Harusnya ini akan menjadi berita bagus untuk kembali ke rumah. Setidaknya, Lusie sudah bisa mengganti sepatu milik Isabella. Namun, ketenangan itu menguap saat Lusie melihat wajah lebar ayahnya diikuti Isabella yang melipat tangannya di depan dada.
Lusie hendak menjelaskan—apa saja yang baru ia lakukan dengan Hero. Lusie menatap Hero, tetapi lelaki itu justru terdiam di tempat. Ia memandang Isabella dengan wajah kaku yang diikuti semburat kemerahan. Lusie menggandeng tangan Hero. Ia refleks melakukannya.“Ayah, aku dan Kapten Hero—““Hanya berbicara biasa tentang insiden di sekolah tadi.” Hero menjelaskan dengan menyalip kalimat Lusie.Isabella melepas tangannya. Ia memandang tangan Lusie dan Hero yang saling bertautan. Eric melepas tautan itu dan menarik Lusie secara paksa. Lusie ingin Hero menolongnya—ia menampilkan wajah memelas dengan mengerucutkan bibirnya yang mungil.“Paman,” panggil Hero.Eric menoleh tajam. “Kenapa?!”“Jika paman berkenan, datanglah ke rumah saya malam hari nanti. Kebetulan, saya akan mengadakan jamuan dengan keluarga.”“Memangnya saya keluarga kamu?!”“Maksud saya, jamuan ini sebagai tempat silahturahmi kepada tetangga.”Lusie menjatuhkan rahang bawah. Ia mengira Hero akan menjelaskan jika Lusie tidak berniat menggoda guna menyingkirkan pikiran aneh yang bersarang di kepala Eric karena melihat anaknya memegang dada lelaki dewasa di tempat yang jauh dari jangkauan orang.Lusie hanya melihat jika Eric mengangguk samar lantas menariknya ke rumah. Isabella duduk di kursi tamu ketika Lusie sudah ditangkap. Ia duduk di bawah—menunduk untuk menghindari tatapan Eric dan Isabella.“Kau tau seberapa berharganya sepatu yang kau lempar seperti sampah itu?” Isabella mencerca. “Kau juga tidak ada bedanya dengan ibumu setelah apa yang sudah kulihat tadi.”“Isabel!” Eric setengah membentak. Ia mengatur napas dan membantu Lusie berdiri. Sebenarnya, ia hanya tidak suka melihat Lusie bersikap liar seperti tadi. “Kenapa harus terus membelanya? Dia sudah hampir memalukan reputasi keluarga kita, ayah! Bagaimana jika seseorang tahu, adik dari seorang Isabella Agatha menjadi anak ternakal di sekolah dan suka menggoda pria dewasa di luar sana?”Lusie mengepalkan tangan. “Lusie, masuk ke dalam kamar. Ayah akan berbicara denganmu.”Isabella melemparkan pot keramik di lantai. Percikan itu mengenai punggung tangan Lusie. Lusie hanya terdiam sembari menahan gejolak di dalam dirinya. “Kalian akan terus berbicara seperti ayah dan anak yang hidup bahagia! Ingat ini! Anak dari rahim seorang pelacur tidak akan pernah pantas mendapatkan pengakuan dari dunia.”Isabella meninggalkan Lusie. Ia sudah muak dengan wajah Lusie yang hilir mudik disorot manajernya karena takut berpengaruh pada eksitensi Isabella sebagai penyanyi orkestra terkenal. Eric hendak berbicara, tetapi Lusie sudah lebih dulu meninggalkan ruang tamu dan pergi ke kamar dengan suasana hati yang kacau.Malam harinya Eric mengetuk kamar Lusie. Eric masuk ke dalam—melihat tumpahan cat berceceran di lantai sudah menjadi pemandangan biasa. Lusie sedang duduk di balkon—menghadap ke arah kanvas yang sudah dipenuhi warna-warna monokrom. Eric menyentuh bahu Lusie.“Bergegaslah, karena kita akan akan ke rumah tetangga baru.”
