Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, Melisa sudah kembali beraktifitas seperti semula. Dia pun sudah mulai mengajar di sekolah yang baru.
Melisa mencoba melupakan batalnya pernikahannya dengan Aris. Dia memulai hidup baru kembali tanpa mengingat apa yang baru saja dia alami."Selamat pagi, Bu," sapa Dita rekan sesama guru Melisa yang sudah datang terlebih dahulu."Selamat Pagi, Bu Dita. Sudah sampai dari tadi?" Melisa meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di samping Dita."Baru saja tiba, Bu," jawab Dita dengan ramah sembari merapikan buku di atas mejanya.Melisa tersenyum menanggapi jawaban Dita, dia juga sibuk menata buku yang akan dia bawa mengajar. Melisa sudah tidak sabar untuk kembali menyapa murid-muridnya. Ada satu murid yang sangat membuat Melisa tertarik, nama murid tersebut Alisa, nama yang hampir mirip dengannya.Melisa sudah mulai dekat dengan Alisa dan juga mama Alisa. Kadang jika mama Alisa terlambat menjemput Alisa, Melisa yang menemani Alisa menunggu sang mama."Bel sudah berbunyi, saya ke kelas terlebih dahulu, Bu Dita," pamit Melisa sembari bangkit dari duduknya."Ah, iya Bu. Saya sebentar lagi juga sudah siap." Guru muda itu pun mengikuti Melisa bangkit dari duduknya.Melisa melangkahkan kaki dengan ringan menuju kelas. Saat sudah sampai, dia melebarkan senyumnya ketika melihat anak didiknya sudah duduk rapi di dalam kelas. Melisa segera masuk dan berdiri di samping meja guru."Selamat, pagi anak-anak," sapa Melisa ramah dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibirnya."Selamat pagi, Bu Guru," jawab para murid Melisa serempak.Melisa pun duduk di kursinya dan memulai kegiatan belajar mengajar. Anak didik Melisa menyimak dengan seksama apa yang diajarkan oleh Melisa.***[Mbak maaf, aku akan sangat terlambat menjemput Alisa. Bisa tolong temani dia?]Sebuah pesan masuk dari mama Alisa membuat Melisa melebarkan senyumnya. Sejak pertemuan pertama Melisa dan juga Alina—mama Alisa, mereka sepakat untuk tidak memanggil dengan sebutan ibu, karena jarak usia mereka yang tidak terlalu jauh. Akhirnya mereka pun menjadi teman dekat.Melisa tak henti-hentinya melebarkan senyum, dia merasa senang karena bisa menghabiskan waktu lebih lama bersama gadis kecil berlesung pipit itu.[Bolehkah aku mengajak Alisa jalan-jalan, Mbak?]Melisa membalas pesan Alina meminta ijin untuk pergi bersama Alisa ke arena bermain di pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari sekolah.[Boleh, Mbak. Nanti jika aku sudah selesai, aku akan menjemput Alisa.]Satu pesan kembali masuk di ponsel Melisa.Melisa tersenyum cerah membaca balasan pesan dari Alina. Dia segera mengetik balasan atas pesan tersebut.[Terima kasih, Mbak Alina]Melisa menutup ponselnya, lalu dia memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas, baru saja lonceng tanda berakhirnya kegiatan belajar mengajar telah berbunyi. Sebentar lagi para murid akan keluar dari kelas untuk pulang.Melisa segera bangkit dari duduknya dan melangkah cepat keluar dari ruang guru. Tapi tanpa sengaja Melisa menabrak seseorang yang berjalan melewati ruang tersebut."Ah, maaf. Saya tidak sengaja," ucap Melisa merasa tidak enak."Tidak apa-apa, Ibu Melisa." Suara bariton tersebut membuat Melisa mendongak menatapnya. Senyum teduh menghiasi bibirnya, Melisa langsung menunduk begitu tahu siapa yang telah dia tabrak."Pak Ardan. Sekali lagi maaf, Pak," ucap Melisa gugup berhadapan dengan Ardan. Setiap bertemu dengan Ardan, dia selalu merasa gugup. Entah karena dia segan atau karena alasan lainnya, Melisa tidak tahu."Tidak apa-apa, Bu Melisa," ucap Ardan ramah."Kalau begitu saya permisi, Pak." Melisa langsung melangkah pergi begitu pamit pada Ardan. Dia tidak mau berlama-lama dalam keadaan