Share

Pertahanan Imelda

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2022-04-26 10:10:45

Layaknya rumah tangga yang tak ada masalah berarti, Imelda dan Rizal kembali menjalani kehidupan normal. Anak-anak tidak ada yang curiga dengan cerita ayahnya yang memiliki istri lain. Feeling seorang istri tak pernah salah, ia meraih ponsel Rizal, mengecek pesan singkat sampai ke email juga. Jarinya terus mengusap layar benda pipih itu, dan benar, sejak beberapa hari lalu banyak pesan singkat dan telepon masuk yang tak Rizal baca juga jawab panggilan itu dari Winola. Imel membaca semua pesan masuk dari Winola, menanyakan kapan ke rumah, sampai, pesan semalam, Imel di rumah sakit, ia terpeleset dan jatuh.

Lalu, ada pesan lain yang menunjukkan ia di kamar rawat. Pun, tak lupa Winola menulis pesan di bawah foto yang dikirim. 'Anak ini selamat, tapi kakiku terkilir, sempat flek sedikit tapi nggak papa.' Hanya itu. Imel gerah. Labrakannya seolah tak diindahkan wanita itu. Apa bedanya, sama saja ia masih menghubungi suaminya, kan. Pintu kamar terbuka, Rizal yang berniat memanggil istrinya karena sarapan sudah siap, terkejut saat mendapati istrinya sedang memegang ponsel miliknya.

"Ada apa, Mel? Kamu ngecek-ngecek HPku?" Rizal segera menyambar ponsel dari tangan istrinya dan mau tak mau, isi pesan singkat dari Winola itu terbaca. Kedua mata Rizal membulat sempurna, keterkejutan juga jelas tampak. Sial. Batin Imel.

"Aku ke rumah sakit sekarang." Tuturnya sambil buru-buru meraih handuk yang tergantung di balik pintu kamar, dan bergegas masuk ke kamar mandi. Imel diam, hanya tersenyum miris.

"Ibu .... " Suara si sulung terdengar memanggil.

"Ya, Bang...!" sahut Imel lalu beranjak cepat. Ia menghampiri putranya yang sudah duduk di ruang makan bersama adiknya.

"Ayo sarapan. Ayah mana? Tadi manggil Ibu, kan?" Putranya itu bertanya dengan raut wajah bingung.

"Ayah nggak sarapan bareng kita, Bang, ada perlu. Barusan dari kantor telepon, minta Ayah ke sana sekarang, kita sarapan bertiga, ya," ujarnya sambil menuangkan air putih ke gelas putra-putranya.

"Bu, ini udah kesekian kali Ayah jarang sarapan sama kita. Abang perhatiin Ayah juga sering keluar kota. Kenapa Ayah kerja terus?" Pertanyaan kritis seorang anak yang terkadang membuat Imelda harus putar otak cari jawaban yang tepat, apalagi, faknya ia sudah tahu jika Rizal berbohong selama ini. Ternyata ia bersama Winola 'sahabatnya'.

"Udah, Bang, kita sarapan. Habis ini bantuin Ibu beberes kamar ya, Ibu mau ubah suasana. Adek juga bantu Ibu, ya," tatap Imel ke putra bungsunya yang mengangguk. Si sulung tampak kesal, ia bersedekap lalu berdecak sebal saat Imelda seolah tak memperkarakan jika Rizal mulai jarang meluangkan waktu bersama dua putranya.

Lima belas menit kemudian, Rizal tampak rapi dengan kaos kerah dan celana jeans, ia pamit ke anak-anaknya juga Imel. Tak lupa, ia mengecup kening Imel yang membuat senyum kepura-puraannya terbit demi kedua anaknya.

"Buat jajan, Ayah berangkat dulu, ya." Pamitnya ke kedua anak mereka sambil meletakkan uang seratus ribu di atas meja makan. Si bungsu menoleh, menatap kakaknya, seolah bertanya 'uangnya boleh diambil, nggak, Bang?'. Bukan apa-apa, hal itu karena si sulung memang pengontrol adiknya sesuai dengan arahan Imel. Kakak dan adik harus saling menghormati, tidak ada pilih kasih dari Imel juga Rizal, si sulung menggelengkan kepala, ia melarang adiknya menerima uang itu.

"Ayah bisanya kasih duit doang. Kita butuh Ayah, Bu, bukan uangnya aja." Akhirnya, si sulung ngambek, ia berdecak sebal sambil pindah duduk di sofa ruang TV, pandangan ke arah tayangan kartun.

"Bang, makannya habisin, jangan buang makanan." Protes di bungsu yang berjalan sambil membawa piring berisi roti bakar selai coklat dengan potongan buah. Imel beranjak, menghela napas namun tetap tersenyum lebar.

