Home / Romansa / CEO Bertopeng Giok / Mata yang Mengawasi

Share

Mata yang Mengawasi

Author: Ethan Zachary
last update Huling Na-update: 2025-06-18 20:45:57

Keheningan di dalam penthouse itu begitu absolut hingga Elara bisa mendengar desiran pelan dari sistem ventilasi udara. Ia duduk di tepi sofa kulit yang terasa terlalu besar dan dingin, tablet di pangkuannya terasa seberat batu nisan. Di luar, kota Jakarta terbentang bisu di balik dinding kaca. Pemandangan yang seharusnya menakjubkan itu justru terasa seperti lukisan tak bernyawa yang mengawasinya, menambah rasa keterasingannya.

Dengan jari yang sedikit gemetar, ia menyentuh layar dan membuka satu-satunya dokumen di dalamnya. Judulnya sederhana: "Protokol Harian: K.A."

Isinya sama sekali tidak sederhana.

Ini bukan sekadar jadwal rapat atau daftar tugas. Ini adalah cetak biru dari sebuah kehidupan yang diatur dengan presisi militer yang obsesif. Halaman pertama menampilkan data biometrik waktu nyata pola tidur, detak jantung, tingkat saturasi oksigen yang sepertinya terhubung ke sebuah sensor yang dikenakan Kian. Ada beberapa alarm peringatan dengan kode warna: kuning untuk "kualitas tidur di bawah 70%", oranye untuk "detak jantung tidak teratur", dan merah menyala di samping catatan "kadar mineral jejak kritis".

Jantung Elara berdebar sedikit lebih cepat. Mineral jejak? Ini lebih mirip laporan medis pasien di unit perawatan intensif daripada data seorang CEO.

Ia menggulir ke bawah. Ada daftar diet yang sangat terperinci, dibagi menjadi dua kolom: "Menu Siang" dan "Menu Malam". Menu siang berisi makanan normal daging panggang, salad, ikan salmon. Namun, menu malam tampak ganjil. Isinya bukan makanan, melainkan daftar mineral dan senyawa kimia: kalsium karbonat, silika murni, teh herbal dengan campuran akar valerian dan ginseng Siberia. Beberapa bahan makanan diberi tanda bintang dengan catatan: "Potensi alergi nokturnal. Hindari setelah pukul 18.00."

Alergi nokturnal? Elara belum pernah mendengar hal seperti itu. Rasa dingin yang ia rasakan semalam kembali merayap di kulitnya. Diet ini bukan untuk manusia. Ini adalah diet untuk… sesuatu yang lain. Sesuatu yang membutuhkan batu dan mineral untuk bertahan di malam hari.

Sisa dokumen itu adalah labirin informasi korporat. Profil ratusan karyawan kunci, lengkap dengan latar belakang keluarga, kekuatan, kelemahan, dan tingkat "loyalitas" yang dinilai dalam skala satu sampai sepuluh. Ada juga bagan proyek-proyek rahasia dengan nama sandi seperti "Phoenix" dan "Icarus", yang detailnya dilindungi kata sandi berlapis.

Elara merasa pusing. Ini bukan pekerjaan asisten. Ini adalah pekerjaan seorang kepala staf, analis data, ahli gizi, dan perawat pribadi yang digabung menjadi satu. Beban informasi itu seharusnya membuatnya lumpuh, tetapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Pikirannya, yang terbiasa bekerja di bawah tekanan untuk menghafal materi kuliah sambil mengingat puluhan pesanan kopi, mulai bekerja secara otomatis.

Ia tidak hanya membaca, ia memetakan. Ia membuat koneksi di benaknya. Nama kepala R&D Proyek Phoenix, Pak Aditama, terhubung dengan alergi kacang istrinya yang disebutkan dalam profilnya—informasi penting jika Kian perlu menjamu mereka. Jadwal rapat dengan investor dari Dubai harus mempertimbangkan perbedaan waktu dan jadwal salat mereka. Semua data itu mulai membentuk sebuah jaring informasi yang rumit di dalam kepalanya. Untuk pertama kalinya hari itu, Elara tidak merasa seperti korban yang ketakutan. Ia merasa tertantang.

Waktu berlalu tanpa terasa. Tepat lima belas menit sebelum tengah hari, langkah kaki yang tenang terdengar mendekat. Kian Alvaro muncul, sudah berganti pakaian dengan setelan lain yang tak kalah sempurnanya. Ia tidak bertanya apakah Elara sudah selesai. Ia tidak perlu. Standarnya adalah kesempurnaan, dan ia mengharapkan hal yang sama dari orang lain.