“Bagaimana dengan Isabel?”“Dia tidak akan ikut.”Lusie memutar tubuhnya. “Ayah, apakah yang dikatakan Isabella benar? Ibu seorang….”“Lusie,” Eric menggenggam tangan Lusie. Mata perak Lusie seperti timah padat yang sulit diselami. “Apapun yang dikatakan Isabella, tidak akan mengubah dirimu apalagi masa lalu orang lain. Ibumu seorang istri yang baik dari keluarga baik-baik. Berhentilah berpikir negatif. Itu hanya merusak momen indah yang seharusnya kau dapatkan.”Eric benar. Hati Lusie perlahan menjadi lebih baik. Ia membiarkan lukisan satuan ekspresi muram dengan gumpalan hitam itu berdiri di balkon. Lusie akan bersiap-siap ke rumah Hero. Eric menunggu Lusie di ruang tengah. Di kamar, Lusie kebingungan memilih gaun yang tepat untuk digunakan. Andai saja Isabella dan dirinya rukun. Ia pasti takkan kebingungan karena soal gaya, Isabella adalah ratunya. Hm, mungkin harus diralat. Isabella hampir bisa dikatakan mahir di segala bidang. Itu sedikit membuat Lusie iri.Lusie sudah pasrah saja ketika ia melihat gaun abu-abu hadiah dari Eric tahun lalu yang belum sempat ia pakai. Gaun itu memiliki potongan lengan dengan lekukan bak gelombang lembut yang menutupi lengan. Potongan dadanya tidak terlalu rendah. Jadi, bisa dikatakan gaun ini cukup sopan. Lusie menghampiri Eric yang ternyata hanya memakai potongan celana kain dengan kaos hitam dan kcamata minus yang memang dalam kesehariannya selalu ia pakai. “Kita jalan saja, kan?”“Merangkak! Ya jalan, lah!” Lusie mendengus. Eric tertawa dan mengawali jalan lebih dulu. Mereka disambut satpam yang nampaknya baru bekerja hari ini. Tubuhnya yang lumayan berisi menciptakan kesan imut ketika ia mempersilakan Lusie dan Eric masuk. Keduanya disambut guyuran air terjun buatan di depan rumah.Ada tanaman panjang yang menjulur di sekitar pintu. Lusie berdecak kagum ketika melihat satu meter dari tembok dan lantai, terdapat kolam kaca yang memperlihatkan ikan-ikan arwana yang hilir mudik berenang. Ia semakin terpukau ketika memandang ada pohon besar yang ditanam di tengah-tengah rumah. Meskipun itu tidak tumbuh secara alami, tetapi Lusie mendapatkan suasana yang sangat menenangkan di rumah Hero.“Paman!” Hero muncul dari balik tangga yang mana di dekat tangga itu terdapat tembok kaca yang dapat memperlihatkan sisi luar dari rumah. Warna hijau, putih dan coklat sangat dominan di rumah ini. Hero merangkul bahu Eric. Lusie mendecih ketika ia tidak diacuhkan dan justru ditinggal. Hero membawa Eric ke ruang jamuan. Disana, Lusie bertemu pasangan paruh baya yang menyambutnya dengan senyuman. Lusie tidak melihat orang lain lagi. Padahal Hero tadi mengatakan jika jamuan ini mendekatkan ia dengan tetangga. Lantas mana para tetangga yang lainnya?“Ibu, ayah, perkenalkan ini paman Eric Agatha dia seorang konsultan investasi. Ayah tahu? Dia ayah dari penyanyi orkestra yang sering kita lihat penampilannya.”“Isabella Agatha?” seorang lelaki yang diduga Lusie ayah Hero bertanya.Hero mengangguk.“Luar biasa! Salam kenal, tuan Eric saya Albert dan ini istri saya, Floriden. Saya dan Hero pengagum berat Isabella Agatha. Nyanyiannya seperti sebuah panggilan surga.”Lusie menusuk-nusuk daging yang sudah disiapkan pelayan Hero. Ia sudah mengambil kesimpulan jika jamuan ini diadakan Hero untuk mengenal kakaknya yang culas itu.“Tapi, daritadi saya tidak melihat Isabella?”Kali ini Floriden, ibu Hero yang bertanya.
Bahkan dari mereka, tak ada satu pun yang menanyakan keberadaan Lusie yang jelas-jelas nampak wujudnya. Lusie mengunyah lebih dulu meskipun tuan rumah belum mempersilakan.“Maafkan saya. Isabella sedang berlatih untuk penampilannya di Rusia tiga hari ke depan. Ini Lusie, adik dari Isabella.Lusie dengan mulut yang sudah penuh dengan daging memandang Albert dan Floriden. Mungkin mereka akan menyimpulkan jika Lusie sama sekali tidak beretika. Eric bahkan mencubit paha Lusie hingga Lusia mengaduh kesakitan.
