Layaknya rumah tangga yang tak ada masalah berarti, Imelda dan Rizal kembali menjalani kehidupan normal. Anak-anak tidak ada yang curiga dengan cerita ayahnya yang memiliki istri lain. Feeling seorang istri tak pernah salah, ia meraih ponsel Rizal, mengecek pesan singkat sampai ke email juga. Jarinya terus mengusap layar benda pipih itu, dan benar, sejak beberapa hari lalu banyak pesan singkat dan telepon masuk yang tak Rizal baca juga jawab panggilan itu dari Winola. Imel membaca semua pesan masuk dari Winola, menanyakan kapan ke rumah, sampai, pesan semalam, Imel di rumah sakit, ia terpeleset dan jatuh.
Lalu, ada pesan lain yang menunjukkan ia di kamar rawat. Pun, tak lupa Winola menulis pesan di bawah foto yang dikirim. 'Anak ini selamat, tapi kakiku terkilir, sempat flek sedikit tapi nggak papa.' Hanya itu. Imel gerah. Labrakannya seolah tak diindahkan wanita itu. Apa bedanya, sama saja ia masih menghubungi suaminya, kan. Pintu kamar terbuka, Rizal yang berniat memanggil istrinya karena sarapan sudah siap, terkejut saat mendapati istrinya sedang memegang ponsel miliknya.
"Ada apa, Mel? Kamu ngecek-ngecek HPku?" Rizal segera menyambar ponsel dari tangan istrinya dan mau tak mau, isi pesan singkat dari Winola itu terbaca. Kedua mata Rizal membulat sempurna, keterkejutan juga jelas tampak. Sial. Batin Imel.
"Aku ke rumah sakit sekarang." Tuturnya sambil buru-buru meraih handuk yang tergantung di balik pintu kamar, dan bergegas masuk ke kamar mandi. Imel diam, hanya tersenyum miris.
"Ibu .... " Suara si sulung terdengar memanggil.
"Ya, Bang...!" sahut Imel lalu beranjak cepat. Ia menghampiri putranya yang sudah duduk di ruang makan bersama adiknya.
"Ayo sarapan. Ayah mana? Tadi manggil Ibu, kan?" Putranya itu bertanya dengan raut wajah bingung.
"Ayah nggak sarapan bareng kita, Bang, ada perlu. Barusan dari kantor telepon, minta Ayah ke sana sekarang, kita sarapan bertiga, ya," ujarnya sambil menuangkan air putih ke gelas putra-putranya.
"Bu, ini udah kesekian kali Ayah jarang sarapan sama kita. Abang perhatiin Ayah juga sering keluar kota. Kenapa Ayah kerja terus?" Pertanyaan kritis seorang anak yang terkadang membuat Imelda harus putar otak cari jawaban yang tepat, apalagi, faknya ia sudah tahu jika Rizal berbohong selama ini. Ternyata ia bersama Winola 'sahabatnya'.
"Udah, Bang, kita sarapan. Habis ini bantuin Ibu beberes kamar ya, Ibu mau ubah suasana. Adek juga bantu Ibu, ya," tatap Imel ke putra bungsunya yang mengangguk. Si sulung tampak kesal, ia bersedekap lalu berdecak sebal saat Imelda seolah tak memperkarakan jika Rizal mulai jarang meluangkan waktu bersama dua putranya.
Lima belas menit kemudian, Rizal tampak rapi dengan kaos kerah dan celana jeans, ia pamit ke anak-anaknya juga Imel. Tak lupa, ia mengecup kening Imel yang membuat senyum kepura-puraannya terbit demi kedua anaknya.
"Buat jajan, Ayah berangkat dulu, ya." Pamitnya ke kedua anak mereka sambil meletakkan uang seratus ribu di atas meja makan. Si bungsu menoleh, menatap kakaknya, seolah bertanya 'uangnya boleh diambil, nggak, Bang?'. Bukan apa-apa, hal itu karena si sulung memang pengontrol adiknya sesuai dengan arahan Imel. Kakak dan adik harus saling menghormati, tidak ada pilih kasih dari Imel juga Rizal, si sulung menggelengkan kepala, ia melarang adiknya menerima uang itu.
"Ayah bisanya kasih duit doang. Kita butuh Ayah, Bu, bukan uangnya aja." Akhirnya, si sulung ngambek, ia berdecak sebal sambil pindah duduk di sofa ruang TV, pandangan ke arah tayangan kartun.
