Beranda / Romansa / CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku / 9 | Kontrak Mentor Bercinta

Share

9 | Kontrak Mentor Bercinta

Penulis: Eliyen Author
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-13 13:15:50

Gista tak masalah disuruh-suruh ke mana saja oleh kantor. Sejujurnya dia juga lebih suka menghirup sedikit udara bebas di jam kerja, daripada terus mengurung diri di kubikel.

Namun, bukan berarti sesi menghirup udara bebas itu harus dilakukan dengan membawa-bawa dokumen penting menuju gedung yang sangat ingin dihindarinya.

Gista menghela napas panjang. Dia menatap bangunan megah di hadapannya. Otaknya mulai memikirkan sederet plot cerita dewasa, mencoba mengalihkan rasa tak nyamannya karena harus menemui orang yang tak ingin ditemui.

“Saya ada janji temu dengan Pak Akash Salim, dari Megalitera.” Gista menyerahkan kartu nama ke resepsionis di lobi. 

Wanita cantik di hadapannya melihat Gista cukup lama dari ujung kepala sampai ujung kaki. Yang ditatap malah acuh tak acuh, dan justru melihat-lihat interior lobi yang tampak berkelas dan mewah.

“Silakan. Lantai teratas. Megalitera sudah ditunggu.” Resepsionis mengembalikan kartu nama Gista.

Wanita itu menghela napas panjang. Sepatu datarnya nyaris tak menimbulkan suara di lantai marmer hitam. Jauh berbeda dengan suara keletuk sepatu berhak tinggi dari wanita-wanita yang berlalu-lalang di lobi.

Langkah Gista melambatm Bangunan ini terlalu rapi, seperti diatur untuk membuat siapa pun merasa kecil. Lantai marmer hitam licin, lampu gantung kristal memantulkan cahaya putih yang terlalu terang. Bahkan aroma ruangan saja seperti parfum di pusat perbelanjaan yang disemprotkan berlebihan.

Kalau ini adegan di novel, yang punya gedung ini pasti orang kaya yang punya obsesi mengatur segalanya. Setiap garis simetris, setiap sudut bersih. Wangi. Gista membatin.

“Kira-kira, Salim Publishing juga ditangani dengan standar OCD gini atau mengikuti pemiliknya, ya?”

Dirinya berkecamuk ribut dengan pikirannya sendiri.

Lalu ada deham yang membuatnya tersentak. “Maaf, permisi," kata orang yang akan turun dari lift.  Gista mendesah kecil dan tersenyum tipis. 

Di dalam lift ada empat wanita lain yang tersisa. Semuanya berpenampilan modis dan elegan. Kontras dengan dirinya yang sangat kasual. Secuek-cueknya Gista ternyata bisa sedikit minder juga. Dia menatap dirinya di cermin kaca lift. Kontras sekali. 

Gista memegang dokumen agreement kerja sama antara Megalitera dan Salim Publishing erat-erat. Dia bisa merasakan tatapan penasaran dari empat wanita itu. Sayangnya, Gista sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Kenapa harus dia yang mengantar dokumen penting ini secara langsung?

Seharusnya staff business development atau bagian PR yang mengantarnya. Mereka lebih cocok untuk urusan semacam ini.

Gista mengerutkan bibir. Kalau saja tadi pagi Direktur tidak langsung meletakkan dokumen agreement kerja sama itu di mejanya, sekarang pasti dia tak perlu menginjakkan kaki di gedung yang mengintimidasi ini.

“Mau keluar di mana, Kak?”

Gista mendongak. “Lantai 55.”

Empat wanita itu serentak menatapnya. Gista mengangkat alis.

“Ya?” tanyanya bingung.

Empat wanita itu menggeleng-geleng. Namun, di lantai 50 keempatnya sudah keluar, menyisakan hanya Gista seorang di dalam lift.

Begitu pintu lift terbuka, karpet tebal langsung menyambut langkahnya. Aroma kopi hitam bercampur wangi kayu samar-samar menguar di udara. Seorang wanita cantik berdiri menyambutnya dari balik meja.

“Silakan, Nona.”

Gista tersenyum canggung. Dia mengetuk pintu kayu tebal di hadapannya. Suara berat, tetapi santai menyahut dari dalam.

“Masuk.”

Saat Gista masuk, dia langsung melihat sosok Akash di balik meja besar. Kemeja putihnya digulung rapi sesiku, menyisakan pergelangan yang dibalut jam tangan mahal. 

Akash tidak menoleh. Matanya tetap tertuju ke arah dokumen di tangannya. Lalu mengubah dirinya memutar bola mata. Gista pun sama muaknya.

