“Golongan darah aku O, kebetulan sekali bukan. Suster silakan ambil darah saya,” ujar pria yang baru datang.
Pria itu terlihat sangat berkarisma dan tampan. Dengan jas berwarna hitam juga kemeja putihnya memperlihatkan jika dia bukan pria biasa-biasa saja.Berlian menatap pria itu lalu melirik ke arah Bu Raya. Seolah-olah ia bertanya siapa pria itu yang datang langsung mendonorkan darahnya.“Dia Pak Arnold, yang menabrak Cinta. Pak, ini Berlian ibunya Cinta.” Bu Raya memperkenalkan pria itu.“Saya Arnold, Mbak Berlian saya meminta maaf karena keteledoran sopir saya. Kami pun tidak tahu tiba-tiba Cinta berlari tiba-tiba dan terhantam mobil saya,” ujar Arnold.Berlian bergeming ia tidak tahu harus bagaimana sedangkan pria di hadapannya adalah orang yang hampir merenggut nyawa anaknya. Namun pria itu pun ingin mendonorkan darahnya, jika menolak pun dirinya tidak akan memiliki uang untuk membeli sekantong kantung darah.“Pak Arnold sudah mengurus semua administrasi, juga untuk operasi dan biaya Cinta untuk seminggu kedepan di rumah sakit,” papar Bu Raya.Berlian masih tidak bersuara, ia masih bungkam merasa tidak terima dengan keadaan anaknya.“Maafkan saya, saya pun paham jika Anda belum bisa memaafkan. Demi keselamatan anak Anda, izinkan saya untuk mendonorkan darah. Bagaimana?” tanya Arnold lagi.“Lian, jangan diam saja. Ibu tahu dia salah, tapi ini kesalahan bukan fatal darinya. Tolong turunkan ego kamu agar Cinta selamat. Lagi pula, dia sudah berusaha menebusnya,” bisik Bu Raya.“Baiklah, silakan.”Arnold tersenyum dan mengangguk pada Berlian setelah itu ia mengikuti suster untuk transfusi darah. Sementara, Berlian mencemaskan kondisi Cinta yang masih berjuang di dalam ruangan.Bu Raya menenangkan Berlian. Berharap jika Cinta segera pulih dan baik-baik saja. Walau sudah ada yang bertanggungjawab, tetap saja dirinya takut terjadi sesuatu yang tak di sangka.“Berlian, ibu minta maaf sekali lagi.”“Susah, Bu. Ini memang kecelakaan, bukan ibu yang salah. Mungkin Tuhan ingin mengujiku seberapa kuat aku.”“Semoga kamu lebih sabar.”Satu jam kemudian, proses pengambilan darah pun berjalan lancar lalu Dokter pun langsung melakukan tindakan operasi untuk Cinta. Berlian dengan cemas menunggu sang anak di depan IGD.“Mbak Berlian, maaf saya harus pergi. Ada urusan, ini kartu nama saya jika terjadi sesuatu atau butuh apa pun. Saya selalu menerima jika Anda berkenan.” Pria itu tampak selalu tersenyum walau Berlian tak memperlihatkan sedikit senyum padanya.Berlian mengambil kartu nama pria itu tanpa membaca lalu memasukkan ke dalam tasnya. Ia belum bisa terima dengan kondisi sang anak yang tertabrak olehnya walau tidak sengaja.“Lian, apa kamu masih belum bisa memaafkan pria itu?” tanya Bu Raya.“Bukan seperti itu, aku tahu dia bertanggungjawab. Hanya saja jika terjadi sesuatu bahkan fatal, apa dia akan bertanggungjawab dan mengganti dengan tubuhnya? Orang kaya selalu saja berpikir uang bisa membeli semuanya.”Berlian seperti begitu sensitif dengan orang kaya. Apalagi mengingat Jonatan yang juga bersikap dingin padanya. Belum lagi perlakuan ibunya di masa lalu yang meminta ia mengaborsi janinnya.