"Bang, makannya habisin, jangan buang makanan." Protes di bungsu yang berjalan sambil membawa piring berisi roti bakar selai coklat dengan potongan buah. Imel beranjak, menghela napas namun tetap tersenyum lebar.
"Abang, Ayah memang sibuk. Kamu tau kerjaan Ayah, kan, bukan profesi mudah. Gini, Bang, hari ini mau ke mana? Ibu temenin." Tawaran Imel membuat kepala putranya menoleh, lalu menjawab dengan gelengan kepala. Imel beranjak, kedua putranya lanjut sarapan sambil menonton TV. Imel meremas tangannya begitu kuat, tak bisa meluapkan kekesalannya, hingga memilih untuk bersabar.
***
Di rumah sakit.
"Kenapa bisa terpeleset?" Rizal berdiri di tepi ranjang tempat Winola terbaring dengan pergelangan kaki dibalut perban.
"Lagi tuang minyak goreng tumpah ke lantai, aku bersihinnya kurang bener kayaknya, masih ada sisa dan jatoh. Pas banget lagi ada Mamaku di rumah, jadi Mama minta tolong tetangga antar aku ke sini. Kamu dicariin Mama, Zal," ujar Winola.
"Ada apa?" Kening Rizal berkerut. Winola mengedikkan bahu.
"Mama lagi pulang, siang nanti ke sini lagi setelah dokter izinin aku pulang. Aku harus dipantau dua puluh empat jam dulu, untuk mastiin kandunganku memang baik-baik aja." Lanjut Winola. "Zal," panggilnya.
"Hm?" Rizal kini duduk perlahan di tepi ranjang.
"Imel gimana? Masih marah sama aku? Aku takut dia ngadu ke keluarga kamu tentang kita." Tampak kekhawatiran di raut wajah Winola.
"Nggak. Aku udah bilang ke Imel, untuk ngertiin kamu dan keputusan kita ini. Sampai anak ini lahir, kita akan cerai, aku nggak mau lihat kalian jadi bertengkar." Rizal tersenyum. Sementara Winola mengangguk pelan.
Menjelang malam. Rizal masih belum pulang. Baru saja ia hendak menanyakan Rizal di mana, telepon masuk ia terima dari suaminya itu.
"Halo, Mel .... "
"Ya, Mas," jawab Imel sambil menutup pintu kamar anak-anaknya yang sudah terlelap. Ia juga melirik jam dinding, pukul sepuluh malam.
"Aku di rumah Winola, ya, malam ini. Kakinya masih bengkak. Mamanya juga minta aku temani dia, nggak papa ya, Mel?"
Imelda tersenyum getir, ia menunduk. "Terserah kamu, Mas, kamu yang tau kan, mana yang jadi prioritas kamu sekarang. Aku atau wanita hamil itu." Imel diam, Rizal pun tak menyanggah apa pun. "Oh, lupa, Dewa pagi tadi protes, karena kamu sibuk dan jarang luangin waktu sama mereka. Aku terpaksa berbohong untuk tutupi hal ini, Mas." Lanjutnya.
"Mel, bertahan sampai anak itu lahir, ya, aku mohon, maaf jadi minta kamu berbohong untuk anak-anak," ucapnya dengan suara begitu pelan.
"Mas, aku mau tanya," lirih Imel.
"Ya, apa, Mel?"
"Gimana kalau Winola punya perasaan lebih ke kamu dari pada sekedar sahabat? Dia lagi hamil, perempuan hamil sangat berharap sosok laki-laki yang ada untuk dia juga sayang sama dia. Kamu, sikap kamu yang seperti ini, bisa aja bikin dia berpikir begitu. Apa..., aku juga harus bertahan, seandainya, dia menolak cerai?"
Mendengar pertanyaan itu, Rizal diam, ia sendiri tak bisa memberikan jawaban apa-apa, ia takut salah bicara yang berujung Imel marah-marah lagi. Lalu, tawa pelan justru terdengar dari Imelda. "Kenapa, Mas..., nggak bisa jawab? Apa, Winola sudah menolak dari sekarang perceraian itu, karena udah baper sama kamu?"
Masih tak ada suara dari seberang sana.
