Share

Chapter 3. CEO dan Sebotol Wine

Hening, hanya ada alunan musik klasik lirih yang mengiringi. Liu duduk terdiam sambil menatap meja selama beberapa saat. Saat ia mendongakkan kepala, matanya bertemu dengan mata Jisung yang juga tengah menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.

“Kamu tinggal sendiri? Rumahmu dimana?”

“Naik apa kamu ke tempat kerja? Bus kota? Taksi? Mobil pribadi?”

“Apa kamu punya teman dekat? Berapa? Berikan aku informasi tentang mereka.”

“Apakah kam-“

“Stop!” sergah Liu usai mendengarkan rentetan pertanyaan dari Jisung, ia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Pertama, anda sangat tidak sopan sudah mengunakan bahasa non formal pada saya yang jelas-jelas baru pertama kali anda temui. Kedua, saya bukan g****e yang bisa menjawab pertanyaan beruntun itu sekaligus. Ketiga, untuk apa saya memberitahukan informasi-informasi pribadi saya? Jangan harap,” lanjut Liu yang sedang berusaha menahan kesal.

Jisung hanya menatap gadis di depannya dengan dingin, senyum miring terukir di wajahnya usai mendengar tiga protes dari Liu. Kesan pertamanya setelah bertemu dengan Liu adalah, gadis kasar, ceroboh, bodoh, dan... sedikit lucu. Tapi hanya sedikit saja, pikirnya.

“Ternyata semua laporan dari sekretaris Choi benar,” lirih Jisung.

“Apa? Jadi kamu sudah mengintaiku? Oke, sekarang aku tidak akan menggunakan bahasa formal denganmu, karena kamu juga begitu. Jadi, jawab pertanyaanku,” seru Liu yang mendengar gumam Jisung.

“Pertama, aku tiga tahun lebih tua darimu. Lagi pula, kamu yang lebih dulu berbicara menggunakan bahasa non formal tadi di telepon,” skak mat Jisung untuk Liu.

“Wah, kamu bahkan sudah memeriksa latar belakangku sampai tahu kalau aku lebih muda tiga tahun?” protes Liu, berusaha mengalihkan pembicaraan dari kebodohannya tadi siang.

“Kedua, aku kira seorang pengacara sudah terbiasa dengan bom pertanyaan seperti itu. Bukankah kalian sering melakukannya di persidangan? Tapi kamu boleh menjawabnya dengan pelan jika tak mampu,” lanjut Jisung yang terdengar sangat memprovokasi di telinga Liu.

“Sial, sekarang dia bahkan membawa-bawa kompetensiku sebagai pengacara? Konyol.”

“Ketiga, aku memang harus bertanya semua tentang kamu. Aku harus mengetahui latar belakang calon istriku, bukan?"

“Ca-calon istri?”

Mata Liu terbelalak menatap Jisung, tak percaya dengan apa yag baru saja ia dengar.

“Kamu tidak menentang perjodohan ini? Kenapa?” tanya Liu penasaran.

“Aku lapar, sebaiknya kita makan dulu,” potong Jisung, yang langsung sukses mendapatkan tatapan kesal dari Liu untuk yang kesepuluh kali malam itu.

Jisung mengangkat tangan kanannya ke udara, membuat Liu bertanya-tanya. Namun hanya dalam hitungan detik, dua pelayan restoran datang membawa menu yang nampaknya memang sudah dipesan terlebih dahulu sebelumnya.

“Makanan macam apa ini?” batin Liu.

Menu itu adalah Fleur Burger yang menggunakan pattie daging wagyu dengan topping truffle dan foie grass. Siapapun yang melihatnya pasti sudah menduga bahwa itu adalah makanan mahal.

Liu penasaran setengah mati dengan harganya. Liu pun menebak-nebak ria dalam hati, kira-kira makanan di depannya itu seharga dengan berapa bulan gajinya sebagai pengacara.

 “Memang hanya orang kaya yang makan burger dengan pisau dan garpu. Apa mereka tidak tahu betapa nikmatnya melahap satu gigit besar burger dengan dua tangan?” batin Liu lagi yang agak kesusahan mengiris makanannya.

“Aku bukannya tidak menentang perjodohan ini, tapi aku memang tidak punya alasan untuk menolaknya,” jawab Jisung usai memasukkan satu suap ke mulutnya.

“Kalau begitu, jadikan saja aku alasannya. Bilang saja aku terlalu bodoh dan miskin untuk menjadi istrimu,” tawar Liu.

“Tapi kan itu kenyataan, dan aku tidak masalah dengannya,” komentar Jisung dengan polosnya.

“Apa? Apa  dia baru saja membenarkan kebodohan dan kemiskinanku? CEO sialan.”

Liu benar-benar kehilangan kata-kata, ia menyelesaikan makanannya tanpa bersuara sedikitpun. Sedangkan Jisung, ia diam bukan karena bersikap dingin. Dia hanya tidak terbiasa, karena memang tidak pernah punya teman makan untuk diajak berbicara.

Usai menyelesaikan menu mahal itu, pelayan datang lagi dengan satu botol wine berlabel Domaine de la Romanee Conti tahun 1990. Sang pelayan menuangkannya dengan hati-hati untuk Jisung dan Liu.

