Share

Pion dan Raja

Author: Moon_L03
last update Last Updated: 2025-03-06 11:35:08

Dari lantai tertinggi Cheonghwa Group, kota Seoul terlihat seperti papan catur raksasa. Jalan-jalan menjadi garis, gedung-gedung jadi bidak. Dan manusia? Mereka pion. Bergerak sesuai aturan, tunduk pada tangan yang mengatur permainan.

Seon Woo menyukai ketinggian. Ia bisa melihat semuanya dari atas. Jauh dari kebisingan, jauh dari distraksi. Tapi hari ini, satu pion tertentu menarik perhatiannya.

Han Ji An.

Nama itu muncul dalam berkas yang ia buka beberapa hari lalu. Awalnya ia mengabaikannya. Nama seperti ribuan lainnya. Tapi begitu melihat wajah di berkas perekrutan, semuanya berubah.

Waktu tidak banyak mengubah Ji An. Masih punya tatapan yang sama, keras kepala, menantang, dan menyebalkan. Tapi sekarang… ia terlihat lebih dewasa. Lebih tajam. Lebih... rapuh.

Dan hari ini, saat matanya secara tidak sengaja bertemu milik Ji An di antara kerumunan staf, Seon Woo tahu satu hal:

Dinding antara masa lalu dan masa kini telah runtuh.

Ia meletakkan cangkir kopinya. Berdiri. Jarinya menyentuh kaca jendela yang dingin. Pikirannya kembali ke pertemuan tak terduga itu. Ke tatapan kaget Ji An. Ke caranya pergi tanpa suara setelah acara selesai.

Dia mengenalnya terlalu baik. Ji An bukan tipe yang lari dari medan perang. Tapi hari ini, ia kabur.

Berarti luka itu belum sembuh.

Dan entah kenapa, bagian kecil dari dirinya... lega.

Pintu ruangannya diketuk.

Seorang sekretaris masuk, membawakan laporan awal dari divisi keuangan, divisi tempat Ji An ditugaskan. Seon Woo menerima dokumen itu tanpa ekspresi.

“Kapan audit internal terakhir dilakukan?” tanyanya.

“Empat bulan lalu, Tuan. Ada temuan kecil, tapi sudah ditindaklanjuti.”

Seon Woo mengangguk kecil. “Siapkan audit menyeluruh bulan ini. Tanpa pemberitahuan.”

Sekretaris tampak ragu. “Apakah ini berkaitan dengan….”

“Saya tidak suka ada angka yang tidak jujur,” potongnya datar. “Apalagi jika ada orang yang dijadikan perisai.”

Sekretaris itu mengangguk, lalu pergi.

Begitu ruangan kembali sepi, Seon Woo menatap laporan Ji An sekali lagi.

Ia tahu gadis itu tidak bersalah. Setidaknya untuk saat ini. Tapi ada sesuatu di Cheonghwa yang busuk. Dan sayangnya, Ji An sudah terlanjur masuk ke dalam permainan yang bukan miliknya.

Dan dia akan jadi umpan.

Jika ingin menjebak sang pelaku, ia butuh seseorang yang cukup pintar, cukup polos, dan cukup keras kepala untuk tak sadar sedang dijadikan pion.

Han Ji An memenuhi semua kriteria itu.

Tapi masalahnya… pion itu tidak pernah diam.

Dan Seon Woo tahu, jika Ji An sadar sedang dipermainkan, dialah yang pertama akan menerkam sang raja.

---

Satu malam tidur tak cukup menghapus kejut dan kekacauan yang terjadi kemarin.

Ji An berdiri di depan cermin kamar mandi karyawan, membetulkan kerah kemeja dan menghela napas untuk ke sekian kalinya. Wajahnya terlihat tenang. Tapi hanya Ji An yang tahu, jantungnya berdetak seperti drum konser rock.

Hari pertama kerja, ulang lagi dari nol.

Ia menatap pantulan dirinya. “Kamu bisa. Fokus ke kerjaan. Dia cuma CEO. Dia nggak akan ikut campur.”

Setelah itu ia kembali ke ruang divisi keuangan. Meja yang sama. Rekan kerja yang sama. Layar monitor yang sama. Tapi rasanya… semua berubah.

