Share

Chapter 2. Tuan Jung Jisung

“Siapa yang baru saja ibu temui? Aku tidak bodoh, ibu pasti sudah termakan omongan orang lain. Siapa? Paman dan Bibi Shin lagi?” tanya Liu bertubi-tubi saat ibunya kembali mengutarakan rencana perjodohannya.

“Aku sebentar lagi mati, Liu. Kamu akan hidup bahagia bersama lelaki ini. Dia akan membiayai seluruh hidupmu, aku akan mati dengan tenang,” lirih ibunya pilu.

Air mata ibunya jatuh, membasahi bantal polos berwana hijau tosca. Kim Liu tak berdaya melihatnya. Rasa kesal, sedih, muak, bercampur jadi satu.

“Sejak kapan ibu menjadi gila harta seperti ini? Sungguh bukan ibu sekali. Aku mohon untuk sekali ini saja, biarkan aku membangkang,” pinta Liu, memeluk ibunya.

“Aku, hanya tidak ingin kamu sebatang kara di dunia ini, Liu,” bisik sang ibu tepat di telinganya.

“Dia akan menjagamu,” tambahnya.

“Siapa?” Kalimat terakhir ibunya membuat Liu langsung menoleh, entah kenapa ia merasa seperti ibunya sedang menyembunyikan sesuatu, yang tak ia tahu itu apa.

“Sahabat ibu? Atau anaknya yang ibu jodohkan denganku? Siapa?”

“Hubungi saja nomor yang diberikan bibimu, Ibu mohon. Dia orang yang baik, Ibu jamin itu,” ucap ibunya terakhir kali sebelum kembali memejamkan mata. Liu hanya menghela nafas mendengarnya, sampai sebuah suara berisik di luar kamar menyita perhatian Liu.

“Baik, Tuan. Berhati-hatilah di perjalanan.” Begitulah sayup-sayup suara yang berhasil Liu dengar.

Liu segera beranjak dari duduknya, berniat memeriksa ke luar ruangan. Namun tangan sang ibu lebih dulu menghentikannya, membuatnya mau tak mau terduduk lagi. Liu tiba-tiba teringat perkataan Dayeon beberapa saat lalu, ia melihat ke sekeliling kamar ibunya lagi. Ia baru sadar bahwa ruangan itu benar-benar tak terlihat seperti ruangan biasa.

Kamar itu dilengkapi dengan TV besar dan kulkas berisi penuh makanan di sudut ruang. Ada sofa besar di tengah-tengahnya, yang di pisahkan dengan tirai tepat di samping kasur pasien. Dan yang paling penting, ada meja perawat yang berjaga 24 jam penuh di depan pintu kamar.

Liu hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Benarkah biaya rumah sakit ibunya yang ia bayarkan betul-betul sudah mengcover semua fasilitas itu?. Lamunan Liu buyar saat genggaman tangan ibunya tiba-tiba mengencang. Ya, ibunya kejang lagi.

“SUSTER... TOLONG...!” teriak Liu panik.

Dilihatnya ke arah meja jaga perawat yang kosong, “Argh... sialan.”

Dengan tangan bergetar, ia memencet tombol emergency di atas kasur berkali-kali. Hanya butuh waktu kurang dari lima detik sampai tiga orang perawat masuk dan menyuruhnya keluar. Ia masih bisa mendengar suara monitor yang seakan memekik di telinganya.

“Vitalnya lemah sekali, segera lakukan tindakan!” perintah salah satu perawat yang masih terdengar oleh Liu tepat sebelum pintu itu tertutup.

Kini ia hanya bisa menangis, seperti kemarin-kemarin saat ibunya kambuh seperti sekarang. Kaki Liu lemas, ia terduduk di lantai koridor rumah sakit yang sepi, semakin menangis histeris saat memori tentang perjuangan ibu yang membesarkannya seorang diri kembali terlintas.

Tanpa sengaja, tangan Liu meremas kantong jaketnya. Ia pun merogoh saku itu dan mengeluarkan kertas notes kecil yang sudah tak berbentuk. Dibukanya rematan kertas itu, menunjukkan sebuah nomor telepon lengkap dengan sebuah nama yang tertulis disana, berbunyi ‘Jung Jisung’.

Tanpa basa-basi, Liu segera mengambil ponselnya dan menelepon nomor itu. Entah apa yang sedang ada di pikirannya, emosi nampak benar-benar menguasainya sekarang. Selang beberapa detik, panggilan itu pun bersambut.

Liu tak menunggu jawaban dari seberang, ia langsung menyerbunya dengan semua sumpah serapah yang ingin ia ungkapkan.

“LAKI-LAKI SIALAN! SEMUA INI KARENAMU!”

“KENAPA KAMU DIAM SAJA DENGAN SEMUA OMONG KOSONG INI?”

“KENAPA KAMU TIDAK MELAKUKAN APAPUN?”

“KENAPA?”

“KENAPA HANYA AKU YANG TIDAK PUNYA PILIHAN?”