“Maafkan Ibu, Bu Raya paham perasaan kamu Lian.”Bu Raya merasa tidak enak karena dirinya teledor menjaga Cinta walau bukan full kesalahan dirinya. Cinta masih kecil, anak itu berlari saat mengejar dirinya tanpa melihat sekeliling.“Maaf, Bu. Aku jadi emosi.”Ponselnya sejak tadi berbunyi, Berlian hanya menatap tanpa membacanya. Sudah pasti di kantor mereka mencari dirinya yang kabur setelah mendapat penolakan saat dia izin pulang karena anaknya sakit.Berlian pun tidak peduli jika nanti akan di pecat. Baginya Cinta lebih utama. Meskipun ia tahu uang pun penting baginya.***Kondisi Cinta sudah stabil, ia pun kini sudah berada di kamar inap. Setelah mendengar penjelasan dari Dokter, Berlian pun merasa lega dengan kondisi sang anak.“Bu Raya pamit dulu, nanti kamu Wa saja kalau butuh Ibu.”“Iya, Bu. Terima kasih. Besok saja pagi ke sini, saya mau bekerja.”“Baik, Lian.”Bu Raya pun pamit, wanita paruh baya itu kembali ke rumah untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Tetangga sebelah kontrakan Berlian yang sangat baik, Bu Raya tinggal sendiri dan sama sekali tak memiliki anak. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun lalu.Berlian kembali duduk di pinggir ranjang dengan menggenggam tangan sang anak. Di hadapannya, malaikat kecilnya sedang berjuang. Cinta belum sadar karena efek obat bius yang cukup lama.Sebuah pesan masuk dari Nunung membuatnya tidak kaget. Sejak tadi pihak kantor juga beberapa rekannya menghubunginya, tapi ia tak mau menerimanya.“Lian, kamu pulang tanpa izin. Cari perkara saja, besok kamu di minta bertemu Bu Hera juga kepala divisi kita.”Berlian hanya menatap layar ponsel. Ia teringat saat meminta izin pada Bu Hera yang ternyata malah di maki. Anaknya sedang berjuang, tidak mungkin ia begitu saja tetap bekerja. Dengan nekat tanpa peduli risiko, Berlian nekat Kabir.“Aku tidak paham, kenapa Perusahaan begitu kejam pada karyawan kecil.”***“Perusahaan yang sangat kejam, seperti pemimpinnya. Dingin dan tidak memiliki perasaan.” Berlian bergumam sendiri. Ia terus memakai karena masih kesal dengan penolakan dirinya pulang cepat.Akhirnya kondisi Cinta sudah membaik, anak perempuan itu pun sudah sadar dari tidurnya. Namun, Cinta masih merengek kesakitan, mungkin badannya yang terasa sakit dan remuk. “Kepala aku sakit,” ujar anak itu. “Yang mana Sayang?” Berlian menghampiri dan mengelus rambutnya. Melihat kondisi sang anak, mana bisa ia tega tidak cepet ke rumah sakit dan tetap bertahan di kantor demi orang-orang jahat sepeti mereka pikir Berlian. Cinta menunjukkan kalau kepalanya sakit, lalu tangan dan kaki. Mungkin wajar karena ia terpental saat tertabrak. Bersyukur masih bisa selamat. “Cinta enggak mau lari-lari lagi. Ma, Cinta janji.” Cinta menangis sesenggukan karena mengingat kecelakaan itu. “Iya, Sayang. Kamu tenang saja. Insyaallah kamu akan baik-baik saja.” Berlian mencoba menenangkan sang anak. Melih