Kepala bagian keuangan, Direktur Nam, sedang berdiri di depan tim, memberi pengumuman.

“Kita akan menjalani audit internal mendadak bulan ini. Jadi pastikan semua laporan rapi, tidak ada angka yang janggal.”

Beberapa staf saling pandang. Bahkan Min Ji tampak kaget.

“Biasanya audit dijadwalkan, kan?” bisik Min Ji ke Ji An. “Kenapa sekarang tiba-tiba banget?”

Ji An tak menjawab. Firasatnya kembali muncul. Suasana terlalu cepat berubah sejak kemarin.

Audit? Hari setelah CEO baru naik jabatan?

Kebetulan yang terlalu kebetulan.

Ia membuka file laporan penjualan dan pengeluaran proyek yang ditugaskan padanya. Awalnya tampak biasa saja. Tapi saat ia mendalami data—ada sesuatu yang tidak selaras. Angka pengeluaran bulan lalu sedikit membengkak, namun tanpa justifikasi yang jelas.

Ia menandai sel tersebut, menyimpan salinan file, dan kembali memeriksa dari awal.

“Ji An?” Min Ji menepuk bahunya. “Lagi fokus banget ya?”

“Ya… ada angka yang aneh.”

Min Ji ikut mengintip layar. “Eh? Tapi ini divisi lain yang input datanya. Kita cuma nyusun laporan gabungan, kan?”

“Justru itu,” gumam Ji An. “Kalau angkanya salah, bisa jadi kita yang dituduh memanipulasi.”

Min Ji langsung diam.

Ji An bersandar ke kursi. Matanya memandangi angka-angka di layar yang diam tapi terasa mengintimidasi.

Kalau audit itu bukan sekadar formalitas...

Kalau benar ada sesuatu yang salah di balik laporan ini...

Dan kalau Seon Woo tahu tentang ini jauh sebelum ia diumumkan sebagai CEO….

Berarti ini semua sudah direncanakan. Termasuk dirinya. Termasuk pekerjaannya.

Dadanya kembali sesak. Tapi bukan karena panik, melainkan karena marah.

Kalau memang begitu, apa dia pikir aku akan diam?

Ji An menutup file-nya dan menarik napas panjang. Kali ini ia tidak akan kabur.

---

Setelah menutup file dan menyimpan catatan di folder terpisah, Ji An mencoba mengalihkan pikirannya.

Ia membuka email, hanya untuk mendapati lebih banyak laporan menumpuk dari divisi lain. Ia mendesah pelan, lalu mulai menyeleksi satu per satu.

“Tugas berat di hari kedua, ya?”

Suara lelaki terdengar dari sampingnya. Ji An menoleh, sedikit terkejut.

Seorang pria dengan jas abu terang dan senyum percaya diri berdiri sambil menyandarkan tangan di sekat kubikel. Rambutnya rapi, wajahnya bersih terawat, dan sorot matanya tenang. Usianya mungkin akhir dua puluhan atau awal tiga puluh, sedikit lebih tua dari Ji An.

“Oh… iya,” Ji An mengangguk sopan, sedikit canggung.

“Lee Seo Jun,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Divisi akuntansi. Aku sering bantu bagian keuangan juga, jadi kita pasti sering ketemu.”

Ji An menerima jabatannya, berusaha tersenyum. “Han Ji An. Baru mulai kemarin.”

“Aku tahu,” jawabnya santai. “Kamu yang datang barengan sama pengumuman CEO baru, kan? Gila, timing-nya. Ada gosip lho, katanya kamu bawa hoki besar.”

Ji An terkekeh, separuh terpaksa. “Kalau itu benar, semoga hokinya bisa bantu selesaiin laporan ini.”

Seo Jun tertawa pelan. “Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Aku jago nyari celah data yang aneh. Tapi bayarannya kopi ya. Americano dingin. No sugar.”

Ji An mengangkat alis, menahan senyum. “Gak murah juga ya barter jasanya.”

“Tentu. Aku senior ganteng, tahu?” balasnya sambil mengedipkan sebelah mata.

Ji An tertawa kecil. Untuk pertama kalinya sejak kemarin, bahunya terasa lebih ringan. Bukan karena pekerjaannya berkurang, tapi karena ada seseorang yang berbicara dengannya tanpa tekanan, tanpa masa lalu.