"Berdiri," perintahnya singkat.

Elara berdiri, punggungnya lurus, tangannya terkepal di sisinya.

"Pertemuan dengan dewan pengawas dari Kyoto dijadwalkan ulang. Kapan tiga slot waktu terbaik mereka dalam dua minggu ke depan, dengan mempertimbangkan perbedaan zona waktu dan hari libur Golden Week mereka?" tanyanya tanpa basa-basi.

Pikiran Elara langsung bekerja. "Pukul sembilan pagi waktu Jakarta hari Selasa minggu depan, yang berarti pukul sebelas siang waktu Kyoto. Atau pukul dua siang hari Kamis, setelah jam makan siang mereka. Opsi ketiga adalah pukul delapan pagi di hari Jumat, tetapi itu akan memotong akhir pekan mereka," jawab Elara lancar.

Kian tidak menunjukkan reaksi. "Siapa kepala R&D Proyek Icarus dan di mana putrinya bersekolah?"

"Bapak Haryono. Putrinya, Anisa, bersekolah di SMA Internasional Pelita Harapan, kelas dua belas. Dia adalah kapten tim debat sekolah," jawab Elara, mengingat detail kecil yang ia baca di bagian "potensi pengaruh".

Satu per satu, Kian melontarkan pertanyaan acak dari dokumen setebal seratus halaman itu. Pertanyaan tentang data keuangan, klausul kontrak, hingga jenis teh yang harus disajikan kepada Duta Besar Jerman. Elara menjawab semuanya dengan tepat, suaranya semakin percaya diri dengan setiap jawaban.

Setelah pertanyaan ketujuh, Kian berhenti. Ia menatap Elara selama beberapa detik, matanya yang dingin seolah memindai dirinya, mencari celah. Elara menahan napas. Akhirnya, Kian memberikan anggukan yang nyaris tak terlihat. Hanya satu anggukan kecil, tetapi bagi Elara, rasanya seperti sebuah pengakuan. Ia lulus ujian pertama.

"Bagus," kata Kian. "Ada rapat darurat di kantor pusat. Kau ikut denganku."

Perjalanan menuju gedung Alvaro Corp terasa menegangkan. Elara duduk diam di kursi belakang mobil mewah itu, berusaha keras untuk menenangkan jantungnya. Ini adalah pertama kalinya ia akan memasuki sarang singa.

Gedung Alvaro Corp adalah sebuah mahakarya arsitektur modern, menara kaca dan baja yang menjulang menusuk langit. Di dalamnya, suasananya sibuk, senyap, dan efisien. Semua karyawan yang mereka lewati akan langsung berdiri tegak, membungkuk sedikit, dan menyapa dengan hormat bercampur takut, "Selamat siang, Pak Alvaro."

Kian tidak membalas sapaan mereka, hanya terus berjalan lurus menuju lift pribadi yang langsung membawanya ke lantai teratas.

Saat pintu lift terbuka di lantai eksekutif, Elara merasakan puluhan pasang mata langsung tertuju padanya. Ia, dalam balutan blus sederhana dan rok bahan yang dibelinya susah payah beberapa bulan lalu, merasa seperti seekor merpati yang tersesat di antara kawanan elang berjas mahal.

"Kian."

Sebuah suara wanita yang jernih dan berwibawa memanggil. Seorang wanita cantik dengan rambut hitam legam yang dipotong model bob sebahu melangkah keluar dari sebuah kantor sudut. Pakaiannya adalah setelan desainer berwarna merah marun, dan tatapannya tajam dan cerdas. Senyumnya terpoles sempurna, tetapi tidak mencapai matanya.

"Wajah baru?" tanyanya, matanya meneliti Elara dari atas ke bawah dengan penilaian cepat yang membuat Elara merasa telanjang.

"Helena, perkenalkan Elara Wijaya, asisten pribadiku yang baru," jawab Kian datar. "Mulai hari ini, dia akan menemaniku di semua rapat."

Pernyataan itu adalah sebuah proklamasi. Sebuah penegasan status yang membuat beberapa kepala di sekitar mereka terangkat karena terkejut.

