Julia turun dari motor besar milik Jacob dengan hati-hati. Pertama kali baginya naik ke boncengan motor seseorang. "Terima kasih banyak untuk hari ini," ucap sang gadis sambil tersenyum begitu kakinya sudah berpijak di tanah.
Jacob melepas helmnya, hanya untuk menatap wajah bersemu Julia yang terlihat begitu menggemaskan, ia tertawa. "Sama-sama," ucapnya seraya menatap sang gadis. Ia menaruh helmnya dengan posisi yang kurang tepat.
Julia tersenyum, tetapi begitu melihat helm sang pria berguling karena tak ditaruh dengan baik, ia refleks berseru, "Ah, AWAS! Helmmu hampir!" Julia buru-buru menangkap pelindung kepala Jacob tersebut sebelum menyentuh tanah beraspal yang keras. Ia lalu menaruhnya di tangki bensin yang berada di depan sang lelaki dengan hati-hati.
"Oh! Terima kasi—" Ucapan Jacob terputus saat Julia yang menundukkan kepalanya terpekik pelan, saat ujung dari tusuk rambutnya tersangkut di jaket hitam sang pria.
Entah karena apa benda berujung sebuah permata hijau atau batu giok itu bisa tersangkut di sana. Benar-benar merepotkan saja. Lain kali, Julia tak mau lagi memakai tusuk rambut yang menganggu seperti ini. Lagipula, ia tak suka bentuknya. Kuno.
"Sebentar, aku akan coba melepasnya," ucap Jacob.
Julia hanya diam saja saat pria dengan tinggi sekitar 183 cm itu menyentuh puncak kepalanya dengan lembut. Detak jantung sang gadis terpompa begitu cepat di dalam sana. Julia hanya bisa diam ketika Jacob kembali bersuara.
"Ah, tunggu sebentar, aku sedikit kesulitan menariknya," ucap Jacob sekali lagi, takut jika Julia merasa tak nyaman dengan posisi keduanya yang terasa begitu dekat.
"Sudah selesa—ah ...." Ucapan Jacob kembali terhenti saat kedua matanya menyaksikan helaian cokelat panjang milik Julia jatuh tergerai dengan indahnya.
Tusuk rambut Julia yang tadi Jacob lepas, rupanya membuat rambut sang gadis langsung jatuh dan membingkai wajah cantiknya yang berbentuk oval.
Tersentak karena kaget, membuat Julia buru-buru menutup wajahnya, merasa malu karena rambutnya terlihat berantakan di depan laki-laki yang ia sukai. Padahal dia sudah berdandan dengan rapi, agar terlihat menarik di pertemuan pertama mereka.
"Tidak, jangan menutup wajahmu," cegah Jacob sambil menangkap kedua tangan Julia, dan menurunkannya perlahan. Iris mata keduanya yang sama-sama berwarna cokelat gelap phn bertemu. Wajah mereka terasa begitu dekat. Bahkan Julia bisa merasakan embusan napas sang lelaki.
"Em, jujur ... aku lebih suka rambutmu yang tergerai bebas seperti ini." Jacob menurunkan lengan Julia secara perlahan. Tatapan keduanya masih terhubung dan tak terputus sedari tadi. Lelaki itu lalu tersenyum miring, bentuk wajahnya yang agak lonjong terlihat begitu tirus. "Kau terlihat lebih cantik."
Julia merasa napasnya tersendat di tenggorokan, pujian Jacob terngiang secara terus-menerus di dalam otaknya. Lelaki itu mengatakan bahwa Julia cantik, ia tidak sedang bermimpi, kan? Julia merasa senang sekali.
Gadis itu lalu menatap keseluruhan penampilan Jacob dan ia baru menyadari jika Jacob memakai anting magnet di telinga kanannya. Terlihat begitu tampan dan seksi.
