bubur pakai kepiting. Kamu harus makan baru bisa minum obat.” Ceramah yang sama, suda
Aku turuti saja apa kata Om Andi. Rumah benar-benar aku asapi semuanya dari lantai bawah dahulu. Di kamarku tidak usah saja, karena aku merasa seram. Masih teringat dengan sosok yang mendekap hingga membuatku kecanduan. Semoga saja dia tidak pernah datang lagi, karena kalau datang aku takut aku yang akan menyambutnya. “Permisi, Om, Indah masuk kamar, ya.” Aku berbicara sendirian agak kuat seolah-olah orangnya ada di rumah. Ya, si Om sudah pergi karena ada pekerjaan katanya. Tadi dia sempat bertanya apakah aku ada titip. Tentu saja, aku meminta bolu atau apalah roti begitu. Sudah kusodorkan uang tapi dia tidak mau. Ya, terserah saja asalkan barang datang. Jengkal demi jengkal kamar Om Andi aku asapi. Mulai dari sudut ke sudut. Lalu aku memutari kasurnya yang ditutup kelambu. Apa, ya? Pikiranku jadi ke mana-mana. Tadi malam aku tidur di sana. Persis seperti pengantin, untung saja bajuku masih tertutup. Ah, sebenarnya apa yang aku harapkan? Isi kepalaku tidak jelas. Aku memegang sprei
“Oh, iya, tadi kamu bilang takut. Takut apa?” tanya Om lagi. “Takut hantu, Om. Yang ada di lantai dua kamar paling pertama. Dia ada di dalam cermin rambutnya acak-acakan, dia suruh Indah pergi dari sini,” jawabku sambil membuka bungkusan kue bolu. Aku potong pakai pisau dapur. Tak lupa aku berikan beberapa potong buat Om Andi. Sepertinya kami akan bercerita banyak. “Terus kenapa kamu tidak pergi setelah disuruh sama dia?” Benar, kan, dia menaggapi cerita soal hantu di atas. “Om pelihara hantu, ya? Apa jangan-jangan hantu kepala terbang itu peliharaan Om, terus yang masuk ke kamar Indah, terus dia …” Aku terpaksa berhenti. Malu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamarku. Karena aku tidak menolak sama sekali. Justru aku menahan agar tubuh itu tidak hengkang dari pelukanku. “Terus apa? Kenapa berhenti.” Om Andi meminum air putih usai menghabiskan sepotong bolu. “Terus Indah bangun, makhluknya berniat jahat membunuh Indah.” “Oh, kirain berniat yang lain.” Senyumannya begitu je