Senyum di wajah Helena sedikit menegang. "Oh, begitu. Sebuah keputusan yang cepat. Selamat datang di Alvaro Corp, Elara. Saya Helena, Wakil Presiden Operasional. Semoga kau betah." Kata-katanya ramah, tetapi nadanya mengandung lapisan es tipis. Mata yang mengawasi itu kini memiliki nama dan wajah.

"Terima kasih, Bu Helena," jawab Elara sopan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Kian berjalan menuju ruang rapat utama, dan Elara bergegas mengikutinya, merasakan tatapan tajam Helena menusuk punggungnya.

Rapat itu adalah sebuah badai. Elara duduk di sudut, tablet di pangkuannya, menyaksikan Kian mengambil alih ruangan. Ia tanpa ampun membantai presentasi seorang manajer yang datanya lemah, mengajukan pertanyaan setajam silet, dan memberikan solusi brilian dalam hitungan menit. Ia adalah seorang jenderal di medan perangnya, dan semua orang di ruangan itu adalah prajuritnya. Melihatnya dalam elemennya seperti ini, Elara hampir lupa pada pria rapuh yang mengerang kesakitan di kafe dua malam yang lalu. Hampir.

Ketika mereka kembali ke penthouse sore itu, matahari sudah mulai condong ke barat, melukis langit dengan warna oranye dan ungu yang dramatis. Selama perjalanan pulang, Kian jauh lebih pendiam. Ia memijat pelipisnya pelan, dan Elara bisa melihat garis-garis kelelahan yang samar di sekitar matanya.

Saat mereka melangkah keluar dari lift dan masuk kembali ke dalam penthouse yang sunyi, perubahan atmosfer terasa begitu nyata.

"Malam ini, tinjau semua risalah rapat tadi dan buat ringkasan eksekutif berisi poin-poin tindakan untukku. Kirim ke tabletku sebelum pukul sembilan," perintah Kian, suaranya terdengar sedikit lelah.

"Baik, Tuan."

Ia menyerahkan sebuah kartu akses pada Elara. "Ini akses untuk kamarmu dan semua area di sayap barat." Ia berhenti sejenak, menatap ke arah koridor timur yang kini mulai remang-remang.

"Matahari akan terbenam," katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Elara. "Ingat aturannya."

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan menyusuri koridor terlarang itu. Punggungnya yang tegap tampak sedikit membungkuk.

Elara berdiri sendirian di tengah kemewahan yang dingin itu, jantungnya berdebar pelan. Ia telah melewati hari pertamanya. Ia lulus ujian, ia bertemu musuh potensialnya, dan ia selamat. Namun, saat cahaya terakhir matahari menghilang dari cakrawala, sebuah suara samar terdengar dari ujung koridor timur.

Suara yang sangat pelan, nyaris tak terdengar.

Seperti suara kerikil yang digeser. Atau seperti suara gesekan halus dari batu melawan batu.

Kutukan itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu malam tiba. Dan Elara kini tinggal di dalam rumah yang sama dengannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • CEO Bertopeng Giok   Di Ambang Pintu yang Tak Terlihat

    Helikopter hitam itu mendarat tanpa suara di sebuah lembah kecil yang tersembunyi di kawasan Puncak, Cisarua. Saat pintu geser terbuka, udara yang langsung menyergap mereka begitu berbeda. Jika Jakarta adalah napas panas dari mesin dan ambisi, dan Ciptagelar adalah udara tanah yang sarat dengan bahaya, maka Puncak adalah embusan nap

  • CEO Bertopeng Giok   Perpustakaan Senja dan Gema di Jakarta

    Fajar baru saja akan merekah, namun di dalam penginapan terpencil itu, tidak ada satu pun dari penghuninya yang tertidur. Pengetahuan akan tenggat waktu tiga minggu yang mereka miliki terasa seperti beban fisik, menekan udara di sekitar mereka dan membuat setiap detik terasa berharga sekaligus menyiksa. Mereka tidak lagi hanya melawan sebuah konspirasi, mereka kini sedang berlomba melawan pergerakan langit."Perpustakaan Senja," ulang Kian, suaranya pelan namun bergema di keheningan pagi buta. Ia menatap Elara, mencari kepastian. "Hanya itu petunjuk yang kita punya?"Elara menghela napas, mencoba menggali lebih dalam lagi ke sudut-sudut ingatannya yang kabur. "Hanya itu, Tuan. Nenek hanya menyebutnya sekali atau dua kali saat aku masih sangat kecil. Bukan sebagai tempat yang nyata, lebih seperti sebuah dongeng. Dia bilang 'si penjaga buku' adalah kerabat jauh dari garis keturunan ibu, seorang pria yang sangat tua, lebih tua dari seharusnya, dan tinggal di sebuah tempat

