Share

Batalnya Pernikahan

Melisa memacu mobil dengan kecepatan tinggi, dia ingin cepat kembali pulang ke rumah.  Agar leluasa menumpahkan segala tangis di dalam kamarnya.

Pikirannya sedang kalut sekarang, dia bingung harus berkata apa kepada kedua orangtuanya tentang batalnya pernikahannya dengan Aris.

Mereka sangat bahagia saat dulu Melisa menerima lamaran Aris. Melisa tidak tega menghancurkan kebahagiaan mereka begitu saja.

"Apa yang harus aku katakan kepada mereka? Aku sudah menghancurkan harapan mereka dengan batalnya pernikahanku," lirih Melisa.

Setibanya di rumah Melisa bergegas turun dari mobil dan melangkah tergesa masuk ke dalam rumah. Untungnya ayah dan ibunya sedang tidak ada di rumah.

Melisa bisa menghindar sebentar dari mereka. Melisa bergegas masuk ke dalam kamar, dia menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

Melisa melangkah menuju ranjang dan meringkuk di atasnya, kembali dia menumpahkan tangis meratapi semua penyesalannya yang telah egois mengharapkan cinta dari suami orang lain.

Hingga sekarang dia harus selalu menyandang sebutan pelakor seumur hidupnya. Beban mental yang harus dia tanggung karena kesalahannya seakan tak sanggup lagi dia tanggung.

Andai saja Melisa bisa mengembalikan waktu, tentu dia tidak akan menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Dia tidak akan mau menjadi yang kedua dengan alasan apapun.

Sungguh Melisa merasa berat sekali harus menjalani hidup dengan sebutan tersebut. Orang-orang seolah merasa jijik padanya, tidak ingin membangun hubungan apapun dengannya. Walaupun hanya untuk berteman saja.

Semenyedihkan inilah kehidupan yang dia harus tanggung setelah berpisah dengan Hanan.

Setiap malam Melisa selalu menumpahkan segala kesedihannya di atas sajadah. Memohon pengampunan atas segala dosa-dosa yang selama ini dia lakukan.

Melisa berharap masih ada sedikit orang yang bisa memahami kesedihannya selama ini. Dia telah kehilangan sesuatu yang sangat penting bagi kaum wanita.

Bayangkan bagaimana menjadi Melisa sekarang. Bagaimana dia sanggup hidup dengan dipandang buruk orang-orang.

Apakah Melisa masih harus menanggung karma yang lebih pedih lagi selama hidupnya?

Berkali-kali dia bangkit dari keterpurukannya, mencoba menjalani hari dengan senyuman. Tetapi, selalu saja beban sebutan pelakor itu meluruhkan semangatnya kembali.

Melisa tidak tahu apakah dia bisa bertahan lebih lama lagi menanggung semua rasa sakit dan beban di hatinya itu.

Melisa menangis, meratap, berharap menghapus masa lalu yang selalu menghantuinya. Akankah dia bisa merasakan kebahagiaan walau hanya sebentar saja?

Mata Melisa memberat merasakan kelelahan karena sudah menangis terlalu lama. Perlahan kantuk menyerangnya dan akhirnya dia pun tertidur.

***

"Apa tidurmu nyenyak, Mel?" tanya Imran–ayah Melisa begitu Melisa bergabung untuk sarapan bersama.

"Iya, Yah," jawab Melisa singkat, suaranya masih sedikit serak, sedangkan dia menutupi sembab di matanya dengan make up.

Melisa tidak mau ayah dan ibunya tahu kalau dia menangis semalaman, mereka pasti akan khawatir jika mengetahui Melisa bersedih lagi.

"Apa rencanamu hari ini, Mel?" Imran bertanya lagi pada sang putri.

"Aku ingin memantau sekolah di mana aku akan dipindahkan mengajar, Yah." Melisa mengambil makanan di atas piringnya, jujur rasanya dia tak akan mampu menelan makanan hari ini. Tetapi dia tidak mau membuat kedua orangtuanya curiga jika dia tidak makan.

Setelah Melisa berpisah dari Hanan, dia mulai mengajar di sebuah sekolah tempat orangtuanya tinggal, Melisa bisa sedikit merasakan kebahagiaan saat melihat banyak anak-anak bermain dengan riang.

Melisa tidak lagi merasa kesepian saat berada di antara anak-anak di sekolah. Dia memang sudah tidak bisa mempunyai anak lagi, maka dari itu dia memilih untuk mengajar di sekolah SD yang masih banyak anak-anak yang polos dan menggemaskan.

"Yah, Bu, ada yang ingin aku sampaikan." Melisa terdiam sejenak, dia mengatur hatinya untuk jujur pada kedua orangtuanya, "sekarang aku dan Mas Aris sudah tidak memiliki hubungan apapun, pernikahan kami telah batal," ucap Melisa berterus terang pada mereka.

Tring ....

Suara sendok makan jatuh ke lantai dari tangan Meta, dia sangat terkejut dengan ucapan sang putri. Begitupun juga dengan Imran, dia tidak kalah terkejutnya seperti sang istri.

"Apa maksudmu, Mel? Bagaimana bisa pernikahan kalian batal?" tanya Meta dengan mata yang mulai berembun.

"Apa yang terjadi, Mel? Kenapa rencana pernikahanmu batal begitu saja?" tambah Imran bertanya pada Melisa.

"Maafkan aku. Aku saja yang tidak mau menikah dengan Mas Aris, Yah, Bu. Aku masih belum siap untuk menikah lagi," jawab Melisa berbohong, dia tidak mau ayah dan ibunya sedih karena Arislah yang membatalkan pernikahan mereka.

Biar saja Melisa sembunyikan rapat-rapat agar kedua orangtuanya tidak terluka karena sebab batalnya pernikahan Melisa.

Melisa sudah terlalu menyusahkan mereka selama ini. Bahkan Melisa pikir dia belum bisa membuat mereka bangga mempunyai anak sepertinya.

Imran menghela nafas panjang, dia nampak kecewa mendengar jawaban sang putri. Meta pun sudah meneteskan air mata. Melisa sungguh tak sampai hati menyakiti orangtuanya seperti ini.

Melisa ingin sekali melihat kedua orangtuanya bahagia tanpa memikirkan dia sama sekali. Dia merasa hanya membawa duka saja dalam hidup mereka selama ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status