"Persahabatan kalian luar biasa. Aku kagum. Andai aku juga punya sahabat lawan jenis yang sebaik kamu, bisa tersanjung. Sayangnya, aku masih punya otak dan hati untuk tau batasan bergaul yang mengaku sahabat padahal cinta. Aku tunggu kamu pulang, itu juga kalau kamu ingat aku dan anak-anak."
Imel memutuskan sambungan telepon sepihak. Lalu menunduk, ia kembali menangis, tak kuat rasanya. Ia membungkam bibirnya, supaya isakannya tak membangunkan Dewa juga Ardan. Sesak, udara tak masuk ke rongga dada, dan Imel tau, apa kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Ia harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Imelda sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, suami yang dicintainya, semakin hari, justru semakin lebih ada bersama Winola. Wanita itu kehamilannya semakin besar, Imelda memendam kegalauan hatinya seorang diri. Menepati janji kepada suami juga Winola untuk tak bercerita kepada keluarga besar suaminya, pun, demi menjaga hati dua anaknya-- Dewa dan Ardan, yang semakin merasa ada yang aneh dengan sikap Rizal.Bulan ke delapan, kehamilan Winola semakin menambah daftar panjang kekesalan Imelda, karena Rizal akhirnya bicara jika keluarga besar 'sahabatnya' itu, meminta dirinya untuk lebih sering berada di sana. Imel tak habis pikir, kok ada, keluarga perempuan yang mendesak hal itu sementara mereka, tau Rizal sudah beristri dan memiliki dua anak.Rasa penasaran Imel kembali memuncak. Ia menatap Rizal yang sedang memasukkan pakaian milik pria itu ke dalam satu koper be
Winola putar otak, ia malas membahas dan menanyakan kepada Rizal perkara uang yang seharusnya, menjadi jatah Winola dan anak-anak. Jika ia tak mengalihkan pikirannya tentang Rizal, bisa-bisa semua kacau, anak-anak juga akan kena dampaknya. Itu yang ia jaga begitu hati-hati.Rizal pulang, setelah dua minggu semenjak Winola melahirkan, ia selalu di rumah wanita itu. Kedua mata Rizal terbelalak, saat ia melihat keadaan ruang TV rumahnya banyak loyang, dan adonan kue kering. Di dapur, terlihat Imel sedang mengeluarkan loyang dari dalam oven besar milik istrinya yang lama tak ia pakai semenjak lebaran tahun lalu. Biasanya, Imel akan membuat kue khas lebaran sendiri, ia memiliki keahlian akan hal itu."Mel, kamu tumben bikin nastar dan sagu keju sekarang?" Rizal membawa sepatunya ke arah rak di dekat dapur, lalu menjajarkan dengan sepatu anaknya di sana. Ia segera me
Rizal hanya bisa menatap terkejut ke arah Winola, lalu ia terkekeh. "Aku tidak mencintaimu, Win, kamu sahabatku, dan akan terus begitu."Winola menyeka air matanya, ia menunduk, begitu paham. "Tapi hatiku, setelah selama ini kebersamaan kita, aku ...," ia menjeda. "Aku rela menjadi yang kedua. Aku rela waktumu lebih banyak di Imel dari pada denganku. Aku nggak masalah, satu malam cukup. Aku nggak mau Sahila nggak punya Ayah. Kamu tau, kan, laki-laki itu juga aku nggak kenal siapa, Zal...," isaknya lagi.Imelda diam, ia menatap Winola, lalu berganti ke Sahila. Anak itu tak berdosa, wajahnya memang tak mirip dengan Rizal, kulitnya saja putih, hidungnya begitu mancung dengan bola mata abu-abu terang. Bukan Rizal sekali.Rizal mencoba menyanggah, namun dicegah Imelda dengan menggenggam jemari tangan suaminya itu.
Keluarga, setiap orang pasti selalu membayangkan memiliki keluarga yang utuh, lengkap dan tidak terpisah-pisah, atau bisa juga tanpa masalah. Tapi hal itu tidak bisa terjadi pada rumah tangga Imel, nyatanya, ia harus menerima status suaminya yang punya istri lain. Berat, bagaimana ia mencintai Rizal begitu dalam, namun di sakiti oleh status pria itu begitu tega.Pelukan tangan Rizal setia pada pinggang istrinya, wajah pria yang terlelap itu membuat Imel akhirnya bisa tersenyum, Rizal menepati janji, sudah tiga minggu ia selalu di rumah, tidak pernah menemui Winola. Telepon dari wanita itu pun juga tidak pernah ada. Imel selalu mengecek setiap Rizal pulang bekerja.Tatapan Imel lekat ke arah suaminya, ia tersenyum. Lalu, menyusupkan wajahnya pada ceruk leher Rizal yang menggeram tertahan namun semakin erat memeluk."