"Abang, Ayah memang sibuk. Kamu tau kerjaan Ayah, kan, bukan profesi mudah. Gini, Bang, hari ini mau ke mana? Ibu temenin." Tawaran Imel membuat kepala putranya menoleh, lalu menjawab dengan gelengan kepala. Imel beranjak, kedua putranya lanjut sarapan sambil menonton TV. Imel meremas tangannya begitu kuat, tak bisa meluapkan kekesalannya, hingga memilih untuk bersabar.

***

Di rumah sakit.

"Kenapa bisa terpeleset?" Rizal berdiri di tepi ranjang tempat Winola terbaring dengan pergelangan kaki dibalut perban.

"Lagi tuang minyak goreng tumpah ke lantai, aku bersihinnya kurang bener kayaknya, masih ada sisa dan jatoh. Pas banget lagi ada Mamaku di rumah, jadi Mama minta tolong tetangga antar aku ke sini. Kamu dicariin Mama, Zal," ujar Winola.

"Ada apa?" Kening Rizal berkerut. Winola mengedikkan bahu.

"Mama lagi pulang, siang nanti ke sini lagi setelah dokter izinin aku pulang. Aku harus dipantau dua puluh empat jam dulu, untuk mastiin kandunganku memang baik-baik aja." Lanjut Winola. "Zal," panggilnya.

"Hm?" Rizal kini duduk perlahan di tepi ranjang.

"Imel gimana? Masih marah sama aku? Aku takut dia ngadu ke keluarga kamu tentang kita." Tampak kekhawatiran di raut wajah Winola.

"Nggak. Aku udah bilang ke Imel, untuk ngertiin kamu dan keputusan kita ini. Sampai anak ini lahir, kita akan cerai, aku nggak mau lihat kalian jadi bertengkar." Rizal tersenyum. Sementara Winola mengangguk pelan.

Menjelang malam. Rizal masih belum pulang. Baru saja ia hendak menanyakan Rizal di mana, telepon masuk ia terima dari suaminya itu.

"Halo, Mel .... "

"Ya, Mas," jawab Imel sambil menutup pintu kamar anak-anaknya yang sudah terlelap. Ia juga melirik jam dinding, pukul sepuluh malam.

"Aku di rumah Winola, ya, malam ini. Kakinya masih bengkak. Mamanya juga minta aku temani dia, nggak papa ya, Mel?"

Imelda tersenyum getir, ia menunduk. "Terserah kamu, Mas, kamu yang tau kan, mana yang jadi prioritas kamu sekarang. Aku atau wanita hamil itu." Imel diam, Rizal pun tak menyanggah apa pun. "Oh, lupa, Dewa pagi tadi protes, karena kamu sibuk dan jarang luangin waktu sama mereka. Aku terpaksa berbohong untuk tutupi hal ini, Mas." Lanjutnya.

"Mel, bertahan sampai anak itu lahir, ya, aku mohon, maaf jadi minta kamu berbohong untuk anak-anak," ucapnya dengan suara begitu pelan.

"Mas, aku mau tanya," lirih Imel.

"Ya, apa, Mel?"

"Gimana kalau Winola punya perasaan lebih ke kamu dari pada sekedar sahabat? Dia lagi hamil, perempuan hamil sangat berharap sosok laki-laki yang ada untuk dia juga sayang sama dia. Kamu, sikap kamu yang seperti ini, bisa aja bikin dia berpikir begitu. Apa..., aku juga harus bertahan, seandainya, dia menolak cerai?"

Mendengar pertanyaan itu, Rizal diam, ia sendiri tak bisa memberikan jawaban apa-apa, ia takut salah bicara yang berujung Imel marah-marah lagi. Lalu, tawa pelan justru terdengar dari Imelda. "Kenapa, Mas..., nggak bisa jawab? Apa, Winola sudah menolak dari sekarang perceraian itu, karena udah baper sama kamu?"

Masih tak ada suara dari seberang sana.

"Persahabatan kalian luar biasa. Aku kagum. Andai aku juga punya sahabat lawan jenis yang sebaik kamu, bisa tersanjung. Sayangnya, aku masih punya otak dan hati untuk tau batasan bergaul yang mengaku sahabat padahal cinta. Aku tunggu kamu pulang, itu juga kalau kamu ingat aku dan anak-anak."

Imel memutuskan sambungan telepon sepihak. Lalu menunduk, ia kembali menangis, tak kuat rasanya. Ia membungkam bibirnya, supaya isakannya tak membangunkan Dewa juga Ardan. Sesak, udara tak masuk ke rongga dada, dan Imel tau, apa kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Ia harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau juga sebagai istri terlalu sok2an kuat. bilang aja bertahan krn kau istri g punya pekerjaan dan bergantung sama suami. lucu aja si rizsl sampai mengabaikan waktu kebersamàn dg anak2nya. dan alur cerita ini juga terlalu dipaksakan. menolong dg cara g masuk akal.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Kebahagiaan Sesungguhnya

    "Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Awet muda

    Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Curhatan lelaki

    Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Kedatangan Araska

    "Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Melepas Rindu

    Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Permintaan kembali

    Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status