“Arhyhah!” seru Lusie, dengan daging yang bertumpuk di mulut.Hero menatap Lusie dengan datar. Ia seakan tidak heran dengan sikap gadis itu. Albert tertawa renyah selesai menyaksikan Lusie memaksakan diri menelan daging dengan paksa. Floriden menatap Lusie dengan teduh. Mereka tampak memaklumi apa yang dilakukan Lusie barusan.“Bibi Lusie!” Seorang gadis dengan gaun biru selutut memeluk kaki Lusie. Jelas saja Lusie terpekik. Ini Anea yang tadi siang menjelekkan sikapnya di depan Hero, kan? Lusie menarik Anea dan menatapnya heran.“Terimakasih hadiahnya. Ane suka!”Lusie mengerut dahi. Sejak kapan Lusie memberi kado pada cabe kecil ini? Lusie melirik Eric yang melingkarkan tangannya di bahu Lusie. Eric tersenyum kecil.“Ayah yang melakukannya?”“Lukisanmu terlalu menumpuk. Daripada dipajang di kamar lebih baik diberikan ke orang lain. Lihat? Gadis keciil itu tampaknya menyukai lukisanmu.” Eric setengah berbisik.“Anea, duduk.”Hero memberi perintah tegas. Anea melipat wajahnya—muram.. Floriden tiba-tiba berdiri dan membawa Anea pergi. Lusie menatap Hero yang mulai enggan beriteraksi dalam jamuan malam ini.“Jadi, namamu Lusie?” tanya Albert, memecah keheningan.Lusie mengangguk.“Nama yang bagus.”“Aku ingin memberitahu kalian dalam jamuan ini jika sebenarnya, Hero tidak pernah menikah.” Wajah Hero mengeras setelah Albert tiba-tiba membuka jati dirinya. Lusie merasakan suasana dingin yang mencengkam. Terlebih suara sendok dan garpu Hero yang diletakkan di piring menghasilkan suara cukup berisik.“Aku bersyukur, Hero tidak menjadi seorang aktor. Ia hanya laki-laki biasa yang mengendarai sebuah pesawat. Minimal, kehidupan pribadinya tidak terlalu disorot.”Eric seakan paham dengan arah pembicaraan.“Tuan Albert, apa yang hendak Anda bicarakan?”Jika Eric sudah menggunakan kata Anda maka pembicaraan memang nampak serius. Hero menggeram—menatap Albert yang tersenyum simpul. “Apakah Lusie berkenan menjadi pasangan Hero?”“Hah?!” Ayolah, Lusie memang menyukai Hero. Namun, untuk menjadi pasangan ada perjalanan yang cukup panjang untuk ditempuh. Mereka hanya dua orang yang tidak sengaja dipertemukan dalam kondisi tidak memungkinkan.“Ayah, sudah cukup! Jika aku mau menikah, aku bisa memilih wanita manapun.”“Tapi buktinya?” Albert menghela napas.“Sebelum itu, aku ingin bertanya pada Tuan Eric dan Lusie. Bagaimana pendapat kalian?”
“Lusie masih sekolah. Bagaimana dengan pendidikannya jika dia harus menikah dini?”“Tenang, tuan Eric. Kami merupakan salah satu pemegang saham yayasan sekolah Lusie. Pernikahan akan dilaksanakan secara privat, artinya hanya orang tertentu sajae yang datang."Perban putih melilit tangan kanan Lusie. Ia membiarkan perawat perempuan yang nampak masih muda itu mengurus luka. Tangannya terlihat cekatan dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengganti.“Bukankah tadi itu kapten Hero?” Perawat itu membuka suara. Ia menyiapkan beberapa pil. Menyerahkan kepada Lusie dengan segelas air. “Sudah sangat lama aku tidak melihat artikel dan iklan tentangnya.”“Ya, dia suamiku.”Perawat dengan rambut yang digelung itu terdiam sejenak. Kemudian mengambil kembali gelas dan piring kecil tempat pil. Lusie baru saja menelan tiga buah pil itu dengan cepat.“Saya sangat iri, Anda beruntung bisa menikahi suami romantis seperti kapten. Selain itu, ia juga bertanggung jawab dan sangat setia. Saya menyaksikan sendiri, jika tiga hari selama Anda tertidur, kapten Hero terjaga di samping Anda.”“Apa dia … tidak tidur sampai sekarang ini?”“Soal itu, saya
Tiga hari sudah terlewati. Hero menunggu dengan cemas di samping ranjang besar. Menempatkan Lusie di ruang VIP agar perempuan itu mendapatkan perawatan yang lebih baik. Ia embiarkan Lerry dan beberapa perawat yang mendampingi memeriksa keadaan Lusie. Tadinya rumah sakit sangat riuh karena teriakan Hero. Ia memanggil Lerry di sepanjang lorong dengan suara kencang hingga membuat pasien disana tidak nyaman.Lerry melepas stetoskop. Ia membiarkannya menggantung di leher. Hero sudah menantikan jawaban baik. Ia juga dapat melihat mata Lusie yang sudah terbuka. Meskipun belum ada suara, tetapi itu lebih baik daripada melihatnya terpejam seperti mayat.“Lullaby sudah pergi?”Lerry menghelas napas. “Jika bukan suami dari Lusie, kau mungkin sudah kuusir dari sini. Seharusnya kau menanyakan keadaan istrimu terlebih dahulu.”“Lalu bagaimana? Bukankah dia baik-baik saja?”“Lebih rumit dari yang ku kira. Temui aku setela