Keduanya sama sekali tak mengubah posisi selama beberapa saat, hingga dering telepon masuk membuyarkan pikiran masing-masing. Julia refleks memalingkan wajah, tangan keduanya yang sudah terlepas membuat gadis itu menundukkan kepala. Sambil mengelus jejak sang lelaki yang tertinggal di lengannya.
Gadis itu hampir berpikiran untuk tidak akan pernah membersihkannya, tetapi itu hanya khayalannya semata.
Jacob terlihat buru-buru merogoh celananya, dan saat itu pula Julia tersenyum melihatnya. Rupanya telepon masuk tersebut berasal dari ponsel Jacob. "Dari siapa?" tanya Julia ingin tahu sambil mendekatkan wajah ke arah sang Youtuber idolanya.
Jacob yang sedang mengetik pesan karena teleponnya mati begitu ia hendak mengangkatnya, langsung terlonjak kaget saat Julia berbicara di sebelah wajahnya. Lagi-lagi napas keduanya begitu dekat.
"Ah, ini dari adik laki-lakiku. Dia memintaku untuk segera pulang dan menjaga rumah karena ia hendak pergi ke suatu tempat," jawab Jacob seraya menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
Julia terlihat tidak enak dengan Jacob, pria itu sampai dicari oleh adiknya, dan itu berarti ... Jacob sangatlah sibuk, pikir sang gadis. "Tak apa, kau pulang saja duluan. Kau sudah berbaik hati mengantarku ke dekat halte bus ini," jawabnya sambil tersenyum manis."
Jacob melirik sang gadis, sedikit terpana melihat Julia menyunggingkan senyum yang begitu menawan. Kemudian, akhirnya ia menghela napas pelan. "Harusnya aku mengantarkanmu sampai rumah, Julia. Bukan di sini," ucapnya tak enak hati.
"Ah, tak apa kok." Mendapat gelengan kepala dari Julia, membuat Jacob kembali menghela napas perlahan. Semoga gadis itu baik-baik saja. "Baiklah. Hati-hati di jalan ya," pesannya kepada sang gadis. "Aku pergi dulu."
"Ya, kau juga!" ucap sang gadis seraya melambai ke arah Jacob.
Julia tak pernah mendapatkan perlakukan istimewa dari lawan jenis sebelumnya, hatinya bimbang. Mereka berdua akan berpisah, dan entah mengapa ia tak rela pria itu pergi meninggalkannya begitu saja.
Apa ia harus jujur sekarang? Julia menggigit bibir bawahnya, suatu kebiasaan saat ia kebingungan atau dilanda perasaan cemas.
"Ja-Jacob! Tunggu sebentar!" seru Julia pada akhirnya. Ia telah mengambil keputusan yang akan menentukan kisah hidupnya. Pria yang dipanggil namanya oleh sang gadis menoleh, sebelum sempat mengenakan helm. "Ya?" sahutnya.
Julia menarik napas sebentar, lalu mengembuskannya kembali. Sebelum berkata dan mengutarakan semuanya, ia tatapi kedua mata Jacob dalam-dalam. Jacob yang sedari tadi memperhatikan, hanya diam saja menyaksikan bungkamnya sang gadis.
"Aku ... sepertinya aku ...." Ucap Julia terbata-bata. Begitu sulit baginya untuk berterus terang. Julia mencoba sekali lagi. "Jacob, sepertinya aku benar-benar menyukaimu."
Memang terlalu cepat, tetapi Julia tidak ingin menunggu lebih lama lagi dari ini.
Julia tidak bisa lagi memendam perasaannya lebih lama kepada pria itu. Dua bulan sudah cukup baginya untuk menyandarkan hati pada Jacob. Jujur saja, ia takut ada gadis yang lebih dulu maju dan berterus terang kepada pria itu. Jacob kaget, ia benar-benar terkejut dengan pengakuan Julia. Gadis itu langsung menundukkan kepala seusai melontarkan isi hatinya.