canggung berada di depan Ardan.Sedang Ardan masih berdiam diri melihat kepergian Melisa, dia tersenyum melihat Melisa berjalan dengan terburu-buru. Tingkah salah satu guru di sekolahannya itu sedikit aneh. Tetapi mampu membuat Ardan penasaran.Ardan adalah kepala sekolah tempat Melisa mengajar. Pria muda itu menjadi kepala sekolah di usia yang masih muda setelah menamatkan pendidikannya.Pria dengan perawakan tinggi tersebut mulai pergi setelah bayangan Melisa menghilang dari pandangannya.Sementara Melisa pergi menuju kelas Alisa, dia tidak mau Alisa menunggu dirinya terlalu lama."Alisa ...," panggil Melisa begitu melihat sosok Alisa yang sedang berdiri di samping pintu kelas."Bu Melisa."Senyum terbit di wajah cantik Alisa, dia segera berlari menuju ke arah sang guru."Jangan lari, Al. Nanti kamu terjatuh," ucap Melisa begitu Alisa sampai di depannya.Alisa mengangguk, gadis berkuncir dua itu memeluk Melisa dengan sayang. Melisa dan Alisa memang sudah dekat sekali, jadi tidak heran jika Alisa bertingkah manja pada Melisa. Bahkan Melisa tidak keberatan sama sekali dengan tingkah manja Alisa."Al, mau pergi ke taman bermain?" tanya Melisa sembari menyejajarkan diri dengan Alisa."Mau, tapi mama?"Melisa mengelus pipi Alisa, "Mama akan terlambat menjemput Alisa, jadi mama memberi ijin kita bermain sebentar.""Benarkah?" tanya Alisa dengan mata berbinar.Melisa mengangguk menjawab pertanyaan Alisa. Sementara Alisa langsung melompat-lompat senang."Maaf, saya tidak sengaja." Naya menunduk membantu seorang wanita yang sedang memungut barang belanjaannya yang berserakan."Tidak apa-apa, saya juga tidak melihat jalan dengan benar," sahut Dara, wanita yang ditabrak oleh Naya. Dia masih fokus mengumpulkan barang-barangnya yang jatuh.Setelah selesai mengumpulkan barang-barang tersebut, Naya menyerahkannya kepada Dara yang masih menunduk."Terima kasih banyak." Dara mendongak melihat Naya, netranya langsung membulat begitu melihat Naya lah yang ada di hadapannya. Bibir Dara seolah kelu, dari dulu dia ingin sekali bertemu dengan Naya, akhirnya setelah sekian lama, Dara diberi kesempatan untuk bertemu dengan Naya tanpa terduga-duga."Sama-sama," ucap Naya sembari tersenyum teduh. "Maaf, apakah ada yang terluka?" tanya Naya.Dara masih membeku, dia belum bisa berkata-kata karena terkejut melihat Naya. Dara masih mematung memandang Naya takjub."Maaf, apakah benar ada yang sakit? Kenapa Mbak diam saja?" tanya Naya lagi sembari menggoyang
"Hai, Mel. Apa kabarmu?" tanya Naya sembari tersenyum. Kemudian dia menunduk diam sejenak, kelopak matanya mulai mengembun, dirasakannya usapan lembut di punggungnya.Naya menoleh, melihat Alisa yang sudah beranjak remaja. Tidak terasa lima tahun berlalu begitu cepat sejak kepergian Melisa. Operasi pencangkokan jantung Alina berjalan dengan lancar, Alina sudah sehat kembali dengan jantung baru dari Melisa. Bahkan anak-anaknya sudah tumbuh dengan sehat.Naya dan juga keluarganya tidak bisa melupakan jasa Melisa, mereka rutin mengunjungi makam Melisa di setiap tanggal kepergiannya.Masih teringat dengan jelas betapa sedihnya mereka saat Melisa pergi untuk selamanya dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Alina. Sungguh jasa Melisa sangat berharga untuk semua orang, terlebih untuk Irham dan juga keluarganya.Bahkan Irham sempat menurunkan egonya untuk berterima kasih dan meminta maaf kepada Melisa, Naya yang menyaksikan adegan tersebut menangis terharu atas sikap Irham tersebut. Nay