Jatuh cinta itu bisa membuat hilang akal, apalagi posisinya memang sedikit menekan urat malu yang harus diputus. Rizal memarkirkan mobil di garasi, jam sudah di angka 4 sore, mereka baru pulang dari toko seragam sekolah, lalu lanjut ke mal untuk makan siang bersama, kemudian membeli sepatu baru untuk dua anaknya.Namun, tatapan semuanya mengarah pada sosok Winola yang duduk di teras rumah tanpa pagar itu sambil menggendong Sahila. Satu persatu turun dari mobil, tatapan Imelda mengarah ke kedua anaknya. Sedangkan Rizal tampak kesal melihat kehadiran sahabatnya itu di rumah."Salim dulu sama Tante Winola, Dewa... Ardan," ucap Imel mengingatkan sopan santun. "Ini teman Ayah dan Ibu," lanjutnya. Dewa meraih tangan kanan Winola, ia mencium punggung tangan itu, bergantian ke Ardan. Keduanya lalu masuk ke dalam rumah sambil menenteng tas belanjaan mereka.
Pov Imelda.Bagaimana rasanya menjadi aku? Sulit dijelaskan. Suamiku terus marah dan tak habis pikir dengan Winola yang terang-terangan jujur mencintai suamiku. Ini gila. Luar biasa di luar logikaku. Ada wanita yang rela menjadi madu rumah tanggaku, berkedok sahabat yang berubah menjadi cinta.Winola menangis, air mata itu jujur, aku bisa lihat bagaimana percikan cinta itu memang ada untuk suamiku. Sakit? Sangat. Yang kupikirkan hanya kedua putraku, bagaimana Dewa akan marah, ia sudah akan ABG, di mana darahnya mulai membara. Siap memberontak, dan aku takut. Bagaimana ini, aku harus apa demi anak-anakku?Pov author."Aku akan talak kamu, Win," ucap Rizal tegas. Setegas sorot mata yang begitu tajam menyayat hati wanita itu.Winola menggelengkan kepala.
Imelda, Rizal dan Winola bertemu keluarga Winola di rumah orang tua wanita itu. Imel menjelaskan semuanya, dan ya, membuat semua terkejut, senang, sedih, haru, campur menjadi satu."Saya minta, Mas Rizal dan Winola menikah ulang. Supaya semua sah dan tidak ada masalah dikemudian hari. Kasihan Sahila," ucapnya begitu tegar."Kami akan siapkan semua, Imel, dan... kami berterima kasih atas pengertian dari kamu," sahut ibunda Winola. Imel hanya tersenyum tipis. Rizal terus mendengkus, hanya bisa melakukan itu karena ia sudah mengiyakan semua permintaan Imelda.Tak lama mereka pergi dari rumah itu, namun Imel mengajak Rizal berjalan-jalan di tepi pantai, ia butuh suasana terbuka. Rizal menggandeng jemari tangan istrinya begitu erat, sesekali melirik karena Imelda terus diam sambil menatap luasnya lautan di hadapan.
Winola terus menghapus air matanya, sudah satu bulan sejak Rizal memutuskan status hubungannya itu, ia seperti orang yang hilang akal, bahkan, imbasnya hingga ke Sahila yang terabaikan. Seperti saat bocah itu menangis kencang karena Winola melamun saat sedang mengganti pampers Sahila yang tak kunjung selesai, hingga saat Sahila haus ingin menyusu tapi Winola justru tertidur."Bunda nggak tau harus apa, Sahila, Bunda butuh Rizal," lirihnya begitu pilu dengan suara serak.Sahila hanya bisa diam, menatap ibunya yang tampak seperti orang depresi. Kedua kaki bayi itu terus bergerak-gerak risih di atas baby bouncer, Winola terus saja menatap ke arah lain dengan tatapan kosong. Tangis Sahila begitu kencang, seperti menahan sakit, hingga suara seseorang datang dan menghampiri keduany