Lagi-lagi Liu terkejut dibuatnya. Pasalnya, ia tahu berapa harga wine di depannya itu. Bukan, bukan karena ia pernah mengicipinya, tapi karena ia pernah menangani klien yang merupakan tersangka kasus pencurian wine mahal di bar. Dan harga wine dengan nama sulit itu adalah 25 juta won, setara dengan sepuluh bulan gajinya sebelum dipotong tagihan kartu kredit.

“Aku tidak berniat menolak perjodohan ini. Oke, apa ada pertanyaan lagi sebelum aku yang balik bertanya?” Jisung mengawali.

Liu terdiam mendengarnya. Daripada kesal, saat ini kesedihanlah menguasai hatinya.

“Apa pendapatku benar-benar tidak penting sampai kalian mengabaikanku? Ternyata, sejak awal aku memang tidak punya pilihan. Iya, kan?” komentar Liu.

“Selama dua puluh delapan tahun aku hidup, aku belum pernah mengingkari satu pun janji yang keluar dari mulutku. Dan malam ini aku berjanji, aku tidak akan ikut campur dengan hidupmu jika kita menikah. Kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau,” ucap Jisung tenang, ia meneguk habis wine di gelasnya.

“Aku terima syarat apapun darimu selama itu tak saling merugikan. Lagi pula, kamu juga tidak merugi disini, kan? Aku yakin kamu juga tidak mau mengecewakan ibumu. Menikah sekarang atau nanti, tak ada bedanya. Aku juga tidak berminat mengusik pekerjaanmu,” lanjutnya.

Liu kembali membisu. Semua yang diucap Jisung memang benar, tapi justru itu yang membuatnya lebih kesal. Setelah beberapa saat berdebat dengan otak dan hatinya, ia pun mengiyakan tawaran Jung Jisung.

“Oke, dengan satu-mmm dengan beberapa syarat,” tawar Liu.

“Katakan saja.”

“Pertama, aku tidak mau identitasku disebar. Kamu mungkin orang terkenal, tapi tidak denganku, aku tidak ingin dikenali publik.”

“Baik, syarat diterima.”

“Kedua, jangan sentuh kehidupan pribadiku. Baik pekerjaan, pertemanan, dan semua kehidupan sosialku dengan orang lain.”

“Baik, syarat diterima.”

“Ketiga, jangan melakukan kontak fisik apapun tanpa persetujuanku.”

“Baik, syarat diterima.”

“Terakhir, jangan mencintaiku.”

Jisung terdiam sebentar, sedikit tak menyangka dengan syarat terakhir dari Liu.

“Baik, mmm... syarat diterima.”

Liu bernafas lega, setidaknya ia bisa sedikit mengendalikan lelaki itu, pikirnya. Ternyata pandangan tentang perjodohannya bisa berubah hanya dalam waktu beberapa jam saja, benar-benar tidak berpendirian.

“Sekarang giliranmu, apa saja syaratmu?” tanya Liu, ia bahkan mengeluarkan ponsel untuk bersiap mencatat ucapan Jisung.

“Oh, syaratku hanya satu. Kamu harus tinggal bersamaku,” enteng Jisung.

Entah untuk yang keberapa kalinya malam itu, mata Liu dibuat terbelalak lagi oleh seorang Jung Jisung.

“O-oke, baiklah. Tapi selalu ingat syarat dariku, oke? Kita tidak berbagi ranjang, kan?” panik Liu.

“Tidak, tentu saja.”

“Baik, sekarang apa yang ingin kamu tahu tentang latar belakangku?”

Jisung kemudian bertanya satu persatu hal tentang latar belakang calon istrinya. Liu menjawab dengan patuh, meskipun kadang ada beberapa pertanyan yang tak masuk akal seperti jam berapa biasanya ia tidur dan parfum apa yang biasanya ia gunakan.

“Apa yang kamu lakukan? Cepat catat semua jawabanku,” saran Liu.

“Aku menyelesaikan sekolah menengah di usia sepuluh tahun, dan mendapat gelar doktor di usia dua puluh satu tahun. Semua ini benar-benar bukan apa-apa, aku sudah menghafalnya,” pamer Jisung.

“Lihat ini, dia baru saja menyombongkan kepintarannya, bukan? Sungguh si sombong yang menyebalkan. Kenapa julukannya CEO 1 Miliar Won? CEO Angkuh nan Sombong terdengar lebih cocok untuknya.”

“Oke, terserah, aku tidak peduli. Tapi kenapa kamu harus mewawancaraiku seperti ini? Lakukan saja seperti caramu kemarin-kemarin. Menggali latar belakangku lewat anak buahmu, bukankah itu lebih mudah?”

“Sudah, aku hanya ingin membandingkan jawabanmu dengan laporan dari sekretarisku saja. Dengan begitu, aku bisa menilai hasil kerjanya, bukan?”

Jawaban Jisung membuat suasana hening sesaat, lelaki itu kembali meneguk wine terakhirnya.

“Dasar CEO brengsek,” serang Liu kemudian, membuat Jisung tersedak wine mahalnya.

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status