Hening yang terjadi cukup lama membuat Julia langsung berspekulasi buruk. Mungkinkah Jacob menolaknya? Gadis itu tak henti-hentinya melantunkan harapan, berharap perasaannya tersampaikan kepada pria idamannya. Tiba-tiba saja ia merasakan ada kehangatan yang mendekapnya, serta aroma maskulin yang kelak akan selalu ia puja.
Julia menengadahkan wajah perlahan, matanya sontak terbelalak. Jacob tengah memeluknya erat sekarang. "Aku senang mendengarnya, terima kasih dan maaf," tutur Jacob dengan lirih.
Pikiran buruk langsung menghantui kepala Julia. Apa dugannya benar? Lelaki itu akan menolaknya. "Maaf untuk apa?"
Jacob langsung melepas pelukannya, lalu berkata, "Karena sudah membiarkanmu mengucap itu lebih dulu dariku."
Julia tercengang. Apa maksud Jacob? Mungkinkah perasaannya terbalas? Secepat itukah?
"Harusnya aku yang mengucapkan hal itu padamu, Julia." Ucapan Jacob membuat gadis yang sebelumnya murung kembali ceria. "Benarkah? Ja-jadi, apa tanggapanmu?" tanya sang gadis memberanikan diri.
Jacob menepuk-nepuk kepala Julia yang lebih pendek darinya. "Aku terima perasaanmu," jawabannya langsung membuat Julia memekik bahagia. Jacob kembali membawanya dalam pelukan hangat, di bawah halte bus yang sepi karena hujan baru saja reda.
Sesederhana itu. Tak peduli siapa yang mengucapkan lebih dulu, selama kita masih memiliki kesempatan untuk menyatakan, maka beranikan saja.
+++
Di sebuah bar yang sepi dari pengunjung—karena buka di siang hari—terlihat seorang pria berjas rapi sedang duduk sendirian di salah satu meja paling ujung, jauh dari pintu masuk.
Dari penampilannya mulai atas sampai ke bawah, semua bermerek. Rambutnya disisir rapi ke belakang, di lengan kirinya terdapat jam tangan Rolex keluaran terbaru, sepatunya berlabel Testoni Dress dengan harga selangit. Kumis tipis menghiasi filtrum sang lelaki, menambah daya tariknya yang terlihat mematikan.
Putra sulung keluarga Peterson tersebut duduk diam mengamati orang-orang yang berlalu lalang dari kaca jendela yang ada di sebelahnya. Tak ada ekspresi yang ia tunjukkan selain tatapan dingin yang menusuk. Ia tak henti-hentinya melirik jam di tangan. Tampaknya, ia sedang menunggu seseorang.
"Halo!" sapa seseorang dengan ramah. Louis—pria berkumis tipis meliriknya dengan alis yang naik sedikit. "JR?" tanyanya kepada seorang lelaki yang baru saja menyapanya. Pria muda berjas hitam yang berdiri tak jauh darinya tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya perlahan.
Louis memberi isyarat kepada sosok tersebut untuk duduk di depannya. "Kau salah satu anggota AcO?" tanya Louis langsung ke inti pembicaraan, ia tak ingin berbasa-basi dengan orang asing. Lelaki yang dipanggil JR hanya tertawa menanggapinya. Sesaat kemudian, ia menjawab, "Tentu, aku salah satu dari mereka. Apa kau sedang ingin membutuhkan jasaku?"
Louis diam dan mengambil sesuatu dari bawah kakinya. JR menatap sebuah koper berwarna cokelat gelap yang baru saja ditaruh oleh Louis di atas meja dengan tatapan bertanya. "Apa ini?"
Louis dengan sigap menjawab pertanyaannya, "Ada sejumlah bayaran jika kau berhasil membunuh gadis yang aku ingin kau melenyapkannya untuk selamanya."
JR terlihat antusias. Ia menarik koper yang disodorkan kepadanya, lalu memeriksa isinya dengan saksama. Wajahnya langsung berseri, hingga lesung pipinya terlihat. "Hanya itu saja permintaanmu, Kak?" tanya lelaki berinisial JR kepada seseorang yang telah memberinya tugas.