“Noted, Senior Ganteng. Kalau aku mulai stres, aku akan kirim email bertema ‘darurat kopi’.”

Seo Jun tertawa puas. “Tuh kan, kamu bisa juga santai. Jangan terlalu serius. Dunia kantor itu keras, tapi jangan sampai bikin kamu kehilangan senyum.”

Setelah itu ia melangkah pergi, kembali ke mejanya. Tapi Ji An masih duduk sambil menatap layar monitor, kali ini dengan senyum kecil yang masih bertahan.

Senyum yang tidak bisa dipalsukan, karena untuk sejenak, ia bisa lupa bahwa masa lalunya sedang duduk di kursi CEO, dan bahwa angka-angka dalam file-nya mungkin menyimpan rahasia besar.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Kamu Tidak Bisa Larang Aku Lagi!

    [Rumah Keluarga Ji An – Pukul 06.12]Langit masih gelap. Embun masih bergelayut di jendela ketika Ji An mendorong pintu rumah, tubuhnya lunglai dan mata nyaris tak terbuka sempurna. Ia bahkan belum sempat mengganti baju kantor sejak malam tadi. Lelahnya bukan cuma karena jam kerja, tapi karena hidup yang tak pernah memberi jeda.Begitu masuk, aroma bubuk kopi menyambut, disusul suara lembut yang terlalu manis untuk pagi hari.“Ji An-ah, kamu sudah pulang? Ayo sarapan dulu sebentar.”Ibunya berdiri di dapur, mengenakan apron motif bunga yang sudah mulai lusuh. Di meja makan, ada dua piring nasi, dan satu kursi kosong yang sudah disiapkan untuknya.Ji An, masih setengah sadar, mengangguk kecil. “Nanti, Bu. Aku ganti baju dulu...”“Nggak usah lama-lama. Ibu cuma mau bicara sebentar kok.”Nada suara ibunya terlalu halus. Terlalu terencana. Ji An merasakannya langsung.Ia mendesah pelan, lalu duduk perlahan di kursi. Matanya menyapu ruangan. Adiknya belum bangun, dan ayahnya belum pulang d

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Kebenaran Yang Tak Diinginkan

    "Han Ji An-ssi. Apa yang kamu lakukan?"Suara itu membuat Ji An tersentak.Ia menoleh cepat. Di belakangnya berdiri Kang Seo Jun, dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan ekspresi bingung namun serius di wajahnya.“Han Ji An?”Suaranya tenang, tapi ada tekanan yang membuat bulu kuduk Ji An meremang.Ji An mematung. “Seo Jun sunbae... ini...”Seo Jun melangkah mendekat. Tatapannya tertuju pada layar yang masih terbuka, menampilkan email dengan subjek:[URGENT] Konfirmasi Transfer (Opsional)Beberapa detik mereka hanya terdiam. Lalu Seo Jun bertanya, suaranya rendah dan nyaris seperti bisikan, “Kamu dapat email ini dari mana?”Tidak ada gunanya berbohong. Yang bisa Ji An lakukan hanyalah jujur.“Aku... lihat ada transaksi mencurigakan. Aku cocokkan datanya, lalu tembus ke folder backup. Sistem audit server simpan salinan semua transaksi besar di atas seratus juta, kan?”“Kamu tahu folder itu seharusnya tidak diakses sembarangan?” Nada suara Seo Jun makin berat. “Apalagi oleh st

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Akses Terlarang

    [Ruang Rapat CEO]Langit gelap menekan jendela kaca kantor saat suara ketukan pelan terdengar di pintu ruangannya.Seon Woo menoleh dari layar laptopnya, ekspresinya datar seperti biasa. “Masuk.”Pintu terbuka. Sekretarisnya masuk lebih dulu, lalu diikuti empat orang penting dari struktur perusahaan: Kepala Divisi Legal, HR, Operasional, dan Audit.Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung menempati kursi masing-masing di meja rapat kaca panjang. Wajah-wajah mereka tegang, tanpa senyum basa-basi yang biasanya menyertai pertemuan formal.Seon Woo duduk tenang di ujung meja, tangan kanan melipat di depan dada, mata mengamati satu per satu. “Kelihatan seperti kalian menemukan mayat di laci akuntan,” gumamnya ringan, tapi dengan nada tajam.Kepala Audit, Pak Jang, membuka rapat lebih dulu. Suaranya kaku.“Kami menemukan indikasi penyisipan transaksi fiktif selama dua bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil, dan dilakukan lewat vendor yang tidak terdaftar secara resmi di sistem.”“Nama vendor?