Hero duduk di kursi tunggu. Sudah dua jam berlalu semenjak Lusie dibawa ke rumah sakit. Ia sempat membuat Lerry syok. Namun tak berlangsung lama karena Lerry harus segera menanganinya. Kesadaran Lullaby hilang usai ia memberikan pertanyaan terakhir yang belum sempat Hero jawab.Seharusnya Hero senang akan hal ini. Bukankah ini yang ia harapkan? Menghilangkan perempuan itu dari hadapannya? Lullaby adalah alasan ia terjebak di pernikahan tanpa cinta ini. Sementara Lusie hanyalah wanita biasa yang tak sejajar dengan usia dan karirnya. Bagaimana bisa ada rasa untuk mempertahankan mereka?“Hero.”“Lerry?”Dokter muda itu duduk di sebelah Hero. Ia datang bersama para perawat yang sudah berlalu.“Lusie baik-baik saja, bukan?!”Lerry mengangguk. “Masa kritisnya sudah terlewat. Itu juga berkat kau yang membawanya tepat waktu.”“Kapan ia akan sadar?”“Mungkin esok pa
Bagi Hero Lusie mungkin sudah menjadi seseorang yang tak sengaja mengambil bagian dari hidupnya. Awalnya ia mengira gadis 18 tahun yang saat itu mengidolakannya akan menjadi perempuan yang akan sudi untuk memenuhi kenginan dari ayahnya. Sehingga Hero hanya menjalani hubungan tersebut tanpa arti yang berarti.Hingga ada hal yang sulit ia mengerti dengan berbagai alasan yang terangkai dalam kepala. Untuk apa ia menarik Lusie dari kerangkang lelaki lain yang ingin memberi sepilin perhatian dari mereka? Tanpa sadar Hero bahkan menjauhi Lusie untuk sebuah ketidakpastian yang ia miliki.Perasaan bingung mengendap dalam hati. Ia menepuk kepala berulang kali dan menatap dirinya dalam pantulan cermin. Mata biru itu menatap tajam dengan bulu mata lentik yang kontras dengan alis tebalnya. Lagi-lagi bayangan itu menghampiri dirinya. Seperti sebuah sapaan yang tak pernah bosan untuk datang.“Kamu tidak makan?”“Hero?”Hero melangkah masu
Ujian berakhir pada pukul dua siang. Sama seperti siswa lainnya Lusie ikut mengambil tas dan berangsur pulang melewati kerumunan siswa yang masih berbincang membahas soal ujian. Tidak Lusie sangka bahwa ujian terakhir di hari sekolah itu akan menjadi ujian pertama dalam pertemanannya.Tak ada Falery yang mengganggunya saat pulang. Bahkan Farel tak menyapa sedikit pun meskipun mereka berada dalam kelas yang sama. Ini mengingatkan Lusie saat awal ia masuk sekolah formal di masa kecil. Tak ada yang mau mendekatinya karena takut akan dipukul Lusie.Sejak itu Lusie takut untuk berangkat ke sekolah. Bukan sebab dijauhi, tetapi pada faktanya ia lebih takut pada dirinya sendiri yang membawa ancaman untuk orang lain. Lusie menyadari setiap ia berkelahi satu diantara temannya akan berakhir di rumah sakit. Tak ada yang tahu darimana mereka berakhir seperti itu. Sebab Lusie tak pernah mengakui bahwa ia menyiksa temannya.Masa sulit itu kini sudah terlewat. Lusie mencoba unt
Langit menggelap—membawa gulungan awan hitam. Dari sana rintik hujan mulai berjatuhan. Bertemu dan menyapa bumi. Gemericiknya memecah keheningan. Mengetuk-ngetuk atap, pohon, juga bus yang melintas.Di tengah rintik hujan itu Hero tersadar. Bahwa bayangan Lusie hanyalah ilusi yang tak sengaja muncul di kepalanya. Nyatanya, itu hanyalah seorang anak SMA biasa yang menumpang duduk di sebelah.Hero memasang wajah dingin seperti tak mau disentuh dan diganggu oleh siapa pun. Ia menatap jendela, yang perlahan juga ikut terguyur air hujan. Meninggalkan bekas embun dan mengaburkan pandangan.Bus berhenti di halte kawasan A. Hero turun bergatian dengan para penumpang lainnya. Sementara itu, ia lupa membawa payung. Hero sengaja berjalan tanpa payung dan menikmati sentuhan rintik hujan.Entah kapan terakhir kali ia berjalan di bawah hujan seperti ini. Sejak SMA Hero sudah sulit untuk menemukan kebahagiannya. Fakta bahwa ia jarang bermain seperti anak biasa mem