"Apakah masih belum ada keputusan dari Bang Irham, Nay?" tanya Alan kepada Naya yang sedang bersiap untuk ke rumah sakit.Naya menggeleng lesu menanggapi pertanyaan sang suami. Abangnya itu sangat keras kepala. Padahal Melisa tidak punya waktu banyak, keadaannya sudah semakin memburuk. Jika Abangnya belum juga memberikan keputusan, Naya takut jika Melisa tidak bisa bertahan lagi dan Alina tidak mempunyai donor untuk jantungnya lagi.Sejak sadar pertama kali, Melisa sudah tidak pernah bangun lagi. Kehidupannya hanya bergantung pada alat-alat rumah sakit. Ardan masih ingin mempertahankan nyawa sang istri sampai Irham memberikan keputusannya.Ardan sudah rela jika sang istri memiliki keinginan untuk memberikan jantungnya pada Alina. Dia sudah ikhlas jika memang keinginan terakhir Melisa seperti itu."Kita tunggu saja, Nay. Mungkin Bang Irham masih bimbang," tambah Alan."Mau ditunggu sampai kapan, Mas? Bang Irham itu keras kepala, tidak tahu sampai kapan pikirannya itu akan berubah," sah
Ratih mengerjapkan matanya pelan, netranya bergerak ke sana kemari pelan. Memandang ruangan yang serba putih dengan aroma obat-obatan yang sangat kuat. Ratih melihat Dara yang tertidur dengan posisi membungkuk, tangan Ratih kaku ketika digerakkan untuk meraih Dara yang sedang tertidur di samping ranjangnya.Bibir Ratih bergerak tanpa suara memanggil Dara, tenggorokan Ratih terasa kering, dia ingin meminta minum pada Dara."Ra ... Da ... Ra," panggil Ratih dengan suara lirih.Dara tidak merespon panggilan Ratih, dia masih pulas tertidur. Dara kecapekan karena harus mondar mandir mengurus Ratih dan juga Hanan.Ratih pun menggerakkan tangannya dengan paksa untuk meraih Dara, walaupun tenaganya masih lemah, dia harus membangunkan Dara.Dara yang merasakan pergerakan Ratih akhirnya terbangun, "Ibu ... Ibu sudah bangun?" Dara segera bangkit dari duduknya dengan mata yang berbinar."Mi-num ...," lirih Ratih.Dara bergegas mengambilkan Ratih air putih dan membantu Ratih untuk meminumnya. Dara
"Apa? Apa maksudmu, Nay?" Irham meninggikan suaranya. Dia sedang berbicara dengan Naya di depan ruang rawat Alina."Bang, tolong jangan egois. Abang tahu sendiri kondisi Mbak Alina seperti apa. Sudah lama Mbak Alina belum juga menemukan donor untuk jantungnya, kini setelah ada yang mendonorkan jantungnya untuk Mbak Alina, kenapa Abang menolaknya mentah-mentah?"Naya sudah memberi tahu Irham tentang permintaan Melisa yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Alina. Tetapi Irham terlihat menolak permintaan Melisa."Tapi kenapa harus jantung wanita pelakor itu, Nay? Kenapa tidak dari yang lain saja?" lirih Irham."Kita tidak punya pilihan lain, Bang. Jika saja kita masih mempunyai pilihan lain lagi, tentu Abang bisa memilih sesuka hati Abang," sahut Naya menatap sendu Irham."Aku tidak bisa, Nay. Aku tidak mau Alina memiliki bagian tubuh dari wanita itu. Aku tidak bisa menerimanya, hatiku tidak bisa, Nay." Irham masih bersikeras menolak.Naya menggelengkan kepala melihat sifat keras kepala
Tidak terasa sudah satu minggu semenjak Hanan meninggal, Melisa belum juga sadarkan diri. Ardan selalu berada di samping Melisa, dia tidak pernah meninggalkan Melisa barang sejenak.Naya juga mengunjungi Melisa setiap hari, dia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Melisa walau hanya sebentar saja. Ardan dan juga Naya sudah tak lagi saling berkata tajam, mereka sudah saling bermaafan. Naya yang lebih dulu meminta maaf pada Ardan karena berbicara kasar padanya. Naya hanya ingin Ardan sadar tentang kesalahannya saja, dia tidak bermaksud melukai perasaan Ardan.Dan Ardan pun juga sebaliknya, dia juga meminta maaf atas perilaku tidak menyenangkan yang dilakukannya pada Naya.Hari ini Naya datang lagi menjenguk Melisa, tapi dia tidak sendirian. Alisa ikut bersama dengannya melihat kondisi Melisa. Naya pikir tidak mengapa jika Alisa ingin ikut dengannya, mungkin saja dengan kedatangan Alisa, Melisa bisa sadarkan diri.Naya sangat berharap Melisa bisa membuka matanya lagi. Dia ingin Meli