“Aku sudah katakan jika belum siap. Kenapa kalian terus memaksa?” Tidak menyangka kali ini Jonatan begitu marah dan bicara langsung di hadapan keluarga Alea. Mereka semua terkesiap melihat pria yang selama ini diam kini bersuara dan begitu tegas. “Sayang, tenang.” Bu Santi Ibunya Jonatan menenangkan anak mereka. Emosi Jonathan masih tidak stabil, saat pulang ia menghadap masalah yang baginya tidak penting. Pernikahan yang sejak lama ia hindari malah semakin menjadi-jadi. Keluarga Alea begitu gencar ingin menjodohkan mereka apalagi mempercepat pernikahan keduanya.“Jo, jangan bersuara tinggi,” tegur sang ayah. “Aku sudah mengatakan berulang kali, tapi kalian tetap saja memaksa. Apa tujuan kalian melakukan hal ini?” Keluarga Alea bergeming, mereka tak bisa menjawab pertanyaan dari Jonatan. Raut wajah ayah Alea pun menahan emosi, hanya dia tak mau menunjukkan jika dia memang begitu emosi. “Lebih baik kita batalkan saja pernikahannya ini,” ujar Pak Ibnu. “Silakan. Itu lebih
“Maaf saya tidak bisa bicara hal itu. Saya juga meminta maaf pada Tuan Arnold jika Cinta menyinggung Anda.” Pikiran Berlian kalut, mana mungkin ia menceritakan asal usul Cinta pada orang yang baru saja ia kenal. Apalagi, pria asing yang hanya di pikir ayahnya oleh Cinta.“Oke, tidak masalah. Sepetinya saya harus pulang, besok kalau sempat saya kembali ke sini,” papar Arnold.“Eh, Tuan. Tidak usah, tidak apa-apa.” “Loh, kenapa? Saya ingin tahu kondisi Cinta, karena saya dia jadi seperti itu.”“Bukan sepeti itu, saya merasa tidak enak. Lagi pula sebentar lagi mungkin sudah boleh pulang.” Berlian menunduk, ia merasa derajatnya begitu jauh dari pria kaya raya di hadapannya.Arnold pun pamit dan meninggalkan ruangan Berlian. Lalu menuju parkir mobil. Sebelum itu, ada dua pria yang menghampirinya dengan menggunakan baju hitam.“Jaga ruangan yang saya infokan.”“Baik Tuan.”Setelah itu Arnold pun langsung masuk ke mobil dan meminta sopir untuk mengemudikan dengan cepat karena sudah sangat
“Ah mana bisa aku menikahi Alea tanpa cinta, walau untuk pelarian saja, tetap saja akan merepotkan.” Jonathan kembali bergumam.Pria itu pun membuka laptop, kembali fokus dalam pekerjaan yang telah menumpuk. Sejak kedatangan Berlian kembali di hidupnya, membuat pria itu seakan-akan tidak bisa tidur nyenyak. Satu masalah tentang pernikahan saja sudah membuat ia mumet, di tambah Berlian yang sering muncul di hadapannya.“Sayang, boleh aku masuk?” Terdengar suara manja dari balik pintu. Jonathan menepuk keningnya, kenapa bisa sepagi ini Alea sudah ada di kantornya. “Iya, masuk saja.” Alea muncul dengan penampilan sangat menarik. Cantik dengan balutan baju yang lebih sopan dari biasanya. Jonathan sering protes dengan pakaian yang sering ia kenakan. “Ini masih pagi, kenapa kamu sudah ada di sini?” tanya Jonatan sedikit tidak suka.“Aku hanya cemas tentang masalah semalam. Papa sedikit emosi, maafkan ya.” Alea seperti biasa merajuk padanya. “Aku tidak peduli, lagi pula di luar ba
Sontak Jonathan berlari saat melihat Berlian yang jatuh dari ketinggian, kini tubuhnya berhasil terselamatkan oleh bos besar itu. Netra keduanya bersorobak, walau merasa membenci Berlian, hati tidak akan bisa berbohong ketika melihat wanita itu jatuh nalurinya pun langsung bereaksi.Jonathan tersadar dari lamunan dan langsung menurunkan tubuh Berlian. Alea yang melihat hal itu merasa cemburu karena Jonatan menolong karyawannya.“Lagi-lagi kamu!” teriak Jonathan.“Terima kasih Tuan.” Berlian berterima kasih dan menundukkan setengah tubuh.“Heh, kamu lagi. Kenapa sih selalu muncul di hadapan kami, untung calon suami saya baik mau menolong kamu. Kerja itu yang benar, jangan merugikan perusahaan. Kalau kamu jatuh, pasti deh minta sumbangan dari kantor ini,” papar Alea. “Kita pergi saja. Ayo.” Tanpa melirik Berlian, Jonathan melewatinya begitu saja. Sementara, Alea mengikutinya dari belakang. Sejak tadi yang kesal adalah wanita itu.“Kenapa sih kamu menolong dia, biarin saja dia j