Louis mengangguk. "Ya, dan aku ingin kau membuatnya menderita," ucapnya datar, ia lalu merogoh saku dan mengambil ponsel, hingga tak lagi memperhatikan lelaki yang sedari tadi sibuk menatapnya. "Dia harus dibuat sangat, sangat, sangat menderita. Kalau perlu, siksa dulu dia sebelum membunuhnya secara perlahan. Mengerti?"
"Siap, dimengerti, Kak." Louis lantas memandang JR dengan tatapan tidak suka. "Berhenti memanggilku dengan panggilan itu. Aku bukan kakakmu," tegasnya memberi tahu. JR tertawa terbahak-bahak.
"Ah ... maafkan aku, tetapi itu sudah menjadi prosedur di organisasi kami," jawab JR dengan tenang. "Organisasi kami menganggap pelanggan adalah 'Kakak' yang harus dihormati. Tak peduli apa status dan jenis kelaminnya, selama mereka telah menyewa jasa kami."
Louis mendengkus pelan.
"AcO, huh? Organisasi dunia hitam yang bekerja menawarkan jasa untuk menculik dan membunuh seseorang," terang Louis terkesan menjelaskan. Matanya beradu dengan iris cokelat terang lelaki muda di depannya. "Hng, aku mengharapkan hasil yang memuaskan darimu."
JR merapikan mantel kulit berwarna cokelat tua miliknya sebelum berdiri dan tersenyum miring kepada Louis. "Tentu, aku akan mulai melaksanakan rencana ini secepatnya," jawab JR sambil mengeluarkan kacamata hitam dari dalam saku. "Kupastikan kau tidak akan pernah menyesal untuk ini."
Louis tampak acuh. "Aku tak pernah menyesal untuk menghukum gadis yang fotonya ada di dalam koper itu," ujarnya angkuh. JR lagi-lagi tersenyum dan merapikan kerah bajunya yang berwarna putih.
"Aa ... seorang gadis? Kau suka sekali menyiksa perempuan ya," tukas JR dengan gaya bicara yang terdengar berbeda dari sebelumnya. Pemuda yang terpaut beberapa tahun dari Louis itu pun menaruh tangan di dada, dan permisi dari hadapan Louis secepatnya.
Setelah hanya tersisa dirinya seorang di sana, Louis pun menyeringai. Adrenalin luar biasa memenuhi dadanya yang telah lama sesak karena dipenuhi kebencian.
"Tunggulah ajalmu, Adik Kecilku," gumamnya sambil memandang ke luar jendela. Ini akan jadi semakin menarik ke depannya, pikir Louis sebelum beranjak pergi dan meninggalkan uang di atas meja bar.
+++
Seorang gadis berambut cokelat panjang terlihat sedang bersenandung riang di atas kasur empuk miliknya. Ia menatap langit-langit kamar yang dicat dengan warna putih susu. Dia adalah putri dari keluarga Peterson yang tengah kasmaran—Julia.
Julia saat ini sedang dalam keadaan yang berbunga-bunga, tak menyangka jika usahanya mendekati Youtuber kesukaannya selama kurang lebih dua bulan membuahkan hasil yang manis. Lelaki itu menerima perasaannya minggu lalu, dan itu berarti ... Jacob juga menyukainya.
Betapa gugupnya Julia hari itu saat mengungkapkan perasaannya kepada Jacob, tetapi beruntung perasaannya berbalas saat lelaki itu memeluknya dengan erat. Julia langsung terkikik geli saat mengingat lelaki pujaannya yang bersikap sangat manis.
Ponselnya yang ada di atas meja berdering lama, tanda sebuah telepon masuk. Bergegas Julia turun dari ranjang dan meraihnya. "Dari Jacob," bisiknya kegirangan. Julia lantas membawa tubuhnya kembali ke ranjang dan berbaring dengan nyaman sebelum mengangkat panggilan suara dari sang kekasih. "Halo?"