“KENAPA... KENAPA KALIAN MENYIKSAKU...?!”

Tangis Liu semakin menjadi setelah ia memekik di kalimat terakhirnya. Liu kembali melanjutan tangis itu hingga perlahan mereda tanpa menutup telepon yang masih tersambung.

“Sudah puas mengutukku, Kim Liu?” ucap lelaki dari ujung telepon itu, terdengar tenang sekali.

Mata Liu terbelalak mendengarnya, seakan baru dihantam realita akan hal bodoh apa yang baru saja ia lakukan. Baru saja Liu hendak bersuara, seorang perawat tiba-tiba keluar dari kamar ibunya.

“Ibu anda sudah melewati masa kritis, tapi maaf, sebaiknya anda tidak mengganggu istirahatnya terlebih dahulu. Kami akan menjaganya,” kata perawat itu sebelum menghilang lagi di balik pintu.

Liu lega, kaki lemasnya seakan bisa menapak lagi. Namun begitu Liu melihat ponselnya, panggilan telepon itu ternyata sudah dimatikan.

“Sialan, berani-beraninya dia menutup teleponku lebih dulu,” sungut Liu dengan menyedot ingus di sisa tangisnya.

Saat Liu hendak pergi, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal menghentikannya.

“Le Pre Michel lt.3, 21.00” bunyi pesan itu.

“Apa-apaan ini? Apa dia baru saja mememerintahku?” gerutu Liu kesal.

“Lihat saja nanti malam, habislah kau,” imbuhnya.

---

Liu mondar-mandir di depan cermin kamarnya, sedang menimang apakah ia benar-benar akan pergi menemui laki-laki yang ia panggil CEO sialan itu malam ini. Ia pun tak bisa menelepon teman-temannya untuk meminta pendapat, karena perjodohannya yang dirahasiakan.

“Arrrghh....” teriaknya sambil mengacak-acak rambut.

Melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan, ia pun segera mandi dan bersiap-siap. Akhirnya Liu pun memutuskan untuk datang. Ia akan memastikan nasibnya di rencana perjodohan yang sedang membelitnya.

Pukul sembilan tepat, Liu tiba di restoran Le Pre Michel seperti yang dijanjikan. Setelah melakukan pengecekan sigkat di luar gedung, ia pun dipersilakan masuk. Liu hanya pernah melihat review restoran itu dari internet saja, karena rumornya, harga makanan di sana sangat tidak masuk akal. Diluar dugaan, restoran mewah itu ternyata sepi sekali, Liu bahkan belum berpapasan dengan satu pun pelanggan selama perjalanannya ke lantai tiga.

“Kenapa ini? Apa prosentase orang kaya di Korea sudah menipis?” kelakarnya dalam hati.

Keluar dari lift, seorang laki-laki pelayan menyambut dengan membungkuk 90 derajat di depannya. Liu yang kikuk hanya berdehem kaku dan ikut membungkuk.

“Silakan ikuti saya, Nyonya,” ucap pelayan itu, yang kemudian berjalan mendahului.

Liu hanya menurut, matanya tak berhenti melihat-lihat ke sekeliling. Ia tahu restoran itu mewah, tapi sepertinya kata mewah di internet dan di kamusnya sangatlah berbeda. Karena restoran itu terlihat seperti cuplikan kastil negeri dongeng.

“Mmm, maaf. Apakah restoran ini memang sepi?” tanya Liu pada sang pelayan.

“Tidak, Nyonya. Tuan Jung Jisung menyewanya.”

“Apa? Dia menyewa satu lantai ini hanya untuk bertemu denganku?” tanya Liu tak percaya.

Pelayan itu menghentikan langkahnya, lantas berbalik menghadap Liu.

“Tidak, Nyonya. Tuan Jung Jisung menyewa seluruh gedung,” entengnya, membuat Liu membelalakkan mata seketika.

Sang pelayan kemudian menunjuk sopan ke arah meja nomor satu, mempersilakan Liu untuk mendahuluinya. Terlihat seorang laki-laki yang duduk menunggu di sana, sangat menawan bahkan dari kejauhan.

“Silakan.” Pelayan itu mempersilakan.

“Hah? Oh iya, terimakasih.” Jawab Liu kikuk.

 Otak Liu masih sibuk memikirkan maslaah sewa menyewa gedung yang memusingkannya. Ia pun berjalan pelan menuju laki-laki asing yang ternyata tengah memejamkan matanya sambil melipat tangan di depan dada.

“Ekhm.” Liu berdehem, seketika membuat sosok di depannya membuka mata. Mata mereka pun bertemu, membuat kontak mata selama beberapa detik sampai diputus oleh Liu.

“Dia tidak mempersilakanku duduk? Laki-laki macam apa ini?”

“Kamu telat sepuluh menit, Kim Liu,” ucap lelaki itu, dingin.

“Apa? Laki-laki macam apa kamu Jung Jisung?”

----

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status