“Apa Megalitera tak punya staf business development atau PR?” tanya Akash lagi.

“Ya?”

“Kenapa kamu?”

Gista berdeham kecil. ”Oh.” Dia masih berdiri di tengah ruangan. “Aku gak tahu. Tapi kata Direktur, cuma aku yang bisa handle kamu.”

Gista tak tahu implikasi ucapannya pada Akash. Pria itu langsung mendongak setelah mendengar kalimat terakhirnya. Tatapan Akash sejenak kosong, lalu berubah menjadi senyum miring menggoda.

“Handle apa?” Akash meletakkan dokumen ke atas meja. Wajahnya berubah santai, tetapi ada yang berbahaya di sana.

“Itu kata yang fleksibel, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya, kan?”

Gista tidak menanggapi Dia memalingkan pandangannya dan membiarkan matanya menyapu ruangan. Rak-rak buku tinggi berjajar rapi di salah satu dinding, dipenuhi buku tebal. Aroma kayu dan sedikit wangi kopi yang samar menguar, bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Meja kerja besar dengan permukaan mengilap berdiri kokoh di tengah, dikelilingi sofa kulit hitam.

Ruangan yang sempurna untuk karakter CEO yang sempurna. Otak Gista secara alamiah merancang plot cerita, membayangkan tokoh-tokoh novelnya berada di ruangan ini. Duduk, berbicara, berbisik.  

Ia membayangkan sang tokoh utama wanita di bukunya. Sarsha duduk di sofa, bersandar santai, sementara tokoh utama pria—Gio, seorang CEO dingin yang soft spoken itu—berdiri di dekat jendela besar, berbicara dengan nada rendah. Mungkin mereka bertukar tatap penuh rahasia.

Gista menggeleng-geleng, mengenyahkan visual Akash dari benaknya. 

Sementara Akash menyandarkan tubuh di kursi. Jeli dia memperhatikan setiap gerakan Gista.

“Kamu nggak betah nulis sampai harus jadi pengantar dokumen?” tanya Akash setengah meremehkan, setengah ingin tahu. “Atau ini bagian dari riset sebelum meng-handle target?”

Gista menoleh cepat. Sepertinya kata ‘riset’ akan menjadi kata terlarang di antara mereka berdua di masa depan. Gista menghentakkan ujung sepatu. Raut mukanya datar. Dia mengangkat bahu dan menjawab asal-asalan. 

“Bukan,” jawab Gista singkat. “Kalau disuruh menulis aku juga pilih itu.”

Akash memiringkan kepala. Sepertinya dia menikmati interaksi dengan Gista yang makin lama makin menggoda di matanya. Sebelum wanita itu sempat merespons, Akash langsung bicara lagi.

“Bukumu selanjutnya tentang apa?”

“Lagi nunggu,” jawab Gista, tetap singkat tanpa penjelasan lebih.

Akash jadi gemas sendiri. “Nunggu apa?”

Mati-matian dia menahan kakinya tetap di tempat, alih-alih melangkah ke arah Gista, menyambar tubuh wanita itu, dan membaringkannya di atas meja kerja.

Akash merutuk dalam hati membayangkan fantasinya yang menjadi liar. Dia melonggarkan ikatan dasi. Di bawah meja, dia bergerak gelisah memperbaiki posisi celananya yang mendadak sesak.

“Bajumu ….” Akash berhenti tepat waktu.

Gista menoleh. “Ya?”

Pria itu menggeleng pelan. Lidahnya sudah ingin berucap, sayang sekali tubuh sebagus itu harus ditutupi dengan tunik longgar dan tebal. 

Jantung Akash berdetak cepat saat Gista tiba-tiba berjalan mendekati mejanya. Wanita itu menyodorkan dokumen dengan logo Megalitera di bagian sampulnya.

“Aku hanya ngantar ini, Pak Akash. Kalau sudah nggak ada yang disampaikan, aku pamit–”

“Sebentar.” ada jeda yang membuat Gista menatapnya. “Lagian kalau kamu balik. Kamu juga nggak akan bisa nulis apa-apa hari ini.”

Akash mengeluarkan map dari dalam laci. Dia ganti menyodorkannya kepada Gista. 

“Mentorship for Creative Writing Development?” Gista membaca tulisan yang tertera di atas map. “Maksudnya?”

“Aku bersedia menjadi mentormu. Gratis.”

Gista mengernyit. Ekspresi pertamanya selain muka datar yang muncul hari ini setelah memasuki kantor Akash.