Selamat pagi, Sayang.
Julia langsung tersipu saat mendengar panggilan manis dari Jacob. Ia lalu mengatakan kepadanya bahwa penampilan lelaki itu sama sekali tak cocok dengan panggilan tadi, dan sang kekasih hanya tertawa terpingkal-pingkal di seberang telepon sana.
Keduanya lalu berbincang banyak hal, seolah tidak pernah kehabisan topik pembicaraan.
"Jack," panggil Julia disela pembicaraan mereka. Jack adalah singkatan nama sang kekasih yang dibuat sendiri oleh Julia. Jacob menyahutinya dengan gumaman, 'Hmm?'
Jantung Julia kembali berdegup kencang. "Semoga ... hubungan kita akan berakhir membahagiakan, tanpa ada duka dan air mata."
Tanpa Julia ketahui, Jacob yang mendengarkannya tersenyum dan mengaminkan dalam hati. "Tentu. Berjanjilah untuk tak saling menyakiti."
Lelaki itu tiba-tiba teringat dengan ucapan seorang pria yang sudah ia anggap keluarganya sendiri. Pria itu berkata kepada Jacob untuk menikmati hidup apa pun yang terjadi, karena masa tidak akan pernah terulang, dan Jacon berharap ... dengan adanya gadis yang ia sayangi ini, ia bisa melewati hidup dengan jalan yang jauh lebih baik lagi dari sebelumnya.
Ya, semoga saja.
Terkadang, dalam sebuah mimpi itu ada sebuah hal yang sangat indah yang tidak dapat ditemukan begitu saja di dunia nyata. Dalam lelapnya di sebuah sel sempit yang harus dibaginya bersama para tahanan penjara yang lain, Louis melihat sosok bidadari cantik yang selama ini selalu dirindukan olehnya. "Maria," panggil Louis penuh haru. Air matanya menetes ketika wanita itu tersenyum penuh kelembutan padanya. Senyum yang selalu bisa menentramkan dan menenangkan kondisi hatinya. Sosok bergaun putih itu melambai ke arah Louis yang langsung berlari menghambur kepada sang wanita. "Maria! Maria!" teriak Louis penuh semangat. Kerinduan di hatinya ini sangatlah menyesakkan dada. Dia rindu wanita ini. Sangat. "Louis," panggil Maria seraya mengangkat tangannya perlahan. Maria lalu mengelus rahang sang pria yang mendadak berubah menjadi seorang remaja berusia 17 tahun. Rupanya persis seperti dirinya 10
Sepekan setelah berkunjung ke rumah keluarga Peterson, Jacob bertandang sendirian ke penjara kota, untuk menjenguk adiknya maupun teman-temannya yang lain. Tanpa sepengetahuan kekasihnya, Jacob pergi menemui Javier. Meski dia memasang ekspresi seolah baik-baik saja di hadapan Julia, sebenarnya pria itu tengah berjuang melawan kepedihan di hatinya mengenai surat usang itu. Jacob menceritakan semua yang terjadi kepada Javier, tentang ibu mereka yang semasa hidupnya hanya berpura-pura gila demi menjaga tumbuh kembang mereka. Dia juga memperlihatkan surat yang selama ini disimpan dengan baik oleh orang yang seharusnya mereka benci, tetapi mendadak ada keraguan di hati keduanya, setelah mengetahui kebenaran yang tersimpan rapat. Javier menangis sesenggukan di balik kaca yang memisahkannya dengan pengunjung, ketika membaca surat yang dituliskan oleh ibunya yang telah tiada. Selama ini, dia hi