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Kantor yang Menyimpan Mayat

    Ji An keluar dari ruang CEO dengan langkah cepat dan kepala tertunduk. Wajahnya menegang, rahangnya terkunci, dan napasnya sedikit tersengal—bukan karena lelah, tapi karena emosi yang membuncah tanpa jalan keluar.Kesal. Malu. Dan bodoh.Itu tiga kata yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini.Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—sikap Seon Woo yang dingin seolah tidak pernah terjadi apa-apa, atau kenyataan bahwa ia masih berharap pria itu akan menunjukkan sedikit saja kepedulian. Sedikit saja.Ia membanting tubuhnya ke kursi, membiarkan punggungnya menyentuh sandaran dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa rekan kerja di seberangnya sempat melirik, tapi tak ada yang berani menyapa. Aura Ji An terlalu panas pagi ini.Belum lima detik ia mencoba menenangkan diri, suara hak sepatu yang familiar terdengar mendekat.“Ji An-ah.”Ia mendongak cepat dan mendapati Min Ji berdiri di sisi mejanya, membawa map biru dan ekspresi lelah akibat lembur semalam.“Ada dokume

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   Maaf yang Tak Datang / Dua Miliar yang Hilang

    Pagi itu, Ji An datang dengan kepala penuh amarah yang dibungkus rapi dalam senyum tipis dan ketukan ringan di pintu. Satu malam penuh ia berperang dengan pikirannya sendiri, mengulang setiap detik kebersamaannya dengan Seon Woo—mulai dari sundulan isengnya di rak es krim, kalimat ambigu sebelum tertidur, sampai... napas mereka yang terlalu dekat di ruang tamu.Ia sudah mempersiapkan beberapa kalimat pembuka: mungkin sedikit sarkasme, mungkin pertanyaan frontal, atau setidaknya satu tuntutan maaf.Tapi begitu pintu terbuka, semua yang ia siapkan langsung hancur.Seon Woo berdiri di depan mejanya sambil memeriksa dokumen, lengkap dengan ekspresi datarnya yang biasa. Seolah-olah malam kemarin tidak pernah ada.“Oh, Han Ji An-ssi,” ucapnya ringan. “Kamu datang tepat waktu. Aku mau bahas laporan transaksi bulan lalu. Duduklah.”Ji An mematung sejenak.Ia menatap Seon Woo dalam diam, menunggu kode—sekecil apa pun—bahwa pria itu akan menyebutkan sesuatu. Bahkan satu kalimat basa-basi pun ta

  • CEO Baru Itu Mantan Rivalku   CEO Yang Terbakar Api Sendiri

    Begitu suara pintu tertutup rapat, Seon Woo membuka sebelah matanya perlahan. Sunyi. Ia mengintip ke arah pintu, memastikan Ji An benar-benar pergi. Setelah yakin tidak ada suara langkah kaki atau napas penuh kekesalan dari arah dapur, ia menghela napas lega dan… duduk tegak. Tidak, ia tidak mabuk. Seon Woo menyandarkan punggungnya ke sofa, lalu memutar lehernya pelan. “Toleransi alkoholku masih oke, ternyata,” gumamnya lirih sambil memijat perutnya yang sedikit nyeri. “Tapi tendangannya juga masih tetap berbahaya. Apa dia latihan MMA sekarang?” Ia memicingkan mata ke arah gelas yang masih berisi setengah di meja. Sebenarnya, satu-satunya alasan ia bersikap seperti itu adalah karena… ia tidak sengaja mendengar Ji An dan Seo Jun merencanakan sesuatu di restoran. Pergi ke tempat baru, katanya. Naik mobil yang sama, katanya. Dan entah kenapa, Seon Woo merasa... tidak suka. Hanya sedikit. Sedikit banget. Bukan karena cemburu, tentu saja. Bukan karena takut kehilangan. Hanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status