  • CEO Bertopeng Giok   Perlombaan Melawan Langit

    Perjalanan kembali dari Lembah Tujuh Bintang terasa jauh lebih berat daripada saat berangkat. Setiap langkah terasa membebani, bukan karena kelelahan fisik semata, tetapi karena bobot pengetahuan yang baru saja mereka peroleh. Hutan yang di pagi hari terasa magis dan penuh kehidupan, kini terasa mencekam dan opresif. Setiap bayangan

  • CEO Bertopeng Giok   Bisikan Sang Tahanan Batu

    Keheningan yang mengikuti pernyataan Elara terasa begitu pekat, seolah udara di lembah itu sendiri ikut menahan napas. Realisasi mengerikan itu menggantung di antara mereka: mereka tidak sedang menghadapi seorang pebisnis serakah, tetapi seorang fanatik yang berencana melepaskan bencana.Kian adalah yang pertama kali memecah kebekuan. Reaksinya bukanlah kepanikan, melainkan fokus yang dingin dan tajam. Naluri sang jenderal mengambil alih sepenuhnya. Dengan gerakan lembut namun tegas, ia menarik Elara menjauh dari batu hitam itu. "Jangan sentuh lagi," perintahnya pelan, matanya memindai lingkungan sekitar, waspada terhadap ancaman yang tak terlihat.Ia mengeluarkan sebuah multi-alat dari sakunya. Dari salah satu kompartemennya, ia mengambil sebuah penjepit kecil dan sebuah tabung sampel steril. Dengan presisi seorang ahli bedah, ia mendekati batu itu dan dengan hati-hati mengambil sampel dari cairan hitam kental yang sudah sedikit mengering di sisinya. Ia memasukkannya

  • CEO Bertopeng Giok   Tujuh Bintang

    Fajar di perbukitan Ciptagelar adalah sebuah entitas yang sama sekali berbeda dari fajar di Jakarta. Tidak ada gedung pencakar langit yang menghalangi cahaya pertama, hanya kabut tipis yang melayang di atas pucuk-pucuk pohon, mengubah sinar matahari pagi menjadi selubung keperakan yang magis. Di dalam keheningan yang hanya dipecah oleh suara serangga hutan, Elara dan Kian sudah bergerak. Mereka adalah dua bayangan yang menyelinap keluar dari penginapan, meninggalkan jejak embun di atas rerumputan.Pakaian mereka adalah cerminan dari misi mereka. Setelan mahal dan sepatu kulit telah berganti dengan celana kargo berwarna zaitun, kaus menyerap keringat, dan sepatu bot trekking yang kokoh. Kian, tanpa jas dan dasinya, tampak lebih liar dan berbahaya, otot-ototnya yang terbentuk dari disiplin bertahun-tahun terlihat lebih jelas. Elara, dengan rambut yang diikat ekor kuda dan ransel kecil di punggungnya, memancarkan aura ketenangan dan fokus yang tidak ia miliki beberapa minggu lalu."Merek

  • CEO Bertopeng Giok   Jejak Pertama di Tanah Leluhur

    Perjalanan darat selama beberapa jam dari Jakarta menuju kaki Gunung Salak adalah sebuah transisi yang nyata, bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara psikologis. Aspal mulus dan hutan beton yang angkuh perlahan-lahan menyerah pada jalanan yang lebih berkelok, digantikan oleh hamparan sawah hijau zamrud yang berkilauan di bawah matahari dan siluet pegunungan yang membiru di kejauhan. Udara di dalam mobil sedan mewah yang dikemudikan oleh supir pribadi Kian terasa dingin dan artifisial, sangat kontras dengan udara lembap dan hangat yang merembes masuk setiap kali mereka menurunkan kaca jendela.Elara menatap pemandangan yang familier itu dengan perasaan campur aduk. Ada kelegaan yang menenangkan saat melihat kembali perbukitan dan pepohonan yang menjadi latar masa kecilnya. Namun, kelegaan itu kini dilapisi oleh lapisan tipis kecemasan. Tanah yang indah ini bukan lagi hanya sekadar rumah; ini adalah medan perang yang tidak terlihat. Setiap petak tanah yang mereka lewati kini ia

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status