Mata Gista mengikuti Akash yang berdiri dari kursi. Pria itu memutari meja lalu berdiri di hadapannya. 

“Sebenarnya bukan sekadar mentor. Aku bisa duduk di seberangmu. Setiap hari. Melihat setiap perubahan kecil di wajahmu. Mengetahui titik mana yang membuatmu berhenti mengetik. Dan ….” Akash tiba-tiba menundukkan kepala dan mencondongkan badan ke arah Gista. Jaraknya benar-benar sangat tipis dengan wanita itu.

“Dan?” Gista mengerjap.

“Dan kenapa hal itu terjadi,” bisik Akash.

“Aku gak paham dan bisa berhenti membahas naskahku?”

“Tapi kamu butuh,” potong Akash halus. 

“Sudah selesai, Pak?” Gista tak terpancing. Santai dia mundur, membuat jarak dengan Akash. 

“Saat ini?” Akash balik bertanya. “Kuanggap selesai, jika kamu tanda tangani kontrak mentor itu.”

Gista menggeleng-geleng. 

“Ini hanya simbiosis mutualisme. Kamu bisa mendapatkan mentor gratis dan aku—”

Pernyataan itu menggantung bersamaan Gista yang menunggu.

“—Aku lebih penasaran seberapa jauh kamu bisa menulis, kalau sumber inspirasimu duduk di depanmu setiap hari.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   46 | Janji Riset Bercinta

    “Nggak nawarin aku minum di rumahmu, Gis? Udah kuanterin pulang, nih.”Gista melepas sabuk pengaman. Dia menatap Arvin yang duduk di belakang kemudi.“Rumahku berantakan, Kak. Nggak siap terima tamu.”Arvin menahan pergelangan Gista, tetapi langsung melepaskannya lagi saat melihat tatapan tajam wanita itu.“Sori. Kelepasan. Semoga ke depan nggak nunggu lama lagi biar bisa gandengan terus sama kamu.”Gista menghela napas panjang. “Nggak lucu, Kak.”“Jadi, besok kujemput?”Gista mengangkat bahu. “Nggak usah. Aku besok ada riset di luar.”Gista keluar mobil Arvin. Hari ini dia tidak lembur. Namun, Direktur mentraktir semua orang makan di restoran yang baru buka dekat kantor. Alhasil, Gista jadi kemalaman pulang.Dan dia terpaksa menerima tawaran Arvin untuk pulang bersama. Gista sudah ketinggalan busway terakhir.Malam sudah beranjak ke dini hari. Badan Gista lelah luar biasa. Langkahnya lemas menyeberangi jalan. “Baru pulang?”Gista terlonjak kaget. Matanya seketika terbuka lebar saat

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   45 | Antara Dua Gairah

    “Kamu betulan jadi simpanan Pak Akash Salim?”Gista hampir saja tersedak ludahnya sendiri. Matanya membelalak nanar ke arah Direktur.Pria paruh baya itu sedang menatapnya penuh spekulasi. Entah apa yang ada di pikiran Direktur tentang Gista saat ini.“Pak Direktur, bagaimana Anda bisa percaya gosip murahan seperti itu?” Gista balik bertanya dengan nada datar.Direktur mengernyitkan dahi. “Kamu betulan nggak bisa berekspresi, ya?”“Hubungannya dengan saya dipanggil ke sini apa, Pak?”“Oh ya. Benar.” Direktur membetulkan posisi duduknya. “Suasana di kantor agak ribut. Jujur saja, ada gosip santer terdengar tentang kamu.”“Pak, itu–”“Ini agak bikin canggung. Jujur, aku nggak peduli benar apa nggaknha. Tapi, Gista. Gosip semacam itu bisa mengganggu citra profesionalmu. Bahkan citra perusahaan. Mengerti maksudku?”Gista terdiam. Telinganya mendengar, hatinya mencerna suara lembut, tetapi dingin Direktur. Setiap kata seperti jarum yang menusuk kulitnya.“Ya, Pak. Saya mengerti,” jawabnya

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   44 | Simpanan Akash Salim