Jauh sebelum hari pernikahan Julia dan Jacob berlangsung, tepatnya masa-masa sebelum mereka berdua mendapatkan kerja di sebuah perusahaan, Julia pergi ke rumah orang tua angkatnya yang telah menjaga dan merawatnya dengan baik selama ini. Tentu dia tak pergi sendirian ke rumah keluarga Peterson, karena ada Jacob yang dengan setianya pergi mendampingi kekasihnya itu datang berkunjung ke sana. Setelah hari di mana Julia ditemukan oleh pihak kepolisian dan mendengar kenyataan bahwa dia bukanlah anak kandung dari keluarga yang selama ini mengasuhnya, membuat Julia syok berat. Julia sepenuhnya percaya dengan keluarga yang selama belasan tahun lamanya merawat dirinya dari kecil hingga tumbuh dewasa, mendadak kecewa karena tak pernah sekalipun mereka mengatakan kebenaran tentang keberadaannya di keluarga itu. Tentang dia yang bukan merupakan anak kandung dari keluarga Peterson yang selama hampir 19 tahun ini, nama
Pernikahan Julia dan Jacob yang dilangsungkan di sebuah gereja Katolik tak jauh dari tempat tinggal mereka berjalan lancar dan juga khidmat, sama seperti harapan kedua orang yang saling mencinta itu akan hari bahagia yang sudah keduanya tunggu-tunggu sejak lama. Awalnya Julia merasa sangat gugup saat dituntun oleh sang papa—Roger—menuju altar pernikahan untuk menemui kekasih hatinya, Jacob, yang saat itu mengenakan jas hitam yang terbuat dari sutra pilihan. Jika saja tak ada campur tangan dari kedua orang tuanya, mungkin saja pernikahan Julia tidak akan semeriah dan juga semewah ini. Memang, sebelumnya mereka berdua sudah mengatakan akan membiayai sendiri pernikahan mereka, tanpa menerima bantuan sedikit pun dari Roger dan Rissa. Namun, setelah menghitung biaya yang akan dikeluarkan saat lamaran dan pernikahan nanti, mereka pun syok karena tabungan mereka ternyata masih sangat tidak cukup untuk
Ada banyak orang pernah berkata, carilah seorang pemimpin, bukan seorang bos. Mengapa? Karena pemimpin itu akan peduli dengan orang yang bekerja dengannya. Mereka bekerja di tempat yang sama, dengan derajat yang berbeda, tetapi diperlakukan sama rata. Diperlakukan dengan baik. Sedangkan bos, hanya akan memberi perintah tanpa peduli kepada anak buahnya. Namun, tak semua pemimpin atau bos bersikap demikian. Ini hanya sebagian kecil saja, sikap-sikap yang bisa ditemukan di masyarakat sekitar. Tak ada seorang pun yang tak ingin memiliki satu atau dua orang atasan yang sangat baik di tempat kerja. Dua di antara pekerja yang merasa demikian adalah Jacob dan Julia. Sepasang kekasih yang berencana menikah di tahun 2020 pada bulan Agustus itu pun merasa beruntung, karena keduanya sama-sama bekerja di Brunner Corporation. Salah satu perusahaan yang cukup bagus untuk melatih kemampuan kerja mereka.  
Julia melirik kekasihnya, begitu pula yang dilakukan oleh Jacob. Keduanya saling tatap dalam diam. Keduanya sama sekali tak menyangka jika mereka akan makan siang bersama dua orang atasan mereka di kantor. Tak ada ekspektasi sebelumnya bahwa dua orang paling berpengaruh di tempat kerja mereka itu akan duduk tepat di hadapan mereka. Awalnya, kecanggungan ini bermula saat Jake dan Melvin tiba di kafetaria dekat kantor untuk makan siang bersama. Namun, setelah mengamati selama beberapa detik, mereka sadar kalau tempat itu sudah penuh dengan orang-orang yang juga sedang mencari makanan untuk mengganjal perut mereka. Mulanya Melvin hendak beranjak pergi ke tempat lain, tetapi Jake dengan cepat menarik jasnya dan membawa pria itu ke meja di mana ada dua orang yang pernah bertemu dengan mereka beberapa hari yang lalu. Dan inilah yang terjadi. Kecanggungan yang dirasakan oleh dua orang pekerja yang harus duduk deng