“Astagfirullah.” Berlian terkesiap saat masuk ruangan kamar inap Cinta karena berhadapan dengan Jonatan. Bukan Berlian saja yang kaget, tentunya Jonathan yang sejak tadi berpikir keras tentang Cinta buyar begitu saja saat melihat mantan kekasihnya itu datang.“Kamu ngapain di sini?” tanya Jonathan.“Harusnya saya yang tanya Pak Jo sedang apa di sini?” “Mama.” “Mama?” tanya Jo lagi. “Dia anak kamu?” Jonathan menoleh ke arah Cinta saat anak perempuan itu memanggil Berlian dengan sebutan Mama. "Kamu ibunya Cinta?" Jonathan kembali memastikan."Iya, Pak. Pak Jo kenapa sampai bisa ada di sini?" tanya Berlian. Berlian tidak tahu harus bersikap seperti apa, ia berhasil mempertemukan anak dan ayah hanya saja keduanya tidak tahu jika mereka ada hubungan darah. Tidak mungkin ia langsung mengatakan jika Cinta adalah darah dagingnya.Jonathan bersikap dingin saat tahu Cinta itu adalah anak dari Berlian. Padahal awalnya dia sangat menyukai Cinta, ia beranggapan seperti cinta pada p
“Pak Arnold,” ujar Berlian. Berlian terkesiap dengan kedatangan Arnold, apalagi saat ini Jonathan tengah bersamanya. Ia heran mengapa bisa merek bersama, apakah saling mengenal atau hanya sekedar teman bisnis.“Suster mengatakan Cinta akan pulang hari ini, kebetulan anak saya berada di rumah sakit ini. Jadi, sekalian saya mampir,” usir Arnold.“Iyah, Pak. Dokter bilang besok akan pulang. Saya berterima kasih atas semua fasilitas yang Pak Arnold berikan,” ucap Berlian. Berlian tak berani menatap Arnold, apalagi sejak tadi Jonatan menatapnya dengan tajam seolah-olah hendak menerkamnya. Lagi, Berlian bertanya-tanya tentang Jonathan yang kini bersama dengan Pak Arnold.“Oh, iya. Kenalkan ini adik saya, Jonathan.” Berlian mengangkat kepala, ia terkesiap mendengar pengakuan Arnold yang mengenalkan Jonathan sebagai adiknya. Sejak mengenalmu tidak pernah ia bertemu dengan Arnold. Memang dirinya pernah tahu jika Jonatan memiliki seseorang Kakak. Hanya saja tidak pernah tahu wajahnya.
“Aku harus cari tahu kapan Cinta lahir, jika benar apa yang aku pikirkan, jadi selama ini Berlian .... Sial!” Jonatan membanting setir ke pinggir jalan. Pikirannya kacau memikirkan hal yang tidak masuk akal. Awalnya ia mengira Cinta adalah anak selingkuhan sang kakak. Namun, kini ia malah berpikir keras tentang kemungkinan Cinta adalah anaknya. Arnold sejak tadi menghubunginya karena ia pulang tak mengabari sang kakak. Jonathan membiarkan panggilan masuk itu terus saja berdering. Kali ini Berlian berhasil membuat Jonathan berpikir keras. Apalagi saat melihat wanita itu marah seolah-olah ia merasa bersalah karena membuatnya tersinggung.“Ada apa, Kak?” Akhirnya Jonatan mengangkat ponselnya.“Kamu pulang enggak bilang, Papa menghubungi katanya ingin bicara.” Suara Arnold dari ujung ponsel. “Ada urusan penting, jadi enggak bilang. Maaf,” ujar Jonatan.Jonathan langsung mematikan ponselnya dan gegas kembali mengendarai mobilnya. Baru pertama kali ia merasa heran saat melihat Berlian,