    “Kamu bisa miliki semuanya, Akash Salim. Kecuali harga diri.”Senyum Akash sontak hilang. Sorot matanya berubah dingin menusuk. Perlahan dia berdiri dan menghadap Arvin dengan gestur tegak. Tinggi tubuhnya yang menjulang seolah mengintimidasi Arvin.Sayangnya, Arvin tak takut. Dia justru mencemooh sinis. “Katamu melindungi wanitamu seperti gentleman. Tapi gentleman macam mana yang ngebiarin wanitanya bertarung sendirian di luar sana?”Akash mengernyitkan dahi. Aura mencekam menguar kuat dari Akash.“Kalau memang nggak bisa melindungi dengan baik, jangan sok berakting jadi pelindung, Tuan Akash Salim.”Dalam sekejap, suasana kafe berubah mencekam. Layaknya panggung pertunjukan, Gista menyadari baik Akash maupun Arvin, keduanya pandai memainkan peran. Arvin dengan topeng simpatinya. Dan Akash dengan sikap dinginnya yang mematikan.Kasak-kusuk mulai terdengar dari sekeliling. Gista menghela napas, jengah dengan mejanya yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian."Ada hubungan apa kalian berd

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   43 | Rangsangan di Bawah Meja

    “Kenapa harus gagal orgasme, sih?”Gista mengetukkan jari di atas kibor kuat-kuat. Emosinya tumpah di sana. Matanya terpaku ke layar laptop, tetapi pikirannya berkelan kepada Akash Salim.“Cowok brengsek,” gerutunya lirih. “Bisa-bisanya dia main berhenti di tengah jalan.”Helaan napas berat akhirnya keluar. Gista memejamkan mata. Pada akhirnya, tarian jarinya di atas tombol-tombol kibor terhenti sejenak.“Malu banget kemarin.” Tangannya menutupi muka. Detik berikutnya, dia langsung bersikap normal setelah teringat di mana dirinya sekarang.Gista memandang sejenak ke arah trotoar persis di samping tempatnya duduk sekarang. Hanya bersekat dinding kaca tebal, dengan Gista duduk di bagian dalam kafe kecil dan hangat itu, pemandangan orang-orang berjalan cepat menembus gerimis terpampang jelas di depan mata.Malam ini dia sengaja keluar dari rumah. Kepalanya sumpek, efek dua hari penuh memikirkan orgasme yang gagal. Dia memilih menghabiskan malam Minggu di kafe tak jauh dari rumahnya, menc

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   42 | Gagal Klimaks

    “Kamu mempermainkan dua pria, tapi aku nggak akan biarkan kamu bisa memilih, Gista.”“Apa maksudmu aku nggak bisa milih?” tanya Gista datar.Akash menoleh. “Karena pilihanmu hanya satu. Hanya aku, Gista.” Perkataan itu terlontar dari mulut Akash setelah mereka berada di dalam mobil. Wajah Akash datar, tetapi hatinya bergejolak oleh kemarahan. Gista dan Arvin saling bersentuhan, berjanji minum bersama, dan tertawa bersama. Bayangan itu membuat darahnya mendidih.Dia mengunci pintu mobil, tetapi tak menyalakan mesin. Parkir bawah tanah sepi karena sudah lewat jam pulang kantor. Akash duduk mematung di belakang kemudi. Dan Gista duduk kaku di sampingnya.“Akash, antar aku pulang dulu.”Namun, Akash bergeming. Tatapannya lurus ke depan. Suaranya dingin, kontras dengan ekspresinya yang tampak malas-malasan.“Bagaimana tokohmu menghukum pasangannya yang berbuat salah?”Kali ini Gista menoleh. “Gio? Dia menghukum Sharna? Untuk apa?”“Karena telah menggoda pria lain.”Mata Gista membelalak,

  • CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku   41 | Terjatuh di Pelukan Arvin

    “Jadi, dia sudah menjadi orang ketiga dalam kontrak kita?”Gista langsung mencengkeram sabuk pengaman. Matanya lurus ke depan, tak melihat ke arah Akash yang menyetir di tengah hujan deras. “Udah kubilang, Kak Arvin cuma rekan kerja biasa.”“Rekan kerja, tapi rela hujan-hujanan datang hanya untuk temani kamu lembur dan antar pulang?”Gista menghela napas panjang. “Cuma dia yang masih baik sama aku, selain Mbak Lola.”“Teman kantor yang lain?”Gista hanya diam. Akash berkedip. Tangannya memutar roda kemudi. “Apartemenku?” tanyanya mengubah topik pembicaraan.“Rumahku,” jawab Gista datar.Akash mengangguk. Begitu tiba di depan rumah wanitanya, Akash berniat memayungi Gista turun. Sayangnya Akash kalah cepat. Gista sudah keluar mobil dan berlari masuk rumah.“Tabletmu ketinggalan lagi.” Akash mendesah pelan saat melihat pintu berdebam menutup. Ponselnya berdering pelan. Gista menelepon.“Nggak usah mampir, Pak Akash. Capek.”“Tab–” Akash tak sempat menyelesaikan ucapan. Telepon di ujun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status